Minggu, 01 Desember 2013

Sang Penari Dan Aku


Namanya adalah Sekar Jagat. Nama itu diambil dari sebuah nama tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa memanggilnya Sekar. Bukanlah sebuah kebetulan ia menyandang nama itu sejak lahir. Ia terlahir sebagai gadis Bali dan kedua orang tuanya berprofesi sebagai seniman. Sang ayah adalah pemusik tradisional, sedangkan sang ibu adalah seorang penari. Nama itu sudah dipersiapkan untuknya jauh hari sebelum kelahirannya. Sang ayah sudah memanggilnya dengan nama itu saat mengelus perut sang istri yang semakin membesar. Sang ibu sudah memanggilnya dengan nama itu saat mulai merasakan gerakan dirahimnya. Sampai saat yang dinantikan pun tiba. Hari itu, menjelang dini hari, untuk pertama kalinya sang pemilik nama menghirup udara dunia.
“Lihat matanya mirip biang-nya, pasti besarnya akan menjadi penari juga”, sang nenek berseru bahagia.
“Oh tidak lebih mirip ajik-nya”, sang kakek berseru tidak kalah bahagia.
“Ah Bli tahu apa, pakai dulu kaca mata sana”.
Tiang tidak perlu kaca mata untuk melihat cucu sendiri”.
Bli itu sudah rabun, mengenali anak sendiri dari jarak sepuluh meter saja susah”.
“Tapi itu tidak berlaku untuk cucu”.
Perdebatan antara kedua lanjut usia itu disambut tawa oleh mereka yang ada disana. Kamar rumah sakit itu dipenuhi oleh aura kebahagiaan. Semuanya saling bercengkrama. Semuanya saling berbagi cerita. Semuanya terlihat bahagia. Terutama orang tua Sekar yang telah lama menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Di antara mereka yang ada di ruangan itu, ada dua orang yang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang pertama adalah Sekar. Tidak dapat disalahkan memang karena umurnya baru dua hari. Dia terlihat hanya bergelinjang di pelukan sang ibu. Matanya bahkan masih terpejam. Ia tentu tidak mengerti kalau dia-lah bintang pembicaraan malam itu. Sedangkan orang kedua adalah aku. Iya, aku.
Siapakah aku? Saat itu aku hanya seorang bocah berusia tiga tahun. Aku kebetulan ada di ruangan itu karena orang tuaku menjenguk orang tua Sekar. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Ayahku bersahabat dengan ayah Sekar karena pernah berkolaborasi membuat musik gamelan. Entah kebetulan atau tidak, ibuku dan ibu Sekar juga pernah menari bersama dalam sebuah pementasan Sendratari. Mereka seakan memang sudah berjodoh untuk menjadi sahabat.