Senin, 03 Juni 2019

Dunia Maya 01


01
DENGAN penuh semangat Maya berlarian lincah sepanjang areal perkebunan. Perkebunan yang selama ini diurus oleh kedua orangnya. Mereka hanyalah sebagai petani penggarap. Kebun yang lebih menyerupai hutan produksi tersebut adalah milik seorang pejabat di kota. Kenapa banyak orang  menyebutnya sebagai hutan? Karena kebun puluhan hektar itu dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi, dan juga semak belukar. Memang lebih menyerupai hutan ketimbang kebun. Pepohonan hijau yang ada, di kebanyakan dominasi oleh pohon apokat, durian, cengkeh dan kopi. Maya sangat suka berada di kebun tersebut. Udaranya sangat segar, lantaran berada di ketinggian bukit. Bukit Intaran, begitu orang disekitar menyebutnya. Kemanapun kita memandang, semua yang ada seakan memanjakan mata. Orang-orang mungkin melihat tempat ini sebagai kebun ataupun hutan. Namun bagi Maya, tempat ini adalah arena bermain yang sangat menyenangkan.
Maya dan bukit Intaran seolah memiliki ikatan batin. Bagaimanapun dia bisa dikatakan tumbuh besar bersama bukit tersebut. Sebagian hari sedari kecil dihabiskan di tempat itu. Setiap jengkalnya sudah dihapal di luar kepala. Areal mana yang aman untuk dilalui, dan bagian mana yang rawan bagi keselamatan. Memanjati pohon-pohon tinggi yang ada di kebun juga sangat fasih lakukan Maya. Tumpukan buah-buah apokat yang kini lagi disortir, adalah hasil aksi panjat memanjat yang dia lakukan seharian.
“Maya sini sebentar, bantuin ibu ngepak buah ke karung.”
“Iya Bu, sebentar...”
Deretan tangkai mawar yang mulai digelayuti kuncup-kuncup mungil, menyedot perhatian Maya sedari tadi. Kuncup yang akan segera bertransformasi menjadi bunga yang indah. Mereka sudah dianggap Maya sebagai anak sendiri. Akan sangat indah, seandainya di tengah hutan ada warna-warna yang berbeda selain hijau. Itu yang mendasari dia untuk menanamnya. Mumpung ada beberapa meter tanah kosong yang bisa dimanfaatkan.
“Sudah tumbuh, Kak?”
Adik kandung Maya, Mahdi, datang mendekat. Tanggal merah atau hari libur seperti saat ini, dia memang biasa ikut serta membantu bekerja di kebun. Sisa hari lainnya, dia jarang bisa ikut bersama kami karena ada di sekolah. Lahir sebagai laki-laki memang sangat menguntungkan dirinya. Bisa mendapat prioritas lebih ketimbang Maya, yang lahir sebagai perempuan. Meski begitu, Maya tak pernah mengajukan protes kepada orang tuanya. Dirinya sangat sadar dengan keadaan ekonomi keluarga, yang sangat sulit untuk membiayai sekoah dua orang anak sekaligus. Lebih baik Maya memposisikan diri untuk membantu ekonomi keluarga, ketimbang mengeluh dan malah menambah beban orang tua.
“Iya sudah. Satu atau dua minggu lagi palingan sudah kelihatan bunganya.”
“Kalau bibit jeruk Balinya?”
“Udah, tapi awas buahnya nggak manis, aku jitak nanti. Promosinya doang ntar yang oke.”
Mahdi tersenyum. Dia tahu kalau kakaknya itu sedang bercanda. Dia sangat tahu kalau merawat aneka tanaman sudah menjadi hobi sang kakak. Kadang dia menggoda, kalau kakaknya itu lebih banyak bergaul dengan pohon ketimbang manusia. Mungkin itu ada benarnya. Menurut Maya tanaman itu jujur, lebih jujur ketimbang makhluk hidup lainnya. Kalau mereka merasa nyaman dengan kita, mereka akan menunjukkan tanpa rasa ragu. Rasa terima kasih mereka bisa berbentuk bunga yang indah, buah yang manis, dan udara segar yang kita hirup pastinya. Maka dari itu, setiap kali ada kesempatan Mahdi pasti membawakan bibit dari tanaman. Hasil barter dengan teman-teman yang profesi orang tuanya juga sebagai petani. Paling tidak itulah yang bisa dia lakukan demi sang kakak, karena telah mengambil haknya untuk bersekolah.
Bergeser sedikit Maya ke sebelah utara. Di sana dia menanam bunga pacar air dan gemitir. Sudah menampakkan keindahan warna-warninya, karena ditanam lebih awal ketimbang mawar tadi. Sebentar lagi akan siap di panen. Itulah enaknya punya tuan tanah yang cuek terhadap tanah miliknya sendiri. Sang tuan tanah sangat jarang datang menengok kebun. Yang penting baginya, kami menyetor hasil panen sesuai dengan target yang telah dia tetapkan. Kesempatan ini Maya gunakan untuk bisa memakai lahan-lahan yang kosong untuk bahan eksperimen. Ditanaminya tanaman beraneka ragam jenis. Kadang aku silang, sehingga menghasilkan tanaman jenis baru. Orang tuaku sih tidak keberatan, asal tidak mengganggu tanaman di kebun utama.
“Maya, Mahdi... Ayo ke sini.”
Sekali lagi sang ibu memanggil. Kali ini mereka berdua langsung beranjak mendekat. Di sana tumpukan apokat, pisang, dan cengkeh sudah menunggu. Menunggu untuk ditimbang dan dipaket ke dalam karung. Karung-karung ini nantinya akan dijual kepada penadah di pasar induk. Ada juga yang akan dijual ke pengecer-pengecer. Itu adalah tugas Maya, yang kadang dilakukan bergantian dengan Mahdi. Maya memang menawarkan diri untuk membawa barang-barang ke pasar. Hal itu ibarat hiburan lain bagi dirinya. Di sana dia bisa melihat barang-barang bagus, meski tahu kalau tidak akan sanggup untuk membelinya. Sebatas melihat-lihat saja Maya sudah cukup senang. Sebuah hiburan yang terdengar lucu memang, tapi tidak bagi gadis yang tinggal di kaki sebuah bukit dengan kondisi ekonomi terbatas.
“Yang ini dua puluh kilo lebih sedikit,” ujar Maya sembari melihat angka di timbangan.
“Dibagi dua karung saja, biar gampang bawanya,” ayahku menimpali.
Maya menuruti saja instruksi tersebut. Tidak akan ada gunanya membatah perkataan ayah, terutama terkait cara mengepak barang dagangan. Puluhan tahun sudah ayah bergelut di bidang ini. Dia sudah bisalah untuk dimasukkan ke dalam kategori ahli. Kalau ayah bertugas mengurusi soal suplai dagangan, maka ibu yang mengurus soal tata kelola keuangan. Untuk harga buah dan sayuran di pasaran, ibu sudah memahaminya di luar kepala. Menakar berapa harga jual agar bisa mendapat keuntungan maksimal adalah ‘kekuatan super’ ibu. Dari hasil keuntungan tersebut, kami bisa membeli sebidang tanah dimana rumah kecil kami dibangun. Posisinya tidak terlalu jauh dari kebun. Tidak terlalu luas, tapi tidak juga terlalu sempit. Masih tersisa sedikit halaman untuk dipakai Maya menanam tanaman yang bisa dipakai konsumsi sehari-hari. Bayam, tomat, singkong, dan tanaman bumbu-bumbuan. Semua itu hasil tangan dingin ibu dalam mengelola keuangan. Maya sangat bangga dengan mereka. Meski tidak pernah mengecap bangku sekolah resmi, mereka berdua bisa begitu fasih menerapkan ‘ilmu ekonomi’.
“Kita langsung ke pasar sekarang kan, Yah? Mumpung masih sore?”
Ayah tersenyum. Dia sudah paham kalau pergi ke pasar adalah sebuah hiburan bagi sang anak sulung. Dia pun mengangguk. “Boleh.”
Mendengar itu, Maya jadi kian bersemangat membantu mengangkat karung-karung ke bak belakang mobil pick-up. Begitu karung terakhir sudah dinaikkan, langsung saja dirinya meloncat naik ke bak. Menyelipkan diri di antara celah kosong, di sela-sela tumpukan karung. Mahdi ikut menyusul kemudian. Sementara ayah dan ibu duduk di depan.
Mobil mulai berguncang-guncang ketika menyusuri jalanan tanah bergelombang. Proyek pemerintah memang belum menyentuh daerah tersebut. Apabila hujan turun, kondisi jalan akan lebih parah lagi. Genangan air akan muncul di mana-mana. Selain rawan menimbulkan longsor, yang kadang kala sampai menutup akses jalan. Biasanya kalau sudah seperti itu, terpaksa mereka akan menginap di punggung bukit. Di dalam sebuah pos penjagaan hutan, yang sudah lama tidak terpakai lagi. Syukurnya, hari ini hujan tidak turun meski mendung dingdaya menguasai langit.
Hampir satu jaman berguncang-guncang, akhirnya ban mobil menyentuh permukaan datar. Mereka sudah memasuki jalan aspal, yang merupakan jalan utama menuju kota. Itu berarti pula berkurangnya udara segar yang bisa dihirup. Tak ada lagi hawa perbukitan yang menerpa wajah. Tak ada lagi angin sejuk yang mengibarkan rambut ke berbagai arah. Maya sangat menyukai momen tersebut. Pemandangan yang mereka lalui pun berganti. Tidak lagi menghijau seperti tadi. Deretan rumah-rumah sudah bermunculan di sisi kanan dan kiri. Mereka mulai mendekati titik pusat populasi kehidupan manusia.
Mereka memasuki areal pasar induk tiga puluh menit berselang. Di sana rupanya sudah banyak mobil terparkir. Membuat ayah terpaksa harus memarkir di pinggiran jalan. Kebanyakan adalah model pick-up, yang juga membawa hasil alam untuk dijual. Sama seperti keluarga Maya, mereka juga kebanyakan suplayer kepada para pedagang di pasar. Transaksi jual beli biasanya hanya terjadi sampai sore. Ketika matahari sinarnya makin memudar, areal parkir ini akan mulai bertransformasi menjadi pasar malam. Satu demi satu pedagang-pedagang kuliner kelas kaki lima akan menyiapkan lapaknya. Siklus itu akan terus berulang setiap harinya.
“Bu, aku ke seberang jalan sebentar ya.”
“Jangan lama-lama. Biar kita pulangnya nggak kemaleman.”
Teringat Maya dengan lampu kanan pick-up yang belum diperbaiki. Musti menunggu hasil penjualan panen hari ini, baru bisa dibelikan yang baru di montir. Itupun kalau hasil yang didapat sesuai dengan harga onderdil lampu tersebut.
Maya pun mengangguk. Berarti dia harus mempercepat langkahnya.
Setengah berlarian Maya menembus kerumunan pasar. Suasana sudah mulai ramai, karena memasuki jam-jam peralihan antara pedagang pagi dan malam. Itu belum ditambah pengunjung pasar yang juga bercampur. Pegadang pagi yang sebagian besar menjual kebutuhan pokok dan pakaian, mulai menutup toko mereka. Sedangkan pedagang malam, mulai membangun lapak dagangan di areal parkir yang perlahan menjadi kosong. Untuk mencapai tujuannya, Maya masih harus menyeberangi jalan protokol di depan pasar. Sama seperti di dalam pasar, suasana di luar juga sedikit campur aduk. Begitu berhasil menyeberang, mata Maya sudah bisa menangkap sebuah bangunan ruko tua. Sebuah toko yang menjual aneka macam majalah, surat kabar, buku-buku, dan jenis media cetak lainnya. Kebanyakan adalah media cetak lama, yang kini mulai tidak diproduksi lagi oleh pencetaknya. Pada plang nama tokonya tertulis “TOKO BOEKOE”. Pakai ejaan lama, yang cukup menggambarkan seberapa tua sih umur toko itu sebenarnya. Bisa dilihat pula dari cat temboknya, yang sudah kusam termakan usia.
“Maaf Bah, datengnya kesorean.” Langsung Maya berujar kepada seorang pria paruh baya. Duduk pria itu di sebuah meja, yang sekaligus berfungsi sebagai meja kasir.
“Sengaja kok Abah belum nutup toko. Soalnya tadi kan Abah sempet ngeliat mobil kamu lewat. Sudah bisa ditebak kalau kamu pasti bakalan mampir.”
Tertawa kecil Maya mendengarnya. Begitu perhatian Abah Zaini kepadanya.
Sudah hampir tiga tahun Maya mengenal Abah Zaini. Orang-orang di sekitar pasar induk biasa memanggilnya Abah Zain. Perkenalan dengan Abah dimulai saat Maya hendak menjual dua ikat koran bekas. Koran-koran itu didapat dari pegawai kantor desa. Kebetulan ayah datang ke sana untuk keperluan mengurus perpanjangan KTP. Rencananya tumpukan koran bekas itu mau dibuang begitu saja. Otak bisnis ayah langsung bereaksi. Daripada dibuang mending dijual saja. Uangnya lumayan bisa dipakai makan dua hari. Beralihkan tumpukan koran itu kepadaku, untuk di bawa ke toko Abah Zain. Ketika transaksi terjadi, Abah Zain memberikan bonus sebuah majalah. Maya sempat menolaknya. Dengan terus terang dia mengaku kalau tidak bisa membaca. Terkejut Abah mendengar pengakuan itu. Padahal di usia Maya saat itu harusnya sedang ada di sekolah, mengenyam pendidikan SD tingkat akhir.
Sejak hari itu, Maya kerap diminta untuk datang ke toko setiap kali ada kesempatan. Pelan-pelan gadis itu mulai diperkenalkan kepada huruf dan angka. Sedikit demi sedikit, Maya mulai mampu membaca kata, kalimat pendek, dan hitung-hitungan sederhana. Sebelum pulang, Abah pasti akan selalu memberinya satu buah buku atau majalah. Berguna agar Maya masih tetap bisa berlatih membaca di sela-sela waktu luangnya. Buku atau majalah itu bisa dia kembalikan kapan saja, disesuaikan dengan jadwalnya datang ke pasar induk. Mulailah kegiatan belajar-mengajar ini berlangsung secara rutin, sampai hari ini.
“Mau kembaliin novel yang terakhir aku ambil, Bah.”
“Bagaimana? Bagus kan ceritanya?”
Maya mengangguk mantap.
Novel itu beralih dari tangan Maya ke tangan Abah. Novel ketiga yang sukses dia baca sampai selesai. Kalau dulu kalau bahan bacaan masih kebanyakan berupa buku bergambar, yang ditambahkan sedikit tulisan. Kini perlahan Maya mulai bergelut dengan bahan-bahan bacaan yang lebih didominasi oleh tulisan. Bahan bacaan seperti teenlite, novel, biografi, ensiklopedia, dan sejenisnya. Semuanya aku peroleh dari toko Abah. Bahkan tidak jarang Abah mencarikan bahan bacaan edisi terbaru, bila kebetulan dirinya ada keperluan ke kota.
“Nih Bah, aku bawain durian. Manis lho, matang di pohon.”
Abah Zain terkekeh. Dia memang tidak pernah mau menarik bayaran dari setiap buku yang dipinjam Maya. Sebagai gantinya, buku-buku itu akan dibarternya dengan buah-buahan yang di panen dari kebun.
“Boleh pinjem buku lagi, Bah?”
“Jelas boleh dong. Kamu pilih sajalah sendiri.”
Melangkah Maya menuju tiga deret rak buku yang ada. Ukuran ruangan yang minimalis membuatnya tidak mampu memuat rak lebih banyak. Tidak ada orang lain selain Maya di sana. Malah mungkin sedari pagi suasana sudah seperti itu. Sudah jadi pemandangan yang biasa bagi toko Abah Zain. Dia tidak pernah mengeluh, karena membuka toko buku baginya hanya untuk mengisi sisa hari tua. Selain itu, kata Abah, toko ini adalah salah satu bentuk partisipasi dirinya sebagai warga negara. Ikut serta menyukseskan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu adalah ‘tugas negara’ yang harus dia emban. Setiap kali dia mengungkapkan hal itu, Maya akan terkekeh geli. Sudah macam pahlawan saja si Abah ini, pikir Maya.
Guna memenuhi ‘tugas negara’ ini, kadang Abah harus keluar uang sendiri untuk membeli bahan bacaan tersebut. Itulah kenapa dia lebih memilih untuk membeli yang bekas, karena akan lebih murah. Yang menjadi perhatian Abah adalah isi dari bahan bacaan itu. Terkadang mesti tahunnya lama, namun isinya kadang masih tetap relevan dengan perkembangan terbaru. Kadang bahan-bahan bacaan itu juga bisa didapatkan dari sumbangan beberapa kenalan. Kadang bisa juga didapat dengan barter pakai beras atau kebutuhan pokok lain. Prinsip yang selalu dipegang oleh Abah, kalau ada kemauan pasti akan selalu ada jalan. Pokoknya ada atau tidak ada orang datang, toko itu akan selalu rutinbuka. Kadang sekali dua kali ada anak-anak yang menumpang baca di sana. Lagi-lagi, tidak ada bayaran satu rupiah pun yang ditarik Abah dari mereka. Semua kembali hanya semata-mata untuk menunaikan - yang baginya - adalah ‘tugas negara’ tersebut. Kadang Maya merasa toko buku ini lebih mirip perpustakaan. Mereka yang datang lebih banyak meminjam ketimbang membeli.
Meski jarang sakali menarik bayaran, Abah masih tetap bisa hidup berkecukupan. Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dana pensiun saat dulu menjadi gurulah yang menjadi andalan. Selain kiriman dari anak-anaknya, yang kini sudah hidup mandiri di luar daerah. Hidup Abah juga sangat sederhana. Sebagai mantan guru, dia kerap mengungkapkan keprihatinan terhadap rendahnya minat baca generasi muda. Itulah kenapa dia sangat bahagia ketika garis takdir mempertemukan dirinya dengan Maya. Seorang gadis yang punya rasa ‘penasaran’ begitu dalam terhadap buku. Sesuatu yang langka di dunia yang serba digital ini.
Dari salah satu rak buku, Maya ambil sebuah novel yang berukuran sedang. Kata Abah, dia harus terus meningkatkan kemampuan bacanya. Tiga buah novel tipis sudah cukup bagi Maya untuk lanjut meningkatkan level novelnya menjadi sedang. Lagipula Abah tidak pernah memberi tenggat waktu padanya. Maya boleh kapan saja mengembalikan novel tersebut, begitu selesai dibaca. Lebih dari seminggu pun tidak apa-apa.
“Cuma pinjam satu saja? Yakin?”
Maya mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu tunggu sebentar Abah punya suatu buat kamu.”
Terlihat kemudian Abah mengambil sesuatu dari laci meja. Sebuah buku bersampul lusuh. Ukurannya cukup tebal, lebih tebal dari novel yang sekarang dia pegang.
“Ini buat kamu.”
Buku itu berpindah tangan. Gambar pada sampulnya langsung menarik perhatian Maya. Menampilkan gambar daun, bunga, dan buah. Mulai dia membuka halamannya satu demi satu, sesuai suruhan Abah. Mata Maya berbinar karena di salah satu halaman berisi cara menanam mawar. Tanaman yang kini sedang dia geluti. Ada pula gambar aneka tanaman buah, dimana salah satunya jeruk Bali. Benar-benar pas sekali dengan kebutuhan dirinya saat ini. Sekali lagi dilihatnya ulang sampul dari buku tersebut. Di sana tertulis, “TEHNIK AGRIKULTURAL.”
“Bah, tehnik agrikultural itu apa ya?”
“Itu nama ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan. Abah nemuin buku itu waktu ngambil stok buku di kota. Kayaknya pas buat kamu yang hobi bercocok tanam. Kamu bilang punya kebun sendiri kan sekarang?”
Maya tersipu. “Ah, itu kan baru iseng nyoba-nyoba aja.”
“Lho, semua hal besar itu kadang awalnya kan dimulai dari coba-coba.”
Sesuai panggilannya, Abah Zain kini sudah dianggap Maya sebagai ayah kedua. Apapun hal positif yang lakukan sang gadis, dia pasti akan mendukung. Dia juga yang selalu memberi semangat pada Maya, agar dirinya jangan pernah minder menjadi petani penggarap. Abah selalu menekankan kalau profesinya dan orang tuanya adalah profesi yang mulia. Bukit Intaran masih terawat dan produktif sampai saat ini semata adalah berkat jasa petani penggarap. Tanpa mereka tidak mungkin bukit itu akan masih menghijau seperti saat ini. Meski sebagian besar dari lahan di sana bukan lagi menjadi milik penduduk setempat.
“Oya, besok kamu ada waktu kosong nggak?”
“Memang ada apa, Bah?”
“Besok Abah mau buka kelas di sini. Kamu ikut bantuin ngajar ya.”
“Aku, Bah?”
“Iya.”
Konsep kelas tersebut adalah kumpulan dari anak-anak pedagang pasar. Kemunginan akan ada empat sampai sepuluh anak yang akan ikut kelas esok hari, kata Abah. Mereka ini sehari-hari ikut menemani orang tuanya berdagang. Akhirnya Abah berhasil mendapatkan ijin dari para orang tua agar anak-anak mereka bisa ikut belajar membaca dan menulis. Biasanya berminggu-minggu dulu Abah melakukan pendekatan kepada orang tua dari anak-anak ini. Sebagian besar awalnya pada menolak, meskipun sudah diyakinkan kalau tidak akan ada biaya yang ditarik dari mereka. Itulah kenapa Abah tidak secara rutin mengajar, karena sifat kelasnya yang memang sangat situasional. Meski kerap mendapatkan penolakan, tapi Abah tidak begitu saja menyerah. Memang sudah menjadi watak Abah. Menurut dirinya, semua yang dia lakukan semua semata demi masa depan dari anak-anak itu juga. Persis seperti yang dia pikirkan ketika pertama kali bertemu Maya. Bisanya berminggu-minggu proses ini musti dilalui, barulah ijin tersebut didapat.
Setiap kali mendengar cerita perjuangan Abah, Maya pasti akan selalu dibuat tersentuh. Tentu saja Maya tidak akan menolak permintaan tersebut. Apalagi selesai panen, biasanya orang tua Maya baru akan datang ke kebun lagi dua atau tiga hari berselang. Biasanya waktu jeda ini dipakai untuk istirahat sebentar, sambil menyemai bibit untuk nantinya di tanam kembali. Selain itu, Maya juga ingat kalau besok disuruh ibu untuk mengantar pesanan kue. Di baliknya dia bisa sekalian mampir sebentar ke toko Abah Zain. Sebuah kebetulan yang indah.
“Bisa Bah,” sahut Maya antusias.
Sangatlah wajar kalau Maya merasa antusias. Memiliki masa lalu sebagai seorang mantan tuna aksara, Maya tahu betul rasanya  Bisa baca, tulis, dan hitung, telah mengubah hidup Maya. Lewat buku kini dirinya jadi tahu banyak hal. Bisa tahu kalau dirinya tinggal di sebuah negara yang begitu besar. Meski belum pernah keluar dari desa kelahirannya, tapi paling tidak dia kini punya gambaran tentang apa saja yang ada di luar sana. Sambil bermimpi, siapa tahu berjodoh dengan salah satu kota dan bisa melihat kehidupan lain yang ada di sana. Maya pun ingin anak-anak lain punya mimpi yang sama dengannya. Ingin anak-anak lain terbuka juga wawasannya.
Belum pernah sebelumnya Maya diminta untuk ikut mengajar. Kalaupun kebetulan dirinya datang sewaktu Abah Zain mengadakan kelas, maka Maya hanya diminta untuk memperhatikan saja. Melihat bagaimana cara Abah mengajar. Pasti Abah punya penilaian sendiri. Mungkin kini Abah sudah percaya dengan kemampuan yang dia miliki. Dalam hati terbersit rasa bangga dalam diri Maya.
“Kalau begitu sampai ketemu besok ya.”
“Siap.” Senyum Maya mengembang lebar. “Ada yang perlu aku bawa besok, Bah?”
“Ada.”
“Apa?”
“Durian.”
Tawa gadis itu langsung pecah.
***

(SEBUAH DRAFT)
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar