Minggu, 29 Desember 2019

Masa Lalu Yang Kembali Bertemu


Hari itu matahari seolah lagi ingin menyombongkan kekuatannya. Buliran keringat membasahi wajah, leher, dan hampir sekujur tubuhku. Sudah sangat cukup menggambarkan bagaimana teriknya hari itu. Meski waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Tidak dapat lagi dibilang siang. Mereka yang tidak kuat sedari tadi sudah mencari tempat berteduh. Hanya sedikit saja yang masih bertahan. Salah satunya ya diriku ini. Masih bertahan aku menjelajahi areal seluas hampir 3,9 hektar tersebut. Ini bukanlah kali pertama aku datang ke tempat itu. Namun setiap kali datang, akan selalu aku dibuat kagum dengan keberadaannya. Lima buah bangunan berbentuk mirip stupa yang menjulang, akan langsung menarik perhatian mata siapapun yang datang. Tidak percaya kalau bangunan itu sudah berusia 856 masehi. Sudah sangat tua, tapi masih sangat berwibawa. Candi Prambanan, nama bangunan tersebut. Warisan budaya asli Indonesia, berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah.
Sebenarnya aku tak punya rencana berkunjung ke Candi Prambanan. Tujuan awalku datang ke Yogyakarta adalah untuk bekerja, bukan untuk liburan. Kebetulan pekerjaanku itu selesai lebih awal, jadi aku punya tambahan waktu sehari untuk berkeliling. Menikmati lagi keindahan kota Yogyakarta. Sebuah kota yang tercatat dalam sejarah, pernah menjadi ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah kebanggan yang luar biasa tentunya. Candi Prambanan ini menjadi tujuan keliling terakhirku, sebelum besok pagi kembali ke Jakarta lewat Bandara Adi Sucipto. Sengaja aku lakukan, karena ingin menikmati senja di Candi Prambanan. Sedari dulu, aku sudah jatuh cinta dengan suasana senja di tempat ini.

Sabtu, 14 September 2019

Gundala – Kiprah Patriot Perdana


Gundala
Siang ini akhirnya saya kembali ke bioskop, setelah sekian lama vakum karena faktor anggaran yang tipis. Nonton jadi kebutuhan nomor sekian yang musti dipenuhi. Namun khusus untuk film ini, saya sudah menunggunya sejak dari lama. Lebih karena ingin memuaskan rasa penasaran. Bagaimana sih kiprah dari patriot perdana Indonesia, GUNDALA. Tokoh ‘superhero pelopor, yang mencoba untuk menyeruak di antara gendre perfilman mainstream, cinta-cintaan dan hantu-hantuan.
Secara garis besar, alur film Gundala dimulai dari seorang bocah bernama Sancaka. Ayahnya seorang buruh pabrik, sedang ibunya hanya mengurus rumah tangga. Mereka hidup sangat pas-pasan. Ditambah, sang ayah lagi berkonflik dengan bos pabrik tempatnya bekerja. Dia menjadi pemimpin gerakan demo buruh. Akibat sebuah konspirasi antar pekerja, akhirnya sang ayah meninggal dunia. Garis kehidupan Sancaka kian memburuk, ketika sang ibu menghilang sewaktu pergi ke kota untuk mencari kerja. Sancaka kecil pun mulai hidup menggelandang. Terjebak dalam kerasnya kehidupan jalanan.
Sampai suatu hari, Sancaka bertemu dengan Awang, yang menolongnya ketika bertikai dengan sebuah geng anak jalanan. Agar tidak terus ditindas, Awang mengajarkan Sancaka cara membela diri. Sayangnya, pertemuan itu berlangsung singkat. Mereka berpisah saat hendak menaiki kereta api menuju ke Tenggara.

Kamis, 12 September 2019

01 Malam Kelahiran


MENJELANG senja mendung semakin tebal bergelayut menghiasi langit. Senja yang biasanya berwarna jingga mempesona, hari ini berganti hitam nan kelam. Sepertinya hanya persoalan waktu kapan hujan akan turun. Itu pun ternyata tidak begitu lama. Awan kelabu sepertinya tidak kuat lagi menahan muntahan air hujan. Tetes demi tetesnya mulai berjatuhan. Perlahan menjadi semakin deras dan deras. Angin yang menderu ikut membuat suasana semakin seru. Seakan tidak ingin ketinggalan mendramatisir keadaan, kilat dan guntur ikut bergantian timbul dan tenggelam. Langit tidak henti-hentinya bercahaya dan bergemuruh. Sampai akhirnya malam sepenuhnya menggantikan senja.
Malam itu Wira tidak bisa tidur. Suara kilat yang terakhir terdengar terlalu memekakkan telinga. Seakan-akan kilat itu menyambar hanya beberapa meter dari kamar. Menakutkan sekali untuk seorang anak yang baru berumur empat tahun. Wira menarik selimut sampai menutupi wajah. Meringkuk dia di dalam sana. Berharap kegaduhan di luar akan segera berlalu.
Di dalam “hiruk pikuk” suasana di atas sana, sayup-sayup telinga Wira menangkap suara-suara. Bermula dari suara dering telepon, kemudian disusul suara ayah dan ibunya. Malam yang riuh kini jadi semakin riuh. Entah apa yang keduanya bicarakan tengah malam begini. Sepertinya cukup serius. Wira tahu itu dari nada bicara ayahnya. Nada suara sedikit meninggi dan memburu. Itu berarti ada kepanikan yang sedang terjadi. Ada apa gerangan? Tanyanya dalam hati. Rasa takut yang tadi melanda, kini berganti rasa penasaran. Sampai pintu kamar terbuka dan lampu menyala. Sang ibu muncul dan menyingkap selimut.
“Nak, kita berangkat ke rumah sakit.” Hanya itu yang diucapkan oleh sang ibu. Dia minta Wira untuk segera bersiap-siap. Mereka akan segera berangkat. Di malam, dimana hujan sedang deras-derasnya.
Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Bertanya-tanya lagi Wira dalam hati.

Senin, 09 September 2019

Impian Tiga Generasi


MATA Gunawan memandang nanar ke arah sebuah gedung berlantai dua. Ke arah anak-anak yang sedang berhamburan keluar dari pintu gerbangnya. Seharusnya dirinya menjadi bagian dari mereka. Memakai seragam putih biru, dan bukannya menaiki sepeda ontel berkeliling mengantarkan koran. Setiap kali melewati gedung sekolah tersebut, Bambang selalu berhenti sesaat. Sesaat merenungkan impiannya yang kandas. Dia ingin sekali melanjutkan bersekolah, ke tingkat yang lebih tinggi ketimbang hanya sekolah dasar. Namun, ayahnya hanya seorang buruh pabrik dan ibunya berjualan di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja sudah sangat sulit. Untuk impiannya harus mengalah. Meski bukan berarti musti musnah.
“Gun!”
Seorang perempuan muda bertubuh tinggi semampai, melambai ke arahnya. Gunawan melempar senyuman, lalu menuntun sepedanya mendekat.
“Hari ini mau ikut belajar bareng lagi?”
Gunawan mengangguk mantap.
Gadis tersebut adalah Marina, sahabatnya sewaktu di sekolah dasar. Nasib Marina jauh lebih baik dari Gunawan. Dia bisa lanjut bersekolah tanpa perlu memikirkan persoalan biaya. Setiap kali ada kesempatan, Gunawan sekali waktu diajak belajar bersama oleh Marina. Dari sahabatnya itu, paling tidak, dia jadi tahu apa saja pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah menengah pertama. Kadang ada kalanya pula, Marina meminjamkan buku-buku bacaan dari perpustakaan untuk Gunawan. Orang tua Marina tidak masalah dengan hal itu. Mereka justru senang anak gadisnya memiliki teman belajar. Dari beberapa pelajaran yang ada, Gunawan sangat tertarik dengan Matematika dan Bahasa Inggris. Berkebalikan dengan Marina. Itulah kenapa mereka jadi saling melengkapi.

Kamis, 18 Juli 2019

Ada Cinta di Pulau Dewata


SELAMA hampir satu jam penerbangan Mira hanya termenung. Sebenarnya pria yang duduk di sebelah kiri, sedari awal mencoba untuk menjalin pembicaraan dengan dirinya. Hanya saja, Mira sedang tidak ingin mengobrol. Terus ditimpali dengan jawaban pendek-pendek, akhirnya si pria menyerah juga. Akhirnya Mira bisa tenang berkutat dengan dirinya sendiri. Isi kepalanya penuh dengan kilasan-kilasan kejadian. Berputar-putar random membuat kepala menjadi terasa pening dan berat. Semua keruyetan itu bermuara pada sebuah nama. Ridwan. Kekasih Mira, atau lebih tepatnya kini adalah mantan kekasih.
Sebuah pertengkaran hebat minggu yang lalulah, yang membuat Mira ada di pesawat ini. Untuk sejenak bisa terlepas dari bayang-bayang Ridwan. Mumpung akhir pekan kali ini sedang berpihak padanya. Lima tanggal merah yang berjejer indah di kalender. Sebuah “anugerah” yang sangat jarang didapatkan, oleh seseorang yang berprofesi sebagai pegawai swasta seperti dirinya. Bali menjadi pilihan Mira untuk mengisi liburan. Bagi beberapa orang, mungkin saja Bali adalah tempat liburan yang sudah sangat mainstream. Sudah terlalu biasa, dan sudah tidak lagi terasa istimewa. Namun tidak bagi Mira. Baginya, Pulau Dewata akan selalu menjadi tempatnya untuk mencari ketenangan jiwa.
“Apa maksudmu aku harus berhenti bekerja?”
“Iya. Kalau kita menikah nanti aku mau kamu berhenti kerja.”
“Kita kan sudah sering membahas ini.”
“Kita akan bahas lagi. Lagi dan lagi, sampai kamu menuruti kemauan aku.”
“Aku tidak mau. Dan aku sudah bosan.”
Itu hanya sekelumit isi dari pertengkaran malam itu. Sekiranya tidak perlu dikutip sampai ke hardikan ataupun umpatan yang sempat terlontar. Itu hanya satu pertengkaran lain, di antara pertengkaran-pertengkaran yang sudah sangat sering terjadi. Persoalannya selalu sama setiap kali terjadi. Seorang pegawai muda seperti Mira, yang baru saja merintis karir, tentu tidak ingin masa depannya terganggu. Sedang di sisi lain, Ridwan merasa dirinya telah dijadikan pilihan kedua, setelah karir Mira. Dia tidak mau menjadi pilihan kedua. Dia ingin Mira nantinya menjadi istri yang sepenuhnya mengurusi rumah. Dua keinginan yang saling bertolak belakang. Mira tidak mau menurut. Pun demikian dengan Ridwan yang tidak mau bergeming. Jadilah dua perbedaan ini terus bergesekan dan bertabrakan, dan tidak kunjung berkesudahan.

Senin, 03 Juni 2019

Dunia Maya 01


01
DENGAN penuh semangat Maya berlarian lincah sepanjang areal perkebunan. Perkebunan yang selama ini diurus oleh kedua orangnya. Mereka hanyalah sebagai petani penggarap. Kebun yang lebih menyerupai hutan produksi tersebut adalah milik seorang pejabat di kota. Kenapa banyak orang  menyebutnya sebagai hutan? Karena kebun puluhan hektar itu dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi, dan juga semak belukar. Memang lebih menyerupai hutan ketimbang kebun. Pepohonan hijau yang ada, di kebanyakan dominasi oleh pohon apokat, durian, cengkeh dan kopi. Maya sangat suka berada di kebun tersebut. Udaranya sangat segar, lantaran berada di ketinggian bukit. Bukit Intaran, begitu orang disekitar menyebutnya. Kemanapun kita memandang, semua yang ada seakan memanjakan mata. Orang-orang mungkin melihat tempat ini sebagai kebun ataupun hutan. Namun bagi Maya, tempat ini adalah arena bermain yang sangat menyenangkan.
Maya dan bukit Intaran seolah memiliki ikatan batin. Bagaimanapun dia bisa dikatakan tumbuh besar bersama bukit tersebut. Sebagian hari sedari kecil dihabiskan di tempat itu. Setiap jengkalnya sudah dihapal di luar kepala. Areal mana yang aman untuk dilalui, dan bagian mana yang rawan bagi keselamatan. Memanjati pohon-pohon tinggi yang ada di kebun juga sangat fasih lakukan Maya. Tumpukan buah-buah apokat yang kini lagi disortir, adalah hasil aksi panjat memanjat yang dia lakukan seharian.
“Maya sini sebentar, bantuin ibu ngepak buah ke karung.”
“Iya Bu, sebentar...”
Deretan tangkai mawar yang mulai digelayuti kuncup-kuncup mungil, menyedot perhatian Maya sedari tadi. Kuncup yang akan segera bertransformasi menjadi bunga yang indah. Mereka sudah dianggap Maya sebagai anak sendiri. Akan sangat indah, seandainya di tengah hutan ada warna-warna yang berbeda selain hijau. Itu yang mendasari dia untuk menanamnya. Mumpung ada beberapa meter tanah kosong yang bisa dimanfaatkan.

Minggu, 19 Mei 2019

Rahasia Salinem – Sebenarnya Setiap Manusia Punya Rahasia


Rahasia Salinem
Beberapa bulan tersimpan dengan rapi, akhirnya novel Rahasia Salinem ada di tangan juga untuk selesai dibaca sampai bab terakhir. Saya orangnya memang seperti itu. Mumpung ada rejeki dibeli saja dulu. Soalnya saya bukan manusia yang punya penghasilan rutin setiap bulan, seperti manusia ‘normal’ lainnya. Bacanya kan bisa nanti saja kalau punya waktu kosong. Dan tiga hari lalu, waktu ‘kosong’ itu tiba. Kerjaan sudah selesai. Mau jalan-jalan belum ada anggaran. Mau nonton tidak ada yang menarik perhatian. Akhirnya bongkar-bongkar tumpulan novel. Disanalah Rahasia Salinem menampakkan dirinya. Setelah ‘menanti’ cukup lama.
Sebenarnya novel ini sudah sempat saya baca empat bab, secara online, lewat situs storial.co. Dan saya sangat tertarik dengan gaya penulisan dari penulisnya. Tapi begitulah, saya tergolong tipe old fashion kalau soal membaca buku. Harus dipegang di tangan, terus dibacanya sambil goleran santai. Kadang duduk, kadang tiduran, kadang kayang. Banyak gaya deh pokoknya hehehe... Kalau baca dilayar laptop atau ponsel, mata saya jadi cepat lelah. Tidak kuat dengan radiasi cahayanya. Maka, saya tunggu saja edisi cetak Rahasia Salinem mulai dipasarkan.
Edisi cetak Rahasia Salinem keluar dua tipe, hard cover dan soft cover. Punya rejeki lebih, saya beli saja yang hard cover. Kenapa? Karena saya tahu kalau menulis novel (bagus) itu sangat susah – berkali-kali mencoba, tidak pernah juga berhasil. Dan saya juga tahu kualitas cerita novel ini bagus, tidak akan mengecewakan.

Kamis, 09 Mei 2019

Tukang Jagal Itu Bernama Sensor Film


Ave Maryam
Bulan April 2019 terdengar kabar akan tayang tiga film Indonesia, yang telah wara-wiri di ajang festival film internasional. Ketiga film ini bahkan menggaet penghargaan di ajang-ajang tersebut. Penasaran dong saya dibuatnya. Film-film tersebut antara lain: Ave Maryam, Kucumbu Tubuh Indahku, dan 27 Steps of May. Sempat saya dengar juga kalau ketiga film ini berjuang keras agar bisa tayang di bioskop. Kenapa? Karena ketiganya mengangkat tema yang tergolong ‘sensitif’ untuk kriteria perfilman Indonesia. Film-film ini ‘terpaksa’ harus melewati hadangan Lembaga Sensor Film (LSF). Akibatnya, ketiganya pun harus rela kena ‘mutilasi’ dari sang ‘tukang jagal’. Siapa korbannya? Tentu saja saya, dan semua penonton bioskop lainnya. Sudah keluar uang yang tidak sedikit, tetapi tidak mendapat tayangan film yang penuh.
Tidak usah kita bahas tentang LSF ini. Mereka hanya melaksanakan tugas, sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pembuat undang-undang saja yang ‘sedikit’ lebay mengatur akhlak pribadi warga negara.
Kita mulai saja dari film pertama, AVE MARYAM. Urutan ini saya susun berdasarkan tanggal penayangan. Sesuai judulnya, film ini berkisah mengenai kehidupan seorang biarawati bernama Maryam (Maudy Koesnaedi). Sebuah film yang indah, itu kesan yang saya dapat saat menonton. Tone warna, setting tempat dan waktu, ditampilan secara teramat elegan. Tidak hanya suasana gereja sebagai latar utama, tetapi latar-latar pendukungnya pun tidak kalah indah.

Minggu, 24 Maret 2019

Partikel – Memahami Hayati Melalui Fiksi


Novel yang akan kita bahas kali ini adalah Partikel. Seri keempat dari semesta Supernova, karya Dee Lestari. Dibutuhkan waktu delapan tahun, bagi Partikel untuk hadir menemui pembacanya. Sebuah jangka waktu yang amat panjang untuk memproduksi sebuah karya. Menurut penulisnya, dalam durasi tersebut, Partikel digodok, digarap, dimatangkan dan ditransformasi menjadi kata-kata. Tidak sia-sia menanti selama sewindu, karena Partikel menjelma sebagai seri Supernova yang paling meninggalkan kesan. Paling tidak menurut saya. Meski dibaca berulang-ulang, kesan itu tetap tidak juga hilang.
Partikel
Partikel diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka). Pada Agustus 2017, novel ini sudah dicetak ulang sebanyak enam kali. Memiliki total halaman, kurang lebih 490 lembar. Sama seperti seri lainnya, novel ini juga memiliki tampilan simbolnya sendiri. Simbol berwarna hijau, berupa lingkaran dengan tanda palang di tengahnya. Kenapa hijau? Mungkin, karena novel ini mengajak untuk memahami dunia hayati melalui fiksi. Iya, Partikel mengajak kita untuk sejenak menoleh ke sekitar. Ke Bumi di mana kita bertumbuh, beserta dengan segala makhluk yang ada di dalamnya. Termasuk manusia, tentunya.

Senin, 18 Maret 2019

Captain Marvel – Jembatan Menuju Pertarungan Pamungkas


Captain Marvel
Bulan Maret ini, Marvel kembali merilis film superhero. Captain Marvel, begitu judulnya. Film solo pertama yang tokoh utamanya seorang wanita. Carol Danvers, seorang pilot pesawat tempur yang secara tak sengaja mendapatkan kekuatan super. Untuk aksi dan kualitas olah gambar, tidak perlu lagi diragukan. Kolaborasi antara Marvel dan Disney memang belum ada tandingannya, khusus untuk film superhero. Cuma sayangnya Captain Marvel tidak menginggalkan kesan apa-apa ketika selesai ditonton. Bagi saya pribadi sebagai penonton awam, film ini hanya sebatas jembatan menuju pertarungan pamungkas - Avengers: End Game. Tidak lebih, tidak kurang. Mereka butuh Captain Marvel untuk melawan Thanos. Nggak mungkin dong sang Kapten muncul begitu saja, iya kan? Maka dari itu film ini dibuat.
Begitu film dimulai, langsung menceritakan Vers, a.k.a Carol Danvers (Brie Larson) sudah jadi anggota dari pasukan elit bangsa Kree. Masih on trainning sih, cuma dinyatakan siap untuk tugas perdananya. Tugas itu adalah untuk menghadapi serangan bangsa Skrull, di daerah perbatasan. Apesnya, baru juga tugas pertama eh Vers malah tertangkap. Skrull kemudian ‘membajak’ isi kepala Vers, guna mencari sebuah informasi rahasia. Di sinilah, muncul kilasan-kilasan ingatan masa lalu. Penonton diajak menyelami sekelumit kisah hidup seorang Carol Danvers.

Jumat, 01 Februari 2019

Problematika Bidadari Angkasa 2


Kisah mbak Jingga ternyata berlanjut! Itu yang terlintas dipikiran, saat saya melihat Novel Diary Pramugari 2: Pilot, Pramugari & Penumpang. Novel yang tidak sengaja tertangkap lirikan mata, di rak sebuah toko buku. Memang sejak dulu tertarik dengan kisah hidup mbak Jingga, novel ini langsung saya ambil tanpa pikir panjang. Bayar di kasir, langsung di bawa pulang.
Diary Pramugari 2
Oya, judul tulisan ini saya samakan dengan tulisan pertama. Cuma ditambahkan angka 2 (dua) di belakangnya, biar terkesan seperti sinetron atau FTV gitu hehehe... Buat yang belum tahu tulisan saya tentang kisah hidup awal mbak Jingga, bisa dibaca di sini.
Sebelum kita bahas lanjutan kisah hidup mbak Jingga, mari bahas dulu penampilan fisik dari Novel Diary Pramugari 2. Tidak banyak yang berbeda dari tampilan depan. Masih menampilkan betis wanita yang memakai high heels warna merah. Ukuran novel kedua ini pun sangat identik, dengan novel pertama. Memakai dimensi 18,5 x 13 cm, sehingga nyaman untuk dipegang atau ditaruh di tas. Hanya kini tulisan judul memakai ‘sensasi’ huruf timbul, yang bisa terasa apabila diraba dengan jari. Perbedaan lainnya, tentu pada jumlah halaman yang lebih tebal. Novel kedua ini memiliki total 464 halaman. Edisi pertama yang saya pegang (Desember 2017), penerbitnya masih tetap Pohon Cahaya.

Selasa, 22 Januari 2019

Pura Dengan Pancaran Keindahan Yang Mempesona


Bali sangat identik dengan Pura. Bahkan, Bali mendapat julukan sebagai Pulau Seribu Pura. Di antara Pura-Pura tersebut, ada 6 (enam) Pura yang sangat penting dalam sejarah Bali. Keenam Pura yang lebih dikenal dengan nama Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad ini, antara lain: Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan Pura Pusering Jagat. Entah apa dasar keenam Pura ini dikelompokkan menjadi satu. Lalu apa bedanya dengan Dang Kahyangan? Maaf, belum saya temukan informasinya secara online. Nanti kalau saya temukan jawabannya, akan saya bahas lebih lanjut.
Kebetulan lima dari enam pura ini pernah saya datangi. Tinggal Pura Pusering Jagat saja yang belum. Tulisan ini saya tujukan untuk dua pura, yang telah mendapat tempat spesial di hati saya. Tentu saja, tanpa mengecilkan arti Pura-Pura Sad Kahyangan lain yang juga luar biasa. Kedua pura tersebut adalah Pura Barukaru dan Pura Lempuyang.
Kenapa saya suka dengan Pura Batukaru dan Pura Lempuyang? Karena, alam di sekitarnya yang masih sangat alami dan asri. Kedua Pura ini terletak di dua gunung, yaitu kaki Gunung Batukaru dan puncak Gunung Lempuyang. Keduanya dikelilingi oleh hutan yang hijau dengan hawa yang sangat sejuk. Selain itu, silakan percaya atau tidak, kalau kedua pura ini seolah-olah ‘memanggil’ saya. Iya, tidak tahu kenapa ada perasaan kalau keduanya “memanggil” saya, karena memang ketika itu saya belum pernah datang untuk bersembahyang (nangkil) ke sana.

Jumat, 04 Januari 2019

The Woman In Cabin 10


Satu lagi novel yang selesai saya baca. Judulnya sesuai dengan judul tulisan ini. The Woman In Cabin 10. Sebuah novel misteri, action, detektif, atau triller, entah yang mana yang sesuai untuk menggolongkan gendre dari novel ini. Novel ini saya pilih, ya karena memang lagi jenuh dengan tema cinta-cintaan. Butuh sesuatu yang seru dan mengajak untuk sedikit berpikir. Membuat ikut menebak-nebak alurnya akan dibawa kemana. Novel ini sepertinya sesuai dengan kriteria yang saya inginkan. Ambil, lalu bawa ke kasir.
The Woman In Cabin 10
Nuansa mencekam sudah terlihat dari sampul Novel The Woman In Cabin 10 ini. Hitam legam, ditambah kapal pesiar yang berlayar di atas lautan berwarna merah, semerah darah. Cukup jelas menggambarkan setting dan gambaran kasar terhadap alur cerita. Memiliki 469 halaman, itu pun belum termasuk halaman tambahan, membuat novel ini cukup tebal. Novel yang saya beli adalah cetakan kedua (Mei 2018). Sebuah novel terjemahan karya Ruth Ware, dimana penterjemahnya adalah Reni Indardini, dan penyunting adalah Yuli Pritania. Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika), dan disitribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU).
Apa lagi ya? Langsung ke alur aja deh ya.