Kamis, 18 Juli 2019

Ada Cinta di Pulau Dewata


SELAMA hampir satu jam penerbangan Mira hanya termenung. Sebenarnya pria yang duduk di sebelah kiri, sedari awal mencoba untuk menjalin pembicaraan dengan dirinya. Hanya saja, Mira sedang tidak ingin mengobrol. Terus ditimpali dengan jawaban pendek-pendek, akhirnya si pria menyerah juga. Akhirnya Mira bisa tenang berkutat dengan dirinya sendiri. Isi kepalanya penuh dengan kilasan-kilasan kejadian. Berputar-putar random membuat kepala menjadi terasa pening dan berat. Semua keruyetan itu bermuara pada sebuah nama. Ridwan. Kekasih Mira, atau lebih tepatnya kini adalah mantan kekasih.
Sebuah pertengkaran hebat minggu yang lalulah, yang membuat Mira ada di pesawat ini. Untuk sejenak bisa terlepas dari bayang-bayang Ridwan. Mumpung akhir pekan kali ini sedang berpihak padanya. Lima tanggal merah yang berjejer indah di kalender. Sebuah “anugerah” yang sangat jarang didapatkan, oleh seseorang yang berprofesi sebagai pegawai swasta seperti dirinya. Bali menjadi pilihan Mira untuk mengisi liburan. Bagi beberapa orang, mungkin saja Bali adalah tempat liburan yang sudah sangat mainstream. Sudah terlalu biasa, dan sudah tidak lagi terasa istimewa. Namun tidak bagi Mira. Baginya, Pulau Dewata akan selalu menjadi tempatnya untuk mencari ketenangan jiwa.
“Apa maksudmu aku harus berhenti bekerja?”
“Iya. Kalau kita menikah nanti aku mau kamu berhenti kerja.”
“Kita kan sudah sering membahas ini.”
“Kita akan bahas lagi. Lagi dan lagi, sampai kamu menuruti kemauan aku.”
“Aku tidak mau. Dan aku sudah bosan.”
Itu hanya sekelumit isi dari pertengkaran malam itu. Sekiranya tidak perlu dikutip sampai ke hardikan ataupun umpatan yang sempat terlontar. Itu hanya satu pertengkaran lain, di antara pertengkaran-pertengkaran yang sudah sangat sering terjadi. Persoalannya selalu sama setiap kali terjadi. Seorang pegawai muda seperti Mira, yang baru saja merintis karir, tentu tidak ingin masa depannya terganggu. Sedang di sisi lain, Ridwan merasa dirinya telah dijadikan pilihan kedua, setelah karir Mira. Dia tidak mau menjadi pilihan kedua. Dia ingin Mira nantinya menjadi istri yang sepenuhnya mengurusi rumah. Dua keinginan yang saling bertolak belakang. Mira tidak mau menurut. Pun demikian dengan Ridwan yang tidak mau bergeming. Jadilah dua perbedaan ini terus bergesekan dan bertabrakan, dan tidak kunjung berkesudahan.