Kamis, 12 September 2019

01 Malam Kelahiran


MENJELANG senja mendung semakin tebal bergelayut menghiasi langit. Senja yang biasanya berwarna jingga mempesona, hari ini berganti hitam nan kelam. Sepertinya hanya persoalan waktu kapan hujan akan turun. Itu pun ternyata tidak begitu lama. Awan kelabu sepertinya tidak kuat lagi menahan muntahan air hujan. Tetes demi tetesnya mulai berjatuhan. Perlahan menjadi semakin deras dan deras. Angin yang menderu ikut membuat suasana semakin seru. Seakan tidak ingin ketinggalan mendramatisir keadaan, kilat dan guntur ikut bergantian timbul dan tenggelam. Langit tidak henti-hentinya bercahaya dan bergemuruh. Sampai akhirnya malam sepenuhnya menggantikan senja.
Malam itu Wira tidak bisa tidur. Suara kilat yang terakhir terdengar terlalu memekakkan telinga. Seakan-akan kilat itu menyambar hanya beberapa meter dari kamar. Menakutkan sekali untuk seorang anak yang baru berumur empat tahun. Wira menarik selimut sampai menutupi wajah. Meringkuk dia di dalam sana. Berharap kegaduhan di luar akan segera berlalu.
Di dalam “hiruk pikuk” suasana di atas sana, sayup-sayup telinga Wira menangkap suara-suara. Bermula dari suara dering telepon, kemudian disusul suara ayah dan ibunya. Malam yang riuh kini jadi semakin riuh. Entah apa yang keduanya bicarakan tengah malam begini. Sepertinya cukup serius. Wira tahu itu dari nada bicara ayahnya. Nada suara sedikit meninggi dan memburu. Itu berarti ada kepanikan yang sedang terjadi. Ada apa gerangan? Tanyanya dalam hati. Rasa takut yang tadi melanda, kini berganti rasa penasaran. Sampai pintu kamar terbuka dan lampu menyala. Sang ibu muncul dan menyingkap selimut.
“Nak, kita berangkat ke rumah sakit.” Hanya itu yang diucapkan oleh sang ibu. Dia minta Wira untuk segera bersiap-siap. Mereka akan segera berangkat. Di malam, dimana hujan sedang deras-derasnya.
Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Bertanya-tanya lagi Wira dalam hati.
Meski begitu tetap dia bergegas turun dari tempat tidur. Raut wajah sang ibu menunjukkan kalau perintah tadi musti dilakukan segera. Berganti pakaian dia lalu keluar dari kamar. Di ruang tamu ayah dan ibunya sudah menunggu. Wira belum berani untuk bertanya ada apa. Diikuti saja langkah kedua orang tuanya. Duduk kemudian dirinya duduk di bangku belakang. Mobil melaju sedikit lebih kencang dari kebiasaan mengemudi sang ayah. Di tengah kegelapan malam, mobil terus saja menembus lebatnya hujan. Situasi jalan yang teramat sepi memudahkan ayah untuk tidak perlu sering-sering mengurangi kecepatan.
Mobil berhenti di teras parkir rumah sakit, dekat ruang gawat darurat. Ibu dan Wira turun duluan, sedangkan sang ayah masih harus mencari ruang parkir yang kosong. Berusaha Wira mengikuti langkah cepat ibunya. Berhenti sebentar mereka di meja resepsionis. Wira mendengar sang ibu mengucapkan sebuah nama. Nama dari salah satu dari saudara sepupu ibu. Wira sangat mengenal nama wanita tersebut. Dia sering datang ke rumah apabila ibunya butuh
Ada apa dengan Biangman[1] Rani? Apakah dia yang sakit? Lewat pertanyaan-pertanyaan Wira terus berusaha merangkai apa yang sebenarnya terjadi.
Wira kembali mengikuti langkah ibunya. Sampai akhirnya mereka tiba di ruang bersalin. Wira belum mengerti apa itu ruang bersalin. Kalau iya, pasti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi sudah terjawab kini. Di sana sudah menunggu anggota keluarga yang lain. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga ibunya. Raut-raut wajah tegang terlihat pada semuanya. Tidak ada anak seusia Wira di sana. Semuanya adalah orang-orang dewasa. Sebagai minoritas, Wira hanya bisa jadi penonton di tengah drama yang ada. Dengan seksama dia perhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Masih berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana kondisinya? Sudah lahir?” Tanya ibu, kepada seorang wanita paruh baya.
“Belum. Masih belum ada kabar dari dalam.”
“Kapan masuk?”
“Tadi sekitar jam sepuluh.”
Ternyata masih sangat minim informasi yang tersedia. Kami semua pun tidak bisa berbuat apa-apa, selain lanjut untuk menunggu. Dari menyimak percakapan tadi, barulah Wira paham apa yang sedang terjadi. Bibinya akan melahirkan malam ini. Pantas saja semua orang menjadi tegang, mengingat ini adalah untuk kali kedua bibinya tersebut melahirkan. Kehamilan pertama berakhir dengan keguguran. Wira hanya mendengar cerita dari orang-orang saja. Saat itu Wira masih sangat kecil untuk mengingat. Kalau saja bayi itu lahir, mungkin kini dia akan seumuran dengan Wira.
Ayah Wira datang beberapa menit berselang. Sambil menunggu, di antara mereka masih terus saling bercakap-cakap. Hanya beberapa kali Wira kebagian pertanyaan. Itu pun dia jawab dengan singkat, karena hanya berupa pertanyaan basa-basi. Ketegangan yang sedari tadi melanda membuat kantuk Wira menghilang. Kini saat semuanya tenang, rasa kantuk itu kembali datang. Tidak tersedia tempat yang nyaman untuk berbaring, Wira terpaksa bersandar di kursi. Tanpa sadar, beberapa kali kepalanya tertunduk-tunduk. Begitupun kelopak matanya yang kian lama kian terasa berat.
Sampai suara tangisan melengking mengembalikan kesadaran Wira sepenuhnya.
Orang-orang sudah pada berhamburan mendekati pintu ruang bersalin. Sementara, Wira masih duduk di kursinya, masih terus mengamati situasi. Satu sama lain mulai mengucap syukur. Mereka juga bergantian menyalami orang tua dan mertua yang sedang berbahagia. Wira baru beranjak dari kursi saat sang suami, Ajitu[2] Krisna, keluar dari ruangan bersalin. Bergegas Wira ikut melangkah mendekat. Ingin mendengar kabar terbaru langsung dari sumber terpercaya.
“Bagaimana? Laki-laki atau perempuan?” Pertanyaan pertama yang umum ditanyakan pada saat momen kelahiran.
“Perempuan.”
Senyum sumringah tersungging di bibir Ajitu Krisna.
Semua bersorak kembali. Ucapan syukur kembali berkumandang. Apalagi ketika dikatakan kalau bayi tersebut sehat. Tinggi dan juga beratnya normal. Mereka kemudian berebut untuk bisa ikut masuk ke dalam. Mereka ingin menjadi satu dari yang pertama bisa melihat si bayi cantik. Sayangnya dokter hanya mengijinkan tiga orang yang boleh ikut. Maka diputuskan hanya para istri yang masuk, termasuk ibu Wira. Sedang yang lainnya hanya bisa menunggu di luar. Lagi-lagi Wira seolah hanya menjadi peran pelengkap dalam drama di malam tersebut. Dia hanya bisa memperhatikan dan terus memperhatikan.
Cukup lama ternyata tidak ada lagi kabar lanjutan. Baru saat pintu ruang bersalin terbuka, suasana kembali heboh. Seorang wanita berpakaian seragam rumah sakit keluar menggendong bayi mungil. Bayi itu sudah tidak lagi menangis. Kehadiran wanita itu disusul oleh para ibu yang ikut keluar. Bayi itu sangat putih. Saking putihnya seolah nampak bersinar. Paling tidak itu yang tertangkap oleh mata Wira.
“Sudah ada namanya?” Ayah bertanya kepada Ajitu Krisna.
Dia mengangguk.
“Sekar Jagat.”
“Nama yang bagus.”
Sekar Jagat. Sekar Jagat. Nama itu kini terngiang-ngiang dalam kepala Wira. Sama seperti namanya, Wirayudha. Sebuah nama yang juga diambil dari nama tarian Bali. Sebuah nama yang tanpa dia tahu akan begitu lekat dengan masa depannya. Sebuah nama yang nantinya akan begitu berpengaruh dalam hidup Wira.


Sebuah Draft.
Diangkat dari cerpen Sang Penari dan Aku.

.



[1] Panggilan untuk saudara perempuan ketiga dari orang tua kandung di Bali.
[2] Panggilan untuk paman laki-laki, anak pertama, di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar