Selain main program yang berbentuk diskusi
panel, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, juga mengadakan
kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Diadakan menyebar di beberapa lokasi,
meski tetap berpusat di Ubud, Gianyar, Bali. Beberapa kegiatan pendukung yang
sempat Tim Good News From Indonesia (GNFI) hadiri secara langsung di tanggal 28
Oktober 2017, antara lain: Emerging Voices: yang bertajuk ‘Write!”, Film Program: yang bertajuk ‘How to Change the World’, Festival Club at Luna Bar: yang bertajuk
‘The Banda Journal’, dan Live Music
and Arts: yang bertajuk ‘Rocking Against
Prejudice’.
Pada
kesempatan ini Tim GNFI akan mengulas dua buah kegiatan, yaitu: ‘Write!’ dan ‘Rocking Against Prejudice’. Kegiatan ini dinilai unik karena sesuai
dengan teman UWRF 2017, yaitu mencari jati diri sejati (Sangkan Paraning Dumadi). Di satu kegiatan kita diajak mencari jati
diri lewat menulis. Di kegiatan lain kita diajak mencari jati diri lewat musik.
Dua proses pencarian jati diri, melalui dua bentuk karya seni yang berbeda.
Kegiatan
Emerging Voices: Write! berlangsung di Joglo Taman Baca, Campuhan, Ubud. Tempat
yang unik karena mengesankan model bangunan khas Jawa, demikian pula ornamennya
yang kebanyakan bernuansa kayu.
Menghadirikan tiga orang
pembicara, yang sudah cukup berpengalaman malang melintang di dunia tulis
menulis Indonesia. Mereka adalah Leila S. Chudori (penulis dan kontributor majalah
Tempo), Ahmad Fuadi (penulis), dan Anita Hairunnisa (Bitread Publishing).
Leila S.
Chudori memulai dengan menekankan penting mendalami karakter dalam menulis.
Baik itu karakter pribadi, maupun karakter dari tokoh-tokoh yang akan kita
tulis. Karakter pribadi di sini maksudnya karakter tulisan kita, karena
masing-masing penulis memiliki gayanya sendiri-sendiri. Untuk mendalami
karakter pribadi, kita harus terus menulis dan menulis. Proses ini harus terus
dilakukan, selain mengasah kemampuan, sekaligus menemukan jati diri dalam
tulisan kita.
“Setiap
tulisan memiliki tiga babak bertutur, yaitu permulaan, proses, dan penutup. Setiap
babak harus memiliki rangkaian yang logis. Meskipun karya kita itu fiksi, namun
harus tetap memiliki rangkaian alur yang logis dan konsisten, termasuk di
dalamnya karakter masing-masing tokoh. Dengan alur yang logis, membuat pembaca
seolah-olah percaya kalau tulisan kita itu nyata dan tertarik untuk terus
mengikuti jalan cerita,” ungkap Leila.
Ahmad
Fuadi kemudian berbagi pengalaman tentang proses lahirnya novel ‘ Negeri 5
Menara’. Novel ini lahir sebagian besar adalah kontribusi dari sang istri. Saat
dirinya bercerita tentang kehidupannya selama di pesantren, sang istri merasa
kisah tersebut sangatlah menarik. Kemudian menyarankan untuk menuangkan itu dalam
bentuk novel. Maka mulailah Uda Fuadi, panggilan akrab Ahmad Fuadi, mencari-cari
sumber penulisannya. Berawal dari buku harian yang dia tulis selama bertahun-tahun,
bahkan sebelum masuk pesantren. Dicari pula foto-foto di masa lampau bersama
teman semasa sekolah. Termasuk sang ibu, yang ikut membantu dengan memberi surat-surat
yang pernah dia kirim selama ada di pesantren.
“Bisa dibilang
kalau menulis novel ‘Negeri 5 Menara’ adalah sebuah proses kembali ke masa
lalu. Saya seperti bisa melihat kembali kilasan demi kilasan itu terasa nyata. Terasa
semua itu baru kemarin terjadi. Hal-hal yang lagi membuat saya tersenyum,
menangis, gundah, saya tuangkan ke dalam tulisan. Tanpa sadar tulisan-tulisan
itu jadi sebuah novel,” ujar Uda Fuadi.
Ketika
ditanya soal kiat membuat tulisan yang bagus, Uda Fuadi menjawab dengan
pentingnya ‘First Impression’, atau kesan pertama. Kalimat pertama dan halaman
pertama adalah kunci apakah tulisan itu menarik atau tidak. Memang kita tidak
bisa menilai tulisan hanya melalui halaman pertamanya saja, namun itulah yang
harus dikuatkan bila ingin menarik minat pembaca, untuk terus membaca. Hal ini
juga diamini oleh Leila, yang pernah berpengalaman sebagai juri di beberapa
kompetisi menulis.
Anita
Hairunnisa, saat diberikan kesempatan selanjutnya, memaparkan mengenai
perkembangan dunia penerbitan di Indonesia. Dimulai dengan sebuah pertanyaan,
“Apakah kita bisa hidup dari menulis?” Anita kemudian mengambil contoh Uda
Fuadi, yang bisa menjadikan menulis sebagai salah satu mata pencaharian. Kalau
menulis tidak mendapatkan kompensasi yang relatif besar, tidak mungkin beberapa
tahun kebelakang kita ribut-ribut soal potongan pajak untuk penulis, tambah
Anita lagi.
“Sebenarnya
generasi milenia dewasa ini sudah terbiasa untuk menulis. Paling tidak terbiasa
menulis status di media sosial. Bayangkan kalau status-status itu dibaca
kembali, kemudian di rangkum dalam sebuah tulisan, mungkin bisa menjadi satu
buah novel. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah tulisan itu nantinya akan memberi
dampak bagi masyarakat luas? Kalau iya, apakah dampak positif atau dampak
negatif? Kita memang bebas menulis, namun kita juga harus sadar ada tanggung
jawab di sana,” ucap Anita.
Sayangnya,
ditengah acara Leila S. Chudori harus meninggalkan lokasi, karena ada acara
lain yang harus dihadiri. Masih terkait dengan rangkaian kegiatan UWRF 2017.
Diskusi
kemudian dilanjutkan oleh Uda Fuadi. Pada kesempatan ini dia memaparkan
bagaimana menulis telah mengubah hidupnya. Dia bisa mendapatkan penghasilan,
pergi keluar negeri, bertemu orang-orang berbagai daerah dan negara, hanya dari
menulis. Dia tidak bangga dengan itu, karena banyak orang-orang di luar sana
pasti lebih hebat dari dia. Namun, yang membedakan adalah mereka tidak menulis
perjalanan itu.
Uda Fuadi
menuliskan perjalanannya ini, karena percaya kalau tulisan dampaknya lebih kuat
dari peluru. Bahkan, kalau peluru bisa mematikan, justru tulisan bisa
menghidupkan. Dampak tulisan yang positif dapat memberi kekuatan bagi orang
lain. Dapat menginspirasi pembacanya. Selain itu, dirinya juga mengaku kalau
lewat tulisan kita bisa melintas dimensi keilmuan lain. Misalnya dari novel dia
bisa belajar tentang film, musik, dan komik. Itu bisa dilakukan saat novel
‘Negeri 5 Menara kemudian difilmkan.
“Awalnya
saya tidak yakin saat ‘Negeri 5 Menara’ akan difilmkan. Lama berpikir, akhirnya
saya menyetujuinya. Saya sadar bahwa untuk menjangkau masyarakat yang lebih
luas, sebuah karya harus melakukan lintas dimensi. Saya sangat sadar kalau
membaca belum begitu membudaya di Indonesia, berbeda dengan menonton film,”
ujar Uda Fuadi.
Anita
menambahkan kalau asyiknya menulis itu, bisa sekaligus berguna untuk menyalurkan
emosi. “Silakan dicoba kalau kalian marah atau sedih menulislah”, ajak Anita.
Awalnya pasti terasa kalau tulisan itu berupa luapan emosi yang tidak jelas.
Biarkan saja terus mengalir, sampai emosi mereda dengan sendirinya. Setelah
itu, dibaca ulang lagi dari awal pelan-pelan sambil merenung, dan lihat sendiri
hasilnya seperti apa. Kalian akan bisa melihat bagaimana hebatnya dampak dari
menulis dari sana, tambah Anita lagi.
“Asyiknya
lagi dari menulis adalah siapapun bisa melakukannya. Kalian tidak akan ditanya
apa ijasah anda saat menyetor tulisan kepada penerbit. Semua orang akan dinilai
sama. Semua orang hanya dinilai dari karya yang mereka buat. Tanpa memandang jenis
kelamin, suku, agama, ras, dan lain-lain,” ujar Anita melengkapi.
Di sesi
terakhir, Uda Fuadi mengisinya dengan memberikan kiat-kiat menulis. Menulis itu
adalah proses pengalaman ke dalam diri. Makanya sebelum menulis kita harus
bertanya dalam hati, empat buah pertanyaan penting. Pertanyaan Why (kenapa), What (apa), How (bagaimana),
dan When (kapan). Pertama kali sebelum
menulis, yang terpenting adalah ‘find
your own why’, kenapa dirimu ingin menulis? Barulah mencari tahu jenis tulisan
apa yang ingin ditulis. Riset apa dan data yang kita butuhkan. Terakhir mulai
kapan dan sampai kapan akan menulis. Ketika keempat pertanyaan ini sudah kita temukan
jawabannya, maka menulis akan menulis jadi lebih mudah. Resiko terputus di
tengah jalan pun akan bisa dihindari.
Musik Sebagai Identitas Diri
Masih di
hari yang sama, di malam harinya. Tim GNFI menyaksikan secara langsung program
live music & arts, bertajuk ‘Rocking
Against Prejudice’. Ajang ini menampilkan tiga buah band beraliran rock metal, antara lain Pluto Band,
Antrabez, dan Voice of Baceprot.
VoB |
Pluto
Band adalah band anak muda, yang baru terbentuk tahun 2017. Luar biasanya,
meskipun baru seumur jagung, namun band ini sudah mampu membawakan lagu-lagu
hasil dari garapan sendiri. Diantaranya bahkan berbahasa Inggris.
Keberadaan
Antrabez juga sangat menarik. Band ini adalah sebuah band yang beranggotakan
narapidana Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Badung. Mengaku kalau
baru eksis dari tahun 2016, band ini dibentuk atas usul dari Kepala Lapas saat
itu. Band ini juga mengaku membuat lagu-lagu yang merupakan hasil perenungan mendalam
selama berada di dalam jeruji besi. Malah nama Antrabez sendiri merupakan singkatan
dari ‘antara trali bezi’.
Giliran
band ketiga tampil, penonton langsung menyambut heboh. Tidak heran, karena band
ini merupakan band rock metal beranggotakan tiga dara cantik. Usia ketiganya
masih sangat muda, baru memasuki sekolah menengah. Tim GNFI sempat tertipu
dengan tampilan wajah ketiganya yang sangat imut-imut. Ketika mulai beraksi
bernyanyi dan memainkan alat musik, semua mata dibuat terbelalak. Nada-nada
tinggi dan melodi-melodi cepat, sangat fasih dimainkan oleh band ini. Cara
mereka membakar semangat penonton pun patut diacungi jempol.
Firdda
Kurnia, sang vokalis, ketika ditanya kenapa memilih jalur rock metal? Dengan
lugu dia menjawab, karena lewat musik metal mereka bertiga menemukan jati diri
mereka. Jawaban yang disambut meriah oleh penonton, diakhiri dengan senyuman
manis dari Firdda.
Sungguh
sebuah cara yang hebat untuk menutup hari, malam itu.
Gianyar, 28 Oktober 2017.
Liputan ini ditulis untuk
Good News From Indonesia.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar