Rabu, 29 November 2017

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak: Menonton Teater Di Layar Lebar



Kemarin malam, akhirnya saya bisa menonton film yang berjudul ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Dalam bahasa inggrisnya, ‘Marlina the Murderer in Four Acts’. Saya memakai kata “akhirnya”, karena hujan lebat diwarnai petir dan angin kencang, berkali-kali membatalkan rencana. Habisnya bioskop yang saya pilih rada jauh sih. Cinemaxx Lippo Mall Kuta, itu hampir satu jam perjalanan dari rumah, tergantung situasi lalu-lintas. Kenapa musti di sana? Pengen aja, belum pernah sih. Selain ingin merasakan bedanya dengan nonton di Cinema XXI.
Awalnya saya ingin menonton film ‘Justice League’, karena ingin ‘bertemu’ dengan Gal Gadot. Namun, saya batalkan setelah melihat poster wajah Marsha Timothy. Prinsip saya, jangan pernah ngeduain wanita. Maka saya harus pilih satu diantara dua wanita cantik ini. Gal, Marsha, Gal, Marsha, Gal, Marsha, Gal, Marsha, Gal, Marsha... Saya pun memilih Marsha. Maaf yah Kakak Gal, janji deh nanti film ‘Wonder Woman 2’ saya tonton. Dan maaf juga telah membuang waktu anda selama beberapa detik, untuk membaca paragraf nggak berguna ini hehehe...

Senin, 20 November 2017

Negeri 5 Menara - Keakraban Enam Sekawan


Satu lagi novel yang selesai saya baca. Sebuah Novel yang berjudul ‘Negeri 5 Menara’. Tertarik saya membacanya, karena kebetulan pernah bertatap mula langsung dengan penulisnya. Ahmad Fuadi, atau lebih dikenal dengan nama pena A. Fuadi. Tidak bertemu sampai bercakap-cakap sih. Saat itu, sang penulis menjadi pembicara pada salah satu kegiatan Ubud Writers & Readers Festival, tanggal 28 Oktober 2017.

Berawal dengan pertanyaan, “Sudah pada baca buku saya?” Saya yang bukanlah pembaca aktif, agak malu saat menjawab belum, dalam hati. Maka usai sesi kegiatan yang bertajuk ‘Emerging Voices: Write!” tersebut, saya mencoba untuk mencari-cari novel ini. Paling tidak dengan cara pinjam dulu. Setelah selesai membaca, saya menilai novel ini memang layak untuk dibeli.
Kenapa meminjam dulu? Karena saya sedikit khawatir dengan isinya. Dari hasil pemaparan A. Fuadi, saya mendapat gambaran umum kalau novel ini diangkat dari kisah nyata. Kisah hidup sang penulis sendiri. Kisah selama mengikuti kegiatan pembelajaran di salah satu pesantren, di daerah Jawa Timur. Pondok Madani atau Pesantren Gontor, di Jawa Timur (mohon maaf bila ada kesalahan penyebutan). Saya sendiri bukan muslim, karena itu saya takut kurang bisa mengerti dengan istilah-istilah yang dipakai pada novel. Ternyata dugaan saya tersebut salah. Bahasa yang dipakai cukup universal. Mungkin ada beberapa istilah-istilah dalam bahasa Arab dan Sumatera, namun itu pun ada penjelasannya dalam bentuk footnote.

Rabu, 08 November 2017

Ayah - Sebuah Novel: Bercerita Cinta Yang Tak Biasa



Siapa yang tidak kenal dengan Andrea Hirata. Seorang penulis yang fenomenal lewat novelnya ‘Laskar Pelangi’. Kebetulan salah satu novel karyanya ada di genggaman saya. Judulnya ‘Ayah - Sebuah Novel’. Novel ini ada di tangan saya karena judulnya tersebut. Sebagai seorang laki-laki, suatu saat nanti (entah kapan), pasti akan menjadi ayah. “Apakah saya akan menjadi seorang ayah yang baik?” Sebuah pertanyaan yang selalu mengusik diri saya. Dari membaca novel ini saya berharap bisa mendapat sedikit pencerahan. Tentang bagaimana menjadi seorang ayah.
Novel ini memiliki sampul yang sederhana, dengan didominasi warna hitam. Tergambar siluet seorang laki-laki, anak kecil, dan sepeda ontel. Diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka, pertama kali tahun 2015. Memiliki 396 halaman, belum termasuk daftar isi dan lainnya. Dari pemilihan font dan spasi, sangat enak untuk dibaca.
Begitu membuka sampul, kita disajikan empat halaman khusus berisi ‘Endorsement for Andrea Hirata - The Rainbow Troops’. Narsis juga nih Bung Andrea, pikir saya. Semua pujian dibuatin halaman khusus segala hehehe... Tapi memang penting sih, karena pujian bagi penulis itu ibarat vitamin. Dengan begitu, semangat untuk menulis bisa terus menyala dalam diri.

Selasa, 07 November 2017

Air Terjun Sekumpul: Tujuh Panorama Pemanja Indera


Sekumpul Waterfall
Setelah beberapa minggu terbelit kesibukan adat dan agama, akhirnya minggu ini ada juga waktu kosong. Kesempatan ini saya pakai untuk ‘ngebolang’. Dikarenakan kondisi daerah Bali timur masih rawan, maka jalan-jalan diarahkan ke Bali barat. Barat atau utara? Entahlah. Nilai geografi saya dari dulu memang tidak pernah bagus. Kabupaten Buleleng pun kemudian menjadi pilihan. Lebih spesifiknya lagi air terjun Sekumpul, yang berlokasi di Desa Lemukih.
Kenapa musti air terjun ini? Jelas ada latar belakangnya dong. Mbah Google, menginformasikan kalau air terjun Sekumpul memiliki keunikan, yang berbeda dengan panorama sejenis lainnya. Jika objek lain hanya punya satu air terjun, maka objek yang satu ini punya tujuh. Iya, tujuh air terjun, langsung di satu lokasi. Sungguh menggugah rasa penasaran saya.
Minggu pagi sekitar jam sepuluh, saya berangkat menuju lokasi. Rute yang saya ambil adalah jalur Mengwi-Bedugul-Singaraja. Menurut saya jalur ini paling nyaman. Pemandangannya keren dan udaranya sejuk. Awalnya saya pikir perlu masuk kota Buleleng untuk sampai ke lokasi. Ternyata begitu masuk desa Gigit, kira-kira dua kilometer, plang air terjun Sekumpul sudah terlihat. Guna memastikan saya bertanya ke warung di dekat plang terpasang. Sengaja saya tidak pakai aplikasi penunjuk lokasi di android. Lebih suka pakai ‘aplikasi congor’, alias tanya-tanya orang sekitar. Katanya sih interaksi dengan orang baru itu menyehatkan mental. Dari informasi pemilik warung, belok ke kanan memang arah menuju air terjun Sekumpul.

Sabtu, 04 November 2017

Mencari Jati Diri Lewat Karya Seni



Selain main program yang berbentuk diskusi panel, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, juga mengadakan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Diadakan menyebar di beberapa lokasi, meski tetap berpusat di Ubud, Gianyar, Bali. Beberapa kegiatan pendukung yang sempat Tim Good News From Indonesia (GNFI) hadiri secara langsung di tanggal 28 Oktober 2017, antara lain: Emerging Voices: yang bertajuk ‘Write!”, Film Program: yang bertajuk ‘How to Change the World’, Festival Club at Luna Bar: yang bertajuk ‘The Banda Journal’, dan Live Music and Arts: yang bertajuk ‘Rocking Against Prejudice’.
Pada kesempatan ini Tim GNFI akan mengulas dua buah kegiatan, yaitu: ‘Write!’ dan ‘Rocking Against Prejudice’. Kegiatan ini dinilai unik karena sesuai dengan teman UWRF 2017, yaitu mencari jati diri sejati (Sangkan Paraning Dumadi). Di satu kegiatan kita diajak mencari jati diri lewat menulis. Di kegiatan lain kita diajak mencari jati diri lewat musik. Dua proses pencarian jati diri, melalui dua bentuk karya seni yang berbeda.

Kamis, 02 November 2017

Melangkahkan Kaki, Menyembuhkan Diri



Pada tanggal 27 Oktober 2017, Indus Restaurant, kembali menjadi tempat pelaksanaan salah satu main program Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017. Acara berbentuk diskusi panel tersebut mengambil judul ‘The Walking Cure’, atau ‘Berjalan Untuk Memulihkan’. Sebuah tema yang menarik, mengingat masing-masing negara punya budaya jalan yang berbeda. Ada negara yang masyarakatnya memiliki budaya jalan aktif, dan ada pula yang pasif.
Sebagai pembicara atau panelis, antara lain: Simon Artitage, Paula Constant, dan Sergio Chejfec. Sedangkan sebagai moderator adalah Sophie Cunningham, seorang penulis dan editor. Ketiga pembicara memiliki pengalaman mereka sendiri-sendiri soal berjalan. Ketiganya mengabadikan pengalaman berjalan mereka itu ke dalam karya mereka, baik itu berupa novel maupun puisi.