Aku lahir dari sebuah batu. Terdengar lucu memang, namun itulah kenyataannya. Sejenisku hampir seluruhnya lahir dari sebuah batu. Hanya saja aku pernah mendengar juga ada sejenisku yang lahir dari batang. Hasil kreatifitas manusia dan ilmu pengetahuan mereka. Lahir dari batu atau dari batang bagiku sama saja. Bagiku mereka semua sama saudara. Sama-sama sebuah pohon mangga. Iya, aku memang terlahir ke dunia sebagai sebuah pohon mangga. Itulah takdirku. Aku menerimanya, aku mensyukurinya. Ini adalah ceritaku. Cerita sebuah pohon mangga.
****
Aku masih ingat dihari kelahiranku. Ketika itu tunasku
pertama kali tumbuh. Aku tumbuh dalam sebuah pot kecil. Bli Made, begitu mereka kerap memanggil pemeliharaku. Dengan penuh
kasih sayang dia menyiramiku, memberiku pupuk setiap harinya. Tunasku terus
tumbuh. Tumbuh dan tumbuh, sampai muncul sepasang daun mungil disana.
“Tumbuh besarlah, Nak”
Itu yang selalu diucapkannya setiap kali menyiramiku.
“Terima kasih, Bli”
sahutku balik.
Aku tahu dia tidak bisa mendengarnya. Kami memang berbicara
dengan bahasa yang berbeda. Walau begitu aku tahu kalau dia mengerti.
Senyumannya menggambarkan hal itu.
Bli Made adalah ayah sekaligus suami yang baik. Dari sebuah
toko tanaman kecil di pusat kota Denpasar, dia menghidupi keluarganya. Sebuah
keluarga sederhana. Sang istri hanya ibu rumah tangga. Kedua anak Bli Made masih kecil-kecil, terdiri dari
satu laki-laki dan satu perempuan. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang cerita
mereka. Sedikit dari cerita tersebut adalah tentang cinta. Iya, cinta. Paling
tidak itu yang aku rasakan saat hidup bersama mereka.
Sampai disuatu waktu dimana perpisahan tiba. Datang
seorang pembeli ke toko tersebut dan dia melihatku. Dari tatapannya aku bisa
melihat dia menyukaiku.
“Berapa harga pohon mangga ini?”
Bli Made mengucapkan sebuah angka nominal. Si pembeli
mengerutkan dahi.
“Tidak bisa kurang?”
Bli Made menyebutkan nominal baru.
“Jangan Bli.
Jangan biarkan aku pergi.” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Berharap ‘ayah’
ku itu mendengarnya.
Si pembeli mengangguk dan mengulurkan tangan. Bli Made menyambutnya. Aku menangis.
“Tidak Bli,
tidak…”
Aku terisak semakin keras. Aku tidak mau pergi. Aku
mau tetap disini. Namun, tidak ada satupun yang mengerti. Mobil pun terus bergerak
menjauh. Aku bisa melihat sosok Bli
Made semakin memudar. Aku terus menangis.
****
Aku sampai dirumahku yang baru. Aku ingat aku masih
terisak saat itu. ‘Ayah’ baruku bernama Bli
Ktut. Dia memindahkanku dari pot dan menamku dipojok depan rumahnya. Tangisku
mereda saat Bli Ktut mulai menyiramiku.
Cara dia menyiramiku tidak jauh beda dengan Bli
Made. Sejenak aku merasa tenang. Tangisku perlahan sirna. Setidaknya aku masih bisa
merasakan adanya cinta dirumah baruku ini.
Seminggu berlalu, tangisku sepenuhnya sirna. Tak hanya
Bli Ktut, keluarganya pun
menyayangiku. Dia kerap menyempatkan diri menyiramiku disela-sela kesibukannya bekerja.
Bli Ktut adalah seorang pegawai
swasta. Dia tinggal bersama istri dan anak laki-laki berumur delapan tahun. Sang
istri berwirausaha membuat kue-kue kecil. Mereka juga adalah keluarga kecil
yang sederhana. Sama seperti keluargaku yang lama. Walau sederhana, namun tetap
hangat oleh tawa dan cinta.
Semakin hari akar-akar mudaku semakin kokoh menancap
kedalam tanah. Batang dan dahanku juga pun demikian. Semakin kokoh meninggi. Daun-daun
yang tumbuh sangat rimbun. Kerimbunannya memberi keteduhan bagi pemilik rumah. Bentuk
balas jasa atas cinta yang mereka berikan. Hampir setiap enam bulan sekali pula
buah-buah menghiasi dahan-dahanku. Tidak terasa aku mulai beranjak remaja.
Begitu pun keluarga Bli Ktut. Sang kepala keluarga kini sudah menjabat manager. Bisnis
kue sang istri terus berkembang. Setiap hari hampir ada saja tetangga yang
datang memesan kue kesana. Sementara sang anak, sebentar lagi akan menghadapi
ujian akhir untuk tingkat SMP. Tak disangka memang. Waktu sedemikian cepat
berlalu.
Dahulu aku masih ingat dua tali ayunan bergantung di
salah satu dahanku. Sang anak laki-laki dengan riangnya bermain dibawah
rimbunnya daun-daunku. Kawan-kawan kecilnya pun ikut bergabung disana. Mereka
tertawa, berlarian, terkadang menangis apabila terjatuh. Aku sangat suka
melihat mereka kala itu. Sesekali sang anak bersama kawan-kawannya memanjat
dahanku. Mereka bersama-sama mengincar buah-buahku yang mulai menguning.
“Hati-hati!”
Demikian teriakku, apabila melihat salah satu dari
mereka memanjat dengan sembrono.
“Aduh!”
Itu yang kuteriakkan, saat tidak sengaja kaki-kaki
kecil mereka mematahkan batangku. Aku tahu mereka tidak sengaja. Karena itu,
aku tetap menyukai mereka.
Kini hampir tujuh tahun telah berlalu. Kesemua
keceriaan itu mendadak sirna. Kini sang anak laki-laki itu dan kawan-kawannya
sibuk dengan aktifitas belajar mereka. Matahari belum terbit dengan sempurna,
sang anak sudah berangkat ke sekolah. Kala matahari telah terbenam, sang anak
baru kembali pulang. Demikian seterusnya. Sesekali aku mengintip dengar apa
saja aktifitas sang anak diluar sana. Sepulang sekolah, berbagai macam les
sudah menanti. Dari les matematika, fisika, kimia, biologi dan ilmu pasti
lainnya. Belum lagi jadwal les sekolah untuk mata pelajaran selain ilmu-ilmu pasti
tadi. Itu semua mereka lakukan demi mengejar nilai ujian akhir yang
setinggi-tingginya. Itu pun belum ditambah lagi jadwal les bahasa inggris dan
bahasa asing pendukung lainnya. Katanya mahir berbahasa asing bisa menjadi
bekal saat memasuki dunia kerja. Apakah memang sedemikian kerasnya kah dunia
pendidikan manusia? Aku sendiri tidak mengerti. Ingat, aku ini hanyalah sebuah
pohon mangga. Aku tidak menyalahkan sistem pendidikan. Sungguh, tidak. Aku hanya
merindukan gelak tawa mereka yang dulu sering kudengar.
“Kena!”
Teriak seorang anak ketika menemukan tempat
persembunyian anak lainnya.
“Ah, curang kamu belum menghitung sama sepuluh tadi.”
Anak yang tertangkap tadi protes. Anak yang dituduh balik
mengajukan protes.
“Sudak kok, kamu saja yang tidak dengar.”
Terjadilah adu mulut diantara mereka. Kawan-kawan
mereka yang lain terpaksa keluar dari persembunyian untuk melerai. Semuanya
berkumpul dan menyimak apa yang baru saja terjadi. Anak yang bertugas menjaga menyampaikan
cerita versinya. Anak yang bersembunyi pun menyampaikan pula cerita versinya.
Kumpulan anak-anak lain berlahan terpecah menjadi dua kubu. Kedua kubu saling
mengamini cerita masing-masing dari anak yang bertikai. Aku sendiri tidak
mendukung siapa-siapa. Aku hanya penonton. Mereka bahkan tidak sadar
keberadaanku. Dimata mereka aku hanyalah sebuah pohon mangga.
Perselisihan terus berlanjut. Akhirnya masing-masing
kubu bersepakat memilih salah seorang dari mereka untuk bertindak sebagai
wasit.
“Aku memilih Wira.” Teriak seorang anak.
“Tidak aku lebih suka Eka.” Teriak anak lainnya.
“Kenapa tidak Putra saja.” Anak lainnya lagi
menimpali.
Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka. Tanpa mereka
sadari mereka sudah belajar berdemokrasi. Akhirnya terpilihkan satu orang untuk
mereka sepakati sebagai wasit. Diskusi alot terjadi. Diakhir diskusi itu pun
berhasil mencapai titik temu. Dua anak yang berselisih paham kembali saling
rangkul. Dua kubu yang juga sempat berbeda pandangan melebur kembali menjadi
satu. Tidak ada aksi saling dorong. Tidak ada aksi lempar meja. Tidak ada aksi kekerasan.
Tidak seperti yang biasa aku saksikan di televisi di ruang keluarga. Mungkin orang-orang
dewasa di negeri ini perlu belajar dari anak-anak kecil ini. Gelak tawa kembali
terdengar. Mereka kembali bermain dengan cerianya. Aku menyukainya. Sungguh
menyukainya.
Betapa aku merindukan masa-masa itu. Kini semuanya
terasa berbeda. Anak-anak kecil telah menjelma menjadi remaja. Dahulu mereka bermain
bersama, namun kini mereka lagi saling menyapa. Mereka semua kini terfokus mengejar
nilai-nilai pada ijasah. Dilupakannya nilai-nilai yang pernah tumbuh dari
kebersamaan mereka dulu. Tidak heran semakin hari manusia semakin individualis.
Sistem negeri inilah yang membentuknya. Ah, bicara apa aku ini. Hampir aku
melupakan kondratku sebagai pohon mangga.
Waktu terus berlalu. Hari berganti hari. Bulan
berganti bulan. Aku telah tumbuh dewasa. Demikian pula sang anak laki-laki.
Sosoknya tidak bisa lagi kulihat. Dengar curi dengar dia katanya merantau
keluar pulau untuk melanjutkan studi. Aku pun berdoa semuga dia sukses disana. Kini
di rumah kecil ini hanya tinggal sang suami dan sang istri. Kurasa kini waktu menjadi
berjalan sedikit melambat.
Hingga suatu siang, entah dihari apa. Aku tersentak
dari tidurku karena mendengar suara kegaduhan. Aku melihat Bli Ktut memeluk istrinya yang menangis. Bli Ktut terlihat berusaha menenangkannya. Didepan mereka berdiri seorang
laki-laki bertubuh gempal. Dibelakangnya berdiri tiga orang laki-laki lain
bertubuh tak kalah besar. Aku mengenal salah satu dari laki-laki itu. Dia
adalah Bli Gede, kakak kandung dari Bli Ktut. Dia sesekali datang ke rumah
ini, entah berapa kali tepatnya. Sangat jarang seingatku. Ada apa dengan segala
keributan ini? Seperti kebiasaanku selama ini, aku pun mencuri dengar obrolan
diantara mereka.
“Bli, tega
sekali Bli mengusir kami dari rumah
kami sendiri.”
“Bapa,
menyerahkan sertifikat rumah ini kepadaku. Jadi sekarang aku berhak atas tanah
dan rumah ini.”
“Tapi Bli, Bapa tidak pernah mengatakan hal ini
sebelum Beliau meninggal.”
“Halah, pokoknya aku kasih kalian waktu seminggu untuk
pergi, kalau tidak ingin masalah ini aku lanjutkan ke ke pengadilan.”
Pengadilan? Aku tersentak untuk kedua kalinya hari itu.
Bukankah mereka bersaudara? Kenapa masalah keluarga sampai harus diselesaikan
di pengadilan? Aku benar-benar tidak habis pikir. Setahuku, Bli Ktut adalah anak bungsu dari empat
bersaudara. Bli Gede adalah saudara
tertua. Kedua kakak Bli Ktut lainnya
adalah wanita. Kedua kakak wanitanya sudah menikah. Dalam silsilah keluarga keduanya
kini berstatus kejuang. Dalam
silsilah purusa yang dianut oleh
masyarakat Bali, keduanya memang tidak berhak atas warisan keluarga. Ini tentu
berbeda dengan status Bli Ktut. Seharusnya
ia juga memiliki hak atas seluruh waris yang ada.
Sungguh Bli
Ktut adalah laki-laki yang terlalu baik. Dia bersama istri memilih pindah
ketimbang berkelahi dengan saudara kandungnya. Terakhir aku dengar mereka
pindah keluar kota. Mengontrak sebuah rumah disana. Tepat empat hari setelah
kejadian siang itu adalah hari terakhir aku melihat Bli Ktut. Cinta dirumah ini pun sirna akibat ketamakan manusia.
Kini rumah kecil ini kosong tak berpenghuni.
Hampir enam bulan kesepian menyelimutiku. Halaman
rumah yang semula indah, kini terlihat berantakan. Daun-daunku yang berguguran
tertiup angin turut menambah kusam segalanya. Biasanya setiap pagi dan sore,
istri Bli Ktut rutin menyapu halaman.
Bli Ktut sendiri membantunya dengan ikut
menyiramkan tanaman. Kemana orang-orang? Kenapa tidak ada lagi yang datang dan
menyiramkan cinta di rumah ini? Tanyaku dalam hati.
Bli Gede, sebagai ‘pemilik’ baru rumah ini jarang sekali
datang. Hanya beberapa kabar angin yang sekilasku dengar tentang Bli Gede. Kudengar dia terlalu sibuk
berfoya-foya dengan hasil warisan yang didapatnya. Cafe demi cafe yang telah
berakar di Bali, satu persatu menjadi tempat persimpangan Bli Gede. Tajen demi tajen, kini sudah menjadi aktifitas rutin sehari-harinya ‘mencari
nafkah’. Arak, tuak dan minuman keras impor dikonsumsinya sebagai pengganti
nasi. Obat-obatan terlarang juga sesekali ditenggaknya. Prihatin aku
mendengarnya. Namun, tidak demikian dengan Bli
Gede. Dia terlihat santai menjalani semua itu karena merasa dibekingi. Bli Gede berkawan baik dengan petinggi-petinggi
organisasi kemasyakaratan yang juga kian berakar di Bali. Dengan jaminan itu
dia merasa bisa berbuat seenaknya. Dia merasa aman dari jamahan aparat-aparat penegak
hukum. Semakin prihatin aku mendengarnya.
Sampai akhirnya semua yang dimilikinya sirna. Tidak
ada lagi yang tersisa dari Bli Gede,
termasuk keluarga. Uang warisan apalagi. Kabar angin yang terakhir kudengar, Bli Gede meringkuk ditahanan. Dia
terlibat perkelahian antar organisasi kemasyarakatan. Hari itu dia menusuk
salah satu diantara mereka yang terlibat perkelahian. Orang itu mati. Naas
benar memang nasib Bli Gede. Sudah
masuk bui, hutang-hutang pun menggerogoti. Kudengar pula sertifikat rumah ini
kini telah berpindah tangan. Entah kepada siapa. Angin rupanya tidak cukup
kencang bertiup untuk membawa kabar tersebut. Sepertinya aku harus sabar
menunggu. Menunggu siapa nantinya akan menjadi keluarga baruku.
****
Rumah ini akhirnya resmi menjadi milik orang lain.
Mereka adalah keluarga dari seberang pulau. Mereka dari ibu kota, Jakarta. Mereka
membelinya dengan sangat murah. Semua semata karena kebodohan seseorang yang
tidak menghargai apa yang dimilikinya. Awalnya aku sedikit skeptis dengan
kehadiran keluarga tersebut. Apalagi kudengar mereka tinggal tak akan lama, tak
sampai dua tahun. Sang kelapa keluarga, Pak Slamet, adalah seorang Hakim. Profesinya
menyebabkan dia tidak mungkin menetap lama disuatu tempat. Dia datang bersama
istri dan ketiga putrinya.
Sedikit pertanyaan dibenakku kala itu. Kenapa seorang yang
berprofesi sebagai penegak hukum mau tinggal di rumah kecil seperti ini? Bukankan
buat mereka uang bukanlah masalah. Rumah dengan ukuran tiga kali lipat dari
rumah ini dapat mereka beli. Waktu jua yang akhirnya menjawab pertanyaanku itu.
Tidak seperti mereka yang berprofesi sebagai penegak
hukum kebanyakan di negeri ini. Pak Slamet termasuk kategori pejabat bersih. Secara
tegas dia menyatakan untuk tidak menerima suap ataupun gratifikasi. Dia selalu memutus
sebuah perkara dengan perundang-undangan dan hati nurani. Dia percaya bahwa
dirinya adalah wakil Tuhan di dunia ini. Untuk itulah keadilan adalah
prinsipnya. Inilah yang kemudian menjawab pertanyaanku diawal. Karena
prinsipnya ini, tidak sedikit yang menyukai sosok Pak Slamet. Tidak sedikit
pula yang merasa tidak nyaman dengan keberadaannya.
Kesepian kini tidak lagi menggelayutiku. Kini ada
keluarga kecil lain yang telah menemaniku. Keluarga Pak Slamet sangat teliti
menjaga lingkungan mereka, termasuk diriku. Aku menyukai mereka. Demikian pula
dengan tetangga-tetangga disekitar mereka. Walau berstatus pendatang, namun Pak
Slamet bisa berbaur dengan masyakarat disana. Kedermawanannya juga kerap menuai
pujian. Dia sering menyumbang untuk kegiatan banjar dan kepemudaan.
Semuanya terlihat akan berjalan dengan baik. Sampai
suatu waktu dimana aku dengar sebuah pembicaraan menyedihkan.
“Apa Pak, Bapak dimutasi?”
“Iya Bu.”
Kudengar helaan nafas panjang.
“Kenapa mendadak begini Pak. Ini pasti ada hubungannya
dengan kasus korupsi yang Bapak putus kemarin kan?”
“Sudahlah Bu, jangan menduga-duga seperti itu. Tidak
baik.”
“Kalau pun itu benar Pak, Bapak harus tahu kalau Ibu
bangga dengan Bapak.”
“Terima kasih Bu.”
Mereka berpelukan. Anak-anak mereka menyusul
memberikan pelukan.
Sungguh ironis memang nasib Pak Slamet. Mungkin memang
susah untuk menjadi penegak hukum berpredikat bersih di negeri ini. Keinginan
murni untuk mengabdi, namun mereka justru dicaci, dimutasi dan dikriminalisasi.
Mungkin saja masih banyak Pak Slamet-Pak Slamet lain yang bernasib sama di
negeri ini. Sejenak aku bersyukur terlahir sebagai pohon mangga. Paling tidak
diantara kami tidak pernah saling menyakiti. Tidak pernah saling menjatuhkan.
Tidak pernah saling membenci.
Pertemuanku dengan keluarga kecil Pak Slamet memang tidak
lama. Jauh dari prediksiku semula, dua tahun. Singkat memang, namun sangat
patut untuk dikenang. Semoga saja sosok Pak Slamet lainnya akan terus lahir di negeri
ini. Negeri ini sungguh butuh sosok seperti ini.
****
Pasca kepergian keluarga Pak Slamet, rumah kecil ini
kembali tak berpenghuni. Hanya sekali waktu dua atau tiga orang datang melihat
rumah ini. Aku sendiri tidak tahu siapa yang kini berstatus memiliki rumah ini.
Kabar terakhir yang aku dengar, sertifikat rumah ini dimiliki oleh seorang pengusaha.
Aku sendiri tidak pernah melihat sosoknya.
Pernah ada seorang mahasiswa menyewa rumah ini selama
setahun. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan darinya. Kala itu rumah ini hanya
bak rumah singgah baginya. Aktifitasnya pun tidak jauh-jauh dari perkuliahan.
Pernah juga rumah kecil ini disewa oleh pasangan muda. Kalau tidak salah untuk
jangka waktu satu tahun pula. Tidak banyak pula yang bisa kuceritakan tentang
mereka. Mereka memutuskan pindah setelah kelahiran anak pertama mereka.
Setelah itu hampir tidak ada cerita lagi yang bisa
kuceritakan. Rumah ini tetap kosong tidak berpenghuni. Cat-cat temboknya mulai
terkelupas terpapar matahari. Beberapa sudut atap terlihat bocor dikala hujan
turun. Rumput-rumput di halaman mulai tumbuh semakin panjang. Beberapa sarang
laba-laba terlihat dipojok-pojok ruangan. Bagaimana dengan diriku? Aku mencoba untuk
tetap hidup. Hidup seiring berjalannya waktu, dalam kesendirian.
****
Kini usiaku telah semakin renta. Entah berapa tahun sudah
aku menjalani hidupku. Mungkin sisa hidupku kini bisa dihitung dengan jari. Rayap
sudah mulai bersarang dibatang dan dahanku. Buah sudah semakin jarang
bergelayut di dahan-dahanku. Daun-daunku kini sudah tidak pula selebat dulu. Sementara
itu rumah kecil ini masih saja terkukung dalam kesunyian. Aku sadar waktuku
sudah tidak akan lama lagi. Mungkin ini adalah akhir dari segalanya, pikirku. Pun
kupasrahkan segalanya pada kehendak-Nya. Tapi tunggu…
Sebuah mobil terlihat berlahan memasuki halaman.
Sepasang manusia, laki-laki dan perempuan keluar dari dalamnya. Senyum si
perempuan terkembang lebar. Dipeluknya si laki-laki dengan hangat.
“Ini calon rumah baru kita, Gek.”
“Bagus banget, Bli.”
“Kamu suka?”
Si perempuan mengangguk.
“Perlu sedikit perbaikan sih, tapi tiang suka.”
Sebuah ciuman mendarat di pipi si laki-laki.
Aku merasakan nuansa cinta yang kuat disana. Nuansa
cinta yang selalu kudamba. Nuansa cinta yang sudah lama tak kurasa. Mungkin cerita
ini belumlah sampai dititik akhir. Mungkin akan ada cerita lain lagi yang akan
bisa disampaikan si pohon mangga tua ini. Mungkin…
@dewadarmayana
Tanjung Bungkak, Menyambut terbitnya matahari 24 April 2015.
Workshop Cerpen Kompas 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar