Satu lagi
novel yang selesai saya baca. Sebuah Novel yang berjudul ‘Negeri 5 Menara’. Tertarik
saya membacanya, karena kebetulan pernah bertatap mula langsung dengan
penulisnya. Ahmad Fuadi, atau lebih dikenal dengan nama pena A. Fuadi. Tidak
bertemu sampai bercakap-cakap sih. Saat itu, sang penulis menjadi pembicara pada
salah satu kegiatan Ubud Writers & Readers Festival, tanggal 28 Oktober
2017.
Berawal
dengan pertanyaan, “Sudah pada baca buku saya?” Saya yang bukanlah pembaca
aktif, agak malu saat menjawab belum, dalam hati. Maka usai sesi kegiatan yang bertajuk
‘Emerging Voices: Write!” tersebut, saya mencoba untuk mencari-cari
novel ini. Paling tidak dengan cara pinjam dulu. Setelah selesai membaca, saya
menilai novel ini memang layak untuk dibeli.
Kenapa meminjam dulu? Karena saya sedikit khawatir dengan
isinya. Dari hasil pemaparan A. Fuadi, saya mendapat gambaran umum kalau novel
ini diangkat dari kisah nyata. Kisah hidup sang penulis sendiri. Kisah selama
mengikuti kegiatan pembelajaran di salah satu pesantren, di daerah Jawa Timur. Pondok
Madani atau Pesantren Gontor, di Jawa Timur (mohon maaf bila ada kesalahan penyebutan).
Saya sendiri bukan muslim, karena itu saya takut kurang bisa mengerti dengan
istilah-istilah yang dipakai pada novel. Ternyata dugaan saya tersebut salah. Bahasa
yang dipakai cukup universal. Mungkin ada beberapa istilah-istilah dalam bahasa
Arab dan Sumatera, namun itu pun ada penjelasannya dalam bentuk footnote.
Sebelum
masuk ke isi novel, seperti biasa kita lihat dulu kesan pertama dari sebuah
novel, yaitu sampulnya. Sampul novel ini sederhana, berupa langit senja dengan
siluet lima menara, dari lima benua. Saya mengenali tiga diantaranya: Monumen
Nasional di Jakarta, Menara Big Ben di London, dan Monumen Washington di Amerika
Serikat. Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, pada tahun 2009. Saat ini
sudah beberapa kali dicetak ulang. Terakhir saya lihat di toko buku Gramedia,
novel ini memiliki cover baru yang
jauh lebih sederhana lagi. Total halaman ada 405 lembar, di luar daftar isi dan
lembar komentar pembaca. Pemilihan font dan
spasi sangat baik, sehingga tidak membuat mata lelah saat membaca.
Saya
masih ingat saat sang penulis menyeletuk, kalau novel ini ibarat kisah Harry
Potter dengan kearifan lokal. Saya sempat tersenyum saat itu. Setelah membaca langsung
novelnya, rupanya celetukan itu ada benarnya. Dalam novel mengisahkan kehidupan
Alif Fikri, selama menjalani pendidikan di Pondok Madani (PM). Sebelas-dua-belas,
dengan kehidupan Harry Potter selama ada di Hogwarts. Sama-sama di asrama,
sama-sama punya sahabat akrab, sama-sama ada kisah ‘petualangan’. Hanya saja,
dikisah ini tidak ada tokoh utama wanitanya. Namanya juga asrama khusus
laki-laki. Alur ‘petualangan’ sendiri terbagi ke dalam 46 bab.
Berawal
dari rasa bimbang Alif selepas menamatkan pendidikan SMP. Antara melanjutkan ke
sekolah umum (SMA) atau kembali ke sekolah agama. Dirinya sendiri sih ingin masuk
sekolah umum, mengikuti sahabat karibnya, Randai. Masalahnya, sang ibu (Amak)
meminta dia untuk tetap lanjut ke sekolah agama. Terbayang kisah Malin Kundang,
yang dikutuk ibunya jadi batu, maka dengan berat hati diturutinya perintah sang
ibu. Dan mulailah perjalanan hidup baru Alif, mengikuti pendidikan di PM.
Selama di
PM, Alif memiliki lima sahabat karib. Mereka adalah Said, Raja, Atang,
Dulmajid, dan Baso. Mereka bahkan memiliki julukan Sahibul Menara, karena
sering berkumpul di kaki menara yang ada di salah satu sudut PM. Petualangan
Alif selama ada di PM inilah kekuatan dari cerita. Dari tingkah kocak, nakal,
usil, sampai kisah sedih dan galau. Susah senang mereka lalui bersama. Semua alur
berpadu jadi satu dalam campuran yang pas. Kita dibuat larut dalam naik
turunnya emosi kejiwaan keenam murid ini.
Dari membaca
novel ini, saya jadi sedikit punya gambaran kehidupan di dalam sebuah
pesantren, atau sekolah agama. Ternyata banyak hal yang dipelajari selain
mendalami agama. Bahkan para murid ‘dipaksa’ untuk berbahasa asing, Arab dan
Inggris, agar lulusan siap untuk berkompetisi secara internasional. Belum lagi
kegiatan-kegiatan ekstra kulikuler seperti sepak bola, pidato, bela diri, jurnalistik,
dan lain-lain. Semuanya itu dipadu dengan disiplin ketat, guna menjaga kredibilitas
dan ahlak dari seluruh murid. Hukuman-hukuman bagi para pelanggar disiplin pun tergolong
unik. Lebih lengkapnya, silakan anda membacanya sendiri.
Sungguh
sebuah novel yang berbeda dari yang pernah saya baca. Berbeda dalam pengertian
yang sangat baik. A. Fuadi, sebagai penulis, pernah mengatakan kalau novel ‘Negeri
5 Menara’ adalah sebuah awal perjalanan. Ada dua novel lanjutan kisah hidup dari
tokoh Alif Fikri. Sebuah trilogi. Kalau tidak salah judulnya, Ranah 3 Warna dan
Rantau 1 Muara. Saya sendiri sih tertarik untuk membaca lanjutannya. Ada
kesenangan tersendiri mempelajari hal-hal baru dari budaya dan/atau agama yang
berbeda. Kita jadi sadar kalau Indonesia ini sesungguhnya sangatlah kaya.
Sebagai
penutup, saya akan pakai ‘mantra sakti’ dari dalam novel. Sebuah kutipan
pembangkit semangat. Man Jadda Wajada.
Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.
Selamat
membaca...
Denpasar, 20 Nopember 2017.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar