Kamis, 18 Juli 2019

Ada Cinta di Pulau Dewata


SELAMA hampir satu jam penerbangan Mira hanya termenung. Sebenarnya pria yang duduk di sebelah kiri, sedari awal mencoba untuk menjalin pembicaraan dengan dirinya. Hanya saja, Mira sedang tidak ingin mengobrol. Terus ditimpali dengan jawaban pendek-pendek, akhirnya si pria menyerah juga. Akhirnya Mira bisa tenang berkutat dengan dirinya sendiri. Isi kepalanya penuh dengan kilasan-kilasan kejadian. Berputar-putar random membuat kepala menjadi terasa pening dan berat. Semua keruyetan itu bermuara pada sebuah nama. Ridwan. Kekasih Mira, atau lebih tepatnya kini adalah mantan kekasih.
Sebuah pertengkaran hebat minggu yang lalulah, yang membuat Mira ada di pesawat ini. Untuk sejenak bisa terlepas dari bayang-bayang Ridwan. Mumpung akhir pekan kali ini sedang berpihak padanya. Lima tanggal merah yang berjejer indah di kalender. Sebuah “anugerah” yang sangat jarang didapatkan, oleh seseorang yang berprofesi sebagai pegawai swasta seperti dirinya. Bali menjadi pilihan Mira untuk mengisi liburan. Bagi beberapa orang, mungkin saja Bali adalah tempat liburan yang sudah sangat mainstream. Sudah terlalu biasa, dan sudah tidak lagi terasa istimewa. Namun tidak bagi Mira. Baginya, Pulau Dewata akan selalu menjadi tempatnya untuk mencari ketenangan jiwa.
“Apa maksudmu aku harus berhenti bekerja?”
“Iya. Kalau kita menikah nanti aku mau kamu berhenti kerja.”
“Kita kan sudah sering membahas ini.”
“Kita akan bahas lagi. Lagi dan lagi, sampai kamu menuruti kemauan aku.”
“Aku tidak mau. Dan aku sudah bosan.”
Itu hanya sekelumit isi dari pertengkaran malam itu. Sekiranya tidak perlu dikutip sampai ke hardikan ataupun umpatan yang sempat terlontar. Itu hanya satu pertengkaran lain, di antara pertengkaran-pertengkaran yang sudah sangat sering terjadi. Persoalannya selalu sama setiap kali terjadi. Seorang pegawai muda seperti Mira, yang baru saja merintis karir, tentu tidak ingin masa depannya terganggu. Sedang di sisi lain, Ridwan merasa dirinya telah dijadikan pilihan kedua, setelah karir Mira. Dia tidak mau menjadi pilihan kedua. Dia ingin Mira nantinya menjadi istri yang sepenuhnya mengurusi rumah. Dua keinginan yang saling bertolak belakang. Mira tidak mau menurut. Pun demikian dengan Ridwan yang tidak mau bergeming. Jadilah dua perbedaan ini terus bergesekan dan bertabrakan, dan tidak kunjung berkesudahan.
Malam itu Mira pulang naik taxi, karena tidak mau melanjutkan pertengkaran itu di dalam mobil. Sebelum pengunjung cafe lain menjadikan mereka tontonan yang mengganggu. Sejak itu, Mira tidak pernah lagi mau bertemu Ridwan. Baginya, hubungan mereka sudah berakhir.
Deretan awan putih yang bergerak di sekitar sayap pesawat, kembali menarik alam pikiran Mira dari kejadian malam itu. Warnanya yang menyejukkan mata, membuat kondisi psikis Mira bisa kembali tenang. Itu saja yang dia inginkan saat ini. Hanya ingin sebuah ketenangan.
“Yakin kamu mau pergi sendirian aja? Nggak mau aku temenin?” Rina memastikan sehari sebelum kepergian Mira.
Sebagai seorang sahabat, sekaligus rekan kerja, Rina memang sangatlah perhatian. Bahkan melebihi perhatian dari seorang saudara. Dialah yang memberi saran pada Mira untuk melakukan perjalanan. Mumpung libur panjang, mending kamu traveling deh kemana aja yang kamu suka. Siapa tahu bisa bikin kamu tenangan, begitu kata Rina. Dia sedikit prihatin dengan kondisi Mira yang kerap kehilangan konsentrasi saat bekerja. Semuanya akibat telepon dan pesan singkat yang tidak berkesudahan dari sang mantan. Untung saja Ridwan tidak sampai datang ke kantor. Kalau sampai iya, ingin rasanya Rina melabrak laki-laki itu secara langsung.
“Nggak usah Rin. Aku memang lagi pengen sendirian aja dulu.”
“Kalau gitu, paling nggak aku anter sampai bandara ya.”
Untuk kesekian kalinya, Mira mengatakan kalau dia hanya ingin sendirian. Untuk kesekian kalinya pula Rina mengutarakan rasa khawatirnya. Akhirnya permintaan Rina itu dia setujui saja. Sebenarnya dia tidak mau sampai merepotkan. Tetapi di sisi lain, dia juga tidak mau dirinya jadi beban pikiran bagi sahabatnya tersebut. Padahal sebenarnya Rina sudah sangat tahu, kalau Bali bukanlah tempat yang asing bagi Mira.
Sedang asyik merenung, terdengar pengumuman dari speaker pesawat kalau mereka akan segera mendarat. Minta agar supaya seluruh penumpang kembali ke tempat duduk, dan memakai sabuk pengaman.
Mira menghela nafas. Semoga saja pilihannya untuk pergi ke Bali, bukanlah sebuah pilihan yang salah. Harapnya dalam hati.

*****

Krisna kembali menghela nafas panjang. Sudah hampir dua jam lebih dia duduk di bangku terminal kedatangan. Trisna, sang adik kandung memaksa untuk mengantar dirinya ke bandara. Kata dia, mau menjemput teman dari temannya, yang datang dari Bandung. Entah kenapa teman dari temannya sang adik ini, musti mengganggu tidur Krisna yang nyenyak di pagi hari. Padahal kemarin sebuah rencana untuk bangun siang, sudah disusun Krisna sedari awal. Untuk bangun siang, sesiang-siangnya. Mumpung libur panjang, dia hanya ingin ber-hibernasi seharian hari ini. Semua rencana itu kini menjadi kacau, karena teman dari temannya Trisna. Sungguh kini Krisna sangat penasaran. Seperti apa sih sosok yang mengganggu rencana bangun siangnya tersebut.
“Yakin nomor pesawatnya bener?”
“Yakin.”
“Jadwal pesawatnya salah kali.”
“Nggak.”
“Dia batal dateng mungkin.”
“Udah deh Bli. Cerewet banget sih jadi cowok.” Trisna mulai merasa gusar, karena sang kakak sedari tadi terus saja merajuk. Bahkan sejak dari mereka berangkat tadi.
“Cuma mastiin aja. Gitu aja ngambek.”
Kembali Trisna melengos kesal. Lagi dia sibuk mengetik di layar ponselnya.
“Nah, itu pesawatnya udah landing.” Berdiri gadis itu dari bangku, sebelum menunjuk ke layar informasi bandara.
Seruan yang memaksa Krisna untuk ikut berdiri. Selembar kertas bertuliskan sebuah nama disodorkan Trisna pada sang kakak. MIRA ANDINI. Ini dia nama dari sosok pengganggu tidur siangku, Krisna membatin. Dengan langkah kaki berat dia berjalan mendekati pintu kedatangan domestik bandara utara. Sesuai instruksi dari Trisna. Sedangkan Trisna sendiri berjalan ke pintu sebelah selatan. Sepuluh menit berselang, penumpang mulai berdatangan. Satu demi satu mereka keluar dari terminal kedatangan. Krisna cukup serius memperhatikan orang-orang yang berjalan melewati dirinya. Kebanyakan dari mereka adalah orang lokal, diselingi sesekali oleh dua-tiga orang asing. Ramai juga nih, kembali Krisna membatin.
Sampai seorang gadis cantik berdiri di hadapannya. Berpenampilan casual. Memakai kaos  polos hitam tanpa corak dan celana jeans. Rambutnya panjang sampai bahu, diikat kuncir kuda. Terlihat rambut tersebut dicat warna pirang di beberapa bagian. Dia hanya membawa satu buah koper dan tas ransel.
“Saya Mira Andini,” ucap gadis itu singkat.
Sejenak Krisna masih terpaku, sebelum tersadar kalau nama itu tercetak di kertas yang dia pegang. “Oh i-iya, Mira, Mira Andini.” Dia kemudian memberi isyarat tangan gadis itu. “Tunggu sebentar ya, tunggu di sini aja.”
Trisna terlihat masih berdiri di tempatnya tadi. Krisna lanjut melambai ke arah sang adik. Memberi tahu kalau dirinya sudah bertemu dengan orang yang mereka tunggu. Trisna membalas lambaian tersebut, lalu berjalan mendekat. Langsung mereka saling berpelukan. Saling melempar senyuman pula. Terlihat kalau Trisna dan Mira sebelumnya memang sudah saling mengenal.
“Maaf ya Tris, sudah aku bilangin Rina nggak usah ngerepotin kamu.”
“Nggak apa-apa. Sama temen lama kok perhitungan banget gitu sih.”
Barulah Krisna tahu kalau Trisna, Mira dan juga Rina adalah teman semasa kuliah dulu. Itu berarti mereka bertiga seumuran. Meskipun sudah lama tidak bertemu, tapi mereka masih saling menjalin komunikasi lewat sosial media. Sedang bagi Krisna, ini adalah pertemuan pertamanya dengan Mira. Selagi sang adik sibuk berbincang, Krisna jadi punya waktu untuk memperhatikan lebih jelas sosok Mira ini. Di mata Krisna, ada sesuatu yang menarik di diri Mira. Entah apa itu, pokoknya menarik saja.
“Kamu mau kemana dulu? Kita langsung jalan aja ya.”
Mira mengangguk. “Terserah aja.”
“Kalau gitu kita ngeliat sunset aja ya di Pantai Balangan.”
Kembali Mira mengangguk.
Sedangkan Krisna? Mau tidak mau dia ikutan ngangguk dong. Kan hari ini yang jadi bos ya kan adiknya itu. Dia sih statusnya cuma sopir.

*****

Perjalanan dari Bandara Ngurah Rai ke Pantai Balangan, harusnya cuma sekitar tiga puluh menit. Hanya saja, sore itu lalu lintas di daerah uluwatu, sebagai satu-satunya akses jalan sangat padat. Mobil yang dikemudikan Krisna bergerak pelan, semeter demi semeter. Sebelum mereka bisa keluar dari kemacetan di jalan protokol, ternyata waktu sudah berlalu hampir empat puluh menit lamanya. Kini mereka sedang menelusuri jalan aspal yang lebih kecil. Berjalur menurun dan berliku-liku.
“Kamu masih nyanyi, Mir?” Trisna membuka kembali percakapan.
“Masih.”
“Jadi bikin album demo?”
“Belum. Belum cukup modalnya.” Mira tersenyum kecil.
Dibalas pula dengan senyuman oleh Trisna.
“Kakakku ini juga nge-band lho. Siapa tahu dia bisa bantu.”
Nah lho, kok aku musti dibawa-bawa sih. Krisna membatin di belakang kemudi. Padahal sedari tadi dirinya hanya memilih diam.
“Beneran, Bli Kris?”
Pertanyaan Mira itu terpaksa dijawabnya. “Iya, buat iseng-iseng aja. Buat nyalurin hobi aja sama temen-temen kuliah dulu.”
“Sudah lama dong band-nya?”
“Dari semester tiga.”
“Bli megang apa?”
“Gitar.”
“Mentas di mana aja biasanya?”
“Cafe atau club kecil-kecil aja.”
“Kakakku ini hobinya jadi kalong. Malemnya keluyuran ngamen, siangnya tidur.” Trisna mendadak memotong. Bikin Krisna melengos kesal.
Mira hanya tertawa melihat keduanya kemudian bertukar protes, lewat ekspresi wajah.
Untuk sementara percakapan tersebut terhenti. Mobil sudah memasuki areal parkir pantai. Tempat parkir mobil berupa hamparan tanah berlapis batu kapur. Jimbaran daerahnya memang sebagian besar di dominasi oleh perbukitan kapur. Cukup lumayan panas di waktu siang, namun sudah sedikit menurun ketika matahari mulai mendekati ufuk barat. Tidak heran mengapa pantai tersebut justru mulai ramai menjelang senja.
“Ayo, biar mataharinya nggak keburu turun.”
Trisna menarik tangan Mira, setengah berlari. Meskipun sudah lama tidak bertemu, tetapi mereka berdua terlihat masih sangat akrab. Sementara di belakang, Krisna cuma berjalan pelan tidak ada usaha untuk mengejar. Biar sajalah para gadis yang meluapkan rasa antusias mereka. Matahari juga masih cukup tinggi. Mungkin kurang lebih tiga puluh menit lagi baru mencapai garis horison barat. Trisna rupanya mengajak Mira menuju pinggiran tebing. Titik itu merupakan tempat favorit untuk dipakai ber-swafoto. Sering pula dipilih sebagai spot pre-wedding. Memang sangat indah, karena pada foto akan terlihat jelas kita lagi berdiri dibatas garis pantai dan langit. Setibanya di sana, kami dapati spot tersebut masih ramai. Trisna dan Mira terpaksa harus sabar mengantre untuk bisa berfoto. Dan bisa ditebak waktu tiba giliran mereka, siapa tukang fotonya? Tentu saja Krisna.
“Turun yuk. Kita mainan air.”
Sama seperti tadi, kembai Krisna cuma melangkah pelan. Mengikuti Trisna dan Mira yang sudah berlarian terlebih dahulu. Dari tebing tersebut, kalau mau menuju pantai, mereka memang harus menuruni deretan anak tangga. Mengingat bibir pantai berada di dasar tebing. Kini anak tangganya sudah di semen. Tidak seperti dulu yang masih berupa jalur tanah, yang kalau hujan menjadi licin. Selama melangkah mereka banyak berpapasan dengan turis asing. Sama seperti halnya objek wisata lain, Pantai Balangan memang lebih banyak mendapat kunjungan dari turis asing ketimbang domestik. Kedua gadis tersebut sudah berjingkat-jingkat menghindari ombak, ketika kaki Krisna menginjak hamparan pasir putih. Duduk kemudian dirinya di atas sebuah batu karang. Memperhatikan langit yang mulai perlahan berganti jingga. Trisna dan Mira menyusul tidak lama. Bertiga mereka menikmati salah satu maha karya pelukis agung, Yang Maha Kuasa.
Hari itu ditutup dengan makan malam di daerah Kuta.
Setibanya di lobi hotel, Trisna sempat menawarkan lagi agar Mira menginap saja di rumah mereka. Tawaran yang kembali ditolak Mira. Biar tidak mengganggu, katanya. Lambaian tangan mungkin memisahkan raga ketiganya. Tapi tidak bayangan Mira di benak Krina.

*****

Hari berikutnya, Mira menelepon Trisna. Memberitahu kalau hari itu mau pergi sendirian saja. Ada acara pribadi yang harus dikerjakan, katanya. Padahal Krisna sudah bangun sejak dari subuh, dan mandi lebih pagi dari biasa. Semata karena sosok Mira. Padahal belum tentu jasanya sebagai sopir akan dibutuhkan lagi.
Yang ada, ujung-ujungnya Krisna berakhir di depan garasi. Mencuci mobil. Menyibukkan diri, ketimbang memilih untuk tidur lagi.

*****

Sama seperti hari sebelumnya, Krisna bangun lebih pagi dari biasa. Bedanya hari ini sudah dipastikan kalau jasanya dibutuhkan lagi. Trisna memastikan itu kemarin malam. Kali ini Krisna dirinya digoda oleh sang adik. “Kita itu mau jalan-jalan Bli, bukan mau kondangan,” begitu kata Trisna. Krisna sih peduli amat. Cewek mana ngerti sih perasaan cowok yang lagi kesemsem.
Semuanya untuk sementara berjalan lancar. Sampai ketika sedang memanasi mobil, Trisna datang menghampiri. Dia bilang dapat telepon dari kantor. Dia diminta datang karena terpaksa diadakan meeting mendadak dengan vendor. Terkait dengan jadwal event yang rencananya akan terselenggara di akhir bulan. Mau tidak mau Trisna harus mengiyakan. Posisi sebagai bendahara memang mewajibkan dirinya harus ikut hadir. Terpaksa Krisna berangkat sendirian. Trisna tetap memaksa, meski ditelepon Mira sudah menyarankan agar acara hari itu ditunda saja. Akhirnya Mira pun tidak kuasa untuk menolak. Jadilah kini Krisna kepikiran sepanjang perjalanan. Apa yang musti dilakukan nanti bersama gadis yang baru dua hari lalu dikenalnya.
“Bli sudah sarapan?” Tanya Mira, begitu mereka bertemu di lobi.
“Sudah sih.”
“Aku belum. Temenin sarapan dulu ya di restoran belakang.”
Krisna mengangguk, lalu mengikuti langkah Mira.
Momen sarapan tersebut sangat disyukuri Krisna. Di meja itu mereka berdua jadi punya waktu untuk ngobrol cukup lama. Mereka bisa saling mengenal, dan mencairkan suasana. Entah disadari atau tidak, di awal tadi sebenarnya Mira juga sempat kikuk. Sama halnya seperti Krisna. Ajakan sarapan hanya sebuah cara bagi Mira untuk mengenal calon teman jalannya. Kini Mira pun tahu kalau dia akan nyaman bersama Krisna.
“Kamu punya rencana kemana hari ini?”
“Bli tahu air terjun yang bagus nggak? Lagi kepengen nyari yang seger-seger nih.” Mira tersenyum kecil.
Krisna mengerutkan kening. Mencoba untuk mengingat-ingat. “Air terjun Tegenungan di Gianyar, mungkin.” Sahutnya ragu.
“Sudah pernah kalau yang itu. Ada yang lain nggak?”
“Kalau air terjun sih kebanyakan di daerah Buleleng.”
“Jauh ya.” Kembali Mira tersenyum. Dia tahu kalau itu berarti mereka harus melakukan perjalanan lintas kabupaten.
“Nggak apa-apa sih. Asal kamunya nggak masalah kalau kita pulangnya agak malam.”
Mira mengangkat bahunya. Menandakan kalau dirinya tidak mempersoalkan hal tersebut. Dia punya waktu sangat banyak hari ini. Maka mereka mencari informasi lewat bantuan internet. Mencari kriteria lokasi yang akan mereka tuju. Dibahas, dibahas, dibahas, dan kesepakatan pun tercapai. Mereka akan mendatangi air terjun Sekumpul. Satu dari sekian banyak objek air terjun di kabupaten paling barat Pulau Bali tersebut.
“Kalau nanti kita tersesat-tersesat dikit, nggak apa-apa kan? Aku belum pernah ke sana juga sih sebelumnya.”
Mira tertawa kecil. “Justru di sana itu serunya...”
Lega Krisna mendengarnya. Sambil berharap kalau dirinya tidak akan mengacaukan acara hari ini. Dan bisa menjadikan hari ini hari yang menyenangkan buat Mira. Padahal sekali lagi musti diingat kalau Mira itu bukanlah siapa-apa bagi Krisna. Begitu pula sebaliknya.
Mobil kemudian melaju. Perjalanan cukup lancar, sampai mereka mulai memasuki daerah Bedugul. Lalu lintas perlahan tapi pasti menjadi tersendat, sampai akhirnya hanya berjalan pelan, padat merayap. Sebuah situasi Bali yang tidak kuasa dihindari ketika di memasuki masa liburan. Terjebak dalam kondisi seperti itu malah justru berimbas positif bagi Krisna. Dirinya jadi punya waktu banyak untuk berbincang dengan Mira. Krisna mulai semakin mengenal gadis tersebut. Mereka mulai bisa saling terbuka. Meski Krisna belum berani menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi. Seperti kenapa sih Mira pergi travelling seorang diri. Bukan sesuatu hal yang aneh sih di jaman sekarang memang, tapi tetap saja akan selalu menimbulkan tanda tanya. Paling tidak dalam benak Krisna. Begitu pula masalah getaran ponsel yang beberapa kali tidak diangkat Mira. Dia hanya melihat layar ponsel, lalu mematikannya. Mereka memang sih sudah dekat, tapi belum sedekat itu.
Melewati kawasan taman wisata Begudul, alur kendaraan mulai terasa lancar. Malahan saat mulai memasuki daerah Kabupaten Buleleng, tidak ada lagi halangan untuk memacu kendaraan dengan kecepatan standar. Sampai di sana Krisna masih cukup menguasai medan. Tetapi lewat dari sana, mereka harus mulai mengandalkan mesin GPS ponsel. Dibawanya mereka menelusuri jalan aspal berlekok-lekok, menanjak dan terus menanjak. Pandangan mata juga mulai terganggu kabut tipis, menandakan kalau mereka memasuki wilayah perbukitan. Cahaya matahari seolah kehilangan kekuatannya, meski saat itu siang baru saja menjelang. Mira membuka kaca jendela mobil. Langsung saja hawa dingin, menyeruak masuk ke dalam mobil. Dia sempat menyeletuk kalau hawa di tempat ini mirip di Bandung.
“Kita tanya penduduk sekitar dulu ya, buat memastikan kita tidak salah jalan.”
Mira mengangguk.
Krisna menepikan mobil di depan sebuah warung. Keluar dia kemudian dari mobil. Mira bisa melihat dirinya berbincang dengan seorang pria paruh baya. Sepertinya pemilik dari warung tersebut. Tidak lama, Krisna balik ke dalam. “Oke, kita sudah ada di jalan yang benar.”
Tertawa Mira mendengarnya. “Syukurlah. Hampir aku kira kita ada di jalan yang sesat.”
Ganti Krisna yang tertawa, mendengar perkataan teman jalannya tersebut.
Mobil kembali melaju. Dari informasi pemilik warung, mereka masih harus melewati tiga desa lagi barulah sampai di tujuan. Berarti perjalanan mereka masih cukup panjang. Kembali ponsel Mira bergetar. Kembali pula Krisna melirik dengan ujung matanya. Kali ini dia menjawab telepon yang masuk tersebut. Ternyata itu video call dari Trisna. Pastilah dia menelepon untuk memastikan temannya itu tidak “diapa-apakan”. Berbincanglah mereka berdua. Cekikikan yang hanya dimengerti oleh kedua perempuan yang tersebut. Hanya sekali dua kali Krisna dilibatkan dalam perbincangan. Itupun karena Mira mengarahkan layar ponsel ke arahnya.
“Nanti malem aku tunggu kalian di cafe tempat Bli Krisna biasa mentas ya.” Suara Trisna terdengar di telepon.
Menoleh Mira pada Krisna, seolah minta konfirmasi.
Dia pun menoleh balik. “Bilang saja iya.”
Percakapan berakhir begitu ajakan Trisna itu disepakati. Kebetulan mereka juga baru saja memasuki wilayah desa Lemukih, dimana air terjun Sekumpul berada. Sempat bertanya sekali lagi dengan penduduk setempat, akhirnya Krisna dan Mira mencapai areal parkir untuk mobil. Dari areal parkir tersebut, untuk menuju lokasi air terjun ternyata masih harus menempuh jarak lima ratus meter. Menelusuri jalan setapak menuju dasar lembah. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Permukaan jalan itu terlihat licin karena terkena subliman butiran embun. Selesai membayar tiket masuk, petualangan mereka pun dimulai.
“Pemandangannya keren banget.” Mata Mira terlihat berbinar.
Di sekeliling mereka memang nampak menghijau. Udara juga terasa sangat segar. Makin jauh mereka berjalan, udara terasa semakin segar. Belum lagi ditambah tetesan buliran embun di atas permukaan dedaunan, membuat pemandangan kian memanjakan mata. Tak ada tanda-tanda kelelahan di diri Mira. Dia malahan terlihat bersuka ria. Katanya inilah yang dia inginkan. Ingin berada di alam, jauh dari keramaian. Mencari sebuah ketenangan.
“Ketenangan?”
Mira tersenyum. “Nanti aku ceritain, kalau sudah waktunya.”
Ikut Krisna tersenyum. Biarlah “ketenangan” itu menjadi misteri. Yang terpenting saat ini adalah menikmati momen kebersamaannya dengan Mira. Bersama gadis ini, justru dirinya kini merasakan sebuah ketenangan. Entahlah, apakah ketenangan dirinya ini konteksnya sama dengan ketenangan yang dimaksud oleh Mira. Krisna sendiri tidak peduli.
“ADUH!” Mira terpeleset. Mungkin karena salah menaruh kaki di permukaan tanah yang becek berlumpur.
“Kamu nggak apa-apa?” Buru-buru Krisna membantunya berdiri.
“Nggak apa-apa.”
Mira menyadari bagian belakang celana jeansnya jadi penuh lumpur. Dia menepuk-nepuk agar lumpur tersebut tidak lagi menempel. “Resiko petualang.” Dia kemudian terkekeh.
Krisna jadi ikut terkekeh.
“Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa pegangan tangan. Bisa mengurangi kemungkinan terpeleset. Atau paling tidak kalau terpeleset kamu jadi ada temannya.”
Lagi Mira dibuat tergelak. Kemudian dia menyodorkan tangan kanannya. Mereka berdua pun lanjut menyusuri jalan setapak menurun itu perlahan.
Beberapa kali Mira minta berhenti untuk mengambil foto memakai ponselnya. Terutama ketika menemukan objek-objek yang menarik di mata. Krisna hanya memperhatikan saja, sambil terus berusaha untuk mengimbangi langkah kakinya. Lagipula kondisi jalan tidak lagi berlumpur seperti tadi. Langkah kaki keduanya tidak berbeda jauh. Mengingat postur tubuh mereka juga tidak jauh berbeda. Mira hanya sedikit saja lebih pendek dari Krisna. Cukup tinggi untuk ukuran tubuh standar wanita. Terus melangkah, akhirnya samar-samar mulai terdengar suara gemuruh air terjun. Semakin lama, terdengar semakin keras.
“WOW.” Mira berdecak kagum. Begitu pula dengan Krisna.
Untuk sementara keduanya hanya berdiri mematung. Memandang takjub ke arah pesona luar biasa yang tersaji di hadapan mereka. Sebuah maha karya dari Yang Maha Kuasa. Persis seperti yang digambarkan oleh media sosial dan penduduk setempat. Ada kira-kira sebelas air terjun berkumpul di satu lokasi. Menjulang hampir setinggi seratus meter lebih. Mungkin ada lima yang debit airnya besar, dan enam yang sedang. Percikan air terjun yang jatuh mengenai bongkahan bebatuan di bawahnya, memberi kesegaran yang lebih ketimbang selama perjalanan turun tadi. Tidak hanya ada mereka berdua di sana. Ada beberapa wisatawan asing dan lokal, tapi memang jumlahnya tidak banyak. Mungkin tidak sampai dua puluh orang. Mata mereka hampir memiliki kemiripan dengan Krisna dan Mira. Tergambar kekaguman yang luar biasa di sana.
“Terima kasih sudah mengantar aku ke tempat ini.”
Krisna membalas. “Terima kasih sudah mengajak aku ke tempat ini.”
“Nggak apa-apa kan kalau kita agak lama di sini?”
“Nggak apa-apa. Nikmati saja sepuasmu.”
Duduk kemudian mereka berdua di atas sebuah batang kayu. Memperhatikan tingkah polah orang-orang lain yang ada di sana. Bagaimana mereka bergantian melakukan swafoto.
“Bli tahu nggak kenapa aku suka dengan air terjun?”
“Kenapa?”
“Karena mesti alirannya terjatuh dari ketinggian berapapun, dia akan terus lanjut mengalir dan tidak pernah berhenti. Aku ingin seperti itu. Terus melangkah maju, meski sudah terjatuh.”
Krisna merasakan makna yang sangat dalam dari kalimat tersebut. Apakah kalimat itu ada kaitannya dengan “ketenangan” yang sebelumnya? Krisna membatin.
Tanpa menunggu komentar dari Krisna, Mira melanjutkan kalimatnya. “Aku ingin punya kekuatan air dalam diriku. Seberapa kuatnya halangan yang menghadang, air selalu punya seribu jalan untuk bisa terus mengalir.”
Krisna kagum dengan filosofi berpikir gadis yang ada di sampingnya.
“Kita semua memang ingin seperti itu kan?”
“Tapi aku merasa belum cukup sekuat itu.”
“Air itu tidak sekuat yang kamu sangka kok. Dia tidak menghadapi semua hadangan itu sendirian.”
Mira menoleh. “Maksudnya?”
“Secara kimiawi air itu merupakan gabungan antara unsur Hidrogen dan Oksigen. Air tidak berdiri sendiri. Kalau dirimu itu dianalogikan sebagai hidrogen, mungkin yang kamu butuhkan hanya oksigen yang baik. Yang bisa kamu ajak bersinergi untuk melawan bebatuan yang kokoh di sepanjang aliran. Sinergi yang kuat akan menghasilkan kekuatan yang juga kuat. Mungkin, mungkin saja, kamu belum ketemu saja “oksigen” yang bisa diajak bersinergi.”
Mira diam sesaat, kemudian tertawa lebar. Krisna sampai dibuat terbengong-bengong. Apa ada yang salah dengan ucapannya tadi? Atau mungkin ada sesuatu yang lucu?
“Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana ya? Ternyata kemampuan filosofis Bli jauh lebih tinggi daripada aku.”
Tawa Krisna pun ikut pecah. Padahal jujur, apa yang dia katakan tadi hanya terlintas begitu saja di kepala.
“Kalau mau saran, adikku Trisna adalah oksigen yang baik. Mungkin kalian bisa menjadi sinergi yang kuat ke depannya.”
“Bisa jadi, bisa jadi.” Mira tersenyum lagi. Krisna pun jadi makin sadar kalau Mira terlihat sangat cantik ketika tersenyum.
“Kalau Bli sendiri? Tergolong unsur apa di dalam tabel kimia?”
Krisna mengangkat bahunya. “Nggak tahu deh. Plutonium mungkin? Soalnya kadang suka meledak-ledak.”
Ditanggapi Mira kembali dengan senyum.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Hari sudah hampir menjelang sore, tetapi Krisna dan Mira masih tetap asyik berbincang. Sampai keduanya memutuskan untuk mulai berjalan naik kembali ke parkiran. Selama berjalan, kembali keduanya berpegangan tangan. Tanpa adanya rasa ragu ataupun canggung. Sudah lama baik Krisna maupun Mira merasakan suasana hati seperti hari itu. Bisa berbincang, tertawa lepas, dan menjadi diri sendiri, tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi. Mungkin inilah yang Mira cari? Belum bisa dia memastikannya.
Butuh hampir tiga puluh menit untuk mereka sampai di mobil. Berkendara sebentar, Mira terlelap di tengah obrolan lanjutan yang mereka lakukan. Krisna bisa memaklumi itu. Sangatlah wajar kalau Mira kelelahan setelah begitu antusias menjelajahi areal air terjun Sekumpul. Dia pun sengaja membiarkan mobil melaju pelan. Meski kondisi lalu lintas tidak sepadat tadi siang. Dia sengaja memberikan waktu untuk Mira beristirahat lebih lama.

*****

“Mir, Mira...”
Sayup-sayup Mira mendengar suara memanggil namanya. Dia juga mulai bisa merasakan tubuhnya diguncang-guncang pelan. Sewaktu membuka kelopak mata, samar-samar dia melihat sosok Trisna. Dia melihat pula Krisna yang masih duduk di belakang kemudi.
“Aduh. Aku ketiduran ya?” Wajah cantiknya langsung memerah.
Trisna langsung terkekeh. “Masuk yuk. Sudah aku pesanin tempat tadi.”
Krisna membiarkan Mira keluar mobil lebih dulu. Barulah kemudian dia menyusul.
“YA AMPUN!” Teriak Trisna, begitu keduanya keluar dari mobil. “Kalian jalan kemana sih tadi. Itu pakaian kok kayak habis ngebajak sawah gitu.”
Mira dan Krisna sontak menoleh ke arah masing-masing, kemudian secara kompak tertawa terbahak. Mengingat kembali bagaimana tadi berjuang menghadapi licinnya tanah yang mereka injak. Mungkin ada baiknya mereka pergi ke toilet dulu, sebelum mulai makan malam. Melihat itu Trisna hanya menggeleng kepala.
Di meja cafe, mendadak Trisna bertransformasi menjadi penyidik. Habis-habisan Mira dan Krisna diintrograsi bergantian. Dibiarkan saja Mira yang bercerita, sementara Krisna menimpali sekali-dua kali. Untung saja Bli Kumara, pemilik cafe datang dan ikut duduk di meja mereka. Kalau tidak ajang intrograsi itu bisa-bisa berkembang menjadi gosip infotainment, karena Trisna mulai menaruh curiga kalau antara kakaknya dan sahabatnya ada apa-apa.
“Kamu nyanyi satu atau dua lagulah Kris. Ntar makan ini semua Bli kasi gratis deh.”
“BENERAN?” Malah Trisna yang bersorak kegirangan. Itu artinya dia batal keluar uang untuk mentraktir. “Nyanyi Bli, nyanyi dong. Bareng Mira aja.” Lanjut dirinya merajuk.
Kembali Mira dan Krisna saling berpandangan. Kali ini seakan saling menunggu di antara mereka ada yang menjawab ajakan Trisna tadi.
“Udah lama aku nggak nyanyi nih.” Akhirnya Mira yang mengutarakan kalimat pertama.
“Tuh kan. Merendah aja deh kamu.” Trisna kemudian berdiri dan melangkah menuju ke pinggir panggung. Balik-balik ada sebuah gitar di tangan kanannya. Disodorkannya kepada sang kakak. “Nih, kalian berdua latihan dulu aja sebelum naik panggung.” Lanjut lalu nyengir.
Dengan bingung Krisna menerima gitar tersebut. Menoleh kepada Bli Kumara, laki-laki itu nampak ikutan nyengir. Menoleh kepada Mira, gadis itu terlihat sama bingung seperti dirinya.
“Kita coba aja yuk.”
Mira mengangkat bahunya. Memberi tanda kalau dia setuju saja dengan Krisna. Beberapa judul lagu terlontar, sampai tercapai satu judul yang mereka sepakati bersama.
Petikan nada gitar mulai mengalun merdu. Seiring dengan suara Mira juga mulai mengalun merdu. Berbaur jadi satu dalam sebuah harmoni yang indah. Mendengar itu Trisna tersenyum. Dalam hati dia bersorak, kalau ‘misi rahasia’-nya mungkin sebentar lagi akan tercapai. Di tengah lagu Trisna langsung berdiri. “Udah, udah, latihannya cukup segitu. Sekarang kalian nyanyinya di atas aja.”
Terpaksa Krisna dan Mira menurut. Tidak dituruti juga pastilah Trisna akan mulai ngomel-ngomel. Dan tidak ada gunanya bikin Trisna ngomel-ngomel. Beranjak keduanya kemudian ke atas panggung.
“Projek mencari kakak ipar masih terus jalan nih?” Bli Kumara tersenyum penuh arti, pada Trisna yang duduk di sebelahnya. Sama-sama memandangi ke arah panggung.
“Kayaknya yang ini bakal berhasil Bli.”
Bli Kumaran nyengir. “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan.”
Kemudian terdengar suara Krisna memperkenalkan diri. Memperkenalkan pula nama Mira. Barulah musik dan lagu mulai dialunkan. Tidak hanya Trisna dan Bli Kumara yang terpesona. Hampir semua pengunjung cafe ikut terpesona. Tepuk tangan riuh langsung bergemuruh begitu lagu selesai dinyanyikan. Begitu pula dengan lagu kedua dan ketiga.
Good job, kakak!” Trisna mengacungkan dua jempolnya. Hal yang sama dia lakukan pula untuk Mira.
Krisna dan Mira sendiri malahan saling memuji satu sama lain, sebelum bergabung duduk kembali di meja. Bli Kumara ikut memuji, yang artinya sesuai kesepakatan, semua makanan dan minuman malam itu gratis. Tebak siapa yang paling bahagia mendengar pernyataan itu. Iya, jelas Trisna. Ditinggalkan lalu mereka bertiga, karena Bli Kumara harus balik lagi ke belakang untuk mengawasi dapur. Selepas itu obrolan kembali berlangsung seru. Sampai terdengar lagi suara getaran ponsel Mira di atas meja. Sama seperti tadi, Mira langsung menekan tombol ‘reject’.
“Mantan cowok kamu ya Mir?” Trisna yang berujar, kini malahan dia sendiri yang terlihat panik. Sepertinya tadi dia keceplosan. “Maaf, maaf. Aku harusnya nggak ikut campur.”
Mira tersenyum kecil. “Dikasi tahu sama Rina ya?”
“Bukan, bukan. Aku yang mancingin kok. Bukan salah Rina.”
Kembali Mira tersenyum. Sepertinya dia menghargai usaha Trisna untuk melindungi Rina. Seolah-olah bocornya “rahasia” soal Ridwan terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. Mira tahu benar bagaimana karakter sahabatnya, Rina. Pasti dia bercerita soal Ridwan kepada Trisna, agar dirinya berhati-hati saat bersikap di depan Mira. Agar Trisna tetap menjaga kestabilan perasaan Mira. Sangat terlihat dari sikap Trisna sejak dari bandara. Pada dasarnya mereka berdua adalah sahabat yang sangat baik dan perhatian.
“Nggak apa-apa Tris. Emang si Ridwan yang nelepon kok.”
Mendengar konfirmasi itu akhirnya Krisna paham akan masalah yang terjadi. Meski sedari tadi dia diam saja, namun kini pertanyaan yang sedari kemarin terpendam telah terjawab sudah. Ini adalah persoalan cinta. Sangat bersifat pribadi.
“Udah, kita ngobrolin yang lain aja ya.” Coba Trisna mengalihkan pembicaraan.
“Ih. Dibilangin juga nggak apa-apa.” Mira tersenyum. “Oya, mumpung bahas soal ini. Aku mau pamitan sekalian malem ini. Besok siang aku mau pulang. Makasi ya, kalian berdua sudah ngeluangin waktu buat nganter aku jalan-jalan.”
“Kok buru-buru banget?” Pertanyaan Trisna, mewakili perasaan hati Krisna.
“Aku harus ngurusin masalahku sama Ridwan. Kalau aku menghindar terus, masalah ini justru akan jadi berlarut-larut.”
Trisna tak punya lagi kata-kata, untuk menimpali perkataan Mira tersebut. Apalagi dengan Krisna. Tak ada lagi yang bisa lakukan, selain berharap Mira bisa menyelesaikan masalahnya.
“Hati-hati di jalan ya. Please banget mampir lagi ke Bali kalau kamu ada waktu.”
Kalimat Trisna yang lagi-lagi mampu mewakili isi hati Krisna.
“Kalau gitu sekarang mending kamu balik ke hotel deh buat istirahat.” Lanjut Trisna lagi, yang diamini oleh Mira.
Kemudian kembali Krisna dan Mira ada dalam satu mobil. Trisna tidak ikut karena dia tadi membawa kendaraan sendiri. Tak ada kata-kata yang terucap, baik itu dari mulut Krisna maupun Mira, selama berangkat dari parkiran tadi. Mereka berdua hanya membisu, asyik dengan gejolak perasaan masing-masing. Perasaan canggung tersebut kian terasa, selama mobil hanya bergerak pelan akibat terjebak kemacetan di daerah Seminyak.
“Bli, kalau kita mampir ke pantai dulu boleh nggak?”
Krisna menoleh sekilas. “Bo-boleh.”
“Belum ngantuk kan?”
“Be-belum.”
Dilihat Krisna sekilas senyuman Mira. Senyum simpul yang meski tetap manis, tapi seolah menyimpan segudang masalah. Kebetulan sebentar lagi mereka akan melewati daerah Petitenget. Pantai Petitenget adalah pilihan paling logis dan paling terdekat saat ini. Mendekati pintu masuk areal parkir, Krisna melambatkan laju mobil. Tentu tidak banyak kendaraan terparkir di jam yang cukup larut seperti saat itu. Pedagang kaki lima yang biasa berjualan di areal parkir juga sudah banyak yang tutup. Hanya tersisa sedikit saja yang masih membuka lapaknya.
Turun dari mobil, Mira langsung melangkah mendekati bibir pantai. Krisna mengikuti dari belakang. Rupanya ada juga nampak satu-dua orang di sekitar. Kebanyakan sih berpasangan, tapi ada pula yang lebih dari dua. Sepertinya kebanyakan dari mereka tamu-tamu hotel atau restoran yang ada di sekitar. Mira duduk di pasir. Krisna ikut duduk di sebelahnya. Sedari tadi belum ada kata yang keluar lagi dari mulut Mira. Selanjutnya, berdua mereka yang berdiam dalam sunyi. Menatap ke arah kegelapan, yang dihiasi deburan ombak silih berganti. Merasakan desiran angin pantai yang berhembus semilir.
“Terima kasih ya Bli,” ucap Mira, setelah beberapa menit berselang.
“Sama-sama.”
Dan selanjutnya suasana kembali berlangsung sunyi. Krisna berharap, dalam kesunyian ini semoga Mira bisa menemukan “ketenangan” yang dia cari.

*****

Enam bulan berlalu. Ponsel Krisna berdering. Di layarnya tertera nama Mira.
“Hai cowok baju putih.” Terdengar suara di ujung telepon.
Krisna tersenyum. Langsung dia menyapu pandangan ke sekitar. Satu persatu dia menyisir penumpang pesawat yang tadi keluar dari pintu kedatangan. Dilihatlah yang dia cari. Seorang gadis cantik yang kini lagi tersenyum ke arahnya. Akhirnya mereka bertemu kembali. Kembali bertatap muka. Dibalasnya lambaian tangan si gadis.
Kali ini tidak ada kehadiran sosok Trisna. Trisna bilang bukan tugasnya lagi menjaga Mira. Tugas menjaga Mira sudah dia delegasikan pada Krisna. Dan Krisna berharap bisa melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Tidak semata menjaga, dia pun ingin membahagiakan Mira. Krisna ingin menjadi “oksigen” bagi Mira.


Denpasar, 17 Juli 2019.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar