MATA Gunawan memandang nanar ke arah sebuah gedung berlantai dua. Ke
arah anak-anak yang sedang berhamburan keluar dari pintu gerbangnya. Seharusnya
dirinya menjadi bagian dari mereka. Memakai seragam putih biru, dan bukannya
menaiki sepeda ontel berkeliling mengantarkan koran. Setiap kali melewati
gedung sekolah tersebut, Bambang selalu berhenti sesaat. Sesaat merenungkan
impiannya yang kandas. Dia ingin sekali melanjutkan bersekolah, ke tingkat yang
lebih tinggi ketimbang hanya sekolah dasar. Namun, ayahnya hanya seorang buruh
pabrik dan ibunya berjualan di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
saja sudah sangat sulit. Untuk impiannya harus mengalah. Meski bukan berarti
musti musnah.
“Gun!”
Seorang perempuan muda bertubuh tinggi semampai, melambai
ke arahnya. Gunawan melempar senyuman, lalu menuntun sepedanya mendekat.
“Hari ini mau ikut belajar bareng lagi?”
Gunawan mengangguk mantap.
Gadis tersebut adalah Marina, sahabatnya sewaktu di
sekolah dasar. Nasib Marina jauh lebih baik dari Gunawan. Dia bisa lanjut
bersekolah tanpa perlu memikirkan persoalan biaya. Setiap kali ada kesempatan,
Gunawan sekali waktu diajak belajar bersama oleh Marina. Dari sahabatnya itu,
paling tidak, dia jadi tahu apa saja pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah
menengah pertama. Kadang ada kalanya pula, Marina meminjamkan buku-buku bacaan
dari perpustakaan untuk Gunawan. Orang tua Marina tidak masalah dengan hal itu.
Mereka justru senang anak gadisnya memiliki teman belajar. Dari beberapa
pelajaran yang ada, Gunawan sangat tertarik dengan Matematika dan Bahasa
Inggris. Berkebalikan dengan Marina. Itulah kenapa mereka jadi saling
melengkapi.
Begitulah kehidupan Gunawan setiap harinya. Membantu
orang tuanya mencari nafkah, sambilan terus menambah pengetahuan akademisnya.
Di tengah segala kekurangan yang ada dalam hidupnya. Namun, pada suatu titik garis
hidup Gunawan seolah berputar arah. Semua itu diawali pada suatu hari dia
bertemu dengan Mister Smith, begitu dirinya biasa memanggil laki-laki bertubuh
tinggi menjulang tersebut. Seorang warga negara asal Inggris, yang karena tugas
harus menetap sementara waktu di Bali. Hari itu, Gunawan membantu teman menjaga
stand pameran di areal pantai Kuta. Kebetulan sedang ada acara parade musik di
sana, selama tiga hari. Lumayanlah bayaran per harinya. Lebih besar jumlahnya dari
hasil dia menjajakan koran.
“May I help you,
Sir?” Tanya Gunawan, ketika seorang laki-laki berambut pirang yang sedikit
sudah memutih, lewat di stand pamerannya.
“Oh you can
speak English?” Laki-laki itu tersenyum.
Gunawan ikut tersenyum. “Little bit, Sir. Still learning.”
Lewat percakapan itulah Gunawan berkenalan dengan
Mister Smith. Ternyata laki-laki tersebut cukup fasih juga berbahasa Indonesia.
Di acara tersebut dirinya ternyata tergabung menjadi panitia penyelenggara.
Dari obrolan mereka, laki-laki paruh baya itu tertarik dengan kehidupan
Gunawan. Apalagi ketika mengetahui kalau pemuda itu tidak bersekolah. Padahal
Mister Smith merasa kalau pemuda bernama Gunawan itu cukup cerdas, dan punya niat
besar untuk belajar.
Selepas acara musik selesai, Mister Smith menawarkan
Gunawan untuk membantu di villa miliknya. Lokasinya ada di daerah Seminyak.
Gunawan diminta untuk membersihkan areal villa dan kolam renang. Tidak terikat
waktu, karena pemuda itu sendiri belum cukup umur untuk dijadikan pegawai. Dia
bisa datang setelah selesai membantu orang tuanya. Atas seijin kedua orang
tuanya, Gunawan mengambil tawaran tersebut. Selain dapat berpraktek langsung
berbahasa Inggris, upah per hari yang dibayarkan pun cukup lumayan.
“Bagaimana kalau bulan depan kamu mendaftar sekolah
saja?” Mister Smith berujar pada suatu hari. Waktu itu Gunawan sudah bekerja di
villa selama hampir enam bulan.
“Nanti biayanya akan ditanggung oleh Yayasan yang saya
kelola,” tambahnya lagi.
Cukup kaget Gunawan mendengar itu. Awalnya dia
menolak, karena merasa Mister Smith sudah banyak membantu dirinya dan keluarga.
Namun setelah diyakinkan kalau hal itu adalah program beasiswa bagi anak kurang
mampu, Gunawan mau menerimanya. Beribu ucapan rasa syukur dia panjatkan
kehadapan Tuhan. Impiannya untuk bisa bersekolah bisa terwujud, meskipun dia
sedikit tertinggal dari teman-teman sebaya. Tidak berhenti sampai pendidikan
sembilan tahun, Yayasan masih terus membiayai pendidikan Gunawan sampai ke
bangku kuliah. Diploma jurusan Pariwisata, yang diambilnya. Mister Smith
sendiri ketika itu sudah tidak tinggal di Bali lagi. Hanya sekali-dua kali dia
datang berkunjung untuk berlibur. Setiap kali datang dia pasti mampir ke rumah
Gunawan. Laki-laki itu sangat bangga dengan perkembangan anak asuhnya tersebut.
Dari berbekal pengalaman menjadi pramuwisata,
pelan-pelan Gunawan bisa memiliki bisnis travel pariwisata sendiri. Dia menarik
tenaga-tenaga muda potensial kurang mampu untuk bekerja bersamanya. Tenaga-tenaga
muda yang kurang beruntung secara ekonomi, sebagaimana dirinya dulu. Salah satu
impian berikutnya yang berhasil dia wujudkan.
Dan Gunawan kini memiliki partner bisnis, sekaligus
partner hidup yang begitu setia mendampingi dirinya. Dia adalah Marina, yang
ketika itu sudah bergelar Sarjana Ekonomi. Jalan hidup bisa berubah, asalkan
kita tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Prinsip yang selalu dipegang oleh
Gunawan. Sampai saat ini.
*****
“Sudah berapa kali Raka bilang, kalau kuliah itu buang-buang
waktu saja, Pak.”
“Tapi kuliah itu penting Raka.”
“Tidak, Raka tetap tidak mau kuliah.”
Gunawan menghela nafas panjang. Anak laki-laki yang dulu
penurut, kini tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang keras kepala. Dia lebih
memilih membangun bisnis cafe bersama teman-temannya, ketimbang lanjut untuk kuliah.
Raka mengatakan kalau berbisnis adalah passion
dan impiannya. Meskipun kini memang belum terlihat hasilnya, namun dia
yakin, dua-tiga tahun lagi bisnis yang dirintisnya pasti akan berkembang.
“Sudah-sudah dilanjutkan makannya. Jangan berdebat
terus.”
Hanya Marina yang satu-satunya kerap menjadi penengah,
ketika dua laki-laki itu sudah mulai saling melontarkan argumen. Ketika dua
sifat keras kepala mulai berdebat.
“Bapakmu itu niatnya baik Raka. Dia cuma mau anaknya
punya gelar sarjana. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh orang tua bapakmu
dulu. Itu adalah impian bapakmu.” Marina berujar lembut, sebelum melepas
kepergian sang anak ke tempat kerjanya.
“Tapi kenapa Raka harus mengikuti impian Bapak? Raka
kan punya impian sendiri.”
“Ibu mengerti itu. Bapak dan Ibu kan tidak pernah melarang
kamu untuk merintis bisnis sendiri. Tapi kan tidak ada salahnya juga memenuhi
impian orang tua. Kamu juga kan bisa terus mengelola cafe sambil kuliah nanti.”
Raka terdiam. Dia berpamitan.
“Apa yang dikatakan ibumu itu benar.” Kali ini yang
berujar adalah Serena, kekasih Raka. Gadis itu sangat tahu kalau kekasihnya itu
mewarisi sifat keras sang ayah.
“Menurut kamu apa yang harus aku lakukan?”
“Kenapa kamu bertanya padaku? Kenapa tidak kamu
bertanya pada dirimu sendiri? Apa yang harus kamu lakukan.”
Sepulang dari cafe, Raka merenung semalaman di kamar.
Memikirkan kata-kata sang ayah, ibu, dan juga kekasihnya. Mungkin memang benar
kalau selama ini dia sudah terlalu egois. Kini kedua orang tuanya tersebut
sudah kian berumur. Sang ayah hanya bisa bertumpu pada dirinya, sebagai anak
semata wayang. Benar adanya, kalau kadang ada kalanya impian kita harus “bernego”
dengan impian orang lain. Bukan berarti mengalahkan impian kita, tetapi membuat
impian itu bersinergi dan bisa jalan beriringan.
Tahun ajaran berikutnya, Raka pun memutuskan untuk
mewujudkan impian sang ayah. Dia ikut ujian masuk perguruan tinggi. Dia lulus jurusan
ekonomi manajemen, sebagaimana yang ditempuh ibunya dulu.
Perlahan hubungan batin yang sempat renggang antara
Gunawan dan Raka, pun mulai terjalin kembali. Hubungan ayah-anak yang sempat
membeku, perlahan mulai mencair. Tidak ada yang lebih bahagia melihat itu
selain Marina dan Serena.
*****
Silvi melangkah mendekati Gunawan, yang ketika itu
terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Berbagai macam peralatan penunjang
kehidupan terpasang di tubuhnya. Usia yang kian bertambah kian menggerogoti
kesehatan laki-laki tersebut. Tersenyum dia melihat kedatangan Silvi. Itu
berarti lengkap sudah ketiga cucunya hadir di sisinya hari itu.
“Maaf Kek, pesawat Silvi tadi kena delay jadi telat
datangnya.” Diciumnya tangan sang kakek.
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah datang.”
Gunawan terbatuk. “Bagaimana perkembangan kantor?”
“Lancar Kek. Bulan depan cabang kita di Surabaya bakal
buka sesuai rencana.”
“Syukurlah.”
Lagi senyuman tersungging. Bersyukur Gunawan dalam
hati, karena cucu pertamanya itu mau meneruskan bisnis travel miliknya. Sang
istri, yang sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik, pasti sangat bahagia di
alam sana. Marina memang bermimpi bisnis rintisan mereka tersebut tidak sampai
tutup. Gunawan pun merasa lega bisa mewujudkan impian almarhum istrinya.
Apalagi di tangan sang cucu, bisnis travel tersebut jadi lebih berkembang.
Tidak lagi hanya dilakukan secara konservatif, tapi sudah merambah ke dunia online. Membuka cabang di beberapa kota
besar Indonesia adalah impian dari sang cucu.
Sedangkan dua cucunya yang lain memilih berkarier
sebagai pegawai kantoran. Satu di sebuah bank pemerintah, dan satunya lagi di
perusahaan transportasi. Gunawan tidak pernah merasa perlu mempermasalahkan hal
itu. Dia tetap memperlakukan tiga cucunya secara sama. Dititipkan pesan kepada
Raka, kalau setiap anak punya impian masing-masing. Dan mereka punya hak untuk
mewujudkan impian tersebut, sesuai keinginannya.
Sebagian besar impiannya sudah terwujud. Kini Gunawan bisa
“pulang” dengan tenang. Dan benar saja, selang beberapa jam, Gunawan
menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan sangat berbahagia.
Raka menangis. Serena menangis. Begitu pula dengan
ketiga anak mereka.
Dipeluknya tubuh sang ayah. Dalam lelehan air mata,
Raka mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Berterima kasih karena membiarkan
dia lanjut mengejar impiannya, meski impian tersebut pernah bertentangan dengan
impian sang ayah. Masih di dalam hati, Raka berjanji akan melakukan hal yang
sama kepada anak-anaknya. Dia akan membiarkan mereka mengejar impian mereka
masing-masing. Membiarkan generasi mereka merintis impian yang mereka inginkan.
Raka tahu benar, kalau impian yang dibebaskan cenderung akan berpulang pada kesuksesan.
Dirinya adalah contoh nyata dari “kebebasan” tersebut.
Maka gantunglah impianmu setinggi mungkin, dan raihlah
impian itu seyakin mungkin. Di generasi manapun dirimu berada kini. Meski
impian itu mungkin akan menemui berbagai rintangan. Tetaplah yakin.
Denpasar, 8 Agustus 2019.
*) Tulisan
ini diikutkan dalam Lomba Cerpen Cerpen Nasional 2019 yang diselenggarakan oleh
Event Hunter Indonesia. Masuk 100 besar, nangkring di posisi 72. Lumayan.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar