Tubuhnya terguncang mengikuti guncangan perahu. Tangannya sibuk menarik ulur jaring. Kulitnya hitam legam terpapar matahari. Dia lelaki pencari ikan. Sosoknya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang itu adalah ayahku.
Lelaki
pencari ikan menarik jalanya dari air. Ayah juga ahli melakukannya. Dia adalah
pelaut yang handal. Tak ada ombak, tak ada badai yang bisa menghadangnya.
Apapun cuacanya dia akan melaut. Apapun kata orang dia akan melaut. Aku ingat dulu
saat ibu masih ada, dia sering mengingatkan ayah. Mengingatkan sifat keras
kepalanya. Demikian pula hari itu. Aku di kamar sekilas mendengarnya.
“Yakin Bli mau melaut?“
“Iya.”
“Apa Bli tidak mendengar arah-arahan dari
banjar? Bli Made Yoga bilang…”
“Ah Made
Yoga tahu apa, dia kan sudah lama tidak melaut.”
“Tapi Bli bisa melihat sendiri kan diluar.
Angin sedang kencang-kencangnya, ombak sedang besar-besarnya.”
“Tidak
apa-apa. Bli pernah menghadapi yang
lebih parah.”
Aku
dengar sayup-sayup ibu menangis. Suaranya tidak lagi terdengar jelas.
Sepertinya dia masih berusaha menahan kepergian ayah. Hanya saja sepertinya
ayah bersikeras.
“Tapi Bli…”
“Dek,
sebentar lagi Putu akan lulus sekolah. Kita butuh uang untuk menguliahkan dia.”