Senin, 09 September 2019

Impian Tiga Generasi


MATA Gunawan memandang nanar ke arah sebuah gedung berlantai dua. Ke arah anak-anak yang sedang berhamburan keluar dari pintu gerbangnya. Seharusnya dirinya menjadi bagian dari mereka. Memakai seragam putih biru, dan bukannya menaiki sepeda ontel berkeliling mengantarkan koran. Setiap kali melewati gedung sekolah tersebut, Bambang selalu berhenti sesaat. Sesaat merenungkan impiannya yang kandas. Dia ingin sekali melanjutkan bersekolah, ke tingkat yang lebih tinggi ketimbang hanya sekolah dasar. Namun, ayahnya hanya seorang buruh pabrik dan ibunya berjualan di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja sudah sangat sulit. Untuk impiannya harus mengalah. Meski bukan berarti musti musnah.
“Gun!”
Seorang perempuan muda bertubuh tinggi semampai, melambai ke arahnya. Gunawan melempar senyuman, lalu menuntun sepedanya mendekat.
“Hari ini mau ikut belajar bareng lagi?”
Gunawan mengangguk mantap.
Gadis tersebut adalah Marina, sahabatnya sewaktu di sekolah dasar. Nasib Marina jauh lebih baik dari Gunawan. Dia bisa lanjut bersekolah tanpa perlu memikirkan persoalan biaya. Setiap kali ada kesempatan, Gunawan sekali waktu diajak belajar bersama oleh Marina. Dari sahabatnya itu, paling tidak, dia jadi tahu apa saja pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah menengah pertama. Kadang ada kalanya pula, Marina meminjamkan buku-buku bacaan dari perpustakaan untuk Gunawan. Orang tua Marina tidak masalah dengan hal itu. Mereka justru senang anak gadisnya memiliki teman belajar. Dari beberapa pelajaran yang ada, Gunawan sangat tertarik dengan Matematika dan Bahasa Inggris. Berkebalikan dengan Marina. Itulah kenapa mereka jadi saling melengkapi.
Begitulah kehidupan Gunawan setiap harinya. Membantu orang tuanya mencari nafkah, sambilan terus menambah pengetahuan akademisnya. Di tengah segala kekurangan yang ada dalam hidupnya. Namun, pada suatu titik garis hidup Gunawan seolah berputar arah. Semua itu diawali pada suatu hari dia bertemu dengan Mister Smith, begitu dirinya biasa memanggil laki-laki bertubuh tinggi menjulang tersebut. Seorang warga negara asal Inggris, yang karena tugas harus menetap sementara waktu di Bali. Hari itu, Gunawan membantu teman menjaga stand pameran di areal pantai Kuta. Kebetulan sedang ada acara parade musik di sana, selama tiga hari. Lumayanlah bayaran per harinya. Lebih besar jumlahnya dari hasil dia menjajakan koran.
May I help you, Sir?” Tanya Gunawan, ketika seorang laki-laki berambut pirang yang sedikit sudah memutih, lewat di stand pamerannya.
Oh you can speak English?” Laki-laki itu tersenyum.
Gunawan ikut tersenyum. “Little bit, Sir. Still learning.
Lewat percakapan itulah Gunawan berkenalan dengan Mister Smith. Ternyata laki-laki tersebut cukup fasih juga berbahasa Indonesia. Di acara tersebut dirinya ternyata tergabung menjadi panitia penyelenggara. Dari obrolan mereka, laki-laki paruh baya itu tertarik dengan kehidupan Gunawan. Apalagi ketika mengetahui kalau pemuda itu tidak bersekolah. Padahal Mister Smith merasa kalau pemuda bernama Gunawan itu cukup cerdas, dan punya niat besar untuk belajar.
Selepas acara musik selesai, Mister Smith menawarkan Gunawan untuk membantu di villa miliknya. Lokasinya ada di daerah Seminyak. Gunawan diminta untuk membersihkan areal villa dan kolam renang. Tidak terikat waktu, karena pemuda itu sendiri belum cukup umur untuk dijadikan pegawai. Dia bisa datang setelah selesai membantu orang tuanya. Atas seijin kedua orang tuanya, Gunawan mengambil tawaran tersebut. Selain dapat berpraktek langsung berbahasa Inggris, upah per hari yang dibayarkan pun cukup lumayan.
“Bagaimana kalau bulan depan kamu mendaftar sekolah saja?” Mister Smith berujar pada suatu hari. Waktu itu Gunawan sudah bekerja di villa selama hampir enam bulan.
“Nanti biayanya akan ditanggung oleh Yayasan yang saya kelola,” tambahnya lagi.
Cukup kaget Gunawan mendengar itu. Awalnya dia menolak, karena merasa Mister Smith sudah banyak membantu dirinya dan keluarga. Namun setelah diyakinkan kalau hal itu adalah program beasiswa bagi anak kurang mampu, Gunawan mau menerimanya. Beribu ucapan rasa syukur dia panjatkan kehadapan Tuhan. Impiannya untuk bisa bersekolah bisa terwujud, meskipun dia sedikit tertinggal dari teman-teman sebaya. Tidak berhenti sampai pendidikan sembilan tahun, Yayasan masih terus membiayai pendidikan Gunawan sampai ke bangku kuliah. Diploma jurusan Pariwisata, yang diambilnya. Mister Smith sendiri ketika itu sudah tidak tinggal di Bali lagi. Hanya sekali-dua kali dia datang berkunjung untuk berlibur. Setiap kali datang dia pasti mampir ke rumah Gunawan. Laki-laki itu sangat bangga dengan perkembangan anak asuhnya tersebut.
Dari berbekal pengalaman menjadi pramuwisata, pelan-pelan Gunawan bisa memiliki bisnis travel pariwisata sendiri. Dia menarik tenaga-tenaga muda potensial kurang mampu untuk bekerja bersamanya. Tenaga-tenaga muda yang kurang beruntung secara ekonomi, sebagaimana dirinya dulu. Salah satu impian berikutnya yang berhasil dia wujudkan.
Dan Gunawan kini memiliki partner bisnis, sekaligus partner hidup yang begitu setia mendampingi dirinya. Dia adalah Marina, yang ketika itu sudah bergelar Sarjana Ekonomi. Jalan hidup bisa berubah, asalkan kita tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Prinsip yang selalu dipegang oleh Gunawan. Sampai saat ini.
*****
“Sudah berapa kali Raka bilang, kalau kuliah itu buang-buang waktu saja, Pak.”
“Tapi kuliah itu penting Raka.”
“Tidak, Raka tetap tidak mau kuliah.”
Gunawan menghela nafas panjang. Anak laki-laki yang dulu penurut, kini tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang keras kepala. Dia lebih memilih membangun bisnis cafe bersama teman-temannya, ketimbang lanjut untuk kuliah. Raka mengatakan kalau berbisnis adalah passion dan impiannya. Meskipun kini memang belum terlihat hasilnya, namun dia yakin, dua-tiga tahun lagi bisnis yang dirintisnya pasti akan berkembang.
“Sudah-sudah dilanjutkan makannya. Jangan berdebat terus.”
Hanya Marina yang satu-satunya kerap menjadi penengah, ketika dua laki-laki itu sudah mulai saling melontarkan argumen. Ketika dua sifat keras kepala mulai berdebat.
“Bapakmu itu niatnya baik Raka. Dia cuma mau anaknya punya gelar sarjana. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh orang tua bapakmu dulu. Itu adalah impian bapakmu.” Marina berujar lembut, sebelum melepas kepergian sang anak ke tempat kerjanya.
“Tapi kenapa Raka harus mengikuti impian Bapak? Raka kan punya impian sendiri.”
“Ibu mengerti itu. Bapak dan Ibu kan tidak pernah melarang kamu untuk merintis bisnis sendiri. Tapi kan tidak ada salahnya juga memenuhi impian orang tua. Kamu juga kan bisa terus mengelola cafe sambil kuliah nanti.”
Raka terdiam. Dia berpamitan.
“Apa yang dikatakan ibumu itu benar.” Kali ini yang berujar adalah Serena, kekasih Raka. Gadis itu sangat tahu kalau kekasihnya itu mewarisi sifat keras sang ayah.
“Menurut kamu apa yang harus aku lakukan?”
“Kenapa kamu bertanya padaku? Kenapa tidak kamu bertanya pada dirimu sendiri? Apa yang harus kamu lakukan.”
Sepulang dari cafe, Raka merenung semalaman di kamar. Memikirkan kata-kata sang ayah, ibu, dan juga kekasihnya. Mungkin memang benar kalau selama ini dia sudah terlalu egois. Kini kedua orang tuanya tersebut sudah kian berumur. Sang ayah hanya bisa bertumpu pada dirinya, sebagai anak semata wayang. Benar adanya, kalau kadang ada kalanya impian kita harus “bernego” dengan impian orang lain. Bukan berarti mengalahkan impian kita, tetapi membuat impian itu bersinergi dan bisa jalan beriringan.
Tahun ajaran berikutnya, Raka pun memutuskan untuk mewujudkan impian sang ayah. Dia ikut ujian masuk perguruan tinggi. Dia lulus jurusan ekonomi manajemen, sebagaimana yang ditempuh ibunya dulu.
Perlahan hubungan batin yang sempat renggang antara Gunawan dan Raka, pun mulai terjalin kembali. Hubungan ayah-anak yang sempat membeku, perlahan mulai mencair. Tidak ada yang lebih bahagia melihat itu selain Marina dan Serena.
*****
Silvi melangkah mendekati Gunawan, yang ketika itu terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Berbagai macam peralatan penunjang kehidupan terpasang di tubuhnya. Usia yang kian bertambah kian menggerogoti kesehatan laki-laki tersebut. Tersenyum dia melihat kedatangan Silvi. Itu berarti lengkap sudah ketiga cucunya hadir di sisinya hari itu.
“Maaf Kek, pesawat Silvi tadi kena delay jadi telat datangnya.” Diciumnya tangan sang kakek.
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah datang.” Gunawan terbatuk. “Bagaimana perkembangan kantor?”
“Lancar Kek. Bulan depan cabang kita di Surabaya bakal buka sesuai rencana.”
“Syukurlah.”
Lagi senyuman tersungging. Bersyukur Gunawan dalam hati, karena cucu pertamanya itu mau meneruskan bisnis travel miliknya. Sang istri, yang sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik, pasti sangat bahagia di alam sana. Marina memang bermimpi bisnis rintisan mereka tersebut tidak sampai tutup. Gunawan pun merasa lega bisa mewujudkan impian almarhum istrinya. Apalagi di tangan sang cucu, bisnis travel tersebut jadi lebih berkembang. Tidak lagi hanya dilakukan secara konservatif, tapi sudah merambah ke dunia online. Membuka cabang di beberapa kota besar Indonesia adalah impian dari sang cucu.
Sedangkan dua cucunya yang lain memilih berkarier sebagai pegawai kantoran. Satu di sebuah bank pemerintah, dan satunya lagi di perusahaan transportasi. Gunawan tidak pernah merasa perlu mempermasalahkan hal itu. Dia tetap memperlakukan tiga cucunya secara sama. Dititipkan pesan kepada Raka, kalau setiap anak punya impian masing-masing. Dan mereka punya hak untuk mewujudkan impian tersebut, sesuai keinginannya.
Sebagian besar impiannya sudah terwujud. Kini Gunawan bisa “pulang” dengan tenang. Dan benar saja, selang beberapa jam, Gunawan menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan sangat berbahagia.
Raka menangis. Serena menangis. Begitu pula dengan ketiga anak mereka.
Dipeluknya tubuh sang ayah. Dalam lelehan air mata, Raka mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Berterima kasih karena membiarkan dia lanjut mengejar impiannya, meski impian tersebut pernah bertentangan dengan impian sang ayah. Masih di dalam hati, Raka berjanji akan melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya. Dia akan membiarkan mereka mengejar impian mereka masing-masing. Membiarkan generasi mereka merintis impian yang mereka inginkan. Raka tahu benar, kalau impian yang dibebaskan cenderung akan berpulang pada kesuksesan. Dirinya adalah contoh nyata dari “kebebasan” tersebut.
Maka gantunglah impianmu setinggi mungkin, dan raihlah impian itu seyakin mungkin. Di generasi manapun dirimu berada kini. Meski impian itu mungkin akan menemui berbagai rintangan. Tetaplah yakin.


Denpasar, 8 Agustus 2019.




*) Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Cerpen Cerpen Nasional 2019 yang diselenggarakan oleh Event Hunter Indonesia. Masuk 100 besar, nangkring di posisi 72. Lumayan.
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar