Rabu, 29 April 2015

Hariku Bersama Vivo X3S


X3S

Perlahan aku terbangun dari tidurku. Sayup-sayup ku dengar lagu ‘One More Night’ milik Maroon 5. Alunan lagu terdengar begitu kencang, namun tetap lembut ditelinga. Lagu itu mengalun dari smartphone Vivo X3S milikku. Aku memang sengaja memberdayakan smartphone ini sebagai alarm pribadi, disamping untuk mendengarkan musik tentunya. Kualitas suaranyalah yang mendasariku memilih Vivo X3S sebagai smartphone android andalanku. Bagiku smartphone dengan fitur musik yang mumpuni, adalah smartphone yang sesungguhnya.
Bagiku musik adalah mood buster paling dahsyat untuk memulai hari. Memutar musik-musik ceria dan berirama sedikit nge-bit, dapat membuatku lebih bersemangat. Seperti hari ini pun aku memulainya dengan lantunan lagu ‘Jika Kami Bersama’ dari Superman Is Dead. Musti diawali lagu Indonesia dong. Sebagai warga negara Indonesia, kita harus mencintai musik-musik buatan anak negeri sendiri. Selip-selipin dikit iklan layanan masyarakat, demi kejayaan bangsa dan negara nggak apa-apa kan?

Sabtu, 25 April 2015

Cerita Sebuah Pohon Mangga


Aku lahir dari sebuah batu. Terdengar lucu memang, namun itulah kenyataannya. Sejenisku hampir seluruhnya lahir dari sebuah batu. Hanya saja aku pernah mendengar juga ada sejenisku yang lahir dari batang. Hasil kreatifitas manusia dan ilmu pengetahuan mereka. Lahir dari batu atau dari batang bagiku sama saja. Bagiku mereka semua sama saudara. Sama-sama sebuah pohon mangga. Iya, aku memang terlahir ke dunia sebagai sebuah pohon mangga. Itulah takdirku. Aku menerimanya, aku mensyukurinya. Ini adalah ceritaku. Cerita sebuah pohon mangga.

****

Aku masih ingat dihari kelahiranku. Ketika itu tunasku pertama kali tumbuh. Aku tumbuh dalam sebuah pot kecil. Bli Made, begitu mereka kerap memanggil pemeliharaku. Dengan penuh kasih sayang dia menyiramiku, memberiku pupuk setiap harinya. Tunasku terus tumbuh. Tumbuh dan tumbuh, sampai muncul sepasang daun mungil disana.
“Tumbuh besarlah, Nak”
Itu yang selalu diucapkannya setiap kali menyiramiku.
“Terima kasih, Bli” sahutku balik.
Aku tahu dia tidak bisa mendengarnya. Kami memang berbicara dengan bahasa yang berbeda. Walau begitu aku tahu kalau dia mengerti. Senyumannya menggambarkan hal itu.
Bli Made adalah ayah sekaligus suami yang baik. Dari sebuah toko tanaman kecil di pusat kota Denpasar, dia menghidupi keluarganya. Sebuah keluarga sederhana. Sang istri hanya ibu rumah tangga. Kedua anak Bli Made masih kecil-kecil, terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang cerita mereka. Sedikit dari cerita tersebut adalah tentang cinta. Iya, cinta. Paling tidak itu yang aku rasakan saat hidup bersama mereka.
Sampai disuatu waktu dimana perpisahan tiba. Datang seorang pembeli ke toko tersebut dan dia melihatku. Dari tatapannya aku bisa melihat dia menyukaiku.
“Berapa harga pohon mangga ini?”
Bli Made mengucapkan sebuah angka nominal. Si pembeli mengerutkan dahi.
“Tidak bisa kurang?”
Bli Made menyebutkan nominal baru.
“Jangan Bli. Jangan biarkan aku pergi.” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Berharap ‘ayah’ ku itu mendengarnya.