Sabtu, 27 Mei 2017

Was Written For One Reader


I don’t know if I’ll ever see her again. I don’t know if that’s a good thing, or a bad one. But I will promise you this. Your favorite story, whatever it might be, was written for one reader.

Saya buka tulisan ini dengan qoute sebuah film. Judul filmnya adalah “5 to 7”. Anda pernah menonton film ini? Kalau belum, ada baiknya ditonton dulu deh. Very recommended.
Film “5 to 7” alur ceritanya sebenarnya sederhana, tapi mengena. Ada unsur romansa, drama, dan sedikit komedi. Bercerita dengan kehidupan penulis muda bernama Brian (Anton Yelchin), yang mencoba mengadu nasib di New York. Di suatu waktu, secara kebetulan, dirinya bertemu dengan wanita bernama Arielle (Berenice Marlohe). Pertemuan itu kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Uniknya pertemuan ini selalu terjadi dari pukul 5 sore sampai pukul 7 malam. ‘Hubungan’ ini jadi menarik, karena usia Arielle 7 tahun lebih tua, dan dirinya telah menikah. Sementara Brian masih berstatus single. Lebih menarik lagi, ternyata sang suami tahu dan merestui ‘hubungan’ itu. Dilain sisi, ternyata sang suami juga mempunyai ‘hubungan’ yang sama dengan wanita lain. Rumit? Tidak juga, kalau anda sudah menontonnya sendiri.
Mari kita akan kembali ke quote diatas. “…was written for one reader”, begitu katanya. Seorang penulis akan selalu mempunyai tulisan yang dia tujukan untuk satu orang spesial. Sosok yang menginspirasi dirinya. Saya pun demikian. Sosok itu biasanya sih adalah seorang wanita. Bisa karena karakter wanita itu yang unik, atau perasaan yang ditimbulkan saat wanita tersebut ada, atau pernah ada.

Selasa, 16 Mei 2017

Keping Satu


Ada di dunia manusia bukanlah kehendaknya. Kalau boleh memilih, tentunya dia akan memilih tidak berada disini. Dunia manusia kini sudah terlalu keras. Tidak ada lagi harmoni. Ego membuat manusia lupa diri. Manusia merusak sendiri dunia yang mereka tinggali. Ingin rasanya pergi secepat mungkin, tapi kewajiban membuat dia harus tetap bertahan. Masih ada tugas yang harus diselesaikan.
*****
“Berikan aku satu gelas lagi, Ben.”
“Ini sudah lewat tengah malam Kris, pulanglah. Kamu butuh tidur.”
“Aku sedang tidak ingin tidur.”
“Kenapa? Masih bermimpi buruk?”
Krisna menghela nafas, kemudian menganguk. Memang sudah seminggu ini dia diganggu mimpi yang sama. Berulang dan terus ulang. Sebuah mimpi buruk mengenai tempat asalnya. Tidak di dunia ini, tetapi di dunia lain. Nun jauh disana. Sudah lama sekali dia meninggalkan tempat tersebut, beserta segala kenangan indahnya. Dia masih belum bisa pulang, seberapa pun dia ingin untuk pulang.
Ben menyodorkan satu gelas minuman lagi. “Ini yang terakhir. Serius kamu butuh tidur, tampangmu seperti gelandangan.”
Krisna meneguk minuman itu. Mungkin yang dikatakan Ben ada benarnya. Sekeras apapun minuman yang dia minum, tidak akan berdampak apa-apa. Metabolisme tubuh Krisna terlalu kebal untuk mabuk. Yang dia butuhkan saat ini adalah tidur.
Selesai berpamitan dengan Ben, Krisna melangkah keluar klub. Cuaca di luar sana sedikit berawan. Jalanan dan semua yang ada disana nampak basah. Rupanya tadi sempat turun hujan. Dentuman musik di dalam membuat deru hujan tidak terdengar. Krisna mengatur posisi kerah jaket, sebelum lanjut melangkah. Jalanan nampak sangat sepi. Hanya sesekali motor atau mobil yang lewat. Pejalan kaki hampir tidak ada yang terlihat. Hanya ada dia yang berjalan disisi jalan.