Senin, 20 November 2017

Negeri 5 Menara - Keakraban Enam Sekawan


Satu lagi novel yang selesai saya baca. Sebuah Novel yang berjudul ‘Negeri 5 Menara’. Tertarik saya membacanya, karena kebetulan pernah bertatap mula langsung dengan penulisnya. Ahmad Fuadi, atau lebih dikenal dengan nama pena A. Fuadi. Tidak bertemu sampai bercakap-cakap sih. Saat itu, sang penulis menjadi pembicara pada salah satu kegiatan Ubud Writers & Readers Festival, tanggal 28 Oktober 2017.

Berawal dengan pertanyaan, “Sudah pada baca buku saya?” Saya yang bukanlah pembaca aktif, agak malu saat menjawab belum, dalam hati. Maka usai sesi kegiatan yang bertajuk ‘Emerging Voices: Write!” tersebut, saya mencoba untuk mencari-cari novel ini. Paling tidak dengan cara pinjam dulu. Setelah selesai membaca, saya menilai novel ini memang layak untuk dibeli.
Kenapa meminjam dulu? Karena saya sedikit khawatir dengan isinya. Dari hasil pemaparan A. Fuadi, saya mendapat gambaran umum kalau novel ini diangkat dari kisah nyata. Kisah hidup sang penulis sendiri. Kisah selama mengikuti kegiatan pembelajaran di salah satu pesantren, di daerah Jawa Timur. Pondok Madani atau Pesantren Gontor, di Jawa Timur (mohon maaf bila ada kesalahan penyebutan). Saya sendiri bukan muslim, karena itu saya takut kurang bisa mengerti dengan istilah-istilah yang dipakai pada novel. Ternyata dugaan saya tersebut salah. Bahasa yang dipakai cukup universal. Mungkin ada beberapa istilah-istilah dalam bahasa Arab dan Sumatera, namun itu pun ada penjelasannya dalam bentuk footnote.
Sebelum masuk ke isi novel, seperti biasa kita lihat dulu kesan pertama dari sebuah novel, yaitu sampulnya. Sampul novel ini sederhana, berupa langit senja dengan siluet lima menara, dari lima benua. Saya mengenali tiga diantaranya: Monumen Nasional di Jakarta, Menara Big Ben di London, dan Monumen Washington di Amerika Serikat. Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, pada tahun 2009. Saat ini sudah beberapa kali dicetak ulang. Terakhir saya lihat di toko buku Gramedia, novel ini memiliki cover baru yang jauh lebih sederhana lagi. Total halaman ada 405 lembar, di luar daftar isi dan lembar komentar pembaca. Pemilihan font dan spasi sangat baik, sehingga tidak membuat mata lelah saat membaca.
Saya masih ingat saat sang penulis menyeletuk, kalau novel ini ibarat kisah Harry Potter dengan kearifan lokal. Saya sempat tersenyum saat itu. Setelah membaca langsung novelnya, rupanya celetukan itu ada benarnya. Dalam novel mengisahkan kehidupan Alif Fikri, selama menjalani pendidikan di Pondok Madani (PM). Sebelas-dua-belas, dengan kehidupan Harry Potter selama ada di Hogwarts. Sama-sama di asrama, sama-sama punya sahabat akrab, sama-sama ada kisah ‘petualangan’. Hanya saja, dikisah ini tidak ada tokoh utama wanitanya. Namanya juga asrama khusus laki-laki. Alur ‘petualangan’ sendiri terbagi ke dalam 46 bab.
Berawal dari rasa bimbang Alif selepas menamatkan pendidikan SMP. Antara melanjutkan ke sekolah umum (SMA) atau kembali ke sekolah agama. Dirinya sendiri sih ingin masuk sekolah umum, mengikuti sahabat karibnya, Randai. Masalahnya, sang ibu (Amak) meminta dia untuk tetap lanjut ke sekolah agama. Terbayang kisah Malin Kundang, yang dikutuk ibunya jadi batu, maka dengan berat hati diturutinya perintah sang ibu. Dan mulailah perjalanan hidup baru Alif, mengikuti pendidikan di PM.
Selama di PM, Alif memiliki lima sahabat karib. Mereka adalah Said, Raja, Atang, Dulmajid, dan Baso. Mereka bahkan memiliki julukan Sahibul Menara, karena sering berkumpul di kaki menara yang ada di salah satu sudut PM. Petualangan Alif selama ada di PM inilah kekuatan dari cerita. Dari tingkah kocak, nakal, usil, sampai kisah sedih dan galau. Susah senang mereka lalui bersama. Semua alur berpadu jadi satu dalam campuran yang pas. Kita dibuat larut dalam naik turunnya emosi kejiwaan keenam murid ini.
Dari membaca novel ini, saya jadi sedikit punya gambaran kehidupan di dalam sebuah pesantren, atau sekolah agama. Ternyata banyak hal yang dipelajari selain mendalami agama. Bahkan para murid ‘dipaksa’ untuk berbahasa asing, Arab dan Inggris, agar lulusan siap untuk berkompetisi secara internasional. Belum lagi kegiatan-kegiatan ekstra kulikuler seperti sepak bola, pidato, bela diri, jurnalistik, dan lain-lain. Semuanya itu dipadu dengan disiplin ketat, guna menjaga kredibilitas dan ahlak dari seluruh murid. Hukuman-hukuman bagi para pelanggar disiplin pun tergolong unik. Lebih lengkapnya, silakan anda membacanya sendiri.
Sungguh sebuah novel yang berbeda dari yang pernah saya baca. Berbeda dalam pengertian yang sangat baik. A. Fuadi, sebagai penulis, pernah mengatakan kalau novel ‘Negeri 5 Menara’ adalah sebuah awal perjalanan. Ada dua novel lanjutan kisah hidup dari tokoh Alif Fikri. Sebuah trilogi. Kalau tidak salah judulnya, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Saya sendiri sih tertarik untuk membaca lanjutannya. Ada kesenangan tersendiri mempelajari hal-hal baru dari budaya dan/atau agama yang berbeda. Kita jadi sadar kalau Indonesia ini sesungguhnya sangatlah kaya.
Sebagai penutup, saya akan pakai ‘mantra sakti’ dari dalam novel. Sebuah kutipan pembangkit semangat. Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.
Selamat membaca...

Denpasar, 20 Nopember 2017.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar