01
DENGAN
penuh semangat Maya berlarian lincah sepanjang areal perkebunan. Perkebunan
yang selama ini diurus oleh kedua orangnya. Mereka hanyalah sebagai petani
penggarap. Kebun yang lebih menyerupai hutan produksi tersebut adalah milik
seorang pejabat di kota. Kenapa banyak orang menyebutnya sebagai hutan? Karena kebun
puluhan hektar itu dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi, dan juga semak belukar. Memang
lebih menyerupai hutan ketimbang kebun. Pepohonan hijau yang ada, di kebanyakan
dominasi oleh pohon apokat, durian, cengkeh dan kopi. Maya sangat suka berada
di kebun tersebut. Udaranya sangat segar, lantaran berada di ketinggian bukit. Bukit
Intaran, begitu orang disekitar menyebutnya. Kemanapun kita memandang, semua
yang ada seakan memanjakan mata. Orang-orang mungkin melihat tempat ini sebagai
kebun ataupun hutan. Namun bagi Maya, tempat ini adalah arena bermain yang
sangat menyenangkan.
Maya dan bukit Intaran seolah memiliki ikatan batin. Bagaimanapun dia
bisa dikatakan tumbuh besar bersama bukit tersebut. Sebagian hari sedari kecil dihabiskan
di tempat itu. Setiap jengkalnya sudah dihapal di luar kepala. Areal mana yang
aman untuk dilalui, dan bagian mana yang rawan bagi keselamatan. Memanjati pohon-pohon
tinggi yang ada di kebun juga sangat fasih lakukan Maya. Tumpukan buah-buah apokat
yang kini lagi disortir, adalah hasil aksi panjat memanjat yang dia lakukan
seharian.
“Maya sini sebentar, bantuin ibu ngepak buah ke karung.”
“Iya Bu, sebentar...”
Deretan tangkai mawar yang mulai digelayuti kuncup-kuncup mungil, menyedot
perhatian Maya sedari tadi. Kuncup yang akan segera bertransformasi menjadi
bunga yang indah. Mereka sudah dianggap Maya sebagai anak sendiri. Akan sangat
indah, seandainya di tengah hutan ada warna-warna yang berbeda selain hijau. Itu
yang mendasari dia untuk menanamnya. Mumpung ada beberapa meter tanah kosong
yang bisa dimanfaatkan.
“Sudah tumbuh, Kak?”
Adik kandung Maya, Mahdi, datang mendekat. Tanggal merah atau hari libur
seperti saat ini, dia memang biasa ikut serta membantu bekerja di kebun. Sisa hari
lainnya, dia jarang bisa ikut bersama kami karena ada di sekolah. Lahir sebagai
laki-laki memang sangat menguntungkan dirinya. Bisa mendapat prioritas lebih ketimbang
Maya, yang lahir sebagai perempuan. Meski begitu, Maya tak pernah mengajukan
protes kepada orang tuanya. Dirinya sangat sadar dengan keadaan ekonomi
keluarga, yang sangat sulit untuk membiayai sekoah dua orang anak sekaligus. Lebih
baik Maya memposisikan diri untuk membantu ekonomi keluarga, ketimbang mengeluh
dan malah menambah beban orang tua.
“Iya sudah. Satu atau dua minggu lagi palingan sudah kelihatan bunganya.”
“Kalau bibit jeruk Balinya?”
“Udah, tapi awas buahnya nggak manis, aku jitak nanti. Promosinya doang
ntar yang oke.”
Mahdi tersenyum. Dia tahu kalau kakaknya itu sedang bercanda. Dia sangat
tahu kalau merawat aneka tanaman sudah menjadi hobi sang kakak. Kadang dia
menggoda, kalau kakaknya itu lebih banyak bergaul dengan pohon ketimbang
manusia. Mungkin itu ada benarnya. Menurut Maya tanaman itu jujur, lebih jujur
ketimbang makhluk hidup lainnya. Kalau mereka merasa nyaman dengan kita, mereka
akan menunjukkan tanpa rasa ragu. Rasa terima kasih mereka bisa berbentuk bunga
yang indah, buah yang manis, dan udara segar yang kita hirup pastinya. Maka
dari itu, setiap kali ada kesempatan Mahdi pasti membawakan bibit dari tanaman.
Hasil barter dengan teman-teman yang profesi orang tuanya juga sebagai petani. Paling
tidak itulah yang bisa dia lakukan demi sang kakak, karena telah mengambil
haknya untuk bersekolah.
Bergeser sedikit Maya ke sebelah utara. Di sana dia menanam bunga pacar
air dan gemitir. Sudah menampakkan keindahan warna-warninya, karena ditanam
lebih awal ketimbang mawar tadi. Sebentar lagi akan siap di panen. Itulah
enaknya punya tuan tanah yang cuek terhadap tanah miliknya sendiri. Sang tuan
tanah sangat jarang datang menengok kebun. Yang penting baginya, kami menyetor
hasil panen sesuai dengan target yang telah dia tetapkan. Kesempatan ini Maya gunakan
untuk bisa memakai lahan-lahan yang kosong untuk bahan eksperimen. Ditanaminya tanaman
beraneka ragam jenis. Kadang aku silang, sehingga menghasilkan tanaman jenis baru.
Orang tuaku sih tidak keberatan, asal tidak mengganggu tanaman di kebun utama.
“Maya, Mahdi... Ayo ke sini.”
Sekali lagi sang ibu memanggil. Kali ini mereka berdua langsung beranjak
mendekat. Di sana tumpukan apokat, pisang, dan cengkeh sudah menunggu. Menunggu
untuk ditimbang dan dipaket ke dalam karung. Karung-karung ini nantinya akan
dijual kepada penadah di pasar induk. Ada juga yang akan dijual ke
pengecer-pengecer. Itu adalah tugas Maya, yang kadang dilakukan bergantian
dengan Mahdi. Maya memang menawarkan diri untuk membawa barang-barang ke pasar.
Hal itu ibarat hiburan lain bagi dirinya. Di sana dia bisa melihat
barang-barang bagus, meski tahu kalau tidak akan sanggup untuk membelinya.
Sebatas melihat-lihat saja Maya sudah cukup senang. Sebuah hiburan yang terdengar
lucu memang, tapi tidak bagi gadis yang tinggal di kaki sebuah bukit dengan
kondisi ekonomi terbatas.
“Yang ini dua puluh kilo lebih sedikit,” ujar Maya sembari melihat angka
di timbangan.
“Dibagi dua karung saja, biar gampang bawanya,” ayahku menimpali.
Maya menuruti saja instruksi tersebut. Tidak akan ada gunanya membatah
perkataan ayah, terutama terkait cara mengepak barang dagangan. Puluhan tahun sudah
ayah bergelut di bidang ini. Dia sudah bisalah untuk dimasukkan ke dalam
kategori ahli. Kalau ayah bertugas mengurusi soal suplai dagangan, maka ibu yang
mengurus soal tata kelola keuangan. Untuk harga buah dan sayuran di pasaran,
ibu sudah memahaminya di luar kepala. Menakar berapa harga jual agar bisa
mendapat keuntungan maksimal adalah ‘kekuatan super’ ibu. Dari hasil keuntungan
tersebut, kami bisa membeli sebidang tanah dimana rumah kecil kami dibangun. Posisinya
tidak terlalu jauh dari kebun. Tidak terlalu luas, tapi tidak juga terlalu
sempit. Masih tersisa sedikit halaman untuk dipakai Maya menanam tanaman yang
bisa dipakai konsumsi sehari-hari. Bayam, tomat, singkong, dan tanaman
bumbu-bumbuan. Semua itu hasil tangan dingin ibu dalam mengelola keuangan. Maya
sangat bangga dengan mereka. Meski tidak pernah mengecap bangku sekolah resmi,
mereka berdua bisa begitu fasih menerapkan ‘ilmu ekonomi’.
“Kita langsung ke pasar sekarang kan, Yah? Mumpung masih sore?”
Ayah tersenyum. Dia sudah paham kalau pergi ke pasar adalah sebuah
hiburan bagi sang anak sulung. Dia pun mengangguk. “Boleh.”
Mendengar itu, Maya jadi kian bersemangat membantu mengangkat
karung-karung ke bak belakang mobil pick-up.
Begitu karung terakhir sudah dinaikkan, langsung saja dirinya meloncat naik ke
bak. Menyelipkan diri di antara celah kosong, di sela-sela tumpukan karung. Mahdi
ikut menyusul kemudian. Sementara ayah dan ibu duduk di depan.
Mobil mulai berguncang-guncang ketika menyusuri jalanan tanah bergelombang.
Proyek pemerintah memang belum menyentuh daerah tersebut. Apabila hujan turun,
kondisi jalan akan lebih parah lagi. Genangan air akan muncul di mana-mana. Selain
rawan menimbulkan longsor, yang kadang kala sampai menutup akses jalan. Biasanya
kalau sudah seperti itu, terpaksa mereka akan menginap di punggung bukit. Di dalam
sebuah pos penjagaan hutan, yang sudah lama tidak terpakai lagi. Syukurnya,
hari ini hujan tidak turun meski mendung dingdaya menguasai langit.
Hampir satu jaman berguncang-guncang, akhirnya ban mobil menyentuh
permukaan datar. Mereka sudah memasuki jalan aspal, yang merupakan jalan utama
menuju kota. Itu berarti pula berkurangnya udara segar yang bisa dihirup. Tak
ada lagi hawa perbukitan yang menerpa wajah. Tak ada lagi angin sejuk yang
mengibarkan rambut ke berbagai arah. Maya sangat menyukai momen tersebut.
Pemandangan yang mereka lalui pun berganti. Tidak lagi menghijau seperti tadi.
Deretan rumah-rumah sudah bermunculan di sisi kanan dan kiri. Mereka mulai
mendekati titik pusat populasi kehidupan manusia.
Mereka memasuki areal pasar induk tiga puluh menit berselang. Di sana rupanya
sudah banyak mobil terparkir. Membuat ayah terpaksa harus memarkir di pinggiran
jalan. Kebanyakan adalah model pick-up,
yang juga membawa hasil alam untuk dijual. Sama seperti keluarga Maya, mereka
juga kebanyakan suplayer kepada para
pedagang di pasar. Transaksi jual beli biasanya hanya terjadi sampai sore. Ketika
matahari sinarnya makin memudar, areal parkir ini akan mulai bertransformasi menjadi
pasar malam. Satu demi satu pedagang-pedagang kuliner kelas kaki lima akan
menyiapkan lapaknya. Siklus itu akan terus berulang setiap harinya.
“Bu, aku ke seberang jalan sebentar ya.”
“Jangan lama-lama. Biar kita pulangnya nggak kemaleman.”
Teringat Maya dengan lampu kanan pick-up
yang belum diperbaiki. Musti menunggu hasil penjualan panen hari ini, baru bisa
dibelikan yang baru di montir. Itupun kalau hasil yang didapat sesuai dengan
harga onderdil lampu tersebut.
Maya pun mengangguk. Berarti dia harus mempercepat langkahnya.
Setengah berlarian Maya menembus kerumunan pasar. Suasana sudah mulai ramai,
karena memasuki jam-jam peralihan antara pedagang pagi dan malam. Itu belum
ditambah pengunjung pasar yang juga bercampur. Pegadang pagi yang sebagian
besar menjual kebutuhan pokok dan pakaian, mulai menutup toko mereka. Sedangkan
pedagang malam, mulai membangun lapak dagangan di areal parkir yang perlahan
menjadi kosong. Untuk mencapai tujuannya, Maya masih harus menyeberangi jalan protokol
di depan pasar. Sama seperti di dalam pasar, suasana di luar juga sedikit
campur aduk. Begitu berhasil menyeberang, mata Maya sudah bisa menangkap sebuah
bangunan ruko tua. Sebuah toko yang menjual aneka macam majalah, surat kabar, buku-buku,
dan jenis media cetak lainnya. Kebanyakan adalah media cetak lama, yang kini
mulai tidak diproduksi lagi oleh pencetaknya. Pada plang nama tokonya tertulis
“TOKO BOEKOE”. Pakai ejaan lama, yang cukup menggambarkan seberapa tua sih umur
toko itu sebenarnya. Bisa dilihat pula dari cat temboknya, yang sudah kusam
termakan usia.
“Maaf Bah, datengnya kesorean.” Langsung Maya berujar kepada seorang
pria paruh baya. Duduk pria itu di sebuah meja, yang sekaligus berfungsi sebagai
meja kasir.
“Sengaja kok Abah belum nutup toko. Soalnya tadi kan Abah sempet ngeliat
mobil kamu lewat. Sudah bisa ditebak kalau kamu pasti bakalan mampir.”
Tertawa kecil Maya mendengarnya. Begitu perhatian Abah Zaini kepadanya.
Sudah hampir tiga tahun Maya mengenal Abah Zaini. Orang-orang di sekitar
pasar induk biasa memanggilnya Abah Zain. Perkenalan dengan Abah dimulai saat Maya
hendak menjual dua ikat koran bekas. Koran-koran itu didapat dari pegawai
kantor desa. Kebetulan ayah datang ke sana untuk keperluan mengurus
perpanjangan KTP. Rencananya tumpukan koran bekas itu mau dibuang begitu saja.
Otak bisnis ayah langsung bereaksi. Daripada dibuang mending dijual saja. Uangnya
lumayan bisa dipakai makan dua hari. Beralihkan tumpukan koran itu kepadaku,
untuk di bawa ke toko Abah Zain. Ketika transaksi terjadi, Abah Zain memberikan
bonus sebuah majalah. Maya sempat menolaknya. Dengan terus terang dia mengaku
kalau tidak bisa membaca. Terkejut Abah mendengar pengakuan itu. Padahal di usia
Maya saat itu harusnya sedang ada di sekolah, mengenyam pendidikan SD tingkat akhir.
Sejak hari itu, Maya kerap diminta untuk datang ke toko setiap kali ada kesempatan.
Pelan-pelan gadis itu mulai diperkenalkan kepada huruf dan angka. Sedikit demi sedikit,
Maya mulai mampu membaca kata, kalimat pendek, dan hitung-hitungan sederhana. Sebelum
pulang, Abah pasti akan selalu memberinya satu buah buku atau majalah. Berguna
agar Maya masih tetap bisa berlatih membaca di sela-sela waktu luangnya. Buku
atau majalah itu bisa dia kembalikan kapan saja, disesuaikan dengan jadwalnya
datang ke pasar induk. Mulailah kegiatan belajar-mengajar ini berlangsung
secara rutin, sampai hari ini.
“Mau kembaliin novel yang terakhir aku ambil, Bah.”
“Bagaimana? Bagus kan ceritanya?”
Maya mengangguk mantap.
Novel itu beralih dari tangan Maya ke tangan Abah. Novel ketiga yang
sukses dia baca sampai selesai. Kalau dulu kalau bahan bacaan masih kebanyakan
berupa buku bergambar, yang ditambahkan sedikit tulisan. Kini perlahan Maya mulai
bergelut dengan bahan-bahan bacaan yang lebih didominasi oleh tulisan. Bahan bacaan
seperti teenlite, novel, biografi, ensiklopedia, dan sejenisnya. Semuanya aku
peroleh dari toko Abah. Bahkan tidak jarang Abah mencarikan bahan bacaan edisi
terbaru, bila kebetulan dirinya ada keperluan ke kota.
“Nih Bah, aku bawain durian. Manis lho, matang di pohon.”
Abah Zain terkekeh. Dia memang tidak pernah mau menarik bayaran dari
setiap buku yang dipinjam Maya. Sebagai gantinya, buku-buku itu akan dibarternya
dengan buah-buahan yang di panen dari kebun.
“Boleh pinjem buku lagi, Bah?”
“Jelas boleh dong. Kamu pilih sajalah sendiri.”
Melangkah Maya menuju tiga deret rak buku yang ada. Ukuran ruangan yang minimalis
membuatnya tidak mampu memuat rak lebih banyak. Tidak ada orang lain selain Maya
di sana. Malah mungkin sedari pagi suasana sudah seperti itu. Sudah jadi
pemandangan yang biasa bagi toko Abah Zain. Dia tidak pernah mengeluh, karena
membuka toko buku baginya hanya untuk mengisi sisa hari tua. Selain itu, kata
Abah, toko ini adalah salah satu bentuk partisipasi dirinya sebagai warga
negara. Ikut serta menyukseskan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu adalah ‘tugas
negara’ yang harus dia emban. Setiap kali dia mengungkapkan hal itu, Maya akan
terkekeh geli. Sudah macam pahlawan saja
si Abah ini, pikir Maya.
Guna memenuhi ‘tugas negara’ ini, kadang Abah harus keluar uang sendiri
untuk membeli bahan bacaan tersebut. Itulah kenapa dia lebih memilih untuk
membeli yang bekas, karena akan lebih murah. Yang menjadi perhatian Abah adalah
isi dari bahan bacaan itu. Terkadang mesti tahunnya lama, namun isinya kadang
masih tetap relevan dengan perkembangan terbaru. Kadang bahan-bahan bacaan itu juga
bisa didapatkan dari sumbangan beberapa kenalan. Kadang bisa juga didapat
dengan barter pakai beras atau kebutuhan pokok lain. Prinsip yang selalu
dipegang oleh Abah, kalau ada kemauan pasti akan selalu ada jalan. Pokoknya ada
atau tidak ada orang datang, toko itu akan selalu rutinbuka. Kadang sekali dua
kali ada anak-anak yang menumpang baca di sana. Lagi-lagi, tidak ada bayaran satu
rupiah pun yang ditarik Abah dari mereka. Semua kembali hanya semata-mata untuk
menunaikan - yang baginya - adalah ‘tugas negara’ tersebut. Kadang Maya merasa
toko buku ini lebih mirip perpustakaan. Mereka yang datang lebih banyak
meminjam ketimbang membeli.
Meski jarang sakali menarik bayaran, Abah masih tetap bisa hidup
berkecukupan. Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dana pensiun saat dulu
menjadi gurulah yang menjadi andalan. Selain kiriman dari anak-anaknya, yang
kini sudah hidup mandiri di luar daerah. Hidup Abah juga sangat sederhana. Sebagai
mantan guru, dia kerap mengungkapkan keprihatinan terhadap rendahnya minat baca
generasi muda. Itulah kenapa dia sangat bahagia ketika garis takdir mempertemukan
dirinya dengan Maya. Seorang gadis yang punya rasa ‘penasaran’ begitu dalam terhadap
buku. Sesuatu yang langka di dunia yang serba digital ini.
Dari salah satu rak buku, Maya ambil sebuah novel yang berukuran sedang.
Kata Abah, dia harus terus meningkatkan kemampuan bacanya. Tiga buah novel
tipis sudah cukup bagi Maya untuk lanjut meningkatkan level novelnya menjadi
sedang. Lagipula Abah tidak pernah memberi tenggat waktu padanya. Maya boleh kapan
saja mengembalikan novel tersebut, begitu selesai dibaca. Lebih dari seminggu
pun tidak apa-apa.
“Cuma pinjam satu saja? Yakin?”
Maya mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu tunggu sebentar Abah punya suatu buat
kamu.”
Terlihat kemudian Abah mengambil sesuatu dari laci meja. Sebuah buku
bersampul lusuh. Ukurannya cukup tebal, lebih tebal dari novel yang sekarang
dia pegang.
“Ini buat kamu.”
Buku itu berpindah tangan. Gambar pada sampulnya langsung menarik perhatian
Maya. Menampilkan gambar daun, bunga, dan buah. Mulai dia membuka halamannya
satu demi satu, sesuai suruhan Abah. Mata Maya berbinar karena di salah satu
halaman berisi cara menanam mawar. Tanaman yang kini sedang dia geluti. Ada
pula gambar aneka tanaman buah, dimana salah satunya jeruk Bali. Benar-benar pas
sekali dengan kebutuhan dirinya saat ini. Sekali lagi dilihatnya ulang sampul
dari buku tersebut. Di sana tertulis, “TEHNIK AGRIKULTURAL.”
“Bah, tehnik agrikultural itu apa ya?”
“Itu nama ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan.
Abah nemuin buku itu waktu ngambil stok buku di kota. Kayaknya pas buat kamu
yang hobi bercocok tanam. Kamu bilang punya kebun sendiri kan sekarang?”
Maya tersipu. “Ah, itu kan baru iseng nyoba-nyoba aja.”
“Lho, semua hal besar itu kadang awalnya kan dimulai dari coba-coba.”
Sesuai panggilannya, Abah Zain kini sudah dianggap Maya sebagai ayah
kedua. Apapun hal positif yang lakukan sang gadis, dia pasti akan mendukung. Dia
juga yang selalu memberi semangat pada Maya, agar dirinya jangan pernah minder
menjadi petani penggarap. Abah selalu menekankan kalau profesinya dan orang tuanya
adalah profesi yang mulia. Bukit Intaran masih terawat dan produktif sampai
saat ini semata adalah berkat jasa petani penggarap. Tanpa mereka tidak mungkin
bukit itu akan masih menghijau seperti saat ini. Meski sebagian besar dari
lahan di sana bukan lagi menjadi milik penduduk setempat.
“Oya, besok kamu ada waktu kosong nggak?”
“Memang ada apa, Bah?”
“Besok Abah mau buka kelas di sini. Kamu ikut bantuin ngajar ya.”
“Aku, Bah?”
“Iya.”
Konsep kelas tersebut adalah kumpulan dari anak-anak pedagang pasar. Kemunginan
akan ada empat sampai sepuluh anak yang akan ikut kelas esok hari, kata Abah. Mereka
ini sehari-hari ikut menemani orang tuanya berdagang. Akhirnya Abah berhasil
mendapatkan ijin dari para orang tua agar anak-anak mereka bisa ikut belajar
membaca dan menulis. Biasanya berminggu-minggu dulu Abah melakukan pendekatan
kepada orang tua dari anak-anak ini. Sebagian besar awalnya pada menolak,
meskipun sudah diyakinkan kalau tidak akan ada biaya yang ditarik dari mereka. Itulah
kenapa Abah tidak secara rutin mengajar, karena sifat kelasnya yang memang
sangat situasional. Meski kerap mendapatkan penolakan, tapi Abah tidak begitu
saja menyerah. Memang sudah menjadi watak Abah. Menurut dirinya, semua yang dia
lakukan semua semata demi masa depan dari anak-anak itu juga. Persis seperti
yang dia pikirkan ketika pertama kali bertemu Maya. Bisanya berminggu-minggu
proses ini musti dilalui, barulah ijin tersebut didapat.
Setiap kali mendengar cerita perjuangan Abah, Maya pasti akan selalu dibuat
tersentuh. Tentu saja Maya tidak akan menolak permintaan tersebut. Apalagi selesai
panen, biasanya orang tua Maya baru akan datang ke kebun lagi dua atau tiga
hari berselang. Biasanya waktu jeda ini dipakai untuk istirahat sebentar, sambil
menyemai bibit untuk nantinya di tanam kembali. Selain itu, Maya juga ingat
kalau besok disuruh ibu untuk mengantar pesanan kue. Di baliknya dia bisa sekalian
mampir sebentar ke toko Abah Zain. Sebuah kebetulan yang indah.
“Bisa Bah,” sahut Maya antusias.
Sangatlah wajar kalau Maya merasa antusias. Memiliki masa lalu sebagai
seorang mantan tuna aksara, Maya tahu betul rasanya Bisa baca, tulis, dan hitung, telah mengubah
hidup Maya. Lewat buku kini dirinya jadi tahu banyak hal. Bisa tahu kalau dirinya
tinggal di sebuah negara yang begitu besar. Meski belum pernah keluar dari desa
kelahirannya, tapi paling tidak dia kini punya gambaran tentang apa saja yang
ada di luar sana. Sambil bermimpi, siapa tahu berjodoh dengan salah satu kota dan
bisa melihat kehidupan lain yang ada di sana. Maya pun ingin anak-anak lain
punya mimpi yang sama dengannya. Ingin anak-anak lain terbuka juga wawasannya.
Belum pernah sebelumnya Maya diminta untuk ikut mengajar. Kalaupun kebetulan
dirinya datang sewaktu Abah Zain mengadakan kelas, maka Maya hanya diminta
untuk memperhatikan saja. Melihat bagaimana cara Abah mengajar. Pasti Abah
punya penilaian sendiri. Mungkin kini Abah sudah percaya dengan kemampuan yang dia
miliki. Dalam hati terbersit rasa bangga dalam diri Maya.
“Kalau begitu sampai ketemu besok ya.”
“Siap.” Senyum Maya mengembang lebar. “Ada yang perlu aku bawa besok,
Bah?”
“Ada.”
“Apa?”
“Durian.”
Tawa gadis itu langsung pecah.
***
(SEBUAH DRAFT)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar