Jumat, 01 Juli 2016

Filosofi Kopi : Ben dan Jody


Ben & Jody

“Ben? Ben?”
Jody mengetuk pintu kamar untuk ketiga kalinya. Diulanginya sekali lagi. Tetap tidak terdengar jawaban yang ditunggunya. Jody pun memutuskan untuk membuka pintu. Dilakukannya secara perlahan. Kagetlah dia saat melihat Ben meringkuk di pojok kamar, dalam kegelapan. Kondisi Ben terlihat berantakan, benar-benar berantakan. Bahkan kalau dilihat-lihat, gelandangan pun akan kalah bila dibandingkan kondisi Ben saat ini. Dua hari sudah Ben tidak keluar kamar. Bau apek mulai mengganggu penciuman Jody. Ditambah bau badan dan pakaian Ben, yang sudah sekian lama tidak terkena air dan sabun. Udara memang tidak masuk ke dalam kamar. Demikian pula sinar matahari. Terhalang oleh daun jendela dan kain korden yang tertutup rapat.
Jody menyapu pandangan matanya ke sekeliling. Rupanya Ben telah menyulap kamar itu menjadi sebuah “laboratorium” mini. Bubuk dan biji kopi bertebaran di lantai. Demikian pula di atas meja. Botol dan gelas kaca ikut berserakan di sana. Mesin pembuat kopi turut pula “menghiasi” meja panjang tersebut. Mesin itu terlihat lelah, sama seperti layaknya Ben. Jody harus mencegah si pemilik kamar untuk melihat kekacauan ini. Dia menyewa kamar itu dari salah satu teman, atas permintaan Ben yang kini disesalinya.
“Gila Ben, berantakan banget nih kamar.”
Ketika Jody hendak membuka korden, Ben berteriak mencegahnya. “Jangan dibuka!”
Jody membatalkan niatnya tersebut. Didekatinya Ben yang masih terpuruk di posisinya. Berjongkok dengan kepala di antara kedua lutut. Dibersihkan lantai di dekat Ben, sebelum duduk di sana.
“Mau sampai kapan lu kayak gini? Temen-temen udah pada nanyain elu tuh.”
“Gue kehilangan kemampuan gue Jod, Gue kehilangan kekuatan gue...” ucap Ben parau.
Kata-kata Ben tadi itu memang terdengar sedikit janggal. Konsep kehilangan kekuatan, biasanya hanya ada dalam serial komik. Seperti ketika Spiderman tiba-tiba tidak bisa menempel lagi di dinding. Atau ketika Superman tiba-tiba tidak bisa terbang. Tidaklah terbayangkan Ben memiliki kekuatan semacam itu. Terlalu absurd dan tidak masuk akal.
“Jadi ini masih soal ucapan salah satu pelanggan kita tempo hari?”
“Iya. Dan dia memang benar adanya...” Ben mengadahkan kepalanya. Jody melihat kekacauan luar biasa di wajah itu. Namun, dibiarkannya Ben melanjutkan kata-katanya, “Coba deh lu ingat-ingat, kapan terakhir kali kita punya menu kopi baru di daftar menu? Ben’s Perfecto, dan itu yang terakhir.”
“Nggak ada yang salah dengan Ben’s Perfecto. Para pelanggan kita masih menyukainya.”
“Yang bilang Ben’s Perfecto salah siapa? Yang salah itu gue. Gue merasa gagal sebagai barista. Nggak pantas gue menyandang gelar seniman kopi. Tanpa karya baru, seniman bukanlah siapa-siapa Jod. Dan saat ini gue merasa kalo gue ini bukanlah siapa-siapa.”
Jody menghela nafas panjang. Ben dan egonya mulai bertingkah lagi. Siapa bisa menyangka kata-kata iseng seorang pelanggan, bisa berdampak sedemikian hebat pada Ben. Dua hari yang lalu, seorang pelanggan bersama temannya mampir ke mobil keliling Filosofi Kopi. Kebetulan dia ada kegiatan bisnis di Surabaya. Dia mengenali Jody dan Ben. Dia pelanggan saat Filosofi Kopi masih bermarkas di Jakarta. Dikatakannya kalau kaget banget waktu melihat kedai Filosofi Kopi tutup. Dia bilang merasa sedih harus kehilangan tempat nongkrong favoritnya.
Pelanggan itu lalu memesan Ben’s Perfecto. Menu favorit yang sudah lama tidak dirasakannya. Saat itulah tiba-tiba celetukan itu terlontar. Dia bertanya, “Nggak ada menu baru nih?” Pasti ada dong, tambahnya lagi. Kata-kata inilah yang langsung menusuk Ben. Tepat di hatinya. Detik itu juga dia langsung menghilang, dan tidak muncul-muncul lagi di mobil keliling. Kutemukan dia di salah satu kamar, di rumah yang sengaja kami sewa selama berada di Surabaya. Ini adalah kali ketiga aku membujuknya untuk keluar kamar. Dan sepertinya akan kembali gagal.
“Jangan terlalu keras dengan diri lu sendiri Ben. Mungkin yang lu butuhkan saat ini hanya sedikit istirahat, dan juga mandi mungkin.”
Kembali Ben menundukkan kepalanya. Kembali menempel di kedua lututnya.
“Tinggalin gue sendiri Jod, gue butuh waktu untuk berpikir.”
“Terus apa yang harus gue bilang ke temen-temen?”
“Entahlah. Bilang aja gue udah mati.”
Lagi Jody menghela napas panjang. Dia pun terpaksa berdiri dan melangkah menjauh. Dia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan orang keras kepala macam Ben. Hanya akan sia-sia belaka. Hanya membuang waktu dan tenaga. Dibukanya pintu kamar. Dilihatnya kembali keadaan Ben yang memprihatinkan, sebelum menutup pintu kamar.
Jody tahu pasti kalau dia tidak akan bisa membujuk Ben. Hanya satu orang yang bisa. Dan dia mengenal siapa orangnya. Diambilnya handphone dari saku celana. Jody memanggil sebuah nomor. Dia memanggil bala bantuan.
*****
“Filosofi Kopi. Nama itu selalu enak dilihat dan diucapkan.”
Terdengar suara lembut dari belakang. Seketika itu pula Jody membalik badan. Ditolehnya dari mana suara itu berasal. Senyuman lebar pun tersungging di bibirnya. Di depannya berdiri seorang sosok cantik. Sosok cantik yang sudah lama tidak dilihatnya. Dia adalah El.
“El, makasi banget loh kamu udah mau dateng.”
“Hei, apa gunanya teman.” El tersenyum.
Jody langsung memeluk gadis cantik itu. Terakhir kali terdengar kabar kalau El sedang berada di Australia, untuk menghadiri sebuah pameran foto. Ternyata saat kemarin Jody menghubunginya, kebetulan El sedang berada di Indonesia. Mendengar masalah yang diungkapkan Jody, El sama sekali tidak keberatan mampir ke Surabaya. Sekalian menjenguk salah satu keluarga jauh yang tinggal di sana.
“Jadi si Ben berulah lagi ya?”
“Begitulah,” Jody menghela napas. “Kali ini lebih parah dari sebelumnya.”
“Mba El!” Terdengar seruan dari kejauhan. Terlihat kemudian Nana, Aga dan Aldi berlarian datang mendekat.
“Lama banget kita nggak ketemu, kita semua kangen banget loh sama mba El...”
Tanpa tedeng aling-aling Nana yang pertama mendaratkan pelukan. Disusul kemudian Aga dan Aldi. Mereka bertiga terlihat astusias bisa melihat El kembali. Sejak menjalin hubungan dekat dengan Ben, El memang sering membantu Filosofi Kopi. Dia kerap ikut berkeliling ke beberapa kota di sela-sela waktu luangnya. Hanya saja, ketika terakhir berpamitan untuk pergi ke Eropa, sosok El tidak lagi pernah terlihat. Kejadian itu sudah hampir setahun lamanya. Menurut gosip yang beredar, El sedang berselisih paham dengan Ben. Namun, tidak ada satu orang pun yang berani bertanya langsung. Baik itu kepada Ben, maupun kepada El.
“Eh, eh, ini pada ngapain sih? Kerja, kerja, kerja...” protes Jody. Dia langsung masuk ke dalam lingkaran kecil di mana El, Nana, Aga dan Aldi sedang berbincang.
“Ih, Mas Jody kok gitu sih. Nggak ngeliat apa kita sedang ngelepas kangen sama mba El,” Nana berujar. Ditimpali oleh Aga dan Aldi.
“Iya ngeliat, tapi liat juga dong itu pelanggan kita lagi ngantre rame gitu.” Jody menunjuk ke arah mobil keliling mereka yang sedang dikerumuni oleh puluhan orang. “Udah, kangen-kangenannya entaran aja dilanjutin...”
Nana, Aga dan Aldi langsung berhamburan ketika Jody menghalau mereka. El hanya tersenyum melihat tingkah kawan-kawannya itu. Suasana hangat yang dulu pernah dirasakannya. Memori masa lalu langsung menyeruak di benak El. Hanya kemudian dia berkernyit, ketika sosok Ben hadir pula dibenaknya.
“Kalau memang lagi rame, aku ikut bantuin kalian deh,” tawar El.
“Terus soal Ben gimana?”
El tersenyum. “Ben bisa menunggu. Biarkan saja dulu dia sibuk dengan dirinya sendiri.”
Tidak lama keduanya berjalan menuju mobil keliling Filosofi Kopi. Suara riuh sorakan langsung terdengar dari dalam. Nana, Aga dan Aldi begitu antusias El ikut membantu mereka lagi. Jody sampai-sampai harus mengingat kembali dengan isyarat tangan. Namun hanya bertahan sebentar, karena sorakan terdengar lagi saat El bilang membawa oleh-oleh untuk semuanya.
Jody pun hanya bisa menggeleng pasrah.
*****
“Kalau elu ke sini cuma buat nganggu lagi, mending elu keluar deh.”
Tanpa membalikkan badan, Ben berujar. Dia terlihat masih sibuk di depan mesin kopi. Desis air panas terdengar menyentuh kopi, saat Ben menarik tuas.
“Aku nggak pengen ganggu sih, tapi kalau aku memang musti keluar sih aku nggak keberatan.”
Mendengar suara lembut itu, Ben tersentak. Sama sekali tidak disangkanya akan bisa mendengar suara itu. Langsung saja dia membalik badan. Dan terpakulah lalu dia, dengan masih memegang gelas di tangan kanannya.
“El?” Ekspresi wajah Ben masih tidak percaya. “Nga-ngapain kamu di sini?”
Melihat eskpresi Ben itu, El tersenyum. “Iseng aja. Aku kangen sama temen-temen.”
“Oh, Jody nelpon kamu ya?”
“Loh kenapa kamu berpikir begitu?”
“Aku tahu saja. Aku pikir kamu datang karena aku,” sahut Ben ketus.
Ben memalingkan wajahnya. Kembali dia sibuk dengan aktifitasnya. Di depan Ben ada berderet lima gelas kaca berisi cair, lengkap dengan kepulan asap. Mesin kopi di sisi kanannya terlihat semakin ‘lelah’. Mungkin sudah diekspolitasi Ben habis-habisan. Tidak hanya mesin kopi, Ben pun tidak kalah terlihat ‘lelah’. El cukup prihatin melihatnya.
“Aku memang datang karena khawatir keadaan kamu. Aku pengen tahu kabar kamu juga.”
“Oh ya? Makasi tapi aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Kata-kata Ben terdengar semakin ketus. “Kalau cuma pengen tahu kabar menelpon saja aku rasa sudah cukup, nggak perlu sampai dateng. Oh, mungkin nomorku sudah hilang dari kontakmu makanya kamu tidak pernah menelpon lagi.”
Harus diakui, beberapa hari kebelakang komunikasi di antara mereka sempat terputus. Beberapa kali telepon Ben tidak dijawab El. Memang El berusaha mengurangi momen berbicara dengan Ben. Bukan karena ada masalah di antara mereka, hanya El merasa butuh waktu untuk menelaah hubungan mereka. El sadar kalau perlahan tapi pasti, hubungannya dengan Ben kini sudah lebih dari sekedar sahabat. Rasa di antara mereka tidaklah bertepuk sebelah tangan. El hanya tidak ingin hubungan itu berjalan terlalu cepat. Terlalu cepat melompat ke level lebih jauh. Mengingat hubungan El dengan kekasih sebelumnya meninggalkan luka yang cukup dalam. El belum siap memulai sebuah hubungan baru. Namun, agaknya Ben salah paham dengan sikap El yang sedikit menjaga jarak. El pun sulit menjelaskan karena sikap keras kepala Ben.
El melangkah mendekati Ben. “Tapi aku kan sudah meninggalkan pesan.”
Ben tersenyum sinis. “Kamu tahu sendiri kalau aku ini orang penyuka komunikasi tradisional. Aku berbicara lewat suara bukan lewat tulisan.”
Begitulah Ben. Kadang sikap ‘ortodoks’-nya membuat kesal orang-orang di sekitarnya. Contoh paling dekat tentu Jody. Bagaimana pertengkaran mereka mengenai ‘Wi-Fi’ terus saja berulang dan berulang, tanpa solusi. Begitupun saat dengan El. Masalah ‘online’ akan selalu saja menjadi perdebatan. Keenganan Ben memakai media sosial jenis apapun, membuat komunikasi di antara mereka menjadi sedikit sulit terjadi. Komunikasi yang mereka lakukan selama ini hanyalah berbicara melalui telepon. Itu tentu berarti memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi karena tuntutan tugas, El lebih sering berada di luar negeri. “Roaming” selalu menjadi “musuh” dalam hubungan mereka. Akhirnya El selalu mengalah. Dia malas berdebat, termasuk hari ini. Inilah salah satu alasan kenapa El berpikir ulang tentang hubungan mereka ke depan.
“Jadi sampai mana perkembangan pekerjaanmu?” El berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Belum sampai di mana-mana. Dan kenapa kamu tidak mengangkat teleponku lagi?”
Ben kembali mengalihkan pembicaraan mereka ke tema semula.
“Haruskah kita membicarakan masalah ini sekarang? Aku datang ke sini untuk membantu kamu. Membantu pekerjaanmu.”
“Baiklah, kalau kamu tidak mau bicara sekarang tidak apa-apa.” Ben melengos. “Dan ini untuk menjawab pertanyaanmu tadi...” Ben menyodorkan satu gelas kecil kepada El. Satu gelas berisikan racikan kopi hangat. Asap yang beraroma menggoda mengepul dari dalamnya.
El mengambil gelas tersebut. Dicium aromanya, lalu menyeruputnya sedikit. Diseruputnya sekali lagi, guna memastikan rasa di lidahnya.
“Bagaimana?” tanya Ben.
“Bagus. Ini rasa dan aromanya sudah selevel dengan Ben’s Perfecto. Ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk sebuah menu baru kan?”
“Itu dia masalahnya. Campuran ini sama levelnya dengan Ben’s Perfecto. Kita butuh naik level El, kita butuh sesuatu yang lebih hebat dari ini.”
Berkernyit dahi El mendengarnya. Sadarlah dia kalau laki-laki di depannya belumlah berubah.
“Pernahkah kamu sadar kalau pelanggan Filosofi Kopi tidak butuh naik level? Mereka hanya butuh sesuatu untuk dinikmati, selepas menjalani hari. Apa yang aku pegang ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan itu Ben. Sekarang sadarlah kalau Filosofi Kopi juga punya kebutuhan. Mereka butuh kamu. Mereka butuh kamu ada di antara mereka, membantu mereka.”
“Kamu tahu banget kan El kalau aku tidak pernah main-main soal kopi?”
“Iya, aku tahu itu. Tapi apa kamu tidak pernah belajar dari pengalaman lalu? Pengalaman saat kita ketemu Pak Seno? Bagaimana pun kamu mencari, kamu tidak akan pernah menemukan kopi yang sempurna. Akan selalu ada kekurangan dari setiap kopi yang kamu buat.”
“Memang tidak akan pernah ada kopi yang sempurna, tapi akan selalu ada racikan kopi yang lebih baik. Kopi dengan rasa yang jauh lebih baik, bila dibandingkan racikan kopi lainnya.”
“Oke, kalau ini hanyalah soal rasa kopi, aku kenal seseorang yang bisa membantumu.”
“Tidak, terima kasih. Aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuan dari siapa-siapa.”
“Tapi dia sudah pergi ke beberapa negara untuk mempelajari berbagai jenis kopi. Dia tahu benar keunikan rasa di berbagai tempat. Aku banyak mendapatkan informasi tentang racikan kopi-kopi terbaik di masing-masing negara dari dia.”
“Sudahlah. Aku bisa melakukan ini sendiri. Kamu urus saja urusanmu sendiri.”
“Ya Tuhan Ben, benar-benar ada yang salah denganmu, egomu, dan kekerasan kepalamu itu!” El mengumpat kesal. Dia berjalan menjauh, dan kembali mengumpat.
“Hei, ada apa denganmu?”
El kembali berjalan mendekat. Dia menunjuk ke arah Ben. Wajahnya terlihat kesal. “Seharusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu?”
“Tidak ada yang salah denganku...” Ben merentangkan kedua tangannya.
“Serius? Tidak ada yang salah denganmu? Semuanya tentang kamu itu salah Ben, hanya kamu saja yang tidak pernah sadar dengan masalahmu itu.” Suara El mulai terdengar meninggi. Dia sepertinya tidak bisa lagi menahan emosi.
“Kenapa kamu yang jadi kesal? Justru aku yang seharusnya kesal padamu.”
“Oh, jadi aku tidak boleh kesal sekarang? Jadi kamu saja yang boleh kesal?”
Ketegangan mulai terasa di dalam ruangan. Suara keduanya makin meninggi, dan terus meninggi. Suasana kian terasa layaknya pertengkaran rumah tangga, antara suami dan istri. Suami dan istri yang sudah menikah puluhan tahun, sebagai catatan.
Di tengah pertengkaran yang kian memuncak, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Bersamaan dengan terbukanya pintu, terlihatlah Jody, Nana, Aga dan Aldi yang hampir terjatuh bersamaan. Mereka berhamburan masuk ke dalam kamar. Aksi saling dorong saat menguping tadi, rupanya tidak berimbang dengan daya tahan pintu. Pertengkaran Ben dan El langsung terhenti seketika itu juga. Keduanya menatap ke arah kawan-kawan mereka itu. Suasana canggung pun langsung terasa.
“Ki-kita kebetulan lewat, terus denger ribut-ribut. Kita nggak ada maksud nguping kok. Beneran deh,” Jody membuka suara. Penjelasan Jody itu ditanggapi Ben dengan kerutan di kening. Jelas sekali kalau dia tidak percaya kata-kata Jody tadi.
Kemudian situasi kembali sunyi, sebelum El melanjutkan kembali kata-katanya.
“Aku tidak peduli dengan semua ini. Pokoknya besok kamu harus ikut denganku, atau kalau tidak aku akan terbang ke Perancis malam ini juga,” El menunjuk ke arah Ben. “Dan kalian juga harus ikut denganku,” kini giliran El menunjuk ke arah Jody dan kawan-kawan.
Tidak ada komentar dari Ben. Demikian pun dari Jody, dan kawan-kawan yang lain. Semua yang ada di ruangan, kecuali El tentunya, saling beradu pandangan satu sama lain. Terasa sekali aura ketegangan memenuhi ruangan.
“Ma-maf Mba El, emang kita mau ke mana ya?” Nana menyeletuk di tengah ketegangan yang ada.
“Kita ke Bali.”
Selesai menjawab, El memandang tajam ke arah Ben dan melangkah keluar dari kamar. Ben langsung ikut beranjak mengikuti langkah El. Tersisalah Jody dan kawan-kawan Filosofi Kopi yang lain. Mereka berempat lagi-lagi saling pandang, penuh kebingungan.
Kembali Nana yang memecah kebisuan. “Mas Jody, ki-ta besok ke Bali?” tanyanya ragu.
Jody mengangkat kedua bahunya. “Kayaknya sih gitu...”
Walau belum mendapatkan jawaban pasti, Nana terlihat sumringah. Begitu pula dengan Aga dan Aldi. Di belakang Jody mereka berjingkrak sambil berbisik. Terbayang tempat-tempat indah yang bisa mereka datangi di Bali nanti.
Yes, kita ke Bali, kita ke Bali, kita ke Bali...”
*****
“Kamu mau mengajak aku ke mana sebenarnya?”
“Bisa tidak sih kamu tidak merengek terus kayak anak kecil gitu?” El menoleh ke arah Ben yang duduk di jok belakang. Diberi jawaban seperti itu, Ben pun diam. Dieratkannya silangan kedua tangannya di dada. Dia menoleh ke kanan, ke arah jendela. Malas dia melihat wajah El.
Sementara itu di belakang kemudi, Jody berusaha tidak ikut campur dengan masalah keduanya. Diam menjadi hal yang paling baik dilakukan untuk saat ini. Tugasnya hanya mengantarkan keduanya menuju ke tempat yang ingin dituju El. Itu saja, tidak lebih tidak kurang.
Mobil terus melaju mengikuti arahan El, sebagai navigator. Satu jam lebih ada dalam perjalanan, suasana disekeliling mereka mulai berubah hijau. Terlihat tanaman-tanaman khas pegunungan menjulang tinggi, diselingi pemandangan tebing dan ngarai. Dinginnya udara di luar pun mulai terasa menusuk kulit. Tanaman jeruk mendominasi, di antara tanaman-tanaman perkebunan lainnya. Rumah penduduk sangat jarang terlihat, berjarak cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Tidak lama terlihat sebuah gapura besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Wilayah Desa Kintamani.” Tidak lama pula, terlihatlah siluet gunung Batur, dengan hamparan danau Batur di kakinya.
Mobil kini melaju keluar dari jalur utama, memasuki jalan setapak tak beraspal. Warna hijau masih mendominasi pemandangan di sekitar. Terasa mobil sesekali bergoncang ketika melintasi bebatuan jalan yang agak besar. Jalan yang kini mereka lalui lebarnya hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Tanda-tanda kehidupan jarang sekali terlihat di sekitar mereka. Hanya sekali dua kali mereka bertemu dengan sepeda motor, ataupun orang berjalan. El terus meminta Jody untuk mengikuti alur jalan tersebut.
“Di depan belok kanan,” instruksi El. Diikuti segara oleh Jody.
Sekitar satu kilometer setelahnya, nampak sebuah rumah tradisional khas Bali. Gerbang depan dan temboknya pun juga dihiasi ukiran khas Bali. Perlahan mobil masuk ke areal pekarangan. Di sekeliling area pekarangan dihiasi tanaman-tanaman hias. Terlihat sekali kalau pemilik rumah serius menjaga keindahan pekarangannya. Nampak pula patung-patung khas Bali berbagai corak di beberapa sudut. Gemericik air terdengar dari kolam buatan di salah satu sudut.
Begitu mobil terparkir, El langsung turun. Dari dalam seorang pria paruh baya keluar, dan melambai ke arah El. Gadis itu ikut melambai dan melempar senyum.
“Hai Dik El, senang sekali bisa melihat wajah cantikmu lagi.” Pria paruh baya itu membuka lebar kedua tangannya. El tersipu, kemudian keduanya berpelukan.
“Bli Wira, saya membawa dua teman saya datang kemari.”
Ben dan Jody yang sudah berdiri di belakang El, langsung disalami oleh pria yang dipanggil El sebagai Bli Wira. Dari perawakannya, Bli Wira tidaklah terlalu tua. Malah masih terlihat sangat gesit. Hanya memang beberapa helai uban sudah mewarnai rambutnya. Keriput juga sudah menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Hari itu Bli Wira memakai pakaian khas Bali. Dilengkapi dengan udeng sebagai asesoris kepala, serta kain dan amed. Setelah berkenalan, mereka bertiga diundang Bli Wira untuk masuk ke dalam.
“Mohon dimaklumi rumah sederhana saya ini, maaf agak berantakan. Ini adalah ruangan tempat saya bekerja sehari-hari, saya memang jarang membersihkannya. Mari kita ke belakang saja agar lebih nyaman,” Bli Wira tertawa kecil.
Kalau diperhatikan, bagian dalam rumah Bli Wira tersebut lebih mirip galeri seni. Kanvas lukis bertebaran hampir di sebagian besar sudut ruangan. Ada lukisan yang sudah jadi, ada pula yang masih setengah jadi. Khusus untuk ruangan kecil yang ditunjuk Bli Wira tadi, juga terlihat beberapa lukisan. Demikian pula palet warna dan peralatan lukis lainnya. Di sana juga berdiri sebuah patung kayu yang belum jelas bentuknya. Nampak seperti belum selesai dipahat. Belum lagi kertas-kertas lain yang entah apa kegunaannya. Semua berserakan begitu saja, hanya menyisakan sedikit area kosong. Ben dan Jody saling pandang saat melihat di sekitar mereka.
Mereka terus berjalan, memasuki sebuah ruangan baru. Ruangan itu sedikit lebih rapi dan lebih enak dilihat. Deretan lukisan berfigura dan foto-foto menghiasi setiap sudut dinding. Sebagian besar menggambarkan kehidupan manusia sehari-hari sedang berinteraksi dengan alam. Patung-patung kayu berukuran kecil dan sedang juga dipajang di sana. Dalam ruangan itu terasa kita seperti sedang disajikan pameran seni rupa. Di antara semua foto yang ada, sebuah foto menarik perhatian Ben. Foto itu memperlihatkan Bli Wira berdiri di depan sebuah kedai Kopi. Dia terlihat memakai pakaian barista. Ben mendekati foto itu.
“Ini di mana?” tanya Ben.
“Oh, itu di Australia. Sebuah foto masa lalu. Sudah lama sekali.”
“Anda seorang barista?”
Bli Wira tersenyum kecil. “Iya, dulu. Dulu sekali. Aku dengar kamu juga seorang barista.”
Ben menganggukkan kepala. Kini Ben sedikit mengerti kenapa El mengajaknya kemari.
“Mari kita ke belakang. Di sana akan ada banyak hal lain yang akan menarik untuk kamu lihat.”
Mereka berempat melanjutkan langkah mereka. Kali ini mereka memasuki sebuah ruangan yang lebih besar. Di sana terpajang lebih banyak lagi lukisan, patung, dan foto-foto.
“Apa anda sendiri yang membuat semua lukisan, patung dan foto ini? Ini sungguh luar biasa,” Jody berseru. Tidak bisa dia menutupi kekaguman ketika melihat pemandangan di sekitar. Seruan kekaguman Jody tadi ikut ditanggapi El dengan senyuman.
“Iya sebagian besar. Tapi sebagian besar lagi dibuat oleh anak-anak muda yang suka mampir ke tempat ini untuk belajar bersama. Kebanyakan karya seni yang dipajang di sini adalah hasil karya mereka.”
“Anda juga menerima murid?” tanya Jody.
Disambutnya pertanyaan Jody itu dengan tawa. “Saya tidak menganggap mereka murid. Saya belum merasa layak untuk menjadi seorang guru. Saya lebih senang menganggap mereka sebagai teman belajar. Mari saya kenalkan kalian pada mereka.”
Keempatnya kembali melangkah. Kali ini Ben, Jody, dan El dipandu keluar menuju sebuah pekarangan lain. Pekarangan kecil yang menghubungkan gedung yang akan mereka tuju. Sama seperti pada pekarangan di area depan, tanaman-tanaman perdu juga menghiasi setiap sudutnya. Demikian pula dengan patung-patung khas Bali. Hanya saja modelnya berbeda, dan ukurannya relatif lebih kecil. Mereka kemudian diantar menuju deretan tangga menurun. Ketika melangkah menuruni tangga, barulah mereka sadar kalau area rumah Bli Wira berundak. Ruangan yang akan mereka tuju posisinya ada sedikit di bawah.
Sayup-sayup terdengar suara gamelan dari kejauhan. Ketika mereka mendekat, terlihat beberapa muda-mudi sedang berlatih menari. Beberapa yang lainnya sedang berlatih melukis, dan aktifitas kesenian lainnya. Ben dan Jody terlihat terkesima. El kembali hanya tersenyum melihat ekspresi wajah keduanya. Bli Wira kemudian mengenalkan mereka bertiga sebagai tamu dari ibukota, kepada para muda-mudi yang ada. Beberapa di antara mereka malah menjabat tangan El dengan ramah. Mereka saling bertegur sapa. Sepertinya mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
Perhatian Ben tertuju pada tiga pemuda dan seorang pemudi, di sebuah bar mini di pojok ruangan. Mereka berempat sedang berlatih keterampilan barista. Berlatih melempar botol-botol ke udara dan menangkapnya. Demikian dilakukan beberapa kali secara berulang. Terlihat pula mereka berlatih mencampur minuman, dan yang pasti berlatih meracik kopi. Aroma kopi yang merebak menggerakkan kaki Ben untuk mendekat. Jody dan El beradu pandang melihat reaksi Ben itu. Bersamaan mereka mengangkat bahu. Sedangkan Bli Wira hanya tersenyum. Di depan bar, Ben hanya memperhatikan keempat anak muda itu beraksi. Entah apa yang ada di pikiran Ben saat itu. Mungkin dia teringat kenangan masa mudanya.
“Apa ada sesuatu yang menarik Dik Ben?” Bli Wira tahu-tahu sudah berdiri di belakang Ben.
Ben sedikit terperanjat. Tersadar dia dari lamunannya.
“Oh, hanya teringat sesuatu...” Ben berdehem. “Dulu saya juga memulai belajar menjadi barista saat seumuran mereka. Saya selalu suka mencium aroma kopi yang masih hangat. Mengingatkan saya pada masa kecil saya di desa. Dulu ayah saya seorang petani kopi.”
“Saya juga memulai belajar barista seusia mereka. Selalu menyenangkan melihat darah-darah muda seperti mereka, membuat kita tetap bersemangat untuk terus menjalani hidup.”
Ben tidak bisa tidak menyetujui kata-kata Bli Wira tadi. Hanya saja, dia tidak mengungkapnya secara langsung. Dijawabnya saja dengan anggukan kepala.
“Bali sangat terkenal dengan pariwisatanya, maka banyak sekali restoran, hotel, dan bar yang membutuhkan tenaga barista. Tidak heran banyak anak-anak muda yang datang kemari untuk berbagi ilmu. Malah ada beberapa di antara mereka yang ujungnya membuka usaha kedai sendiri. Sama seperti halnya Dik Ben dan kawan-kawan lakukan di Jakarta sana. Dengan membuka tempat belajar seperti ini, bisa dibilang saya juga sudah ikut membantu perekonomian negara,” Bli Wira tergelak. Ditimpali Ben dengan anggukan dan senyuman.
Sehabis berbincang singkat dengan calon-calon barista muda itu, Bli Wira mengajak Ben, Jody, dan juga El untuk kembali berkeliling. Namun, Ben meminta izin untuk tinggal. Dia ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama anak-anak muda tersebut. Bli Wira tidak memaksa. Dengan syarat sekembalinya mereka nanti, harus tersedia kopi untuk mereka nikmati. Syarat itu dijawab Ben dan anak-anak itu dengan acungan jempol.
Perjalanan keliling dilanjutkan Bli Wira hanya bersama Jody dan El. Kali ini mereka menuju ke sebuah ruangan kecil dengan dinding yang terbuat dari kaca. Ruangan itu berada di dekat sebuah sungai kecil. Gemericik riak air terdengar sampai ke dalam ruangan. Pemandangan dari ruangan nampak begitu indah dan segar. Sangat cocok sebagai tempat mencari inspirasi. Di sana mereka berjalan sambil berbicara tentang masalah yang dihadapi Ben. Mereka juga berbicara tentang perkembangan bisnis Filosofi Kopi, terutama terkait sistem manajerialnya. Bli Wira juga sepertinya tertarik untuk memulai bisnis food truck. Di tengah obrolan, sesekali terdengar seruan Jody mengagumi keindahan dari kediaman Bli Wira.
“Bagaimana kalau kita kembali? Kopi kita pasti sudah selesai sekarang.”
Jody dan El menyetujui ajakan tersebut. Mereka kembali ke ruangan di mana sebelumnya mereka meninggalkan Ben. Dari kejauhan nikmatnya aroma kopi sudah menusuk hidung. Insting barista Bli Wira pun langsung bekerja. Dia pun langsung tahu kalau kopi yang akan menyambut mereka, bukanlah kopi yang biasa.
“Ternyata tidak sembarangan juga kawanmu itu Dik El,” Bli Wira tersenyum ke arah El yang berjalan di sampingnya. Kata-kata itu dibalas oleh El dengan senyuman. “Tunggu saja sampai Bli mencoba racikan Ben secara langsung...”
Sesampainya di dalam ruangan, salah satu dari barista muda menyambut mereka. Dipersilakan ketiganya duduk di meja yang telah disediakan. Tidak lama, seorang barista muda lainnya datang membawa nampan berisi tiga gelas kopi. Asap mengepul dengan aroma wangi. Setelah dipersilakan, Bli Wira mengambil satu gelas terlebih dahulu. Dihirupnya aroma kopi sedekat mungkin ke hidungnya. Aroma yang dikecapnya kini jauh lebih nikmat ketimbang dari kejauhan tadi. Diseruputnya sedikit. Dan terkagumlah dia dengan sensasi rasa yang menyentuh lidahnya. Seruputan kedua lebih menajamkan lagi sensasi rasa tersebut.
“Bagaimana? Anda suka?” tanya Ben yang sudah berdiri di sebelah mereka.
Bli Wira mengangguk-anggukan kepalanya. “Ini luar biasa Ben, kamu memiliki sentuhan yang hebat dalam meracik kopi.”
“Itu adalah racikan terbaru saya. Masih belum begitu sempurna, masih butuh perbaikan sehingga nantinya menjadi sebuah racikan yang tepat dan pas.”
“Menurut saya, ini sudah sangat sempurna. Memang rasa seperti apa yang kamu inginkan?”
“Nah, itu yang selalu saya katakan padanya Bli. Tapi tetap saja dia ngotot kalau kopi racikannya itu belumlah sempurna.” El langsung menyerobot, sebelum Ben sempat berkomentar.
Ben membatalkan niatnya untuk berkomentar. Dia juga tidak ingin menyangkal kata-kata El tadi. Dia tahu berdebat dengan seorang El akan sulit untuk dimenangi.
Tertawalah Bli Wira melihat keduanya. Sekilas memori masa lalu terbersit di benaknya. Dulu dia pernah mengalami pertengkaran yang sama. Dengan masalah yang sama. Dulu, dulu sekali.
“Dik Ben, mencari kesempurnaan itu adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Kesempurnaan adalah suatu hal yang semu. Apakah kamu yakin akan menghabiskan hidupmu untuk sesuatu hal yang semu?”
“Saya tidak pernah main-main kalau soal kopi. Itu adalah prinsip saya sebagai barista. Saya tidak akan menyerah pada prinsip saya itu.”
Kali ini Bli Wira tersenyum. “Saya tidak akan mencampuri prinsip kamu itu, bukan kewenangan saya. Orang tua ini hanya ingin sedikit berbagi pengalamannya saja. Pengalaman yang didapat selama perjalan hidupnya, berkelana ke mana-mana.”
Ben terlihat acuh tak acuh. Dia terlihat enggan menanggapi perkataan Bli Wira.
“Kamu dengarkanlah dulu Ben, tidak ada salahnya belajar dari pengalaman orang lain. Seperti saat kita belajar dari pengalaman Pak Seno kan? Pada akhirnya kamu akui kan kalau apa yang beliau katakan ada benarnya.” Jody menambahkan.
“Oh, Pak Seno si pemilik warung kopi Tiwus? Kalian sudah bertemu dengannya?”
Jody menjawab pertanyaan Bli Wira dengan anggukan. “Iya, dan kami banyak sekali belajar dari beliau. Anda mengenalnya juga?”
“Iya, saya sangat mengenalnya. Saya yakin kalian pasti banyak belajar dari beliau. Keputusan saya untuk berhenti berpetualang, dan menetap di tempat ini pun karena nasehat beliau. Konsep beliau mengenai hubungan antara manusia dengan alam telah menginspirasi saya.”
Di tengah percakapan, tiba-tiba terdengar suara ponsel. Rupanya itu ponsel milik El. Dilihatnya nomor yang tertera di layar.
“Permisi, saya harus menjawab ini dulu.” El lalu berdiri dan berjalan menjauh. Tidak lama gadis cantik itu kembali. Raut wajahnya terlihat penuh ketegangan.
“Ada apa El?” tanya Jody.
“A-aku harus kembali ke Jakarta sekarang.”
Jody keheranan. “Kita kan baru sampai kemarin. Memang ada masalah penting apa?”
“Tadi itu pengacaraku. Dia bilang ada seseorang melaporkan tulisanku di salah satu media ke polisi. Aku dilaporkan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.”
Ben langsung berseru, “Apa? Memang siapa dia?”
Dua bahu El terangkat. “Entahlah, seseorang bernama Sofie Herdiansyah.”
“Sofie Herdiansyah?” Bli Wira lebih dulu mendahului untuk berkomentar.
“Iya, apakah Bli mengenalnya?”
“Oh ti-dak, tentu saja tidak.” Bli Wira menggelengkan kepala.
“Kalau gitu aku ikut denganmu,” Ben berseru kembali. Diamini pula oleh Jody. “Aku juga ikut.”
“Bagaimana dengan teman-teman lain di Filosofi Kopi?”
“Mereka akan baik-baik aja tanpa kita. Biarkan mereka di Bali dulu untuk sementara. Aku akan telpon mereka dalam perjalanan,” sahut Jody.
Ketiganya lalu berpamitan pada Bli Wira. Mobil Jody melaju dengan kencang meninggalkan tempat itu. Bli Wira melambai melepas kepergian ketiganya. Setelah siluet mobil menghilang, laki-laki paruh baya itu menghela napas. Tanpa disadari tadi oleh Ben, Jody dan El, ada guratan kerisauan di wajah Bli Wira. Kerisauan yang mungkin hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
*****
S-o-f-i-e.
Nama itulah penyebab Ben dan Jody ada di ruangan ini. Entah kenapa, ketika diucapkan nama ‘Sofie’ terdengar beranonim dengan “Kopi’. Hal itu diceletukkan oleh El kemarin. Celetukan El tersebut diamini oleh Jody, namun tidak bagi Ben. Nama itu terasa mengganggu telinganya setiap kali diucapkan. Hari ini dia pun bisa bertatap muka langsung dengan si pemilik nama.
“Apa maksudnya El harus ditahan?” Suara Ben menggelegar, disertai suara gebrakan meja yang cukup keras.
Jody tersentak mendengarnya. Demikian pula gadis cantik yang duduk di sampingnya.
Gadis cantik, orang ketiga di ruangan itu, bernama Bella. Nama lengkapnya Bella Nagari, dengan dua huruf ‘L’ pada nama depannya. Dia adalah pengacara yang ditunjuk El untuk mewakilinya dalam proses berperkara. Sebuah nama yang unik memang. Dari penjelasannya sendiri, nama itu diberikan oleh kakeknya. Tujuannya agar dia selalu ingat berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negeri. Sesuatu yang sudah jarang dilakukan orang-orang dewasa ini. Dia membebaskan Ben dan Jody memanggilnya apapun. Boleh memanggil Bella, Ella atau Ari, asalkan bukan Naga. Mereka berdua memutuskan memanggilnya “Ella’. Kini resmi ada dua “El” dalam hidup Ben dan Jody.
Tidak hanya nama Ella yang unik, penampilannya pun demikian. Pertama kali melihat Ella, dahi Ben dan Jody kompak berdenyit. Ada guratan ketidak-percayaan mereka pada pengacara pilihan El tersebut. Penampilannya lebih mirip mahasiswa semester satu Fakultas Hukum, ketimbang pengacara. Anaknya mungil, dengan perawakan cuek dan santai. Sama sekali tidak mencirikan seorang pengacara elit, atau sejenisnya. Pengacara macam apa yang memakai kaos kasual, celana jeans sobek, dan sepatu kets ke kantor, runtuk Ben saat itu. Hanya kaca mata baca model terbaru yang dipakainya, sedikit menunjukkan sisi intelek. Namun, El percaya betul pada Ella, yang dikenalnya sejak bangku kuliah dulu.
“Udah selesai marah-marahnya? Sekarang elu duduk gih, sebentar lagi pihak penggugat bakal dateng. Lu bisa dengar masalahnya langsung dari mereka.”
Sama sekali tidak ada perubahan ekspresi di wajah cantiknya. Sama sekali Ella tidak terpengaruh oleh gertakan Ben tadi. Masih sibuk dia membolak-balik halaman majalah yang dipegangnya. Bukan majalah hukum, beneran bukan. Majalah itu adalah majalah fashion. Dia bilang untuk menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Hal ini juga yang turut memancing kekesalan Ben.
Walau masih memendam kesal, mau tidak mau Ben terpaksa menurut. Buat apa melampiaskan kekesalan pada pihak sendiri. Sebenarnya Ben hanya menuntut Ella untuk serius menangani kasus El. Kini El sudah ditahan di kantor Polisi. Nasib El ada di tangan Ella. Namun, tuntutan itu kembali ditanggapi Ella santai. Katanya El akan baik-baik saja di kantor Polisi. Justru itu tempat paling aman di negeri ini, demikian sahut Ella. Pancingan kesekian untuk kesabaran Ben, yang tidak sabar-sabar amat. Jody hanya bisa melongo. Dia tidak mau ikut memanasi suasana.
Beruntung terdengar suara ketukan pintu. Perdebatan di antara keduanya bisa terhenti sementara. Seorang gadis memberitahu kalau tamu yang ditunggu sudah datang. Ella meminta agar gadis itu mengantar tamu-tamu masuk.
Tidak berselang lama, seorang gadis cantik lainnya masuk. Perawakannya masih sangat muda. Penampilannya lebih seperti model papan atas. Tinggi, feminim dan sangat anggun. Ruat indo kian mempertegas cantik parasnya. Inikah yang namanya Sofie Herdiansyah, runtuk Ben dalam hati. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Gadis itu datang didampingi seorang laki-laki bertubuh tambun. Dari penampilannya yang necis berdasi, bisa dipastikan kalau dia adalah pengacara sang gadis. Datang pula bersama mereka, dua laki-laki bertubuh kekar berseragam tuxedo. Dari balik kaca kelihatan mereka siaga berjaga diluar. Walau tertutup kaca mata hitam, tapi cukup terbersit tatapan mereka yang sangar. Jelas tampak kalau gadis itu tidak berhemat untuk jasa pengacara, dan juga keamanan diri.
Ya Tuhan habislah kita, runtuk Ben lagi. Mungkin itu pula yang dipikirkan Jody, saat keduanya kompak saling beradu pandang. Guratan kecemasan tergambar di wajah mereka.
“Saya tidak ingin berbasa-basi, mari kita langsung saja bernegosisasi mengenai inti persoalan. Pastilah anda sudah membaca salinan surat gugatan yang dikirimkan pengacara saya,” gadis itu langsung membuka pembicaraan. Kedua kubu kini duduk berhadapan.
Ella masih terlihat santai. “Iya sudah. Kalau begitu silakan anda sampaikan keinginan anda.”
“Saya datang langsung ke sini bukan untuk bernegosiasi dengan anda. Saya datang untuk ber-negosiasi dengan laki-laki di sebelah anda. Nama anda Ben bukan?”
Ben langsung tersentak saat namanya dipanggil. Dia heran bagaimana gadis itu bisa tahu namanya, padahal jelas kalau mereka belum pernah bertemu. Dahi Ben berkerut, mencoba mengingat apa dia pernah bertemu dengan gadis di hadapannya. Apalagi kini gadis itu menatap tajam ke arahnya.
“Sa-saya?” Ben menunjuk diri sendiri, penuh kebingungan. Jody dan Ella kompak mengalihkan pandangan ke arah Ben. Kebingungan yang sama terpancar di wajah keduanya.
“Iya anda. Saya sudah sering mendengar kemampuan hebat anda dalam mecarik kopi. Sebentar lagi saya akan membuka kedai kopi baru di Jakarta. Saya ingin anda membuatkan saya racikan kopi terbaik untuk nantinya digunakan di kedai saya itu. Tentu hak ciptanya akan menjadi milik saya sepenuhnya. Begitu saya mendapatkan resep kopi itu dari anda, maka gugatan saya kepada El akan saya cabut, dan kasus ini saya anggap selesai.”
“Ah permintaan macam apa itu! Itu sih pemerasan namanya,” Ben menghardik geram. Ketika dia hendak berdiri, Jody yang duduk di sebelah menahannya.
Bukannya gentar, Sofie justru tersenyum sinis. Sungguh sebuah perpaduan yang menakutkan. Antara kecantikan, kekayaan dan kelicikan.
“Terserah anda mau menamai permintaannya saya itu apa. Yang jelas saya mau resep kopi itu sudah ada di tangan saya minggu depan, atau saya akan minta pihak kepolisian agar melanjutkan proses kasus ini.”
Ben mengepalkan kedua tinjunya. Emosinya benar-benar sudah mencapai puncaknya. Beruntung Jody terus memeganginya. Kalau tidak, mungkin detik itu juga dia akan sudah meloncat untuk mendamprat gadis di depannya. “Tarik napas Ben, tarik napas. Sabar, sabar.” ucap Jody terus.
“Jadi permintaan anda cuma itu saja?” Ella kembali bertanya.
“Iya. Oya mungkin saya lupa memberitahu di mana lokasi kedai kopi baru saya itu. Lokasinya di tengah kota, tepat di bekas sebuah kedai kopi yang dulunya bernama Filosofi Kopi. Kalian pasti sudah pernah mendengar nama itu tentunya.”
Kini giliran Jody yang terkejut. Raut wajahnya langsung berubah pucat. Barulah dia tahu kalau pembeli gedung bekas kedai kopi miliknya adalah Sofie. Benar-benar menyesakkan dada saat tahu kenyataan tersebut. Hanya saja, Jody bisa lebih tenang menghadapi hal itu. Berbeda dengan Ben yang lebih ekspresif. Dia tahu masih harus menenangkan Ben, yang kini emosinya meledak kapan saja.
Bertolak belakang dengan ekspresi Ben dan Jody, pada wajah Sofie terlihat guratan kepuasaan. Sepertinya semua ini sudah direncanakannya. Entah apa yang mendasari perbuatan gadis cantik tersebut. Padahal baik Ben dan Jody merasa tidak pernah berbuat apa-apa terhadap Sofie.
“Oke, sepertinya pembicaraan kita sudah selesai. Saya tunggu kabar selanjutnya dari anda. Saya yakin anda sudah memiliki nomor telepon saya.” Kembali gadis itu tersenyum sinis.
Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Sofie langsung berdiri dan melangkah keluar ruangan. Baik Ben, Jody dan Ella, hanya bisa terpaku. Sejenak terasa keheningan dalam ruangan.
“Terus kita harus gimana sekarang?” Jody membuka keheningan.
“Cuma ada satu jalan keluar dari masalah ini. Memenuhi permintaan si ratu kecantikan tadi. Gue sih jelas nggak bisa. Jangankan bikin kopi, bikin air panes aja gue nggak tahu caranya. Elu juga sama kan Jod? Nah, sekarang tergantung sama si tukang marah-marah di sebelah gue nih.” Ella mengangkat bahunya pasrah.
“Eh elu itu yah bisa bener dikit ngomong nggak sih?” Ben kembali menggerutu. “Perang” antara keduanya kembali terpicu.
“Loh omongan gue bener kan? Coba tunjukin di mana salah omongan gue tadi?”
Ben melengos kesal, meratapi nasib yang harus berurusan dengan gadis menyebalkan di sebelahnya. Andai saja dia bukan sahabat El. “Elu itu yah...” Ben menunjuk ke arah Ella.
Ella membalas gerutuan dengan tatapan santai. Berhenti sejenak dia memainkan pulpen di tangan kanannya. “Entah apa yang dilihat El dari cowok penggerutu macem elu ini.”
“Apa maksud perkataan lu tadi?”
“Nggak ada maksud apa-apa. Daripada ngomel-ngomel terus kayak gini mending lu mulai kerja deh. Nggak kasihan lu sama El?”
Raut kekesalan di wajah Ben mereda. Perkataan Ella tadi memang ada benarnya. “Gudang yang rencananya mau disewain sama temen lu, masih kosong kan Jod?”
Jody mengangguk. “Masih. Kenapa?”
“Gue bisa kerja di sana kan? Gue musti mulai sekarang. Gue nggak bisa biarin El lama-lama di tahanan.” Dijawab lagi oleh Jody dengan anggukan.
 “Oke, masalah terpecahkan. Sekarang gue pergi dulu, ada urusan penting menunggu.”
Ella berdiri dari tempat duduknya. Merapikan kertas-kertas di atas meja, dan memasukkan ke dalam tas jinjingnya. Bersiap dia untuk pergi.
“Kamu ada klien lagi?” tanya Jody.
“Nggak.”
“Ada meeting?”
“Nggak. Butik kenalanku hari ini ngadain sale, kalau aku nggak buru-buru ke sana ntar kehabisan barang bagus. Daah...”
Tanpa menunggu respon Ben dan Jody, Ella langsung ngacir pergi. Meninggalkan dua laki-laki itu saling menatap satu sama lain, dengan mulut menganga.
*****
“Oh sial, gagal lagi!”
Ben berseru kesal. Entah kali keberapa dia sudah meneriakkan hal yang sama. Jody, Nana, Aga dan Aldi pun lagi-lagi saling memandang. Dari kemarin memang mobil Filosofi Kopi berhenti beroperasi sementara. Sengaja diliburkan untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Mereka semua ingin fokus membantu pekerjaan Ben. Tiga hari sudah mereka bergelut dengan biji dan serbuk kopi. Sampai-sampai Jody yang mulanya buta tentang kopi, kini bisa meracik segelas cappucino dan espresso. Luar biasa, sungguh luar biasa.
“Sudah, kalian lanjutkan saja kerjaan kalian,” ucap Jody pada ketiga pegawainya. Melangkah dia mendekati Ben. “Ada yang bisa aku bantu?”
Ben menggeleng. “Gue kacau banget Jod. Nggak ada yang bisa membantu gue sekarang.” Ben menumpukan kedua tangannya di meja. Dia tertunduk lesu. Dua hari lagi tenggat waktu yang diberikan Sofie akan habis. Ini membuat semua orang menjadi tertekan.
Baru Jody hendak melontarkan kata-kata, terdengar suara salam dari pintu. Keduanya kompak mengalihkan pandangan ke asal suara. Di depan pintu terlihat berdiri seorang laki-laki paruh baya. Baik Ben dan Jody mengenal laki-laki itu. Dia adalah Bli Wira. Jody langsung tergopoh-gopoh mendekati laki-laki itu. Disambutnya Bli Wira dengan hangat. Bli Wira menyampaikan niat kedatangannya untuk membantu. Jody tersenyum mendengarnya. Sama sekali tidak terpikir oleh Jody bertanya darimana Bli Wira bisa tahu tentang masalah mereka. Paling tidak, kini yang terpenting ada satu kepala lagi yang bisa membantu untuk berpikir. Dia tahu keahlian Bli Wira di masa lalu pasti akan banyak membantu. Diperkenalkannya Bli Wira kepada pegawai Filosofi Kopi lainnya.
“Apa kabar Dik Ben?” tanya Bli Wira.
Ben tersenyum masam. “Beginilah, anda bisa melihatnya sendiri.”
Bli Wira tertawa kecil. Tanpa disuruh, dia mengambil satu buah apron dan memakainya. Dia langsung berjalan ke sebelah Ben. “Mari saya bantu, mungkin kalau dilakukan bersama kita bisa menghasilkan sesuatu.”
Keduanya lalu sudah larut dalam kesibukan di depan mesin kopi. Ternyata Bli Wira membawa sendiri biji kopi yang telah disangrai. Katanya biji kopi itu adalah hasil penyempurnaan biji kopi Tiwus milik Pak Seno. Aldi dan Aga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan menyaksikan dua ahli kopi berbeda generasi itu beraksi. Mereka tahu bisa banyak belajar dari keahlian keduanya.
Di tengah kesibukan yang memuncak di dalam ruangan itu, kembali terdengar salam dari pintu. Kali ini suaranya milik seorang perempuan. Jody yang tadinya membantu Nana memanaskan air, menoleh ke arah suara. Dia tersenyum melihat sosok yang baru saja datang. Dia adalah Ella, si pengacara unik. Jody melangkah mendekat, dan menyambutnya. Barulah yang lain menoleh ke arah keduanya. Aldi dan Aga saling mencolek, melihat sosok Ella. Diluar sifatnya yang cuek dan semaunya, Ella memang memiliki paras yang manis. Wajar saja dua pemuda itu tergoda. Tanpa disuruh keduanya mendekat dan berkenalan. Dikejauhan Nana hanya tersenyum, melihat tingkah kedua rekan kerja jomblo-nya itu.
“Ada apa lu datang? Ada perkembangan terbaru mengenai El?” tanya Jody, saat mereka sampai di meja di mana Ben dan Bli Wira bekerja.
“Nggak ada sih. Gue datang cuma mau melihat perkembangan pekerjaan kalian sampai mana. Kan ini berkaitan langsung dengan kasus yang gue tangani.”  Ella tersenyum.
“Sedikit lagi mungkin akan ada hasil,” sahut Bli Wira, sambil menyodorkan tangan kanannya. Ella menyambut dengan ramah, dan mereka berkenalan.
“Oh jadi elu dateng buat keperluan pekerjaan? Bukannya habis jalan-jalan dari mall?” ucap Ben sinis dari depan mesin kopi. Wajar saja Ben berkata seperti itu. Penampilan Ella memang terlalu kasual untuk bisa dikatakan sedang bekerja. Tanktop dan celana pendek kini menjadi pilihan busananya. Sebagai alas kaki, tetap ber-sepatu kets ria.
Disambutnya kata-kata sinis tadi Ben dengan senyuman. “Ih tahu aja sih. Nih gue bawain kalian camilan mumpung lagi diskon, beli dua gratis satu.”
Ben melengos. Dia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, ketimbang adu mulut dengan Ella. Gadis itu juga memilih berjalan menjauh bersama Jody. Dia tahu cekcok dengan Ben tidak akan membantu, justru membuat kacau. Dari kejauhan, Ben melihat Ella sudah terlihat akrab dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Sesekali terdengar tawa dari meja mereka duduk. Dua buah meja panjang sengaja ditaruh dalam ruangan. Satu untuk mereka bekerja, satu lagi untuk tempat beristirahat. Ternyata kehadiran Ella cukup mencairkan suasana dalam ruangan tersebut. Ruangan yang semula bekas gudang itu kini terasa lebih ceria. Ben hanya bisa menggelengkan kepala melihat mereka. Bli Wira sendiri terlihat tersenyum di samping Ben.
“Nah, ini silakan dicoba. Satu orang satu gelas. Tolong kemudian diberikan komentarnya.” Bli Wira mendekati Jody dan kawan-kawan. Mereka lalu masing-masing mengambil jatahnya.
Bersamaan mereka menyeruput kopi yang di tangan. Seruputan pertama mereka saling pandang. Tidak ada komentar yang keluar. Mereka kompak kembali menyeruput.
“Ini sih enak banget Bli, luar biasa!” Ella yang pertama berkomentar. Diangkatnya tangan kanan, seperti sedang meninju langit-langit. Seperti biasa dialah yang paling ekspresif mengungkapkan isi kepalanya.
Jody, Nana, Aldi dan Aga, kemudian bergantian memberikan komentar. Kesemua dari mereka hampir memberikan komentar yang sama. Tentang kenikmatan luar biasa yang mereka kecap di lidah mereka. Bergantian mereka mengacungkan jempol ke arah Bli Wira, dan juga Ben. Dari kejauhan Ben melihat reaksi yang muncul dari semua penikmat kopi racikannya. Kemudian dia menyeruput kopi yang dipegangnya. Dia pun kini bisa mengerti kenapa tadi semuanya beraksi demikian. Hasil penggabungan racikan kopi miliknya dan Bli Wira sungguh luar biasa hasilnya. Rasa inilah yang dia cari selama ini. Seberkas senyuman tersungging di bibirnya. Terbayang kilasan wajah cantik El, sedang membalas senyumannya itu di kepala.
Dari kejauhan terlihat Bli Wira melambai ke arah Ben. Sepertinya dia meminta Ben untuk datang mendekat. Ben pun melangkah mendekati mereka. Kembali lambaian jempol diberikan semua orang kepada Ben. Dia hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
“Kayaknya kopi ini musti diberi nama juga Mas Ben,” celetuk Nana.
Ben hanya mengangkat bahunya. “Terserah aja. Kamu mau ngasi nama apa?”
“Nggak tau Mas, belum kepikiran,” Nana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ucapan Nana tadi langsung disambut tawa oleh yang lainnya. Aldi dan Aga melengkapi garukan itu dengan beberapa kali tepukan di bahu Nana.
Jody kemudian gantian nyeletuk, “Bagaimana kalau biarkan saja kopi ini tidak memiliki nama untuk sementara. Toh mungkin kopi ini tidak akan menjadi milik kita, walau kita bersama yang membuatnya.”
Walau terdengar bernada getir, namun semua yang ada di ruangan menyetujui perkataan Jody tadi. Namun, itu tidak mengurangi kecerian di antara mereka. Tidak terasa hari sudah beranjak larut. Hari itu mereka tutup dengan yel-yel ala Filosofi Kopi, atas usulan Nana. Mereka pun membentuk lingkaran kecil. Menyatukan tangan di tengah, dan pada hitungan ketiga bersorak berbarengan sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Filosofi... Kopi... !!”
*****
“Belum bisa tidur, Dik Ben?”
Ben tersadar dari renungannya, karena sapaan itu. Diangkatnya kepala dan menoleh ke arah Bli Wira. Dia tersenyum, saat laki-laki itu menyodorkan segelas kopi hangat. Diterimanya sambil mengucapkan terima kasih. Mereka berdua, bersama dengan Jody, Aldi dan Aga, memang memilih untuk tetap tinggal di gudang. Hanya saja, ketiga lainnya kini sudah terlelap.
“Iya Bli. Besok hari yang penting, kepala saya tidak mau berhenti berpikir.”
Bli Wira duduk di samping Ben. Ditatapnya deretan bintang tengah kegelapan langit di atas sana. Malam ini langit memang terlihat cerah. Bulan sabit juga terlihat di antara gugusan bintang, menambah indahnya suasana.
“Memang apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Entahlah, semuanya mungkin. Bagaimana kalau seandainya kopi yang kita racik tidak sesuai dengan selera Sofie, maka El tidak akan bisa bebas dari tahanan. Itu akan menjadi kesalahan saya, dan El pasti juga akan menyalahkan saya. Benar-benar tidak bisa saya bayangkan kalau hal itu sampai terjadi.”
“Bukannya tadi kamu sudah mengunjungi El? Kamu bilang kepadanya kan kalau kita sudah menemukan racikan kopi untuk Sofie?”
“Iya, dan dia terlihat sangat bahagia. Apalagi saat saya katakan kalau hasil racikan kopi itu adalah hasil kerja bersama, kawan-kawan di Filosofi Kopi dan Bli Wira.”
Bli Wira tersenyum. “Apakah terlihat ada keraguan di matanya?”
Ben menggeleng. “Tidak, sama sekali tidak.”
“Itu karena El percaya padamu, pada kawan-kawannya di Filosofi Kopi. Saya sudah mengenal El sejak lama. Dia bukanlah gadis yang mudah menyerah. Tentu saja dia tidak akan menyerah pada kasus ini, karena dia tahu kalian juga tidak akan menyerah padanya. Apapun hasilnya besok, El pasti mengerti kalau kamu dan kawan-kawannya sudah memberikan yang terbaik untuknya.”
“Tapi bagaimana kalau saya sendiri tidak yakin dengan kopi racikan saya sendiri?”
“Dik Ben, Dik Ben.” Kali ini Bli Wira tertawa. Sempat dia terbatuk karenanya. Diseruputnya kopi yang dipegangnya. Kemudian mengacungkannya di hadapan Ben.
“Mungkin kamu sudah pernah mendengar ucapan ini dari Pak Seno. Kopi tetaplah akan menjadi kopi. Pada hakikatnya tidak ada kopi yang sempurna, sebaik apapun kita meraciknya. Sejarah mencatat, kalau kopi pertama hanyalah berasal dari campuran bubuk kopi, gula dan air hangat. Itu saja. Ego manusia yang mulai bermain kemudian. Kita mulai mencampur bahan-bahan lain, agar tercipta rasa yang berbeda. Namun apapun rasa yang tercipta, pada dasarnya komposisi kopi adalah sama.” Bli Wira berdehem, sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa manusia terus mencari rasa yang berbeda dari kopi? Semata-mata karena manusia ingin memuaskan indera mereka. Lidah, mata, hidung, kulit dan indera lainnya. Itulah kemudian yang menjadi tugas kita sebagai barista. Memuaskan indera manusia. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah indera manusia akan pernah puas? Jawabannya adalah tidak. Indera manusia tidak akan pernah puas. Ditambah lagi, satu manusia dengan manusia lain diciptakan berbeda. Demikian pun indera manusia. Sesempurna apapun kopi racikan kita, akan selalu memunculkan pendapat yang berbeda. Itu yang saya pelajari dari hasil perjalanan hidup saya selama ini.”
Ben terdiam. Dia memandang ke depan dengan tatapan kosong. “Lalu apa itu berarti Bli meminta saya untuk berhenti? Berhenti mencari racikan kopi yang menurut saya terbaik?”
“Oh tidak, sama sekali tidak. Manusia akan terus belajar dan berkarya selama mereka hidup. Itu adalah hakikat manusia. Yang ingin saya sampaikan adalah ada saatnya kita harus menerima apabila ada yang memberikan penilaian berbeda terhadap hasil karya kita. Ada saatnya kita harus sadar kapan waktunya kita untuk berhenti mencari, dan melihat apa yang sudah ada di sekitar kita. Bisa saja apa yang ingin kita cari, justru sudah ada disekitar kita selama ini. Hanya saja, kita belum menyadarinya.”
“Maksud Bli apa sebenarnya?” Ben menolehkan kepala, dipandanginya kemudian wajah laki-laki di sebelahnya.
“Sadarkah kamu kalau kopi yang kamu minum beberapa jam yang lalu, rasanya berbeda dengan kopi yang kamu pegang sekarang?”
Dipandanginya gelas kopi yang dipegangnya. Ben dengan ragu dijawabnya pertanyaan Bli Wira tadi, “Mungkin...”
Lagi-lagi Bli Wira melempar senyuman. “Biar saya kasih tahu sebuah rahasia. Racikan kopi yang kamu pegang, sama percis dengan yang kita racik beberapa jam yang lalu. Bahan-bahannya sama, cara membuatnya pun sama. Lalu apa yang membuatnya berbeda? Itulah yang menjadi pertanyaan berikutnya.” Bli Wira menyeruput kembali kopi yang dipegangnya. “Jawabannya, karena ada satu indera lagi yang masih harus dipuaskan dalam proses peracikan kopi. Satu indera yang kadang sangat sulit untuk kita puaskan sebagai barista. Indera itu adalah hati. Perbedaan rasa yang timbul dari kopi ini, karena beberapa jam yang lalu kamu bersama orang-orang yang kamu cintai dan mencintai kamu. Tanpa sadar itu menambah rasa nikmat dari kopi yang kita cicipi. Sedangkan sekarang hanya ada kita berdua.”
Ben kembali terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan kata-kata Bli Wira tadi. Melihat itu, Bli Wira melanjutkan kata-katanya.
“Itulah kenapa tadi saya katakan, selama ini kamu terus mencari dan mencari. Suatu saat kamu harus menyadari kapan harus berhenti mencari, dan melihat di sekitarmu. Tidak-kah kamu sadari ada begitu banyak cinta di sekitarmu, Dik Ben? Selama ini kamu meracik kopi untuk memuaskan indera lidah, mata, hidung, dan indera lainnya. Namun pernahkah kamu menyadari sesuatu ada satu indera yang belum terpuaskan, dan itulah yang menjadi penyebab kamu terus mencari dan mencari. Mungkin yang kamu butuhkan hanya melihat, dan menyadari. Atau mungkin saatnya lewat orang tua ini, kamu diingatkan untuk mencoba melihat, dan menyadari.”
Ben masih tetap terdiam. Masih belum ada komentar apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Pikirkan-lah kata-kata saya tadi. Apapun hasilnya besok, saya tahu itu adalah hasil terbaik yang bisa kamu berikan. Untuk El, untuk kawan-kawan Filosofi Kopi, dan untuk dirimu sendiri.”
Bli Wira bangkit berdiri. Ditepuknya dua kali bahu Ben. “El itu gadis yang baik. Kamu harus melihat, dan menyadari itu.”
Setelah mengucapkan itu, Bli Wira melangkah pelan masuk ke dalam gudang. Meninggalkan Ben sendirian, bersama dengan pikirannya.
*****
“Saya senang kalian menghubungi saya lebih cepat dari waktu yang diberikan.”
Sofie duduk dengan anggun ditemani dua pengawal di belakangnya. Si pengacara duduk di meja sebelah, tidak jauh dari tempat kliennya duduk. Ben duduk tepat berhadapan dengan Sofie. Tatap mata keduanya beradu dengan tajam. Sementara Jody dan Ella, duduk di sebelah Ben. Kawan-kawan Filosofi Kopi lainnya diminta untuk tetap tinggal di mobil.
Jody sama sekali tidak terbayang kalau dirinya akan kembali ke tempat ini. Tata letaknya masih sama, hanya interiornya cukup banyak berubah. Sofie telah menyulap tempat ini menjadi lebih terkesan modern. Tidak heran apabila melihat dana yang dimiliki oleh gadis itu. Berbeda ketika dirinya masih mengelola tempat ini. Semuanya dimulai dari tumpukan hutang, dan setiap rupiah coba mereka kumpulkan lembar demi lembar bersama Ben. Iya, mereka memang sedang berada di gedung lama kedai Filosofi Kopi. Jody pun menyesal telah menjual tempat ini. Terlalu banyak memori indah di tempat ini. Terlalu banyak.
“Bisakah kita langsung mulai saja membuat kopi?” ucap Ben sinis.
Sofie tergelak. “Bagus, bagus. Saya juga orang yang tidak suka membuang-buang waktu. Silakan dimulai kalau begitu. Anda pasti tahu dimana letak bar-nya. Saya sama sekali belum merubah posisinya,” giliran gadis cantik itu yang tersenyum sinis.
Ben langsung berdiri, disusul Jody dan Ella. Mereka berjalan menuju ke balik meja bar. Di sana dilihat oleh Ben kalau mesin kopi sudah berganti dengan keluaran terbaru. Sofie benar-benar telah merubah wajah Filosofi Kopi yang lebih fresh. Hanya saja, masih ada satu hal yang tidak dirubah oleh Sofie. Di tengah modernisasi besar-besaran yang terjadi, coretan “No Wi-fi” masih tetap ada diposisinya. Entah apa maksudnya, mereka pun enggan bertanya.
Mulailah Ben bekerja. Sofie meminta dua barista miliknya untuk mengawasi pekerjaan Ben. Satu pria dan satu wanita. Keduanya kerap menyeringai sinis, saat tubuh mereka sedikit bersenggolan dengan Jody maupun Ella. Begitu pun dibalas dengan seringaian yang sama oleh Jody dan Ella. Aura permusuhan benar-benar terasa dalam ruangan tersebut.
Pekerjaan Ben akhirnya selesai. Semerbak aroma kopi memenuhi ruangan, dibawa oleh kepulan asap. Hidung Sofie rupanya cukup sensitif. Dia tahu kalau kopi buatan Ben ini memiliki aroma yang spesial. Berbeda dari kopi-kopi yang pernah dinikmatinya. Senyuman kecil tersungging kembali di bibirnya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu.
“Silakan...” Ben berdiri di depan Sofie yang masih duduk dengan anggun. Di depan gadis cantik itu kini terdapat segelas kopi. Kepulan asapnya benar-benar menggoda hidung. Tampilannya pun tidak kalah menggoda mata.
Sofie mengambil gelas tersebut. Ditatapnya tajam racikan kopi di tangannya. Kemudian mulai menyeruputnya sedikit. Dahinya sedikit berkerut. Sekali lagi diseruputnya kopi tersebut, sebelum diletakkannya kembali gelas itu di atas meja.
“Siapa yang membantu anda membuat racikan ini?” ujar Sofie ketus. Ditatapnya tajam wajah Ben. Ada nada penuh selidik di matanya.
“Apa maksudmu? Aku membuatnya sendiri, kamu melihatnya sendiri tadi bukan?”
“Saya tidak bodoh. Saya tahu benar campuran rasa yang ada di dalam kopi ini. Tidak mungkin anda membuatnya sendiri. Hanya ada satu orang yang sanggup meracik rasa seperti ini, dan saya tahu benar siapa orangnya.”
Jody dan Ella yang berdiri di samping Ben, mulai terlihat gelisah. Ben sendiri hanya bisa berdiri mematung. Bingung dia harus menjawab apa. Akhirnya hanya ada kebisuan antara ketiganya.
“Saya yang membantu mereka...” Di tengah kebisuan, tiba-tiba terdengar suara dari pintu. Di sana telah berdiri Bli Wira. Ben, Jody, dan Ella langsung menoleh bersamaan. Begitu pula dengan Sofie. Senyuman sinis kembali tersungging di bibirnya.
“Saya sudah menduga pasti anda ikut campur dalam racikan kopi ini.”
Bli Wira melangkah masuk. “Tolong jangan kamu ganggu kehidupan anak-anak muda ini Sofie, mereka ini anak-anak yang baik, saya tahu benar itu.”
Sofie berdiri dari tempat duduknya. Pengacara dan dua penjaganya ikut berdiri.
“Apa hak anda untuk meminta saya melakukan itu? Bagi saya anda bukanlah siapa-siapa.” Nada suara Sofie masih terdengar datar. Walau terasa sedikit getaran kemarahan di sana.
Ben, Jody dan Ella bergiliran saling bertukar pandangan. Sepertinya mereka bertiga mencoba saling bertanya satu sama lain. Mencoba mencari tahu akan apa yang terjadi sebenarnya. Namun mereka bertiga tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Mereka hanya bisa tetap terdiam.
“Kata-kata kamu itu benar-benar menyakitkan. Bagaimana pun kamu tetaplah putriku Sofie.”
Perkataan Bli Wira tadi kembali membuat Ben, Jody, dan Ella saling pandang. Putri? Sofie dan Bli Wira memiliki hubungan darah? Sofie adalah anak dari Bli Wira? Pertanyaan itu bergiliran berkecambuk di benak ketiganya. Namun tetap saja mereka hanya bisa terdiam.
“Oh, jangan lagi anda ungkit-ungkit masalah itu. Ke mana anda saat saya membutuhkan anda sebagai ayah? Ke mana anda saat saya dan ibu saya membutuhkan anda sebagai kepala keluarga? Ke mana anda? Ke mana?” Keanggunan Sofie kini sedikit terkikis. Dia mulai menghardik dengan suara agak tinggi. “Berhenti mencampuri urusan saya, dan berhenti untuk mencoba masuk ke dalam kehidupan saya.”
Sofie melangkah melewati Bli Wira. Ketika hendak berpapasan dengan Ben, Jody dan Ella, gadis cantik itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Ben. “Urusan kita belum selesai...”
Lanjut kemudian dia melangkah menuju pintu. Langkah Sofie diikuti itu oleh kedua pengawal, pengacara, dan dua baristanya. Tidak lama terdengar suara deru mobil-mobil pergi menjauh.
Bli Wira melangkah mendekati Ben, Jody dan Ella. Dipandanginya wajah ketiganya.
“Maafkan saya...” Hanya itu yang keluar dari mulut Bli Wira. Nada suaranya terdengar getir.
Laki-laki paruh baya itu lalu melangkah gontai menuju pintu. Sosok Bli Wira pun menghilang, meninggalkan tiga orang yang masih tersisa di ruangan itu. Suasana yang tadi sempat memanas kini menjadi sunyi.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Jody.
“Entahlah...” sahut Ella pelan.
Suasana kembali sunyi. Ketiganya tetap berdiri mematung di sana, dalam diam.
*****
“Maafkan saya Dik El, saya telah mengacaukan segalanya.”
Di wajah cantik El tersungging sebuah senyuman. “Tidak apa-apa Bli, saya tahu Bli hanya ingin membantu.”
Bli Wira datang mengunjungi El untuk berpamitan. Dia menyatakan kehendaknya untuk kembali ke Bali. Dia sudah lama meninggalkan rumah dan galerinya. Ada guratan getir dalam benak Bli Wira, melihat gadis secantik El harus mengenakan seragam tahanan. Di sisi lain, ada guratan penyesalan pula dalam dirinya, karena telah gagal membantu El dan kawan-kawannya.
“Saya dengar kalau ternyata Sofie adalah putri Bli? Apakah itu benar?”
Bli Wira menghela napas, sebelum mengangguk. “Ceritanya panjang sekali. Ingin saya simpan sendiri sebenarnya cerita tersebut. Hanya saja, ketika saya melihat kamu, Ben, dan kawan-kawan kalian di Filosofi Kopi, saya tergerak untuk mengungkap masa lalu kelam saya ini. Saya pikir kehadiran saya akan membantu, namun ternyata justru membuat segalanya menjadi kacau.”
“Maaf, saya tidak bermaksud untuk mengingatkan anda pada masa lalu anda.”
“Tidak apa-apa. Semua ini memang salah saya, bukan salah Sofie. Saya-lah yang meninggalkan mereka demi memuaskan ke-ego-an diri saya. Dulu saya telah digelapkan oleh pencarian akan kesempurnaan, tanpa menyadari kalau kesempurnaan itu sudah ada di sekitar saya.”
“Karena itu kah anda membantu Ben?”
Bli Wira tergelak. “Iya, mungkin ketika saya melihat Ben, saya seperti melihat bayangan cermin diri saya sendiri ketika muda dulu. Begitu antusias dan penuh energi.” Kembali kemudian dia tergelak. “Saya hanya tidak ingin Ben sampai mengulangi kesalahan yang pernah saya lakukan.”
El memegang kedua tangan Bli Wira. “Apa pun yang akan terjadi nanti, saya ucapkan terima kasih untuk semua yang sudah Bli lakukan. Percayalah ini semua bukan kesalahan Bli.”
Senyuman Bli Wira kembali tersungging. “Kamu adalah gadis yang baik Dik El, sebenarnya Ben beruntung memilikimu. Semoga saja dia cepat menyadari itu.”
Giliran El yang tersenyum, dan dia mengaggukkan kepala.
“Oh ya, bolehkah saya meminta satu permintaan Dik El?”
“Tentu saja Bli, permintaan apa itu?”
Bli Wira kemudian mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Terlihat juga secarik kertas disana. “Kalau Sofie datang menemuimu, dan saya yakin dia pasti akan melakukan itu. Tolong berikan ini kepadanya. Saya tahu dia sudah tidak mau lagi bertemu dengan saya. Dan saya tidak menyalahkan dia karena melakukan itu. Namun saya harap ketika dia menerima ini, akan dapat memperbaiki masalah yang melibatkan kamu dan kawan-kawanmu.”
El menerima pemberian Bli Wira itu. Ternyata benda itu adalah sebuah kalung, dengan hiasan leontin kecil berbahan mutiara. Sedangkan secarik kertas tadi adalah sebuah amplop. El yakin di dalamnya terdapat sebuah surat.
“Tentu saja Bli, saya akan menyerahkan ini kalau kami bertemu.”
Beranjak kemudian Bli Wira. Dia melangkah pergi, setelah mengucapkan terima kasih pada El. Sementara sebulir air mata mengalir turun dari pelupuk mata El. Tiba-tiba dia jadi rindu sosok ayahnya, yang kini sudah tidak lagi ada.
*****
“Gue ini bodoh banget. Bodoh, bodoh, bodoh...” Ben mengucek-ucek rambutnya yang sudah berantakan sedari tadi. Dia terlihat sangat kesal. Kesal pada dirinya sendiri tepatnya. “Ini semua salah gue, seharusnya gue percaya dengan kopi racikan gue sendiri.”
“Sudahlah Ben, ini semua salah kita kok. Nggak usah nyalahin diri lu sendiri kayak gitu.” Jody menimpali. “Kalau sudah seperti ini, artinya kasus ini akan dilanjutkan?” Dia lalu menoleh ke Ella yang duduk di sampingnya.
“Iya,” sahut Ella singkat. Dia menghela napas. “Tapi gue sudah menyiapkan bahan-bahan buat pembelaan, seadainya kasus ini mesti sampai ke persidangan. Gue sih masih berharap Sofie mau mencabut gugatannya.”
“Kalau melihat kemarahan dia tadi sih kayaknya sulit.”
Ella menimpali kata-kata Jody itu dengan anggukan. Kembali dia memungut kerikil di depannya dan melemparkan sejauh mungkin. Mereka bertiga terlihat teramat galau. Padahal mereka sudah mempersiapkan segalanya sebaik mungkin. Bahkan hari ini Ella sampai mengenakan pakaian formal, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Jody dan yang lainnya sampai dibuat menganga melihat penampilan Ella hari itu. Dia terlihat menyerupai wanita dewasa, ketimbang biasanya.
“Gue juga nyesel banget kenapa dulu gue jual kedai Filosofi Kopi. Makin nyesel lagi gue waktu tahu yang beli kedai itu si Sofie. Sialan,” umpat Jody. “Seandainya saja gue bisa beli lagi kedai itu dari Sofie. Sialan, sialan.”
Giliran Ben yang menepuk bahu Jody. Keduanya seolah membagi perasaan galau mereka. Ella memberikan beberapa buah kerikil kepada Jody. Ikut dilemparnya kerikil-kerikil itu sejauh dia bisa, guna melegakan kembali kegundahan yang ada.
“Gue janji akan berusaha semampu gue. Nggak akan gue biarin terjadi apa-apa sama El,” Ella menoleh kepada Ben dan Jody.
“Makasi yah Ella, buat semuanya...” terdengar suara Ben sedikit parau.
Ella dan Jody kompak menoleh. Dari mulut Ben keluar ucapan terima kasih untuk Ella? Sungguh sebuah keajaiban. Biasanya yang keluar hanyalah kata-kata sinis. Keduanya seolah tidak percaya dengan kenyataan tersebut. Disambutnya kata-kata itu dengan senyuman oleh Ella.
“Itu artinya kita sudah genjatan senjata?”
Ben mengangkat bahunya. “Mungkin…”
Ella tertawa kecil. Dia terlihat sumringah. Hampir saja dia berjingkrak kegirangan. Dia pun lalu mengacungkan jari kelingkingnya. Dengan harapan Ben melakukan hal yang sama. Mengaitkan jari kelingking adalah bentuk simbol perdamaian. Paling tidak itu menurut Ella. Entah dibacanya dari sejarah negara manakah itu.
Dahi Ben berkerut melihat itu. “Serius? Yang bener aja deh...” Dia balik melengos.
Ditariknya kembali jari kelingking itu. Ella kemudian tergelak dengan gaya centil. “Kan nggak ada salahnya mencoba,” celetuknya.
Jody hanya menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Paling tidak sekarang kucing dan tikus sudah tidak lagi bertikai. Untuk sementara, dan tidak tahu sampai kapan.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara dering nada handphone. Berasal dari handphone milik Ella. Gadis itu mengangkatnya dan mulai berbicara. Pembicaran tidak berlangsung lama. Selesai berbicara, ekspresi wajahnya terlihat serius.
“Dari siapa?” tanya Jody.
“Dari pihak kepolisian, mereka bilang El mau ketemu gue. Empat mata.”
*****
“Pengacara saya bilang, anda mau bertemu saya? Ada keperluan apa kalau saya boleh tahu.”
Seperti biasa gaya bicara Sofie terdengar sedikit angkuh. Masih dengan menggunakan kalimat-kalimat resmi.
El tersenyum. “Sebelumnya terima kasih karena anda mau datang. Saya menghargainya.”
Dibalasnya kata-kata El itu oleh Sofie dengan sebuah anggukan. Keduanya terlihat duduk saling berhadap-hadapan. Di dalam ruangan khusus untuk menjenguk tahanan itu juga ada Ella dan pengacara Sofie. Baik Ella maupun pengacara Sofie berdiri di sudut ruangan, agak jauh dari posisi duduk El dan Sofie. Ella menjaga sikapnya tetap waspada. Seperti karateka yang siap memasang kuda-kuda. Walau siapa pun tahu, tubuh mungil Ella tidak mungkin menang melawan tubuh tambun di dekatnya. Sesekali tatapan keduanya beradu. Sama sekali tidak ada keramahan dalam tatapan tersebut.
“Ini tentang Bli Wira, ayah anda...”
“Oh dia. Kalau tidak ada hal lain yang ingin anda bicarakan, maka pembicaraan ini saya anggap selesai...” Sofie berujar ketus. Dia lalu terlihat hendak berdiri, namun segera dicegah oleh El.
“Dia meminta saya untuk menyerahkan ini kepada anda.”
Melihat dua benda di telapak tangan El, Sofie membatalkan niatnya. Kembali dia duduk. Sorot matanya yang tadi penuh keangkuhan, kini terlihat meredup. Ada sesuatu pada kedua benda itu yang mampu meredam Sofie. El menyodorkan kedua benda itu lebih dekat. Memberi isyarat pada Sofie untuk mengambilnya.
Perlahan Sofie menyodorkan juga tangannya. Diambilnya kalung dan amplop surat itu. Ditatap dalam-dalam kalung digenggamannya. Dari ekspresi wajah Sofie, terlihat sekali kalau kalung itu memiliki makna yang mendalam. Berikutnya, Sofie membuka amplop dan mengeluarkan kertas yang ada di dalamnya. Dibacanya perlahan, dan ekspresi wajah Sofie kembali berubah. Kali ini ada kesedihan terlihat, betapapun dia berusaha menyembunyikannya.
Sementara di sudut ruangan, Ella dan pengacara Sofie masih bertukar pandangan sinis. Tanpa mereka sadari, tiba-tiba Sofie sudah melangkah keluar ruangan. Aksi tatap menatap di antara keduanya pun berakhir. Pengacara Sofie ikut melangkah keluar ruangan. Berhamburan lalu Ella langsung mendekati El.
“Ada apa tadi itu? Kenapa nenek sihir cantik itu bisa tiba-tiba saja pergi?” Dicecarnya El dengan pertanyaan, begitu pantatnya menghempas di sofa.
“Nenek sihir cantik?” Dahi El berkerut mendengarnya.
“Hei dia itu jahat, sinis, dingin, kejam, nggak berperasaan. Mirip banget sama nenek sihir. Tapi sialnya, harus gue akui kalau dia juga cantik. Elu lihat nggak sih kuku tangannya. Gila banget deh, itu kuku kinclong bener.”
“Serius lu sempet ngeliatin kukunya?” Dahi El lebih berkerut dari sebelumnya.
“Dia itu musuh kita El. Udah tugas gue mempelajari musuh kita itu secara mendalam, sedalam-dalamnya. Dan elu tahu nggak sih, sepatu yang dia pakai berapa harganya? Enam digit bok! Itu belum dihitung dress, kalung sama gelangnya. Duh, dia itu itu bener-bener udah kayak brand berjalan deh!” Ella terlihat begitu antusias membahas calon lawannya itu di pengadilan nanti.
El hanya menggeleng-geleng, dan tersenyum geli. “Kamu tahu itu semua dari mana?”
“Dari internet dong. Tapi nggak apa-apa, gue sudah siap kok ngelawan dia. Gue sudah nyiapin semua bahan-bahan yang kita butuhin. Sudah gue ketik sampai seratus halaman lebih sekarang, kalau perlu nanti bakal gue tambah. Sumpah, seumur hidup gue nggak pernah ngetik sebanyak itu. Tugas kuliah aja nggak pernah gue bikin sebanyak itu. Demi elu, gue rela kok El, beneran rela, rela banget...”
“Ella, Ella, udah, udah...” El berusaha menghentikan rancauan sahabatnya itu. Ella pun menurut, di-rem-nya mulutnya untuk berbicara. Ditariknya napas saat El meminta dia melakukannya.
“Sofie bilang dua hari lagi dia akan menarik gugatannya.”
Ella nampak kaget. Seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Se-serius?”
“Iya, serius.” El mengangguk.
“Sedikit aneh nggak sih. Apa yang mendadak bisa bikin seorang nenek sihir cantik berubah jadi malaikat cantik dalam waktu sekejap?”
“Nggak tahu juga sih, tapi itu yang dia bilang tadi.”
El sengaja tidak membicarakan tentang kalung dan surat pemberian Bli Wira kepada Ella. Biarlah itu menjadi masalah antara Bli Wira dan Sofie. Dia tahu masalah keluarga memang bukanlah untuk konsumsi puBlik. Dalam hati, El menaruh harapan masalah antara Bli Wira dan Sofie dapat diselesaikan dengan baik. Dalam waktu dekat tentunya.
“Kita musti kabarin kabar baik ini sama temen-temen lain,” seru Ella sumringah.
“Ella, bisa nggak kabar ini jangan dulu lu sampaiin ke yang lain? Biar nanti jadi kejutan kalau beneran terjadi.”
Ella menyetujui permintaan El. “Eh , tahu nggak apa yang mesti kita lakuin pertama begitu elu keluar dari tahanan?”
“Nggak.” El mengangkat bahu.
“Kita musti pergi meni-pedi bareng. Sudah cukup kali ini saja kuku tangan gue kalah kinclong dari calon lawan gue.”
Keduanya lalu tertawa. Tertawa geli tepatnya.
*****
Rumah dan galeri Bli Wira sudah sepi malam itu. Hanya terdengar suara jangkrik dan katak dari daerah sungai yang banyak tertutupi tanaman. Sengaja Bli Wira tidak meletakkan lampu di sana. Hanya beberapa titik dari rumahnya yang diterangi lampu, itu pun dengan watt yang tidak besar. Bli Wira menyukai suasana alami. Dia lebih memiliki penerangan seperti obor atau sentir. Di beberapa bagian rumahnya diterangi lampu-lampu sentir yang bergantung. Di dalam rumah, Bli Wira tinggal sendirian. Memang ada pembantu, tukang kebun, dan sopir yang juga merangkap keamanan. Namun, mereka tidak tinggal di area rumah. Mereka khusus dibuatkan kamar di areal belakang, terpisah dari rumah utama.
Bli Wira terlihat duduk santai di dalam ruang kerjanya. Ruang berantakan yang kerap dipakainya melukis. Di depannya ada sebuah lukisan seorang wanita, berparas anggun. Lukisan itu belumlah selesai. Sosok wanita di lukisan itu sudah terlihat, namun tidak demikian dengan latar belakang lukisannya. Di tatapnya lukisan itu dalam-dalam. Ada kesenduan dalam tatapan mata tersebut.
Lamunan Bli Wira terputus, saat mendengar deru suara mobil mendekat. Kilatan lampu menyorot ke dalam rumah, sebelum padam. Bli Wira beranjak berdiri, dan melangkah menuju pintu utama. Langkahnya terhenti saat melihat sosok gadis berdiri di ambang pintu. Suasana dalam ruangan agak sedikit temaram. Walau tidak jelas, hanya terlihat seluetnya saja, Bli Wira tahu siapa yang berdiri di sana. Bli Wira diam terpaku, dan membiarkan gadis itu yang melangkah mendekatinya. Beberapa langkah si gadis berhenti, memberi jarak yang cukup untuk mereka berbicara. Gadis itu adalah Sofie.
“Saya datang karena ini. Kenapa benda ini bisa ada di tangan anda?”
Sofie menyodorkan sebuah kalung berleontin mutiara di genggamannya.
“Pemilik kalung itu yang menyerahkannya langsung kepada saya. Kalung itu dan sebuah surat yang ditujukan untukmu. Saya tidak pernah sempat untuk menyerahkannya, karena kamu tidak pernah mau menemui saya.”
“Kapan dia datang menemui anda?”
“Sebulan sebelum dia meninggal dunia. Dia datang karena khawatir kamu akan sendirian. Dia tahu waktunya tidak lagi lama, saat kondisi kesehatannya terus menurun. Dia memintaku untuk menjagamu. Permintaan terakhir yang tidak pernah dapat saya penuhi sampai detik ini. Namun syukurlah kulihat kamu sudah bisa menjaga dirimu dengan baik, tanpa saya.”
Tidak ada respon dari Sofie. Dia hanya berdiri mematung. Sepertinya dia berusaha menahan diri untuk menangis.
“Maafkan perbuatan saya selama ini kepada kamu dan ibumu. Saya sadar kesalahan saya terlalu besar padamu. Saya mengerti kalau pada akhirnya kamu tidak mau memaafkan saya. Itu adalah sepenuhnya hak kamu.”
“Jadi anda yang meletakkan bunga di makam ibu saya, setiap hari ulang tahunnya?”
Bli Wira mengangguk. “Saya tahu dia sangat menyukai bunga lili. Kamu juga pasti tahu itu.”
“Terima kasih sudah menjaga kalung dan surat ibu saya. Besok saya akan kembali ke Perancis. Masalah dengan El dan kawan-kawannya saya anggap selesai, sesuai dengan permintaan anda, saat terakhir kali kita bertemu.”
Kembali Bli Wira mengangguk. “Terima kasih...”
“Kalau begitu saya permisi sekarang. Senang bisa berbicara dengan anda.”
Ketika Sofie hendak berbalik, Bli Wira menahannya. “Bisakah kamu tinggal sebentar lagi? Saya bisa membuatkanmu segelas kopi. Cappucino, dengan satu sendok gula dan sedikit krim. Itu kan kesukaanmu? Tapi, itu pun kalau kamu mau. Saya tidak memaksa.”
“Baiklah, tapi saya tidak bisa lama.”
Tanpa disangka Bli Wira, Sofie memenuhi ajakannya. Mereka berdua, tanpa pengawalan, masuk ke dalam rumah. Ketika melewati ruang kerja, Sofie melihat sekilas lukisan wanita cantik karya Bli Wira. Dia pun langsung mengenali sosok wanita tersebut. Dia adalah ibunya, istri dari Bli Wira. Dia terlihat begitu cantik dalam lukisan itu. Sosok seorang wanita Perancis yang pernah memilih untuk tinggal di Bali, demi cinta.
Malam itu terasa emosional baik bagi Sofie maupun Bli Wira. Kopi yang mereka minum terasa nikmat luar biasa, mengalahkan kopi manapun di dunia. Dua hati yang sempat lama terpisah, kini menyatu kembali dalam perantara segelas kopi.
*****
“Uh lama banget sih ini anak dua...”
Untuk kesekian kalinya Ben meruntuk. Untuk kesekian kalinya dia juga berjalan mondar-mandir.
“Ben, bisa nggak sih elu duduk. Lu sekarang kelihatan seperti suami yang lagi nungguin istrinya melahirkan.” Jody memprotes kegiatan Ben.
“Paling tidak ini bisa membuat gue lebih tenang.”
“Iya, tapi kita yang ngeliatin lu jadi nggak tenang.”
Dialog bernuansa perdebatan antara kedua terus terjadi. Mereka yang lain yang ada di ruangan, hanya bisa menatap tanpa berkomentar. Nana, Aldi, dan Aga hanya memandangi Ben berputar-putar. Bola mata mereka ikut bergerak ke kanan dan ke kiri.
Suara deru mobil akhirnya bisa menghentikan perdebatan itu. Ben sontak berlari keluar, disusul oleh Jody. Nana, Aldi, dan Aga juga ikut berhamburan keluar. Sesaat setelah mobil berhenti Ben langsung membuka pintu. Di sana telah tersenyum El, tanpa berseragam tahanan lagi pastinya. Begitu El turun dari mobil, Ben langsung memeluk gadis cantik itu. Tergambar kerinduan yang sangat besar dari pelukan tersebut.
“Ya, ya, pelukan saja terus, nggak usah peduliin gue. Gue bisa buka pintu sendiri kok, makasi.” Ella turun dari kursi pengemudi. Dia ngedumel sendirian, karena merasa dicuekin. Maksud hati ingin menyindir, tapi apa daya cuma dianggap angin lalu.
Jody yang melihat itu tertawa geli. Dihampirinya Ella, kemudian digandengnya tangan gadis itu. Ketika hendak mengajaknya melangkah masuk, gadis itu menghentikannya. “Tunggu bentar, ada seseorang yang mau ketemu elu dan Ben.” Selesai berujar demikian, sebuah mobil lain berlahan datang mendekat.
Tidak perlu Jody bertanya siapa yang dimaksud oleh Ella, karena sudah terlihat sosok itu dari balik kaca jendela mobil. Kini Jody mengerti kenapa mereka diminta menunggu di sini, di kedai lama Filosofi Kopi.
“Buat apa dia ikut datang ke sini?” tanya Jody heran.
“Biar dia deh yang ngejelasin sendiri,” sahut Ella singkat.
Dari tempatnya berdiri, Jody juga bisa melihat Ben sama waspadanya seperti dirinya. Apalagi saat Sofie sudah turun dari mobil. Tetap dengan gayanya yang berkesan glamor, berkaca mata hitam. Mungkin Ben sama herannya dengan dirinya, saat dilihatnya El menyambut Sofie dengan ramah. Tidak lama keduanya berdampingan masuk ke kedai. Ben hanya bisa menurut mengikuti langkah kedua gadis tersebut. Demikian pun Jody, Ella, dan kawan-kawan lainnya.
Di dalam Sofie mempersilakan El duduk di salah satu meja. Awalnya Jody enggan ikut mendekat, namun paksaan Ella membuat kakinya mau tidak mau melangkah. Demikian pula dengan Ben. Lambaian tangan El mau tidak mau memaksanya mendekat. Mereka berlima kini berkumpul di satu meja. Sementara itu Nana, Aldi dan Aga memilih untuk berdiri agak jauh. Sesekali terlihat ketiga saling berbisik, entah apa yang mereka bisikkan.
Untuk sejenak, tidak ada yang bersuara. Mereka hanya bergantian saling memandang. Sampai El membuka percakapan, “Jadi gini, Sofie punya sesuatu hal yang ingin dibicarakan dengan kalian berdua.” El memandang bergantian Ben dan Jody, kemudian dia melanjutkan lagi kata-katanya, “Tolong didengerin sebentar. Silakan Sofie.”
Tidak seperti biasanya, wajah Sofie kali ini terlihat lebih ramah, tenang dan bersahabat. Namun, tetap saja Ben dan Jody belum terbiasa dengan semua itu. Mereka masih melihat Sofie layaknya musuh yang harus diwaspadai. Meskipun kini El sepertinya ada dipihak Sofie.
Sofie berdehem, sebelum mulai berbicara. “Pertama, saya ingin mengucapkan maaf karena telah menyusahkan kalian semua, terutama El. Dan saya sudah mengatakan itu secara pribadi kepada El kemarin. Kedua, saya ingin berterima kasih kepada Ben sudah membuat racikan kopi yang hasilnya sangat baik...”
“Sama-sama. Dan sekarang racikan kopi itu bukanlah milikku lagi, sesuai kesepakatan awal. Kalau itu yang memang kamu mau dengar,” Ben menyerobot dengan ketus.
El memegangi tangan Ben. Dia memberi isyarat agar Ben memberikan kesempatan Sofie untuk berbicara. Ben melengos, dan menuruti kemauan El.
“Saya tidak memiliki banyak waktu karena harus mengejar pesawat, jadi saya persingkat saja. Saya ingin menawarkan kerja sama bisnis dengan kalian berdua. Saya merasa Filosofi Kopi akan jauh lebih berkembang di tangan kalian berdua. Daripada saya serahkan pengelolaan Filosofi Kopi kepada orang lain, lebih baik saya serahkan kepada kalian, itupun kalau kalian mau. Untuk sistem pembagian keuntungan bisa kita bicarakan lebih lanjut.”
Mendengar itu Ben dan Jody saling pandang. Mereka seakan tidak percaya, keinginan mereka untuk mendapatkan Filosofi Kopi bisa diwujudkan dengan mudah. Tidak perlu ada pertengkaran dan perselisihan lebih lanjut, sebagaimana mereka pikir sebelumnya. Secara teknis, memang hak kepemilikan Filosofi Kopi tidak mereka dapatkan sepenuhnya. Namun, kesepakatan ini mereka rasa sudah cukup bagus. Untuk beberapa saat keduanya berdiskusi dengan berbisik.
“Itu kedengarannya bagus. Tapi kami ingin diberi kebebasan mengubah beberapa hal, terutama masalah interior dan hal teknis lainnya,” tawar Jody, mewakili keinginan Ben sebenarnya.
“Lakukan apapun yang kalian mau pada tempat ini. Yang saya tekankan hanyalah pembagian keuntungan dan kiriman laporan keuangan setiap bulannya.”
Mendengar itu, Ben dan Jody kembali berdiskusi. Untuk soal yang diutarakan Sofie tadi, selama ini Jody yang paling memegang peran. Mereka berdua pernah melempar gurauan, kalau dalam mengelola Filosofi Kopi, Ben itu ibarat otot sedangkan Jody adalah ibarat otak. Dan menurut mereka, otak dan otot harus dibebaskan dalam bergerak agar benar-benar berfungsi maksimal.
“Kalau begitu kita sepakat,” Jody menyodorkan tangannya, yang langsung disambut oleh Sofie. Itu pertama kali mereka bersentuhan. Ternyata kulit tangan Sofie memang sehalus yang terlihat. Sedangkan Ben tidak merasa perlu untuk melakukan hal yang sama. Cara pandangnya terhadap Sofie belumlah berubah.
“Baiklah, saya kira cukup ini sebagai perbicaraan awal kita. Untuk detailnya anda bisa berbicara dengan pengacara saya di lain waktu. Senang bisa berbisnis dengan anda,” ucap Sofie sambil tersenyum. Senyum paling ramah yang pernah tersungging di wajahnya. Setelahnya gadis cantik itu berdiri, dan berpamitan kepada semuanya.
Begitu mobil-mobil Sofie dan koleganya berderu menjauh, seketika itu baik Nana, Aldi dan Aga langsung berhamburan mendekat. Nana langsung membuka pertanyaan.
“Mas Jody, mas Ben, itu artinya kita balik lagi ‘ngantor’ di sini?” tanya Nana, walau entah istilah ‘ngantor’ yang dipakainya itu tepat dengan konteks kalimat.
Jody mengiyakan. “Iya Na, tapi itu cuma Senin sampai Kamis saja, sisanya kita tetap berkeliling buat ‘jemput gelas’ mendatangi pelanggan-pelanggan Filosofi Kopi di luar kota. Gimana menurut lu Ben?”
“Hhmm.. ‘Jemput gelas’ yah? Istilah yang bagus. Gue setuju.”
Ucapan Ben dan Jody itu langsung diamini yang lain dengan sorakan. Mereka akhirnya bisa kembali ke kedai lama Filosofi Kopi, di mana semuanya berawal. Mengawali kebersamaan dalam wadah kekeluargaan. Kini Jody justru bersyukur kalau Sofie-lah yang membeli gedung tersebut. Seandainya saja bukan dirinya, mungkin gedung ini sudah beralih fungsi. Sejarah Filosofi Kopi akan hilang begitu saja. Jody berjanji dalam hati, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan yang dia buat saat menjual ‘sejarah’ Filosofi Kopi. Melihat raut-raut wajah gembira, membuat Jody bisa merasakan lagi ‘sejarah’ itu. Pun demikian mungkin yang dirasakan kawan-kawannya saat ini.
“Oke, karena semuanya sudah beres sekarang gue pamit dulu.” Ella beranjak untuk berdiri.
“Kenapa? Butik temen lu ngadain diskon lagi?” tanya Ben. Kali ini tentu tanpa nada ketus, lebih bermaksud menggoda.
Ella langsung terbahak. “Nggaklah, duit dari mana? Sekarang waktunya nyari duit dulu. Sambil tetep buka mata dan telinga soal diskonan sih.” Disambut Ben dengan sunggingan senyum.
Ketika Ella hendak beranjak, Jody berdiri dan menanggilnya. “Ella...”
“Iya, kenapa?” Gadis mungil itu membalikkan pandangan.
Sejenak Jody mematung. Dia terlihat bingung memulai kata-katanya. “Gi-gini nih El, ka-karena ke depannya gue harus berurusan sama pengacaranya Sofie, sepertinya gue juga perlu pengacara nih. E-elu mau nggak jadi pengacara gue?”
Sebelum Ella sempat menjawab, Nana keburu menyeletuk. “Cie, mas Jody nanyain Ella mau jadi pengacara kayak nanyain mau jadi pacar aja...”
Celetukan Nana itu langsung disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Termasuk Ella tentunya. Sedangkan Jody hanya bisa mesem-mesem kesal ke arah Nana, dengan wajah memerah. Semakin kencanglah suara tawa dari yang lainnya.
“Iya, boleh. Asal bayarannya sesuai aja dong pastinya,” Ella segera menyahut agar kekikukan Jody mereda. Dijawab pula pertanyaan Jody itu dengan senyuman.
“Ba-bagus deh. Kalo gitu kita ketemu besok sambil makan malam. Ngomongin soal kontrak, dan... dan lain-lain.”
Sedetik kemudian terdengar suara batuk. Kali ini berasal dari El. Suara batuk El tadi kembali disambut tawa oleh yang lainnya. Bahkan, kini Ben pun tidak bisa tidak untuk ikut tertawa. Kini tidak hanya wajah Jody yang memerah, wajah Ella pun berwarna senada.
Namun, bukan Ella namanya kalau tidak dengan cepat menguasai keadaan. Dia langsung nyengir sambil menggaruk kepalanya. “Oke Jod, nanti elu telpon gue saja deh. Di sini nggak kondusif, terlalu banyak ‘gangguan’ soalnya.”
Disebut sebagai ‘gangguan’, El dan kawan-kawan malah merespon makin riuh. Bahkan satu dua kali terdengar siulan dari Aldi dan Aga. Memang keduanya sempat naksir pada Ella, namun kini mereka sadar kalau Ella sedikit ‘ketinggian’ bagi mereka. Apabila Jody memang nantinya jadian dengan Ella, paling tidak mereka bisa melihat wajah manis Ella. Dukungan pun mereka berikan seratus persen.
Tanpa memperdulikan keriuhan yang ada, Ella melambai bak putri kecantikan. Tidak lama wajah manisnya sudah menghilang. Tinggallah Jody yang dijadikan bulan-bulanan oleh kawan-kawan Filosofi Kopi. Ben terlihat merangkul pundak Jody, sambil mengacungkan jempolnya. Jody tidak merespon apa-apa. Dia hanya nyengir. Dalam hatinya hanya berharap, semoga masa jomblo-nya akan segera berakhir. Semoga.
*****
Enam bulan berikutnya...
“Ada apa nih tiba-tiba saja kamu ngasi hadiah kayak ini?” tanya El, sambil tersenyum. Sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado, kini ada di genggaman El.
Ben balas tersenyum. “Memang harus ada alasan untuk ngasi hadiah ya?” Dia balik bertanya.
“Ya nggak sih, tapi terima kasih ya. Aku buka sekarang?”
“Jangan. Kamu buka saja setelah sampai di rumah.”
Lagi El tersenyum. Disimpannya bungkusan itu di dalam tas. Ben kemudian memegangi kedua tangan El dengan lembut. Hilang sosok Ben yang selama ini angkuh dan terkesan arogan.
“Terima kasih selama ini kamu sudah sabar denganku,” ujar Ben.
“Justru aku yang harus berterima kasih, karena sudah mau berubah untukku, untuk kawan-kawan di Filosofi Kopi, dan terpenting sudah mau berubah untuk dirimu sendiri.”
“Iya. Semua ini berkat pesan hebat seorang laki-laki tua di Bali. Dia memintaku untuk melihat apa yang ada di sekitarku, dan aku melakukannya.”
“Dan apa yang kamu lihat?”
“Aku lihat kamu, Jody, Nana, Aga, Aldi, dan si nyebelin Ella.”
El tergelak. Ditepuknya pundak Ben atas sebutan ‘nyebelin’ untuk sahabatnya itu. Disambut Ben dengan erangan palsu. Kembali dipegangnya tangan El, kali ini lebih erat dari sebelumnya.
“Sekali lagi terima kasih El, terima kasih untuk semuanya.”
Disahutnya kata-kata Ben itu dengan anggukan kepala. Beberapa detik keduanya saling beradu pandang. Tanpa sadar, mereka mendekatkan wajah mereka. Ketika bibir mereka hampir bertemu, terdengar teriakan dari belakang mereka. Bibir itu pun kembali menjauh.
“Hei, mojok aja sih kalian berdua. Acaranya udah mau mulai tuh,” terdengar suara nyaring Jody. Disusul teriakan cempreng dari Ella.
Ben dan El saling melempar senyum. Keduanya lalu berdiri, dan berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka berjalan mendekati keramaian. Hari itu adalah grand opening kedai Filosofi Kopi dengan wajahnya yang baru. Kawan-kawan mereka sudah berkumpul di sana. Demikian pula beberapa pelanggan Filosofi Kopi, yang sempat merasa kehilangan tempat berkumpul santai favorit mereka. Di sana juga terlihat sosok cantik Sofie dan Bli Wira. Semuanya kemudian larut dalam kegembiraan. Suasana riuh menjadi semakin riuh, dengan lontaran kembang api.
Filosofi Kopi ber-metafora dari kepompongnya. Pada papan depan tertulis “Filosofi d’Familia coffee” sebagai menu andalan baru. Sebuah tanda kalau Filosofi Kopi telah menemukan kembali keluarganya yang sempat hilang. Karena kini mereka sadar kalau kopi bukan hanya mengenai rasa, namun berkaitan pula dengan cinta. Welcome to new Filosofi Kopi.
*****
“Kamu dan El pacaran?” tanya Sofie.
Sofie kini tidak lagi memakai bahasa resmi saat berbicara dengan Ben dan Jody. Demikian pula dengan El, Ella, dan kawan-kawan Filosofi Kopi lain. Beberapa kali pertemuan, telah membuat mereka akrab. Ternyata dibalik sikap “nenek sihir”-nya, Sofie adalah sosok yang baik.
“Begitulah, kenapa?”
Ben tidak menghentikan kegiatannya di depan mesin kopi. Sofie sendiri berdiri di samping Ben. Dia mengumpulkan gelas-gelas yang telah terisi kopi, dan meletakkannya di atas baki. Sementara yang lainnya duduk di meja panjang. Sesekali terdengar suara gelak tawa dari sana. Tamu-tamu undangan lain sudah pada pulang. Acara peresmian kedai Filosofi Kopi telah berakhir.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka melihatnya.”
Mendengar itu kegiatan Ben langsung terhenti. Dia menoleh ke arah Sofie. Dahinya berkerut, dan ekspresi wajahnya penuh tanya. Sedangkan Sofie terlihat santai, sambil menyandarkan punggung di tembok.
“Apa maksud perkataanmu tadi?”
“Iya. Aku tidak suka melihat kamu dekat-dekat dengan El.”
“Tapi kenapa?” tanya Ben lagi.
“Karena aku juga menyukaimu. Aku cemburu.”
Mulut Ben menganga mendengarnya. Tidak percaya dia dengan apa yang baru saja didengarnya. Melihat keterkejutan Ben, Sofie malah tersenyum lebar. Ada segurat kepuasan di sana. Sofie pun melanjutkan kata-katanya, “Aku mau kamu jadi pacarku. Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku mau.”
Selesai mengucapkan itu, Sofie mengambil baki berisi gelas-gelas kopi. Mulailah dia melangkah. Melangkah mendekati kawan-kawan lain yang sedang berkumpul, termasuk El. Di sana lalu dia duduk dan ikut bergabung dengan mereka.
Sedangkan di belakang bar, Ben masih saja terpaku. Masih mencoba mencerna apa yang barusan didengarnya.
*****
TAMAT...?

Tanjung Bungkak, 17 Mei 2016

Dibuat dalam rangka mengikuti #NgeracikCerita Ben & Jody,
tapi nggak menang hehehe…
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar