MENJELANG
senja mendung semakin tebal bergelayut menghiasi langit. Senja yang biasanya berwarna
jingga mempesona, hari ini berganti hitam nan kelam. Sepertinya hanya persoalan
waktu kapan hujan akan turun. Itu pun ternyata tidak begitu lama. Awan kelabu
sepertinya tidak kuat lagi menahan muntahan air hujan. Tetes demi tetesnya mulai
berjatuhan. Perlahan menjadi semakin deras dan deras. Angin yang menderu ikut membuat
suasana semakin seru. Seakan tidak ingin ketinggalan mendramatisir keadaan, kilat
dan guntur ikut bergantian timbul dan tenggelam. Langit tidak henti-hentinya
bercahaya dan bergemuruh. Sampai akhirnya malam sepenuhnya menggantikan senja.
Malam itu Wira tidak bisa tidur. Suara kilat yang terakhir terdengar
terlalu memekakkan telinga. Seakan-akan kilat itu menyambar hanya beberapa
meter dari kamar. Menakutkan sekali untuk seorang anak yang baru berumur empat
tahun. Wira menarik selimut sampai menutupi wajah. Meringkuk dia di dalam sana.
Berharap kegaduhan di luar akan segera berlalu.
Di dalam “hiruk pikuk” suasana di atas sana, sayup-sayup telinga Wira menangkap
suara-suara. Bermula dari suara dering telepon, kemudian disusul suara ayah dan
ibunya. Malam yang riuh kini jadi semakin riuh. Entah apa yang keduanya bicarakan
tengah malam begini. Sepertinya cukup serius. Wira tahu itu dari nada bicara
ayahnya. Nada suara sedikit meninggi dan memburu. Itu berarti ada kepanikan
yang sedang terjadi. Ada apa gerangan? Tanyanya dalam hati. Rasa takut yang
tadi melanda, kini berganti rasa penasaran. Sampai pintu kamar terbuka dan
lampu menyala. Sang ibu muncul dan menyingkap selimut.
“Nak, kita berangkat ke rumah sakit.” Hanya itu yang diucapkan oleh sang
ibu. Dia minta Wira untuk segera bersiap-siap. Mereka akan segera berangkat. Di
malam, dimana hujan sedang deras-derasnya.
Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Bertanya-tanya lagi Wira dalam hati.
Meski begitu tetap dia bergegas turun dari tempat tidur. Raut wajah sang
ibu menunjukkan kalau perintah tadi musti dilakukan segera. Berganti pakaian dia
lalu keluar dari kamar. Di ruang tamu ayah dan ibunya sudah menunggu. Wira belum
berani untuk bertanya ada apa. Diikuti saja langkah kedua orang tuanya. Duduk
kemudian dirinya duduk di bangku belakang. Mobil melaju sedikit lebih kencang
dari kebiasaan mengemudi sang ayah. Di tengah kegelapan malam, mobil terus saja
menembus lebatnya hujan. Situasi jalan yang teramat sepi memudahkan ayah untuk
tidak perlu sering-sering mengurangi kecepatan.
Mobil berhenti di teras parkir rumah sakit, dekat ruang gawat darurat. Ibu
dan Wira turun duluan, sedangkan sang ayah masih harus mencari ruang parkir
yang kosong. Berusaha Wira mengikuti langkah cepat ibunya. Berhenti sebentar
mereka di meja resepsionis. Wira mendengar sang ibu mengucapkan sebuah nama.
Nama dari salah satu dari saudara sepupu ibu. Wira sangat mengenal nama wanita
tersebut. Dia sering datang ke rumah apabila ibunya butuh
Ada apa dengan Biangman[1] Rani? Apakah
dia yang sakit? Lewat pertanyaan-pertanyaan Wira terus berusaha merangkai apa
yang sebenarnya terjadi.
Wira kembali mengikuti langkah ibunya. Sampai akhirnya mereka tiba di ruang
bersalin. Wira belum mengerti apa itu ruang bersalin. Kalau iya, pasti jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tadi sudah terjawab kini. Di sana sudah menunggu anggota
keluarga yang lain. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga ibunya. Raut-raut
wajah tegang terlihat pada semuanya. Tidak ada anak seusia Wira di sana.
Semuanya adalah orang-orang dewasa. Sebagai minoritas, Wira hanya bisa jadi
penonton di tengah drama yang ada. Dengan seksama dia perhatikan apa yang akan
terjadi selanjutnya. Masih berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana kondisinya? Sudah lahir?” Tanya ibu, kepada seorang wanita
paruh baya.
“Belum. Masih belum ada kabar dari dalam.”
“Kapan masuk?”
“Tadi sekitar jam sepuluh.”
Ternyata masih sangat minim informasi yang tersedia. Kami semua pun
tidak bisa berbuat apa-apa, selain lanjut untuk menunggu. Dari menyimak
percakapan tadi, barulah Wira paham apa yang sedang terjadi. Bibinya akan
melahirkan malam ini. Pantas saja semua orang menjadi tegang, mengingat ini
adalah untuk kali kedua bibinya tersebut melahirkan. Kehamilan pertama berakhir
dengan keguguran. Wira hanya mendengar cerita dari orang-orang saja. Saat itu
Wira masih sangat kecil untuk mengingat. Kalau saja bayi itu lahir, mungkin
kini dia akan seumuran dengan Wira.
Ayah Wira datang beberapa menit berselang. Sambil menunggu, di antara
mereka masih terus saling bercakap-cakap. Hanya beberapa kali Wira kebagian
pertanyaan. Itu pun dia jawab dengan singkat, karena hanya berupa pertanyaan
basa-basi. Ketegangan yang sedari tadi melanda membuat kantuk Wira menghilang.
Kini saat semuanya tenang, rasa kantuk itu kembali datang. Tidak tersedia
tempat yang nyaman untuk berbaring, Wira terpaksa bersandar di kursi. Tanpa
sadar, beberapa kali kepalanya tertunduk-tunduk. Begitupun kelopak matanya yang
kian lama kian terasa berat.
Sampai suara tangisan melengking mengembalikan kesadaran Wira
sepenuhnya.
Orang-orang sudah pada berhamburan mendekati pintu ruang bersalin. Sementara,
Wira masih duduk di kursinya, masih terus mengamati situasi. Satu sama lain
mulai mengucap syukur. Mereka juga bergantian menyalami orang tua dan mertua
yang sedang berbahagia. Wira baru beranjak dari kursi saat sang suami, Ajitu[2] Krisna, keluar
dari ruangan bersalin. Bergegas Wira ikut melangkah mendekat. Ingin mendengar
kabar terbaru langsung dari sumber terpercaya.
“Bagaimana? Laki-laki atau perempuan?” Pertanyaan pertama yang umum
ditanyakan pada saat momen kelahiran.
“Perempuan.”
Senyum sumringah tersungging di bibir Ajitu Krisna.
Semua bersorak kembali. Ucapan syukur kembali berkumandang. Apalagi
ketika dikatakan kalau bayi tersebut sehat. Tinggi dan juga beratnya normal. Mereka
kemudian berebut untuk bisa ikut masuk ke dalam. Mereka ingin menjadi satu dari
yang pertama bisa melihat si bayi cantik. Sayangnya dokter hanya mengijinkan tiga
orang yang boleh ikut. Maka diputuskan hanya para istri yang masuk, termasuk ibu
Wira. Sedang yang lainnya hanya bisa menunggu di luar. Lagi-lagi Wira seolah
hanya menjadi peran pelengkap dalam drama di malam tersebut. Dia hanya bisa
memperhatikan dan terus memperhatikan.
Cukup lama ternyata tidak ada lagi kabar lanjutan. Baru saat pintu ruang
bersalin terbuka, suasana kembali heboh. Seorang wanita berpakaian seragam
rumah sakit keluar menggendong bayi mungil. Bayi itu sudah tidak lagi menangis.
Kehadiran wanita itu disusul oleh para ibu yang ikut keluar. Bayi itu sangat
putih. Saking putihnya seolah nampak bersinar. Paling tidak itu yang tertangkap
oleh mata Wira.
“Sudah ada namanya?” Ayah bertanya kepada Ajitu Krisna.
Dia mengangguk.
“Sekar Jagat.”
“Nama yang bagus.”
Sekar Jagat. Sekar Jagat. Nama itu kini terngiang-ngiang dalam kepala
Wira. Sama seperti namanya, Wirayudha. Sebuah nama yang juga diambil dari nama
tarian Bali. Sebuah nama yang tanpa dia tahu akan begitu lekat dengan masa
depannya. Sebuah nama yang nantinya akan begitu berpengaruh dalam hidup Wira.
Sebuah Draft.
Diangkat
dari cerpen Sang Penari dan Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar