***
“Tokoh
Amara ini beneran ada nggak?”
“Seriously? Diantara berjuta pertanyaan
yang bisa kamu pilih, itukah pertanyaan pertama yang muncul di kepalamu?”
Sahabatku
itu tertawa. Terkekeh sih tepatnya.
“Aku
hanya mengikuti naluriku sebagai laki-laki. Kalau benar si Amara ini ada di
dunia nyata, aku benar-benar tertarik untuk bertemu dengannya.”
Aku hanya
menggelengkan kepala. Kuambil botol bir di meja dan menegak isinya. “Mari kita
anggap saja dia tidak ada. Sebuah tokoh fantasi yang aku ciptakan sendiri.”
Sahabatku
tertawa. Kali ini terbahak, sampai terbatuk. “Tidak percaya aku dengan kata-katamu
itu. Gambaranmu tentang dirinya terlalu nyata, sungguh terlalu nyata teman...”
“Nyata
atau tidaknya dia sepertinya bukan menjadi sebuah masalah, mengingat plotnya berakhir
tidak dengan bahagia.”
“Bagaimana
sebuah tulisan itu berakhir sepenuhnya ada di tangan penulisnya. Itu adalah
sebuah pilihan, dan kamu memilih untuk mengakhirinya dengan air mata. Kenapa?”