Namanya adalah Sekar Jagat. Nama itu diambil dari sebuah nama tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa memanggilnya Sekar. Bukanlah sebuah kebetulan ia menyandang nama itu sejak lahir. Ia terlahir sebagai gadis Bali dan kedua orang tuanya berprofesi sebagai seniman. Sang ayah adalah pemusik tradisional, sedangkan sang ibu adalah seorang penari. Nama itu sudah dipersiapkan untuknya jauh hari sebelum kelahirannya. Sang ayah sudah memanggilnya dengan nama itu saat mengelus perut sang istri yang semakin membesar. Sang ibu sudah memanggilnya dengan nama itu saat mulai merasakan gerakan dirahimnya. Sampai saat yang dinantikan pun tiba. Hari itu, menjelang dini hari, untuk pertama kalinya sang pemilik nama menghirup udara dunia.
“Lihat matanya mirip biang-nya, pasti besarnya akan menjadi penari juga”, sang nenek
berseru bahagia.
“Oh tidak lebih mirip ajik-nya”, sang kakek berseru tidak kalah bahagia.
“Ah Bli tahu
apa, pakai dulu kaca mata sana”.
“Tiang tidak
perlu kaca mata untuk melihat cucu sendiri”.
“Bli itu
sudah rabun, mengenali anak sendiri dari jarak sepuluh meter saja susah”.
“Tapi itu tidak berlaku untuk cucu”.
Perdebatan antara kedua lanjut usia itu disambut tawa
oleh mereka yang ada disana. Kamar rumah sakit itu dipenuhi oleh aura
kebahagiaan. Semuanya saling bercengkrama. Semuanya saling berbagi cerita. Semuanya
terlihat bahagia. Terutama orang tua Sekar yang telah lama menantikan kelahiran
anak pertama mereka.
Di antara mereka yang ada di ruangan itu, ada dua
orang yang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang pertama adalah
Sekar. Tidak dapat disalahkan memang karena umurnya baru dua hari. Dia terlihat
hanya bergelinjang di pelukan sang ibu. Matanya bahkan masih terpejam. Ia tentu
tidak mengerti kalau dia-lah bintang pembicaraan malam itu. Sedangkan orang
kedua adalah aku. Iya, aku.
Siapakah aku? Saat itu aku hanya seorang bocah berusia
tiga tahun. Aku kebetulan ada di ruangan itu karena orang tuaku menjenguk orang
tua Sekar. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Ayahku bersahabat dengan ayah
Sekar karena pernah berkolaborasi membuat musik gamelan. Entah kebetulan atau
tidak, ibuku dan ibu Sekar juga pernah menari bersama dalam sebuah pementasan
Sendratari. Mereka seakan memang sudah berjodoh untuk menjadi sahabat.