Minggu, 27 November 2016

Dalam Benak Seorang Calon Ayah


Bailey    : So, Max?
Charlie  : It’s better this way. Marvin and Debra have the money. Max is settled.
Bailey    : I saw the way he looked at you. Charlie, that’s the way I looked at my dad.
Charlie  : Come on!
Bailey    : Even now. I’d give anything to have that back.
Charlie : Your dad… your dad was special. He was… he was in your corner from day one. Me? Come on, I blew it! I blew it. When Max was born I just freaked out, I just…
Bailey    : Something is better than nothing.
Charlie  : I just wouldn’t know where to start.

Max and Charlie

Deretan dialog diatas berasal dari film ‘Real Steel’. Entah sudah berapa kali saya menonton film tersebut, namun rasa yang muncul tetap saja sama. Film ini menarik di mata saya bukan hanya karena special efect-nya yang keren, namun juga karena jalan ceritanya yang menyentuh. Sebuah perpaduan gendre action dan drama yang menarik. Film ini memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak saya, “Apakah nanti saya akan bisa jadi sosok ayah yang baik untuk anak saya?”

Minggu, 13 November 2016

Menjadi Ketiga


I love you?

Selama janur kuning belum melengkung masih ada peluang buat nikung. Selama bendera kuning belum berkibar masih ada peluang buat bubar.
Pernahkah anda mendapat nasehat “kampret” macam gini? Saya pernah, bahkan sering. Saya kadang jadi berpikir kalau dewasa ini manusia sudah tidak lagi menghormati sebuah hubungan. Pacaran bukan lagi sebuah status yang sakral, bahkan demikian pun pernikahan. Mendekati pacar atau istri orang sudah tidak lagi tabu dilakukan. Kalau sudah suka sama suka, mau bilang apa. Itu alasan yang paling sering dipakai sebagai alasan pembenar, selain kalau sekarang adalah jaman modern. Modern nenek loh!
Untuk masalah yang satu ini, saya bisa digolongkan sebagai orang kuno. Saya tidak suka mengganggu hubungan orang lain. Baik itu pacaran maupun pernikahan. Seberapa cantik dan menariknya wanita itu, saya akan berusaha menjaga jarak bila dia sudah memiliki pasangan. Menjaga jarak bukan berarti tidak berinteraksi sama sekali, bukan sama sekali. Menjaga hati mungkin bisa disebut lebih tepatnya. Hati dia dan hati saya sendiri tentunya. Entah sudah berapa kali saya naksir wanita yang memiliki pasangan. Beberapa malah saya tahu kalau dia pun memiliki perasaan yang sama. Namun, sekali lagi prinsip adalah prinsip. Saya pun ingin bila nanti mendapat pasangan akan memiliki prinsip yang sama. Bila dia sudah berkomitmen dengan saya, maka saya meminta dia untuk menghormati komitmen itu. Bila pun nanti tidak mendapati kecocokan sepanjang perjalanan, maka itu persoalan lain.

Rabu, 02 November 2016

Inferno: Neraka Yang Berakhir Surga


The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis


Inferno Novel
Penggalan kalimat tersebut dipilih Dan Brown sebagai pembuka dari novelnya, Inferno. Tulisan ini bisa dibilang sebuah review super duper telat, mengingat novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak tahun 2013. Saya tertarik membaca Inferno karena menjelang akhir tahun 2016, buku ini akhirnya difilmkan dengan judul yang sama. Saya selalu menyukai film-film yang diadopsi dari karya-karya Dan Brown, seperti The Davinci Code dan Angels & Demons. Jujur untuk dua judul tadi saya lebih dulu menonton filmnya baru kemudian membaca novelnya. Nah khusus untuk Inferno ini, saya lakukan hal yang sebaliknya. Sekedar ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan saya menyesal telah melakukannya.
Seperti kebanyakan novel yang diadopsi ke layar lebar, masalah durasi memang menjadi momok yang sangat menakutkan. Sebuah buku setebal 639 halaman (versi bahasa Indonesianya), harus dituturkan dalam gambar bergerak selama 121 menit. Akibatnya harus ada beberapa plot yang dikorbankan. Konsekuensi dari membaca novel Inferno sebelum menonton filmnya, adalah saya jadi tahu plot-plot mana yang dibuang. Hal ini jelas memunculkan kekecewaan tersendiri. Dalam imajinasi saya adegan kejar-kejaran di kota Firenze, Italia dan juga Istambul, Turki berlangsung begitu hebat, namun tidak demikian dengan adegan di filmnya. Demikian pun dengan uraian detail lokasi-lokasi bersejarah di kedua negara tersebut dalam novel, seakan tidak tergambar jelas di filmnya. Detail yang menjadi kekuatan dari novel ini seakan menguap saat difilmkan. Namun, sekali lagi untuk novel apapun yang difilmkan, durasi waktu pastilah menjadi musuh terbesar.