Rabu, 27 Juli 2016

Tiga Rahasia


Cerpen Femina dimuat di Femina No. 50/2012, oleh redaktur tokoh perokok diedit menjadi klubber. Femina mempunyai kebijakan “against smoking habits”, versi di bawah adalah versi aslinya.
Oleh : Jihan Davincka (davincka@gmail.com)
***
Mengenakan rok pendek merah menyala, kemeja krem muda, seorang perempuan berambut pendek turun dari sedan mewahnya. Dengan tubuh langsing dan wajah menarik, ia melangkah penuh percaya diri meninggalkan tempat parkir. Beberapa pasang mata ikut mengiringi langkahnya memasuki pintu kafe.
Seorang perempuan berkaus hitam melempar sepuntung rokok yang masih menyisakan bara ke tanah dan menginjaknya kuat-kuat. Dia menepuk-nepuk pahanya, mengibas tangannya ke udara berharap tak ada sisa asap yang menempel di sekujur tubuhnya. Dengan santai, ia membuka pintu kafe dan langsung menebarkan pandangan mencari-cari.
Perempuan dengan terusan warna hijau tua terlihat berlari-lari kecil menuju pintu kafe. Rambut ikal panjangnya yang tergerai ikut melambai-lambai. Sambil berlari, sesekali ia mengangkat lengan kiri, melirik jam tangan yang melingkar di sana.
Di suatu sore yang cerah, ketiga perempuan itu duduk bersantai di suatu kafe di sudut jantung ibukota.
***
“Apa kau masih merokok?” si Rambut Ikal menoleh ke arah perempuan berkaus hitam.
“Sudah lama berhenti,” Kaus Hitam menjawab cepat tanpa ragu.
“Hebat kau. Sejak berhenti bekerja, hidupmu malah lebih teratur. Aku dari dulu tak suka melihatmu merokok.”
Kaus Hitam memalingkan wajah ke Rok Merah, “Siapa yang bisa melebihi kehebatan Bu Dokter cantik sepertimu. Eh, apa masih ada pasien yang suka menggodamu?”
Rok Merah tertawa berderai. “Sekarang aku praktik di tempat yang sama dengan suamiku. Mana ada yang berani macam-macam.”

Selasa, 19 Juli 2016

Sang Juara Yang Dinaungi Dewi Fortuna


Euro 2016 Champion

Perhelatan Euro 2016 telah berakhir, seminggu yang lalu. Partai final berhasil dimenangi secara dramatis oleh Portugal. Dan saya baru menulis tentang laga final itu sekarang. Telat memang, telat banget malah. Namun, saya akan merasa berdosa kepada Portugal kalau tidak menulisnya, mengingat saya sudah menulis tentang Euro 2016 sejak babak 16 besar. Entah kenapa beberapa hari ini saya dihinggapi rasa malas untuk menulis. Sebuah penyakit rutin seorang penulis. Seperti batuk-pileknya orang pada umum-lah kira-kira. Yah, maka anggap saja tulisan ini sebuah tulisan penebusan dosa hehehe…
Seperti seluruh pencinta bola dunia telah ketahui, Cristiano Rolando dkk. akhirnya mengangkat tropi Euro untuk pertama kalinya. Sebuah hal yang sangat tidak diduga-duga oleh siapa pun di dunia. Menimbang bagaimana perkasanya tuan rumah Perancis di laga-laga sebelumnya. Saking percaya dirinya, pemerintah Perancis bahkan sudah menyiapkan lokasi dan bus khusus untuk dipakai merayakan kemenangan. Namun kenyataan berkata lain. Dewi Fortuna rupanya masih tetap menyayangi Portugal. Sampai di partai terakhir, Sang Dewi masih menaungi sang juara.

Jumat, 01 Juli 2016

Filosofi Kopi : Ben dan Jody


Ben & Jody

“Ben? Ben?”
Jody mengetuk pintu kamar untuk ketiga kalinya. Diulanginya sekali lagi. Tetap tidak terdengar jawaban yang ditunggunya. Jody pun memutuskan untuk membuka pintu. Dilakukannya secara perlahan. Kagetlah dia saat melihat Ben meringkuk di pojok kamar, dalam kegelapan. Kondisi Ben terlihat berantakan, benar-benar berantakan. Bahkan kalau dilihat-lihat, gelandangan pun akan kalah bila dibandingkan kondisi Ben saat ini. Dua hari sudah Ben tidak keluar kamar. Bau apek mulai mengganggu penciuman Jody. Ditambah bau badan dan pakaian Ben, yang sudah sekian lama tidak terkena air dan sabun. Udara memang tidak masuk ke dalam kamar. Demikian pula sinar matahari. Terhalang oleh daun jendela dan kain korden yang tertutup rapat.
Jody menyapu pandangan matanya ke sekeliling. Rupanya Ben telah menyulap kamar itu menjadi sebuah “laboratorium” mini. Bubuk dan biji kopi bertebaran di lantai. Demikian pula di atas meja. Botol dan gelas kaca ikut berserakan di sana. Mesin pembuat kopi turut pula “menghiasi” meja panjang tersebut. Mesin itu terlihat lelah, sama seperti layaknya Ben. Jody harus mencegah si pemilik kamar untuk melihat kekacauan ini. Dia menyewa kamar itu dari salah satu teman, atas permintaan Ben yang kini disesalinya.
“Gila Ben, berantakan banget nih kamar.”
Ketika Jody hendak membuka korden, Ben berteriak mencegahnya. “Jangan dibuka!”
Jody membatalkan niatnya tersebut. Didekatinya Ben yang masih terpuruk di posisinya. Berjongkok dengan kepala di antara kedua lutut. Dibersihkan lantai di dekat Ben, sebelum duduk di sana.
“Mau sampai kapan lu kayak gini? Temen-temen udah pada nanyain elu tuh.”
“Gue kehilangan kemampuan gue Jod, Gue kehilangan kekuatan gue...” ucap Ben parau.