Sabtu, 04 November 2017

Mencari Jati Diri Lewat Karya Seni



Selain main program yang berbentuk diskusi panel, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, juga mengadakan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Diadakan menyebar di beberapa lokasi, meski tetap berpusat di Ubud, Gianyar, Bali. Beberapa kegiatan pendukung yang sempat Tim Good News From Indonesia (GNFI) hadiri secara langsung di tanggal 28 Oktober 2017, antara lain: Emerging Voices: yang bertajuk ‘Write!”, Film Program: yang bertajuk ‘How to Change the World’, Festival Club at Luna Bar: yang bertajuk ‘The Banda Journal’, dan Live Music and Arts: yang bertajuk ‘Rocking Against Prejudice’.
Pada kesempatan ini Tim GNFI akan mengulas dua buah kegiatan, yaitu: ‘Write!’ dan ‘Rocking Against Prejudice’. Kegiatan ini dinilai unik karena sesuai dengan teman UWRF 2017, yaitu mencari jati diri sejati (Sangkan Paraning Dumadi). Di satu kegiatan kita diajak mencari jati diri lewat menulis. Di kegiatan lain kita diajak mencari jati diri lewat musik. Dua proses pencarian jati diri, melalui dua bentuk karya seni yang berbeda.
Kegiatan Emerging Voices: Write! berlangsung di Joglo Taman Baca, Campuhan, Ubud. Tempat yang unik karena mengesankan model bangunan khas Jawa, demikian pula ornamennya yang kebanyakan bernuansa kayu.
Menghadirikan tiga orang pembicara, yang sudah cukup berpengalaman malang melintang di dunia tulis menulis Indonesia. Mereka adalah Leila S. Chudori (penulis dan kontributor majalah Tempo), Ahmad Fuadi (penulis), dan Anita Hairunnisa (Bitread Publishing).
Leila S. Chudori memulai dengan menekankan penting mendalami karakter dalam menulis. Baik itu karakter pribadi, maupun karakter dari tokoh-tokoh yang akan kita tulis. Karakter pribadi di sini maksudnya karakter tulisan kita, karena masing-masing penulis memiliki gayanya sendiri-sendiri. Untuk mendalami karakter pribadi, kita harus terus menulis dan menulis. Proses ini harus terus dilakukan, selain mengasah kemampuan, sekaligus menemukan jati diri dalam tulisan kita.
“Setiap tulisan memiliki tiga babak bertutur, yaitu permulaan, proses, dan penutup. Setiap babak harus memiliki rangkaian yang logis. Meskipun karya kita itu fiksi, namun harus tetap memiliki rangkaian alur yang logis dan konsisten, termasuk di dalamnya karakter masing-masing tokoh. Dengan alur yang logis, membuat pembaca seolah-olah percaya kalau tulisan kita itu nyata dan tertarik untuk terus mengikuti jalan cerita,” ungkap Leila.
Ahmad Fuadi kemudian berbagi pengalaman tentang proses lahirnya novel ‘ Negeri 5 Menara’. Novel ini lahir sebagian besar adalah kontribusi dari sang istri. Saat dirinya bercerita tentang kehidupannya selama di pesantren, sang istri merasa kisah tersebut sangatlah menarik. Kemudian menyarankan untuk menuangkan itu dalam bentuk novel. Maka mulailah Uda Fuadi, panggilan akrab Ahmad Fuadi, mencari-cari sumber penulisannya. Berawal dari buku harian yang dia tulis selama bertahun-tahun, bahkan sebelum masuk pesantren. Dicari pula foto-foto di masa lampau bersama teman semasa sekolah. Termasuk sang ibu, yang ikut membantu dengan memberi surat-surat yang pernah dia kirim selama ada di pesantren.
“Bisa dibilang kalau menulis novel ‘Negeri 5 Menara’ adalah sebuah proses kembali ke masa lalu. Saya seperti bisa melihat kembali kilasan demi kilasan itu terasa nyata. Terasa semua itu baru kemarin terjadi. Hal-hal yang lagi membuat saya tersenyum, menangis, gundah, saya tuangkan ke dalam tulisan. Tanpa sadar tulisan-tulisan itu jadi sebuah novel,” ujar Uda Fuadi.
Ketika ditanya soal kiat membuat tulisan yang bagus, Uda Fuadi menjawab dengan pentingnya ‘First Impression’, atau kesan pertama. Kalimat pertama dan halaman pertama adalah kunci apakah tulisan itu menarik atau tidak. Memang kita tidak bisa menilai tulisan hanya melalui halaman pertamanya saja, namun itulah yang harus dikuatkan bila ingin menarik minat pembaca, untuk terus membaca. Hal ini juga diamini oleh Leila, yang pernah berpengalaman sebagai juri di beberapa kompetisi menulis.
Anita Hairunnisa, saat diberikan kesempatan selanjutnya, memaparkan mengenai perkembangan dunia penerbitan di Indonesia. Dimulai dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kita bisa hidup dari menulis?” Anita kemudian mengambil contoh Uda Fuadi, yang bisa menjadikan menulis sebagai salah satu mata pencaharian. Kalau menulis tidak mendapatkan kompensasi yang relatif besar, tidak mungkin beberapa tahun kebelakang kita ribut-ribut soal potongan pajak untuk penulis, tambah Anita lagi.
“Sebenarnya generasi milenia dewasa ini sudah terbiasa untuk menulis. Paling tidak terbiasa menulis status di media sosial. Bayangkan kalau status-status itu dibaca kembali, kemudian di rangkum dalam sebuah tulisan, mungkin bisa menjadi satu buah novel. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah tulisan itu nantinya akan memberi dampak bagi masyarakat luas? Kalau iya, apakah dampak positif atau dampak negatif? Kita memang bebas menulis, namun kita juga harus sadar ada tanggung jawab di sana,” ucap Anita.
Sayangnya, ditengah acara Leila S. Chudori harus meninggalkan lokasi, karena ada acara lain yang harus dihadiri. Masih terkait dengan rangkaian kegiatan UWRF 2017.
Diskusi kemudian dilanjutkan oleh Uda Fuadi. Pada kesempatan ini dia memaparkan bagaimana menulis telah mengubah hidupnya. Dia bisa mendapatkan penghasilan, pergi keluar negeri, bertemu orang-orang berbagai daerah dan negara, hanya dari menulis. Dia tidak bangga dengan itu, karena banyak orang-orang di luar sana pasti lebih hebat dari dia. Namun, yang membedakan adalah mereka tidak menulis perjalanan itu.
Uda Fuadi menuliskan perjalanannya ini, karena percaya kalau tulisan dampaknya lebih kuat dari peluru. Bahkan, kalau peluru bisa mematikan, justru tulisan bisa menghidupkan. Dampak tulisan yang positif dapat memberi kekuatan bagi orang lain. Dapat menginspirasi pembacanya. Selain itu, dirinya juga mengaku kalau lewat tulisan kita bisa melintas dimensi keilmuan lain. Misalnya dari novel dia bisa belajar tentang film, musik, dan komik. Itu bisa dilakukan saat novel ‘Negeri 5 Menara kemudian difilmkan.
“Awalnya saya tidak yakin saat ‘Negeri 5 Menara’ akan difilmkan. Lama berpikir, akhirnya saya menyetujuinya. Saya sadar bahwa untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, sebuah karya harus melakukan lintas dimensi. Saya sangat sadar kalau membaca belum begitu membudaya di Indonesia, berbeda dengan menonton film,” ujar Uda Fuadi.
Anita menambahkan kalau asyiknya menulis itu, bisa sekaligus berguna untuk menyalurkan emosi. “Silakan dicoba kalau kalian marah atau sedih menulislah”, ajak Anita. Awalnya pasti terasa kalau tulisan itu berupa luapan emosi yang tidak jelas. Biarkan saja terus mengalir, sampai emosi mereda dengan sendirinya. Setelah itu, dibaca ulang lagi dari awal pelan-pelan sambil merenung, dan lihat sendiri hasilnya seperti apa. Kalian akan bisa melihat bagaimana hebatnya dampak dari menulis dari sana, tambah Anita lagi.
“Asyiknya lagi dari menulis adalah siapapun bisa melakukannya. Kalian tidak akan ditanya apa ijasah anda saat menyetor tulisan kepada penerbit. Semua orang akan dinilai sama. Semua orang hanya dinilai dari karya yang mereka buat. Tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama, ras, dan lain-lain,” ujar Anita melengkapi.
Di sesi terakhir, Uda Fuadi mengisinya dengan memberikan kiat-kiat menulis. Menulis itu adalah proses pengalaman ke dalam diri. Makanya sebelum menulis kita harus bertanya dalam hati, empat buah pertanyaan penting. Pertanyaan Why (kenapa), What (apa), How (bagaimana), dan When (kapan). Pertama kali sebelum menulis, yang terpenting adalah ‘find your own why’, kenapa dirimu ingin menulis? Barulah mencari tahu jenis tulisan apa yang ingin ditulis. Riset apa dan data yang kita butuhkan. Terakhir mulai kapan dan sampai kapan akan menulis. Ketika keempat pertanyaan ini sudah kita temukan jawabannya, maka menulis akan menulis jadi lebih mudah. Resiko terputus di tengah jalan pun akan bisa dihindari.

Musik Sebagai Identitas Diri
Masih di hari yang sama, di malam harinya. Tim GNFI menyaksikan secara langsung program live music & arts, bertajuk ‘Rocking Against Prejudice’. Ajang ini menampilkan tiga buah band beraliran rock metal, antara lain Pluto Band, Antrabez, dan Voice of Baceprot.
VoB
Pluto Band adalah band anak muda, yang baru terbentuk tahun 2017. Luar biasanya, meskipun baru seumur jagung, namun band ini sudah mampu membawakan lagu-lagu hasil dari garapan sendiri. Diantaranya bahkan berbahasa Inggris.
Keberadaan Antrabez juga sangat menarik. Band ini adalah sebuah band yang beranggotakan narapidana Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Badung. Mengaku kalau baru eksis dari tahun 2016, band ini dibentuk atas usul dari Kepala Lapas saat itu. Band ini juga mengaku membuat lagu-lagu yang merupakan hasil perenungan mendalam selama berada di dalam jeruji besi. Malah nama Antrabez sendiri merupakan singkatan dari ‘antara trali bezi’.
Giliran band ketiga tampil, penonton langsung menyambut heboh. Tidak heran, karena band ini merupakan band rock metal beranggotakan tiga dara cantik. Usia ketiganya masih sangat muda, baru memasuki sekolah menengah. Tim GNFI sempat tertipu dengan tampilan wajah ketiganya yang sangat imut-imut. Ketika mulai beraksi bernyanyi dan memainkan alat musik, semua mata dibuat terbelalak. Nada-nada tinggi dan melodi-melodi cepat, sangat fasih dimainkan oleh band ini. Cara mereka membakar semangat penonton pun patut diacungi jempol.
Firdda Kurnia, sang vokalis, ketika ditanya kenapa memilih jalur rock metal? Dengan lugu dia menjawab, karena lewat musik metal mereka bertiga menemukan jati diri mereka. Jawaban yang disambut meriah oleh penonton, diakhiri dengan senyuman manis dari Firdda.
Sungguh sebuah cara yang hebat untuk menutup hari, malam itu.


Gianyar, 28 Oktober 2017.
Liputan ini ditulis untuk Good News From Indonesia.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar