Sabtu, 14 September 2019

Gundala – Kiprah Patriot Perdana


Gundala
Siang ini akhirnya saya kembali ke bioskop, setelah sekian lama vakum karena faktor anggaran yang tipis. Nonton jadi kebutuhan nomor sekian yang musti dipenuhi. Namun khusus untuk film ini, saya sudah menunggunya sejak dari lama. Lebih karena ingin memuaskan rasa penasaran. Bagaimana sih kiprah dari patriot perdana Indonesia, GUNDALA. Tokoh ‘superhero pelopor, yang mencoba untuk menyeruak di antara gendre perfilman mainstream, cinta-cintaan dan hantu-hantuan.
Secara garis besar, alur film Gundala dimulai dari seorang bocah bernama Sancaka. Ayahnya seorang buruh pabrik, sedang ibunya hanya mengurus rumah tangga. Mereka hidup sangat pas-pasan. Ditambah, sang ayah lagi berkonflik dengan bos pabrik tempatnya bekerja. Dia menjadi pemimpin gerakan demo buruh. Akibat sebuah konspirasi antar pekerja, akhirnya sang ayah meninggal dunia. Garis kehidupan Sancaka kian memburuk, ketika sang ibu menghilang sewaktu pergi ke kota untuk mencari kerja. Sancaka kecil pun mulai hidup menggelandang. Terjebak dalam kerasnya kehidupan jalanan.
Sampai suatu hari, Sancaka bertemu dengan Awang, yang menolongnya ketika bertikai dengan sebuah geng anak jalanan. Agar tidak terus ditindas, Awang mengajarkan Sancaka cara membela diri. Sayangnya, pertemuan itu berlangsung singkat. Mereka berpisah saat hendak menaiki kereta api menuju ke Tenggara.

Kamis, 12 September 2019

01 Malam Kelahiran


MENJELANG senja mendung semakin tebal bergelayut menghiasi langit. Senja yang biasanya berwarna jingga mempesona, hari ini berganti hitam nan kelam. Sepertinya hanya persoalan waktu kapan hujan akan turun. Itu pun ternyata tidak begitu lama. Awan kelabu sepertinya tidak kuat lagi menahan muntahan air hujan. Tetes demi tetesnya mulai berjatuhan. Perlahan menjadi semakin deras dan deras. Angin yang menderu ikut membuat suasana semakin seru. Seakan tidak ingin ketinggalan mendramatisir keadaan, kilat dan guntur ikut bergantian timbul dan tenggelam. Langit tidak henti-hentinya bercahaya dan bergemuruh. Sampai akhirnya malam sepenuhnya menggantikan senja.
Malam itu Wira tidak bisa tidur. Suara kilat yang terakhir terdengar terlalu memekakkan telinga. Seakan-akan kilat itu menyambar hanya beberapa meter dari kamar. Menakutkan sekali untuk seorang anak yang baru berumur empat tahun. Wira menarik selimut sampai menutupi wajah. Meringkuk dia di dalam sana. Berharap kegaduhan di luar akan segera berlalu.
Di dalam “hiruk pikuk” suasana di atas sana, sayup-sayup telinga Wira menangkap suara-suara. Bermula dari suara dering telepon, kemudian disusul suara ayah dan ibunya. Malam yang riuh kini jadi semakin riuh. Entah apa yang keduanya bicarakan tengah malam begini. Sepertinya cukup serius. Wira tahu itu dari nada bicara ayahnya. Nada suara sedikit meninggi dan memburu. Itu berarti ada kepanikan yang sedang terjadi. Ada apa gerangan? Tanyanya dalam hati. Rasa takut yang tadi melanda, kini berganti rasa penasaran. Sampai pintu kamar terbuka dan lampu menyala. Sang ibu muncul dan menyingkap selimut.
“Nak, kita berangkat ke rumah sakit.” Hanya itu yang diucapkan oleh sang ibu. Dia minta Wira untuk segera bersiap-siap. Mereka akan segera berangkat. Di malam, dimana hujan sedang deras-derasnya.
Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Bertanya-tanya lagi Wira dalam hati.

Senin, 09 September 2019

Impian Tiga Generasi


MATA Gunawan memandang nanar ke arah sebuah gedung berlantai dua. Ke arah anak-anak yang sedang berhamburan keluar dari pintu gerbangnya. Seharusnya dirinya menjadi bagian dari mereka. Memakai seragam putih biru, dan bukannya menaiki sepeda ontel berkeliling mengantarkan koran. Setiap kali melewati gedung sekolah tersebut, Bambang selalu berhenti sesaat. Sesaat merenungkan impiannya yang kandas. Dia ingin sekali melanjutkan bersekolah, ke tingkat yang lebih tinggi ketimbang hanya sekolah dasar. Namun, ayahnya hanya seorang buruh pabrik dan ibunya berjualan di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja sudah sangat sulit. Untuk impiannya harus mengalah. Meski bukan berarti musti musnah.
“Gun!”
Seorang perempuan muda bertubuh tinggi semampai, melambai ke arahnya. Gunawan melempar senyuman, lalu menuntun sepedanya mendekat.
“Hari ini mau ikut belajar bareng lagi?”
Gunawan mengangguk mantap.
Gadis tersebut adalah Marina, sahabatnya sewaktu di sekolah dasar. Nasib Marina jauh lebih baik dari Gunawan. Dia bisa lanjut bersekolah tanpa perlu memikirkan persoalan biaya. Setiap kali ada kesempatan, Gunawan sekali waktu diajak belajar bersama oleh Marina. Dari sahabatnya itu, paling tidak, dia jadi tahu apa saja pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah menengah pertama. Kadang ada kalanya pula, Marina meminjamkan buku-buku bacaan dari perpustakaan untuk Gunawan. Orang tua Marina tidak masalah dengan hal itu. Mereka justru senang anak gadisnya memiliki teman belajar. Dari beberapa pelajaran yang ada, Gunawan sangat tertarik dengan Matematika dan Bahasa Inggris. Berkebalikan dengan Marina. Itulah kenapa mereka jadi saling melengkapi.