01
DENGAN
penuh semangat Maya berlarian lincah sepanjang areal perkebunan. Perkebunan
yang selama ini diurus oleh kedua orangnya. Mereka hanyalah sebagai petani
penggarap. Kebun yang lebih menyerupai hutan produksi tersebut adalah milik
seorang pejabat di kota. Kenapa banyak orang menyebutnya sebagai hutan? Karena kebun
puluhan hektar itu dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi, dan juga semak belukar. Memang
lebih menyerupai hutan ketimbang kebun. Pepohonan hijau yang ada, di kebanyakan
dominasi oleh pohon apokat, durian, cengkeh dan kopi. Maya sangat suka berada
di kebun tersebut. Udaranya sangat segar, lantaran berada di ketinggian bukit. Bukit
Intaran, begitu orang disekitar menyebutnya. Kemanapun kita memandang, semua
yang ada seakan memanjakan mata. Orang-orang mungkin melihat tempat ini sebagai
kebun ataupun hutan. Namun bagi Maya, tempat ini adalah arena bermain yang
sangat menyenangkan.
Maya dan bukit Intaran seolah memiliki ikatan batin. Bagaimanapun dia
bisa dikatakan tumbuh besar bersama bukit tersebut. Sebagian hari sedari kecil dihabiskan
di tempat itu. Setiap jengkalnya sudah dihapal di luar kepala. Areal mana yang
aman untuk dilalui, dan bagian mana yang rawan bagi keselamatan. Memanjati pohon-pohon
tinggi yang ada di kebun juga sangat fasih lakukan Maya. Tumpukan buah-buah apokat
yang kini lagi disortir, adalah hasil aksi panjat memanjat yang dia lakukan
seharian.
“Maya sini sebentar, bantuin ibu ngepak buah ke karung.”
“Iya Bu, sebentar...”
Deretan tangkai mawar yang mulai digelayuti kuncup-kuncup mungil, menyedot
perhatian Maya sedari tadi. Kuncup yang akan segera bertransformasi menjadi
bunga yang indah. Mereka sudah dianggap Maya sebagai anak sendiri. Akan sangat
indah, seandainya di tengah hutan ada warna-warna yang berbeda selain hijau. Itu
yang mendasari dia untuk menanamnya. Mumpung ada beberapa meter tanah kosong
yang bisa dimanfaatkan.