Ben & Jody |
“Ben? Ben?”
Jody mengetuk pintu
kamar untuk ketiga kalinya. Diulanginya sekali lagi. Tetap tidak terdengar
jawaban yang ditunggunya. Jody pun memutuskan untuk membuka pintu. Dilakukannya
secara perlahan. Kagetlah dia saat melihat Ben meringkuk di pojok kamar, dalam
kegelapan. Kondisi Ben terlihat berantakan, benar-benar berantakan. Bahkan kalau
dilihat-lihat, gelandangan pun akan kalah bila dibandingkan kondisi Ben saat
ini. Dua hari sudah Ben tidak keluar kamar. Bau apek mulai mengganggu penciuman
Jody. Ditambah bau badan dan pakaian Ben, yang sudah sekian lama tidak terkena
air dan sabun. Udara memang tidak masuk ke dalam kamar. Demikian pula sinar
matahari. Terhalang oleh daun jendela dan kain korden yang tertutup rapat.
Jody menyapu pandangan
matanya ke sekeliling. Rupanya Ben telah menyulap kamar itu menjadi sebuah
“laboratorium” mini. Bubuk dan biji kopi bertebaran di lantai. Demikian pula di
atas meja. Botol dan gelas kaca ikut berserakan di sana. Mesin pembuat kopi turut
pula “menghiasi” meja panjang tersebut. Mesin itu terlihat lelah, sama seperti
layaknya Ben. Jody harus mencegah si pemilik kamar untuk melihat kekacauan ini.
Dia menyewa kamar itu dari salah satu teman, atas permintaan Ben yang kini disesalinya.
“Gila Ben,
berantakan banget nih kamar.”
Ketika Jody
hendak membuka korden, Ben berteriak mencegahnya. “Jangan dibuka!”
Jody membatalkan
niatnya tersebut. Didekatinya Ben yang masih terpuruk di posisinya. Berjongkok
dengan kepala di antara kedua lutut. Dibersihkan lantai di dekat Ben, sebelum
duduk di sana.
“Mau sampai
kapan lu kayak gini? Temen-temen udah pada nanyain elu tuh.”
“Gue kehilangan
kemampuan gue Jod, Gue kehilangan kekuatan gue...” ucap Ben parau.
Kata-kata Ben
tadi itu memang terdengar sedikit janggal. Konsep kehilangan kekuatan, biasanya
hanya ada dalam serial komik. Seperti ketika Spiderman tiba-tiba tidak bisa
menempel lagi di dinding. Atau ketika Superman tiba-tiba tidak bisa terbang. Tidaklah
terbayangkan Ben memiliki kekuatan semacam itu. Terlalu absurd dan tidak masuk
akal.
“Jadi ini masih
soal ucapan salah satu pelanggan kita tempo hari?”
“Iya. Dan dia
memang benar adanya...” Ben mengadahkan kepalanya. Jody melihat kekacauan luar
biasa di wajah itu. Namun, dibiarkannya Ben melanjutkan kata-katanya, “Coba deh
lu ingat-ingat, kapan terakhir kali kita punya menu kopi baru di daftar menu? Ben’s
Perfecto, dan itu yang terakhir.”
“Nggak ada yang
salah dengan Ben’s Perfecto. Para pelanggan kita masih menyukainya.”
“Yang bilang
Ben’s Perfecto salah siapa? Yang salah itu gue. Gue merasa gagal sebagai
barista. Nggak pantas gue menyandang gelar seniman kopi. Tanpa karya baru,
seniman bukanlah siapa-siapa Jod. Dan saat ini gue merasa kalo gue ini bukanlah
siapa-siapa.”
Jody menghela nafas
panjang. Ben dan egonya mulai bertingkah lagi. Siapa bisa menyangka kata-kata
iseng seorang pelanggan, bisa berdampak sedemikian hebat pada Ben. Dua hari
yang lalu, seorang pelanggan bersama temannya mampir ke mobil keliling Filosofi
Kopi. Kebetulan dia ada kegiatan bisnis di Surabaya. Dia mengenali Jody dan
Ben. Dia pelanggan saat Filosofi Kopi masih bermarkas di Jakarta. Dikatakannya kalau
kaget banget waktu melihat kedai Filosofi
Kopi tutup. Dia bilang merasa sedih harus kehilangan tempat nongkrong favoritnya.
Pelanggan itu lalu
memesan Ben’s Perfecto. Menu favorit yang sudah lama tidak dirasakannya. Saat
itulah tiba-tiba celetukan itu terlontar. Dia bertanya, “Nggak ada menu baru
nih?” Pasti ada dong, tambahnya lagi. Kata-kata inilah yang langsung menusuk
Ben. Tepat di hatinya. Detik itu juga dia langsung menghilang, dan tidak muncul-muncul
lagi di mobil keliling. Kutemukan dia di salah satu kamar, di rumah yang sengaja
kami sewa selama berada di Surabaya. Ini adalah kali ketiga aku membujuknya
untuk keluar kamar. Dan sepertinya akan kembali gagal.
“Jangan terlalu
keras dengan diri lu sendiri Ben. Mungkin yang lu butuhkan saat ini hanya
sedikit istirahat, dan juga mandi mungkin.”
Kembali Ben
menundukkan kepalanya. Kembali menempel di kedua lututnya.
“Tinggalin gue
sendiri Jod, gue butuh waktu untuk berpikir.”
“Terus apa yang
harus gue bilang ke temen-temen?”
“Entahlah.
Bilang aja gue udah mati.”
Lagi Jody menghela
napas panjang. Dia pun terpaksa berdiri dan melangkah menjauh. Dia tahu, tidak
ada gunanya berdebat dengan orang keras kepala macam Ben. Hanya akan sia-sia
belaka. Hanya membuang waktu dan tenaga. Dibukanya pintu kamar. Dilihatnya kembali
keadaan Ben yang memprihatinkan, sebelum menutup pintu kamar.
Jody tahu pasti kalau
dia tidak akan bisa membujuk Ben. Hanya satu orang yang bisa. Dan dia mengenal siapa
orangnya. Diambilnya handphone dari saku
celana. Jody memanggil sebuah nomor. Dia memanggil bala bantuan.
*****
“Filosofi Kopi.
Nama itu selalu enak dilihat dan diucapkan.”
Terdengar suara
lembut dari belakang. Seketika itu pula Jody membalik badan. Ditolehnya dari
mana suara itu berasal. Senyuman lebar pun tersungging di bibirnya. Di depannya
berdiri seorang sosok cantik. Sosok cantik yang sudah lama tidak dilihatnya. Dia
adalah El.
“El, makasi banget
loh kamu udah mau dateng.”
“Hei, apa
gunanya teman.” El tersenyum.
Jody langsung memeluk
gadis cantik itu. Terakhir kali terdengar kabar kalau El sedang berada di Australia,
untuk menghadiri sebuah pameran foto. Ternyata saat kemarin Jody menghubunginya,
kebetulan El sedang berada di Indonesia. Mendengar masalah yang diungkapkan
Jody, El sama sekali tidak keberatan mampir ke Surabaya. Sekalian menjenguk
salah satu keluarga jauh yang tinggal di sana.
“Jadi si Ben
berulah lagi ya?”
“Begitulah,”
Jody menghela napas. “Kali ini lebih parah dari sebelumnya.”
“Mba El!”
Terdengar seruan dari kejauhan. Terlihat kemudian Nana, Aga dan Aldi berlarian
datang mendekat.
“Lama banget
kita nggak ketemu, kita semua kangen banget loh sama mba El...”
Tanpa tedeng aling-aling
Nana yang pertama mendaratkan pelukan. Disusul kemudian Aga dan Aldi. Mereka
bertiga terlihat astusias bisa melihat El kembali. Sejak menjalin hubungan dekat
dengan Ben, El memang sering membantu Filosofi Kopi. Dia kerap ikut berkeliling
ke beberapa kota di sela-sela waktu luangnya. Hanya saja, ketika terakhir
berpamitan untuk pergi ke Eropa, sosok El tidak lagi pernah terlihat. Kejadian
itu sudah hampir setahun lamanya. Menurut gosip yang beredar, El sedang
berselisih paham dengan Ben. Namun, tidak ada satu orang pun yang berani
bertanya langsung. Baik itu kepada Ben, maupun kepada El.
“Eh, eh, ini
pada ngapain sih? Kerja, kerja, kerja...” protes Jody. Dia langsung masuk ke
dalam lingkaran kecil di mana El, Nana, Aga dan Aldi sedang berbincang.
“Ih, Mas Jody
kok gitu sih. Nggak ngeliat apa kita sedang ngelepas kangen sama mba El,” Nana berujar.
Ditimpali oleh Aga dan Aldi.
“Iya ngeliat, tapi
liat juga dong itu pelanggan kita lagi ngantre rame gitu.” Jody menunjuk ke arah
mobil keliling mereka yang sedang dikerumuni oleh puluhan orang. “Udah,
kangen-kangenannya entaran aja dilanjutin...”
Nana, Aga dan
Aldi langsung berhamburan ketika Jody menghalau mereka. El hanya tersenyum
melihat tingkah kawan-kawannya itu. Suasana hangat yang dulu pernah dirasakannya.
Memori masa lalu langsung menyeruak di benak El. Hanya kemudian dia berkernyit,
ketika sosok Ben hadir pula dibenaknya.
“Kalau memang
lagi rame, aku ikut bantuin kalian deh,” tawar El.
“Terus soal Ben
gimana?”
El tersenyum.
“Ben bisa menunggu. Biarkan saja dulu dia sibuk dengan dirinya sendiri.”
Tidak lama
keduanya berjalan menuju mobil keliling Filosofi Kopi. Suara riuh sorakan
langsung terdengar dari dalam. Nana, Aga dan Aldi begitu antusias El ikut
membantu mereka lagi. Jody sampai-sampai harus mengingat kembali dengan isyarat
tangan. Namun hanya bertahan sebentar, karena sorakan terdengar lagi saat El bilang
membawa oleh-oleh untuk semuanya.
Jody pun hanya
bisa menggeleng pasrah.
*****
“Kalau elu ke sini
cuma buat nganggu lagi, mending elu keluar deh.”
Tanpa
membalikkan badan, Ben berujar. Dia terlihat masih sibuk di depan mesin kopi.
Desis air panas terdengar menyentuh kopi, saat Ben menarik tuas.
“Aku nggak
pengen ganggu sih, tapi kalau aku memang musti keluar sih aku nggak keberatan.”
Mendengar suara
lembut itu, Ben tersentak. Sama sekali tidak disangkanya akan bisa mendengar
suara itu. Langsung saja dia membalik badan. Dan terpakulah lalu dia, dengan masih
memegang gelas di tangan kanannya.
“El?” Ekspresi
wajah Ben masih tidak percaya. “Nga-ngapain kamu di sini?”
Melihat eskpresi
Ben itu, El tersenyum. “Iseng aja. Aku kangen sama temen-temen.”
“Oh, Jody nelpon
kamu ya?”
“Loh kenapa kamu
berpikir begitu?”
“Aku tahu saja.
Aku pikir kamu datang karena aku,” sahut Ben ketus.
Ben memalingkan
wajahnya. Kembali dia sibuk dengan aktifitasnya. Di depan Ben ada berderet lima
gelas kaca berisi cair, lengkap dengan kepulan asap. Mesin kopi di sisi kanannya
terlihat semakin ‘lelah’. Mungkin sudah diekspolitasi Ben habis-habisan. Tidak
hanya mesin kopi, Ben pun tidak kalah terlihat ‘lelah’. El cukup prihatin
melihatnya.
“Aku memang
datang karena khawatir keadaan kamu. Aku pengen tahu kabar kamu juga.”
“Oh ya? Makasi tapi
aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Kata-kata Ben
terdengar semakin ketus. “Kalau cuma pengen tahu kabar menelpon saja aku rasa sudah
cukup, nggak perlu sampai dateng. Oh, mungkin nomorku sudah hilang dari
kontakmu makanya kamu tidak pernah menelpon lagi.”
Harus diakui,
beberapa hari kebelakang komunikasi di antara mereka sempat terputus. Beberapa
kali telepon Ben tidak dijawab El. Memang El berusaha mengurangi momen
berbicara dengan Ben. Bukan karena ada masalah di antara mereka, hanya El merasa
butuh waktu untuk menelaah hubungan mereka. El sadar kalau perlahan tapi pasti,
hubungannya dengan Ben kini sudah lebih dari sekedar sahabat. Rasa di antara
mereka tidaklah bertepuk sebelah tangan. El hanya tidak ingin hubungan itu berjalan
terlalu cepat. Terlalu cepat melompat ke level lebih jauh. Mengingat hubungan
El dengan kekasih sebelumnya meninggalkan luka yang cukup dalam. El belum siap
memulai sebuah hubungan baru. Namun, agaknya Ben salah paham dengan sikap El
yang sedikit menjaga jarak. El pun sulit menjelaskan karena sikap keras kepala
Ben.
El melangkah
mendekati Ben. “Tapi aku kan sudah meninggalkan pesan.”
Ben tersenyum
sinis. “Kamu tahu sendiri kalau aku ini orang penyuka komunikasi tradisional. Aku
berbicara lewat suara bukan lewat tulisan.”
Begitulah Ben. Kadang
sikap ‘ortodoks’-nya membuat kesal orang-orang di sekitarnya. Contoh paling
dekat tentu Jody. Bagaimana pertengkaran mereka mengenai ‘Wi-Fi’ terus saja berulang dan berulang, tanpa solusi. Begitupun
saat dengan El. Masalah ‘online’ akan
selalu saja menjadi perdebatan. Keenganan Ben memakai media sosial jenis apapun,
membuat komunikasi di antara mereka menjadi sedikit sulit terjadi. Komunikasi
yang mereka lakukan selama ini hanyalah berbicara melalui telepon. Itu tentu berarti
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi karena tuntutan tugas, El lebih
sering berada di luar negeri. “Roaming”
selalu menjadi “musuh” dalam hubungan mereka. Akhirnya El selalu mengalah. Dia
malas berdebat, termasuk hari ini. Inilah salah satu alasan kenapa El berpikir
ulang tentang hubungan mereka ke depan.
“Jadi sampai
mana perkembangan pekerjaanmu?” El berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Belum sampai di
mana-mana. Dan kenapa kamu tidak mengangkat teleponku lagi?”
Ben kembali
mengalihkan pembicaraan mereka ke tema semula.
“Haruskah kita
membicarakan masalah ini sekarang? Aku datang ke sini untuk membantu kamu.
Membantu pekerjaanmu.”
“Baiklah, kalau
kamu tidak mau bicara sekarang tidak apa-apa.” Ben melengos. “Dan ini untuk
menjawab pertanyaanmu tadi...” Ben menyodorkan satu gelas kecil kepada El. Satu
gelas berisikan racikan kopi hangat. Asap yang beraroma menggoda mengepul dari
dalamnya.
El mengambil
gelas tersebut. Dicium aromanya, lalu menyeruputnya sedikit. Diseruputnya
sekali lagi, guna memastikan rasa di lidahnya.
“Bagaimana?”
tanya Ben.
“Bagus. Ini rasa
dan aromanya sudah selevel dengan Ben’s Perfecto. Ini seharusnya sudah lebih
dari cukup untuk sebuah menu baru kan?”
“Itu dia
masalahnya. Campuran ini sama levelnya dengan Ben’s Perfecto. Kita butuh naik
level El, kita butuh sesuatu yang lebih hebat dari ini.”
Berkernyit dahi El
mendengarnya. Sadarlah dia kalau laki-laki di depannya belumlah berubah.
“Pernahkah kamu
sadar kalau pelanggan Filosofi Kopi tidak butuh naik level? Mereka hanya butuh
sesuatu untuk dinikmati, selepas menjalani hari. Apa yang aku pegang ini sudah
lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan itu Ben. Sekarang sadarlah kalau Filosofi
Kopi juga punya kebutuhan. Mereka butuh kamu. Mereka butuh kamu ada di antara
mereka, membantu mereka.”
“Kamu tahu banget
kan El kalau aku tidak pernah main-main soal kopi?”
“Iya, aku tahu
itu. Tapi apa kamu tidak pernah belajar dari pengalaman lalu? Pengalaman saat
kita ketemu Pak Seno? Bagaimana pun kamu mencari, kamu tidak akan pernah
menemukan kopi yang sempurna. Akan selalu ada kekurangan dari setiap kopi yang
kamu buat.”
“Memang tidak
akan pernah ada kopi yang sempurna, tapi akan selalu ada racikan kopi yang lebih
baik. Kopi dengan rasa yang jauh lebih baik, bila dibandingkan racikan kopi
lainnya.”
“Oke, kalau ini
hanyalah soal rasa kopi, aku kenal seseorang yang bisa membantumu.”
“Tidak, terima
kasih. Aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuan dari
siapa-siapa.”
“Tapi dia sudah pergi
ke beberapa negara untuk mempelajari berbagai jenis kopi. Dia tahu benar
keunikan rasa di berbagai tempat. Aku banyak mendapatkan informasi tentang racikan
kopi-kopi terbaik di masing-masing negara dari dia.”
“Sudahlah. Aku
bisa melakukan ini sendiri. Kamu urus saja urusanmu sendiri.”
“Ya Tuhan Ben, benar-benar
ada yang salah denganmu, egomu, dan kekerasan kepalamu itu!” El mengumpat
kesal. Dia berjalan menjauh, dan kembali mengumpat.
“Hei, ada apa
denganmu?”
El kembali
berjalan mendekat. Dia menunjuk ke arah Ben. Wajahnya terlihat kesal.
“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu?”
“Tidak ada yang
salah denganku...” Ben merentangkan kedua tangannya.
“Serius? Tidak
ada yang salah denganmu? Semuanya tentang kamu itu salah Ben, hanya kamu saja
yang tidak pernah sadar dengan masalahmu itu.” Suara El mulai terdengar
meninggi. Dia sepertinya tidak bisa lagi menahan emosi.
“Kenapa kamu
yang jadi kesal? Justru aku yang seharusnya kesal padamu.”
“Oh, jadi aku
tidak boleh kesal sekarang? Jadi kamu saja yang boleh kesal?”
Ketegangan mulai
terasa di dalam ruangan. Suara keduanya makin meninggi, dan terus meninggi. Suasana
kian terasa layaknya pertengkaran rumah tangga, antara suami dan istri. Suami
dan istri yang sudah menikah puluhan tahun, sebagai catatan.
Di tengah pertengkaran
yang kian memuncak, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Bersamaan dengan terbukanya
pintu, terlihatlah Jody, Nana, Aga dan Aldi yang hampir terjatuh bersamaan.
Mereka berhamburan masuk ke dalam kamar. Aksi saling dorong saat menguping
tadi, rupanya tidak berimbang dengan daya tahan pintu. Pertengkaran Ben dan El langsung
terhenti seketika itu juga. Keduanya menatap ke arah kawan-kawan mereka itu.
Suasana canggung pun langsung terasa.
“Ki-kita
kebetulan lewat, terus denger ribut-ribut. Kita nggak ada maksud nguping kok.
Beneran deh,” Jody membuka suara. Penjelasan Jody itu ditanggapi Ben dengan
kerutan di kening. Jelas sekali kalau dia tidak percaya kata-kata Jody tadi.
Kemudian situasi
kembali sunyi, sebelum El melanjutkan kembali kata-katanya.
“Aku tidak
peduli dengan semua ini. Pokoknya besok kamu harus ikut denganku, atau kalau
tidak aku akan terbang ke Perancis malam ini juga,” El menunjuk ke arah Ben.
“Dan kalian juga harus ikut denganku,” kini giliran El menunjuk ke arah Jody
dan kawan-kawan.
Tidak ada
komentar dari Ben. Demikian pun dari Jody, dan kawan-kawan yang lain. Semua
yang ada di ruangan, kecuali El tentunya, saling beradu pandangan satu sama
lain. Terasa sekali aura ketegangan memenuhi ruangan.
“Ma-maf Mba El,
emang kita mau ke mana ya?” Nana menyeletuk di tengah ketegangan yang ada.
“Kita ke Bali.”
Selesai menjawab,
El memandang tajam ke arah Ben dan melangkah keluar dari kamar. Ben langsung
ikut beranjak mengikuti langkah El. Tersisalah Jody dan kawan-kawan Filosofi
Kopi yang lain. Mereka berempat lagi-lagi saling pandang, penuh kebingungan.
Kembali Nana
yang memecah kebisuan. “Mas Jody, ki-ta besok ke Bali?” tanyanya ragu.
Jody mengangkat
kedua bahunya. “Kayaknya sih gitu...”
Walau belum
mendapatkan jawaban pasti, Nana terlihat sumringah. Begitu pula dengan Aga dan
Aldi. Di belakang Jody mereka berjingkrak sambil berbisik. Terbayang
tempat-tempat indah yang bisa mereka datangi di Bali nanti.
“Yes, kita ke Bali, kita ke Bali, kita ke
Bali...”
*****
“Kamu mau
mengajak aku ke mana sebenarnya?”
“Bisa tidak sih
kamu tidak merengek terus kayak anak kecil gitu?” El menoleh ke arah Ben yang
duduk di jok belakang. Diberi jawaban seperti itu, Ben pun diam. Dieratkannya
silangan kedua tangannya di dada. Dia menoleh ke kanan, ke arah jendela. Malas
dia melihat wajah El.
Sementara itu di
belakang kemudi, Jody berusaha tidak ikut campur dengan masalah keduanya. Diam
menjadi hal yang paling baik dilakukan untuk saat ini. Tugasnya hanya
mengantarkan keduanya menuju ke tempat yang ingin dituju El. Itu saja, tidak
lebih tidak kurang.
Mobil terus
melaju mengikuti arahan El, sebagai navigator. Satu jam lebih ada dalam
perjalanan, suasana disekeliling mereka mulai berubah hijau. Terlihat tanaman-tanaman
khas pegunungan menjulang tinggi, diselingi pemandangan tebing dan ngarai. Dinginnya
udara di luar pun mulai terasa menusuk kulit. Tanaman jeruk mendominasi, di antara
tanaman-tanaman perkebunan lainnya. Rumah penduduk sangat jarang terlihat,
berjarak cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Tidak lama terlihat
sebuah gapura besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Wilayah Desa Kintamani.”
Tidak lama pula, terlihatlah siluet gunung Batur, dengan hamparan danau Batur
di kakinya.
Mobil kini
melaju keluar dari jalur utama, memasuki jalan setapak tak beraspal. Warna
hijau masih mendominasi pemandangan di sekitar. Terasa mobil sesekali
bergoncang ketika melintasi bebatuan jalan yang agak besar. Jalan yang kini mereka
lalui lebarnya hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Tanda-tanda kehidupan jarang
sekali terlihat di sekitar mereka. Hanya sekali dua kali mereka bertemu dengan
sepeda motor, ataupun orang berjalan. El terus meminta Jody untuk mengikuti
alur jalan tersebut.
“Di depan belok
kanan,” instruksi El. Diikuti segara oleh Jody.
Sekitar satu
kilometer setelahnya, nampak sebuah rumah tradisional khas Bali. Gerbang depan dan
temboknya pun juga dihiasi ukiran khas Bali. Perlahan mobil masuk ke areal
pekarangan. Di sekeliling area pekarangan dihiasi tanaman-tanaman hias.
Terlihat sekali kalau pemilik rumah serius menjaga keindahan pekarangannya. Nampak
pula patung-patung khas Bali berbagai corak di beberapa sudut. Gemericik air
terdengar dari kolam buatan di salah satu sudut.
Begitu mobil
terparkir, El langsung turun. Dari dalam seorang pria paruh baya keluar, dan
melambai ke arah El. Gadis itu ikut melambai dan melempar senyum.
“Hai Dik El,
senang sekali bisa melihat wajah cantikmu lagi.” Pria paruh baya itu membuka
lebar kedua tangannya. El tersipu, kemudian keduanya berpelukan.
“Bli Wira, saya
membawa dua teman saya datang kemari.”
Ben dan Jody
yang sudah berdiri di belakang El, langsung disalami oleh pria yang dipanggil
El sebagai Bli Wira. Dari perawakannya, Bli Wira tidaklah terlalu tua. Malah
masih terlihat sangat gesit. Hanya memang beberapa helai uban sudah mewarnai
rambutnya. Keriput juga sudah menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Hari itu Bli
Wira memakai pakaian khas Bali. Dilengkapi dengan udeng sebagai asesoris
kepala, serta kain dan amed. Setelah
berkenalan, mereka bertiga diundang Bli Wira untuk masuk ke dalam.
“Mohon dimaklumi
rumah sederhana saya ini, maaf agak berantakan. Ini adalah ruangan tempat saya
bekerja sehari-hari, saya memang jarang membersihkannya. Mari kita ke belakang
saja agar lebih nyaman,” Bli Wira tertawa kecil.
Kalau diperhatikan,
bagian dalam rumah Bli Wira tersebut lebih mirip galeri seni. Kanvas lukis
bertebaran hampir di sebagian besar sudut ruangan. Ada lukisan yang sudah jadi,
ada pula yang masih setengah jadi. Khusus untuk ruangan kecil yang ditunjuk Bli
Wira tadi, juga terlihat beberapa lukisan. Demikian pula palet warna dan
peralatan lukis lainnya. Di sana juga berdiri sebuah patung kayu yang belum
jelas bentuknya. Nampak seperti belum selesai dipahat. Belum lagi kertas-kertas
lain yang entah apa kegunaannya. Semua berserakan begitu saja, hanya menyisakan
sedikit area kosong. Ben dan Jody saling pandang saat melihat di sekitar
mereka.
Mereka terus
berjalan, memasuki sebuah ruangan baru. Ruangan itu sedikit lebih rapi dan
lebih enak dilihat. Deretan lukisan berfigura dan foto-foto menghiasi setiap
sudut dinding. Sebagian besar menggambarkan kehidupan manusia sehari-hari
sedang berinteraksi dengan alam. Patung-patung kayu berukuran kecil dan sedang
juga dipajang di sana. Dalam ruangan itu terasa kita seperti sedang disajikan
pameran seni rupa. Di antara semua foto yang ada, sebuah foto menarik perhatian
Ben. Foto itu memperlihatkan Bli Wira berdiri di depan sebuah kedai Kopi. Dia
terlihat memakai pakaian barista. Ben mendekati foto itu.
“Ini di mana?”
tanya Ben.
“Oh, itu di
Australia. Sebuah foto masa lalu. Sudah lama sekali.”
“Anda seorang
barista?”
Bli Wira
tersenyum kecil. “Iya, dulu. Dulu sekali. Aku dengar kamu juga seorang
barista.”
Ben
menganggukkan kepala. Kini Ben sedikit mengerti kenapa El mengajaknya kemari.
“Mari kita ke
belakang. Di sana akan ada banyak hal lain yang akan menarik untuk kamu lihat.”
Mereka berempat
melanjutkan langkah mereka. Kali ini mereka memasuki sebuah ruangan yang lebih
besar. Di sana terpajang lebih banyak lagi lukisan, patung, dan foto-foto.
“Apa anda sendiri
yang membuat semua lukisan, patung dan foto ini? Ini sungguh luar biasa,” Jody
berseru. Tidak bisa dia menutupi kekaguman ketika melihat pemandangan di sekitar.
Seruan kekaguman Jody tadi ikut ditanggapi El dengan senyuman.
“Iya sebagian
besar. Tapi sebagian besar lagi dibuat oleh anak-anak muda yang suka mampir ke
tempat ini untuk belajar bersama. Kebanyakan karya seni yang dipajang di sini
adalah hasil karya mereka.”
“Anda juga menerima
murid?” tanya Jody.
Disambutnya
pertanyaan Jody itu dengan tawa. “Saya tidak menganggap mereka murid. Saya
belum merasa layak untuk menjadi seorang guru. Saya lebih senang menganggap mereka
sebagai teman belajar. Mari saya kenalkan kalian pada mereka.”
Keempatnya
kembali melangkah. Kali ini Ben, Jody, dan El dipandu keluar menuju sebuah
pekarangan lain. Pekarangan kecil yang menghubungkan gedung yang akan mereka
tuju. Sama seperti pada pekarangan di area depan, tanaman-tanaman perdu juga
menghiasi setiap sudutnya. Demikian pula dengan patung-patung khas Bali. Hanya saja
modelnya berbeda, dan ukurannya relatif lebih kecil. Mereka kemudian diantar menuju
deretan tangga menurun. Ketika melangkah menuruni tangga, barulah mereka sadar
kalau area rumah Bli Wira berundak. Ruangan yang akan mereka tuju posisinya ada
sedikit di bawah.
Sayup-sayup
terdengar suara gamelan dari kejauhan. Ketika mereka mendekat, terlihat
beberapa muda-mudi sedang berlatih menari. Beberapa yang lainnya sedang
berlatih melukis, dan aktifitas kesenian lainnya. Ben dan Jody terlihat
terkesima. El kembali hanya tersenyum melihat ekspresi wajah keduanya. Bli Wira
kemudian mengenalkan mereka bertiga sebagai tamu dari ibukota, kepada para
muda-mudi yang ada. Beberapa di antara mereka malah menjabat tangan El dengan
ramah. Mereka saling bertegur sapa. Sepertinya mereka sudah saling mengenal
sebelumnya.
Perhatian Ben tertuju
pada tiga pemuda dan seorang pemudi, di sebuah bar mini di pojok ruangan.
Mereka berempat sedang berlatih keterampilan barista. Berlatih melempar botol-botol
ke udara dan menangkapnya. Demikian dilakukan beberapa kali secara berulang. Terlihat
pula mereka berlatih mencampur minuman, dan yang pasti berlatih meracik kopi. Aroma
kopi yang merebak menggerakkan kaki Ben untuk mendekat. Jody dan El beradu
pandang melihat reaksi Ben itu. Bersamaan mereka mengangkat bahu. Sedangkan Bli
Wira hanya tersenyum. Di depan bar, Ben hanya memperhatikan keempat anak muda
itu beraksi. Entah apa yang ada di pikiran Ben saat itu. Mungkin dia teringat kenangan
masa mudanya.
“Apa ada sesuatu
yang menarik Dik Ben?” Bli Wira tahu-tahu sudah berdiri di belakang Ben.
Ben sedikit
terperanjat. Tersadar dia dari lamunannya.
“Oh, hanya
teringat sesuatu...” Ben berdehem. “Dulu saya juga memulai belajar menjadi barista
saat seumuran mereka. Saya selalu suka mencium aroma kopi yang masih hangat.
Mengingatkan saya pada masa kecil saya di desa. Dulu ayah saya seorang petani
kopi.”
“Saya juga
memulai belajar barista seusia mereka. Selalu menyenangkan melihat darah-darah
muda seperti mereka, membuat kita tetap bersemangat untuk terus menjalani
hidup.”
Ben tidak bisa
tidak menyetujui kata-kata Bli Wira tadi. Hanya saja, dia tidak mengungkapnya
secara langsung. Dijawabnya saja dengan anggukan kepala.
“Bali sangat
terkenal dengan pariwisatanya, maka banyak sekali restoran, hotel, dan bar yang
membutuhkan tenaga barista. Tidak heran banyak anak-anak muda yang datang
kemari untuk berbagi ilmu. Malah ada beberapa di antara mereka yang ujungnya
membuka usaha kedai sendiri. Sama seperti halnya Dik Ben dan kawan-kawan
lakukan di Jakarta sana. Dengan membuka tempat belajar seperti ini, bisa
dibilang saya juga sudah ikut membantu perekonomian negara,” Bli Wira tergelak.
Ditimpali Ben dengan anggukan dan senyuman.
Sehabis
berbincang singkat dengan calon-calon barista muda itu, Bli Wira mengajak Ben,
Jody, dan juga El untuk kembali berkeliling. Namun, Ben meminta izin untuk
tinggal. Dia ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama anak-anak muda
tersebut. Bli Wira tidak memaksa. Dengan syarat sekembalinya mereka nanti, harus
tersedia kopi untuk mereka nikmati. Syarat itu dijawab Ben dan anak-anak itu
dengan acungan jempol.
Perjalanan
keliling dilanjutkan Bli Wira hanya bersama Jody dan El. Kali ini mereka menuju
ke sebuah ruangan kecil dengan dinding yang terbuat dari kaca. Ruangan itu
berada di dekat sebuah sungai kecil. Gemericik riak air terdengar sampai ke dalam
ruangan. Pemandangan dari ruangan nampak begitu indah dan segar. Sangat cocok
sebagai tempat mencari inspirasi. Di sana mereka berjalan sambil berbicara
tentang masalah yang dihadapi Ben. Mereka juga berbicara tentang perkembangan
bisnis Filosofi Kopi, terutama terkait sistem manajerialnya. Bli Wira juga
sepertinya tertarik untuk memulai bisnis food
truck. Di tengah obrolan, sesekali terdengar seruan Jody mengagumi
keindahan dari kediaman Bli Wira.
“Bagaimana kalau
kita kembali? Kopi kita pasti sudah selesai sekarang.”
Jody dan El
menyetujui ajakan tersebut. Mereka kembali ke ruangan di mana sebelumnya mereka
meninggalkan Ben. Dari kejauhan nikmatnya aroma kopi sudah menusuk hidung. Insting
barista Bli Wira pun langsung bekerja. Dia pun langsung tahu kalau kopi yang akan
menyambut mereka, bukanlah kopi yang biasa.
“Ternyata tidak
sembarangan juga kawanmu itu Dik El,” Bli Wira tersenyum ke arah El yang
berjalan di sampingnya. Kata-kata itu dibalas oleh El dengan senyuman. “Tunggu
saja sampai Bli mencoba racikan Ben secara langsung...”
Sesampainya di dalam
ruangan, salah satu dari barista muda menyambut mereka. Dipersilakan ketiganya
duduk di meja yang telah disediakan. Tidak lama, seorang barista muda lainnya
datang membawa nampan berisi tiga gelas kopi. Asap mengepul dengan aroma wangi.
Setelah dipersilakan, Bli Wira mengambil satu gelas terlebih dahulu. Dihirupnya
aroma kopi sedekat mungkin ke hidungnya. Aroma yang dikecapnya kini jauh lebih
nikmat ketimbang dari kejauhan tadi. Diseruputnya sedikit. Dan terkagumlah dia
dengan sensasi rasa yang menyentuh lidahnya. Seruputan kedua lebih menajamkan
lagi sensasi rasa tersebut.
“Bagaimana? Anda
suka?” tanya Ben yang sudah berdiri di sebelah mereka.
Bli Wira
mengangguk-anggukan kepalanya. “Ini luar biasa Ben, kamu memiliki sentuhan yang
hebat dalam meracik kopi.”
“Itu adalah
racikan terbaru saya. Masih belum begitu sempurna, masih butuh perbaikan
sehingga nantinya menjadi sebuah racikan yang tepat dan pas.”
“Menurut saya,
ini sudah sangat sempurna. Memang rasa seperti apa yang kamu inginkan?”
“Nah, itu yang
selalu saya katakan padanya Bli. Tapi tetap saja dia ngotot kalau kopi
racikannya itu belumlah sempurna.” El langsung menyerobot, sebelum Ben sempat
berkomentar.
Ben membatalkan
niatnya untuk berkomentar. Dia juga tidak ingin menyangkal kata-kata El tadi. Dia
tahu berdebat dengan seorang El akan sulit untuk dimenangi.
Tertawalah Bli
Wira melihat keduanya. Sekilas memori masa lalu terbersit di benaknya. Dulu dia
pernah mengalami pertengkaran yang sama. Dengan masalah yang sama. Dulu, dulu sekali.
“Dik Ben, mencari
kesempurnaan itu adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Kesempurnaan adalah
suatu hal yang semu. Apakah kamu yakin akan menghabiskan hidupmu untuk sesuatu hal
yang semu?”
“Saya tidak pernah
main-main kalau soal kopi. Itu adalah prinsip saya sebagai barista. Saya tidak
akan menyerah pada prinsip saya itu.”
Kali ini Bli
Wira tersenyum. “Saya tidak akan mencampuri prinsip kamu itu, bukan kewenangan
saya. Orang tua ini hanya ingin sedikit berbagi pengalamannya saja. Pengalaman
yang didapat selama perjalan hidupnya, berkelana ke mana-mana.”
Ben terlihat
acuh tak acuh. Dia terlihat enggan menanggapi perkataan Bli Wira.
“Kamu
dengarkanlah dulu Ben, tidak ada salahnya belajar dari pengalaman orang lain. Seperti
saat kita belajar dari pengalaman Pak Seno kan? Pada akhirnya kamu akui kan kalau
apa yang beliau katakan ada benarnya.” Jody menambahkan.
“Oh, Pak Seno si
pemilik warung kopi Tiwus? Kalian sudah bertemu dengannya?”
Jody menjawab
pertanyaan Bli Wira dengan anggukan. “Iya, dan kami banyak sekali belajar dari
beliau. Anda mengenalnya juga?”
“Iya, saya
sangat mengenalnya. Saya yakin kalian pasti banyak belajar dari beliau.
Keputusan saya untuk berhenti berpetualang, dan menetap di tempat ini pun karena
nasehat beliau. Konsep beliau mengenai hubungan antara manusia dengan alam
telah menginspirasi saya.”
Di tengah
percakapan, tiba-tiba terdengar suara ponsel. Rupanya itu ponsel milik El.
Dilihatnya nomor yang tertera di layar.
“Permisi, saya
harus menjawab ini dulu.” El lalu berdiri dan berjalan menjauh. Tidak lama
gadis cantik itu kembali. Raut wajahnya terlihat penuh ketegangan.
“Ada apa El?”
tanya Jody.
“A-aku harus
kembali ke Jakarta sekarang.”
Jody keheranan.
“Kita kan baru sampai kemarin. Memang ada masalah penting apa?”
“Tadi itu
pengacaraku. Dia bilang ada seseorang melaporkan tulisanku di salah satu media
ke polisi. Aku dilaporkan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.”
Ben langsung
berseru, “Apa? Memang siapa dia?”
Dua bahu El
terangkat. “Entahlah, seseorang bernama Sofie Herdiansyah.”
“Sofie
Herdiansyah?” Bli Wira lebih dulu mendahului untuk berkomentar.
“Iya, apakah Bli
mengenalnya?”
“Oh ti-dak, tentu
saja tidak.” Bli Wira menggelengkan kepala.
“Kalau gitu aku
ikut denganmu,” Ben berseru kembali. Diamini pula oleh Jody. “Aku juga ikut.”
“Bagaimana
dengan teman-teman lain di Filosofi Kopi?”
“Mereka akan
baik-baik aja tanpa kita. Biarkan mereka di Bali dulu untuk sementara. Aku akan
telpon mereka dalam perjalanan,” sahut Jody.
Ketiganya lalu
berpamitan pada Bli Wira. Mobil Jody melaju dengan kencang meninggalkan tempat
itu. Bli Wira melambai melepas kepergian ketiganya. Setelah siluet mobil
menghilang, laki-laki paruh baya itu menghela napas. Tanpa disadari tadi oleh
Ben, Jody dan El, ada guratan kerisauan di wajah Bli Wira. Kerisauan yang
mungkin hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
*****
S-o-f-i-e.
Nama itulah penyebab
Ben dan Jody ada di ruangan ini. Entah kenapa, ketika diucapkan nama ‘Sofie’
terdengar beranonim dengan “Kopi’. Hal itu diceletukkan oleh El kemarin.
Celetukan El tersebut diamini oleh Jody, namun tidak bagi Ben. Nama itu terasa
mengganggu telinganya setiap kali diucapkan. Hari ini dia pun bisa bertatap
muka langsung dengan si pemilik nama.
“Apa maksudnya
El harus ditahan?” Suara Ben menggelegar, disertai suara gebrakan meja yang
cukup keras.
Jody tersentak
mendengarnya. Demikian pula gadis cantik yang duduk di sampingnya.
Gadis cantik,
orang ketiga di ruangan itu, bernama Bella. Nama lengkapnya Bella Nagari,
dengan dua huruf ‘L’ pada nama depannya. Dia adalah pengacara yang ditunjuk El untuk
mewakilinya dalam proses berperkara. Sebuah nama yang unik memang. Dari
penjelasannya sendiri, nama itu diberikan oleh kakeknya. Tujuannya agar dia
selalu ingat berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negeri. Sesuatu yang sudah
jarang dilakukan orang-orang dewasa ini. Dia membebaskan Ben dan Jody
memanggilnya apapun. Boleh memanggil Bella, Ella atau Ari, asalkan bukan Naga. Mereka
berdua memutuskan memanggilnya “Ella’. Kini resmi ada dua “El” dalam hidup Ben
dan Jody.
Tidak hanya nama
Ella yang unik, penampilannya pun demikian. Pertama kali melihat Ella, dahi Ben
dan Jody kompak berdenyit. Ada guratan ketidak-percayaan mereka pada pengacara
pilihan El tersebut. Penampilannya lebih mirip mahasiswa semester satu Fakultas
Hukum, ketimbang pengacara. Anaknya mungil, dengan perawakan cuek dan santai. Sama
sekali tidak mencirikan seorang pengacara elit, atau sejenisnya. Pengacara macam
apa yang memakai kaos kasual, celana jeans sobek, dan sepatu kets ke kantor,
runtuk Ben saat itu. Hanya kaca mata baca model terbaru yang dipakainya,
sedikit menunjukkan sisi intelek. Namun, El percaya betul pada Ella, yang
dikenalnya sejak bangku kuliah dulu.
“Udah selesai
marah-marahnya? Sekarang elu duduk gih, sebentar lagi pihak penggugat bakal
dateng. Lu bisa dengar masalahnya langsung dari mereka.”
Sama sekali
tidak ada perubahan ekspresi di wajah cantiknya. Sama sekali Ella tidak
terpengaruh oleh gertakan Ben tadi. Masih sibuk dia membolak-balik halaman majalah
yang dipegangnya. Bukan majalah hukum, beneran bukan. Majalah itu adalah majalah
fashion. Dia bilang untuk menyeimbangkan
otak kanan dan kiri. Hal ini juga yang turut memancing kekesalan Ben.
Walau masih
memendam kesal, mau tidak mau Ben terpaksa menurut. Buat apa melampiaskan
kekesalan pada pihak sendiri. Sebenarnya Ben hanya menuntut Ella untuk serius
menangani kasus El. Kini El sudah ditahan di kantor Polisi. Nasib El ada di
tangan Ella. Namun, tuntutan itu kembali ditanggapi Ella santai. Katanya El
akan baik-baik saja di kantor Polisi. Justru itu tempat paling aman di negeri
ini, demikian sahut Ella. Pancingan kesekian untuk kesabaran Ben, yang tidak
sabar-sabar amat. Jody hanya bisa melongo. Dia tidak mau ikut memanasi suasana.
Beruntung terdengar
suara ketukan pintu. Perdebatan di antara keduanya bisa terhenti sementara. Seorang
gadis memberitahu kalau tamu yang ditunggu sudah datang. Ella meminta agar
gadis itu mengantar tamu-tamu masuk.
Tidak berselang
lama, seorang gadis cantik lainnya masuk. Perawakannya masih sangat muda. Penampilannya
lebih seperti model papan atas. Tinggi, feminim dan sangat anggun. Ruat indo kian
mempertegas cantik parasnya. Inikah yang namanya Sofie Herdiansyah, runtuk Ben
dalam hati. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Gadis itu datang didampingi seorang
laki-laki bertubuh tambun. Dari penampilannya yang necis berdasi, bisa
dipastikan kalau dia adalah pengacara sang gadis. Datang pula bersama mereka,
dua laki-laki bertubuh kekar berseragam tuxedo.
Dari balik kaca kelihatan mereka siaga berjaga diluar. Walau tertutup kaca mata
hitam, tapi cukup terbersit tatapan mereka yang sangar. Jelas tampak kalau gadis
itu tidak berhemat untuk jasa pengacara, dan juga keamanan diri.
Ya Tuhan habislah
kita, runtuk Ben lagi. Mungkin itu pula yang dipikirkan Jody, saat keduanya kompak
saling beradu pandang. Guratan kecemasan tergambar di wajah mereka.
“Saya tidak
ingin berbasa-basi, mari kita langsung saja bernegosisasi mengenai inti persoalan.
Pastilah anda sudah membaca salinan surat gugatan yang dikirimkan pengacara
saya,” gadis itu langsung membuka pembicaraan. Kedua kubu kini duduk
berhadapan.
Ella masih
terlihat santai. “Iya sudah. Kalau begitu silakan anda sampaikan keinginan
anda.”
“Saya datang
langsung ke sini bukan untuk bernegosiasi dengan anda. Saya datang untuk ber-negosiasi
dengan laki-laki di sebelah anda. Nama anda Ben bukan?”
Ben langsung
tersentak saat namanya dipanggil. Dia heran bagaimana gadis itu bisa tahu
namanya, padahal jelas kalau mereka belum pernah bertemu. Dahi Ben berkerut,
mencoba mengingat apa dia pernah bertemu dengan gadis di hadapannya. Apalagi
kini gadis itu menatap tajam ke arahnya.
“Sa-saya?” Ben
menunjuk diri sendiri, penuh kebingungan. Jody dan Ella kompak mengalihkan
pandangan ke arah Ben. Kebingungan yang sama terpancar di wajah keduanya.
“Iya anda. Saya
sudah sering mendengar kemampuan hebat anda dalam mecarik kopi. Sebentar lagi
saya akan membuka kedai kopi baru di Jakarta. Saya ingin anda membuatkan saya
racikan kopi terbaik untuk nantinya digunakan di kedai saya itu. Tentu hak
ciptanya akan menjadi milik saya sepenuhnya. Begitu saya mendapatkan resep kopi
itu dari anda, maka gugatan saya kepada El akan saya cabut, dan kasus ini saya
anggap selesai.”
“Ah permintaan
macam apa itu! Itu sih pemerasan namanya,” Ben menghardik geram. Ketika dia
hendak berdiri, Jody yang duduk di sebelah menahannya.
Bukannya gentar,
Sofie justru tersenyum sinis. Sungguh sebuah perpaduan yang menakutkan. Antara
kecantikan, kekayaan dan kelicikan.
“Terserah anda
mau menamai permintaannya saya itu apa. Yang jelas saya mau resep kopi itu
sudah ada di tangan saya minggu depan, atau saya akan minta pihak kepolisian agar
melanjutkan proses kasus ini.”
Ben mengepalkan
kedua tinjunya. Emosinya benar-benar sudah mencapai puncaknya. Beruntung Jody terus
memeganginya. Kalau tidak, mungkin detik itu juga dia akan sudah meloncat untuk
mendamprat gadis di depannya. “Tarik napas Ben, tarik napas. Sabar, sabar.”
ucap Jody terus.
“Jadi permintaan
anda cuma itu saja?” Ella kembali bertanya.
“Iya. Oya
mungkin saya lupa memberitahu di mana lokasi kedai kopi baru saya itu. Lokasinya
di tengah kota, tepat di bekas sebuah kedai kopi yang dulunya bernama Filosofi
Kopi. Kalian pasti sudah pernah mendengar nama itu tentunya.”
Kini giliran
Jody yang terkejut. Raut wajahnya langsung berubah pucat. Barulah dia tahu
kalau pembeli gedung bekas kedai kopi miliknya adalah Sofie. Benar-benar
menyesakkan dada saat tahu kenyataan tersebut. Hanya saja, Jody bisa lebih
tenang menghadapi hal itu. Berbeda dengan Ben yang lebih ekspresif. Dia tahu
masih harus menenangkan Ben, yang kini emosinya meledak kapan saja.
Bertolak
belakang dengan ekspresi Ben dan Jody, pada wajah Sofie terlihat guratan
kepuasaan. Sepertinya semua ini sudah direncanakannya. Entah apa yang mendasari
perbuatan gadis cantik tersebut. Padahal baik Ben dan Jody merasa tidak pernah
berbuat apa-apa terhadap Sofie.
“Oke, sepertinya
pembicaraan kita sudah selesai. Saya tunggu kabar selanjutnya dari anda. Saya
yakin anda sudah memiliki nomor telepon saya.” Kembali gadis itu tersenyum
sinis.
Tanpa menunggu
jawaban dari lawan bicaranya, Sofie langsung berdiri dan melangkah keluar
ruangan. Baik Ben, Jody dan Ella, hanya bisa terpaku. Sejenak terasa keheningan
dalam ruangan.
“Terus kita
harus gimana sekarang?” Jody membuka keheningan.
“Cuma ada satu
jalan keluar dari masalah ini. Memenuhi permintaan si ratu kecantikan tadi. Gue
sih jelas nggak bisa. Jangankan bikin kopi, bikin air panes aja gue nggak tahu
caranya. Elu juga sama kan Jod? Nah, sekarang tergantung sama si tukang
marah-marah di sebelah gue nih.” Ella mengangkat bahunya pasrah.
“Eh elu itu yah
bisa bener dikit ngomong nggak sih?” Ben kembali menggerutu. “Perang” antara
keduanya kembali terpicu.
“Loh omongan gue
bener kan? Coba tunjukin di mana salah omongan gue tadi?”
Ben melengos
kesal, meratapi nasib yang harus berurusan dengan gadis menyebalkan di sebelahnya.
Andai saja dia bukan sahabat El. “Elu itu yah...” Ben menunjuk ke arah Ella.
Ella membalas gerutuan
dengan tatapan santai. Berhenti sejenak dia memainkan pulpen di tangan
kanannya. “Entah apa yang dilihat El dari cowok penggerutu macem elu ini.”
“Apa maksud
perkataan lu tadi?”
“Nggak ada
maksud apa-apa. Daripada ngomel-ngomel terus kayak gini mending lu mulai kerja
deh. Nggak kasihan lu sama El?”
Raut kekesalan
di wajah Ben mereda. Perkataan Ella tadi memang ada benarnya. “Gudang yang
rencananya mau disewain sama temen lu, masih kosong kan Jod?”
Jody mengangguk.
“Masih. Kenapa?”
“Gue bisa kerja
di sana kan? Gue musti mulai sekarang. Gue nggak bisa biarin El lama-lama di
tahanan.” Dijawab lagi oleh Jody dengan anggukan.
“Oke, masalah terpecahkan. Sekarang gue pergi
dulu, ada urusan penting menunggu.”
Ella berdiri dari
tempat duduknya. Merapikan kertas-kertas di atas meja, dan memasukkan ke dalam
tas jinjingnya. Bersiap dia untuk pergi.
“Kamu ada klien
lagi?” tanya Jody.
“Nggak.”
“Ada meeting?”
“Nggak. Butik
kenalanku hari ini ngadain sale,
kalau aku nggak buru-buru ke sana ntar kehabisan barang bagus. Daah...”
Tanpa menunggu respon
Ben dan Jody, Ella langsung ngacir
pergi. Meninggalkan dua laki-laki itu saling menatap satu sama lain, dengan
mulut menganga.
*****
“Oh sial, gagal
lagi!”
Ben berseru
kesal. Entah kali keberapa dia sudah meneriakkan hal yang sama. Jody, Nana, Aga
dan Aldi pun lagi-lagi saling memandang. Dari kemarin memang mobil Filosofi
Kopi berhenti beroperasi sementara. Sengaja diliburkan untuk jangka waktu yang
belum ditentukan. Mereka semua ingin fokus membantu pekerjaan Ben. Tiga hari
sudah mereka bergelut dengan biji dan serbuk kopi. Sampai-sampai Jody yang
mulanya buta tentang kopi, kini bisa meracik segelas cappucino dan espresso.
Luar biasa, sungguh luar biasa.
“Sudah, kalian lanjutkan
saja kerjaan kalian,” ucap Jody pada ketiga pegawainya. Melangkah dia mendekati
Ben. “Ada yang bisa aku bantu?”
Ben menggeleng.
“Gue kacau banget Jod. Nggak ada yang bisa membantu gue sekarang.” Ben
menumpukan kedua tangannya di meja. Dia tertunduk lesu. Dua hari lagi tenggat
waktu yang diberikan Sofie akan habis. Ini membuat semua orang menjadi
tertekan.
Baru Jody hendak
melontarkan kata-kata, terdengar suara salam dari pintu. Keduanya kompak
mengalihkan pandangan ke asal suara. Di depan pintu terlihat berdiri seorang
laki-laki paruh baya. Baik Ben dan Jody mengenal laki-laki itu. Dia adalah Bli
Wira. Jody langsung tergopoh-gopoh mendekati laki-laki itu. Disambutnya Bli
Wira dengan hangat. Bli Wira menyampaikan niat kedatangannya untuk membantu.
Jody tersenyum mendengarnya. Sama sekali tidak terpikir oleh Jody bertanya
darimana Bli Wira bisa tahu tentang masalah mereka. Paling tidak, kini yang
terpenting ada satu kepala lagi yang bisa membantu untuk berpikir. Dia tahu
keahlian Bli Wira di masa lalu pasti akan banyak membantu. Diperkenalkannya Bli
Wira kepada pegawai Filosofi Kopi lainnya.
“Apa kabar Dik
Ben?” tanya Bli Wira.
Ben tersenyum
masam. “Beginilah, anda bisa melihatnya sendiri.”
Bli Wira tertawa
kecil. Tanpa disuruh, dia mengambil satu buah apron dan memakainya. Dia langsung berjalan ke sebelah Ben. “Mari
saya bantu, mungkin kalau dilakukan bersama kita bisa menghasilkan sesuatu.”
Keduanya lalu
sudah larut dalam kesibukan di depan mesin kopi. Ternyata Bli Wira membawa
sendiri biji kopi yang telah disangrai. Katanya biji kopi itu adalah hasil
penyempurnaan biji kopi Tiwus milik Pak Seno. Aldi dan Aga tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan menyaksikan dua ahli kopi berbeda generasi itu
beraksi. Mereka tahu bisa banyak belajar dari keahlian keduanya.
Di tengah
kesibukan yang memuncak di dalam ruangan itu, kembali terdengar salam dari
pintu. Kali ini suaranya milik seorang perempuan. Jody yang tadinya membantu
Nana memanaskan air, menoleh ke arah suara. Dia tersenyum melihat sosok yang
baru saja datang. Dia adalah Ella, si pengacara unik. Jody melangkah mendekat,
dan menyambutnya. Barulah yang lain menoleh ke arah keduanya. Aldi dan Aga
saling mencolek, melihat sosok Ella. Diluar sifatnya yang cuek dan semaunya,
Ella memang memiliki paras yang manis. Wajar saja dua pemuda itu tergoda. Tanpa
disuruh keduanya mendekat dan berkenalan. Dikejauhan Nana hanya tersenyum,
melihat tingkah kedua rekan kerja jomblo-nya
itu.
“Ada apa lu
datang? Ada perkembangan terbaru mengenai El?” tanya Jody, saat mereka sampai
di meja di mana Ben dan Bli Wira bekerja.
“Nggak ada sih.
Gue datang cuma mau melihat perkembangan pekerjaan kalian sampai mana. Kan ini
berkaitan langsung dengan kasus yang gue tangani.” Ella tersenyum.
“Sedikit lagi
mungkin akan ada hasil,” sahut Bli Wira, sambil menyodorkan tangan kanannya.
Ella menyambut dengan ramah, dan mereka berkenalan.
“Oh jadi elu
dateng buat keperluan pekerjaan? Bukannya habis jalan-jalan dari mall?” ucap Ben
sinis dari depan mesin kopi. Wajar saja Ben berkata seperti itu. Penampilan Ella
memang terlalu kasual untuk bisa dikatakan sedang bekerja. Tanktop dan celana
pendek kini menjadi pilihan busananya. Sebagai alas kaki, tetap ber-sepatu kets
ria.
Disambutnya
kata-kata sinis tadi Ben dengan senyuman. “Ih tahu aja sih. Nih gue bawain
kalian camilan mumpung lagi diskon, beli dua gratis satu.”
Ben melengos.
Dia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, ketimbang adu mulut dengan
Ella. Gadis itu juga memilih berjalan menjauh bersama Jody. Dia tahu cekcok dengan Ben tidak akan membantu,
justru membuat kacau. Dari kejauhan, Ben melihat Ella sudah terlihat akrab
dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Sesekali terdengar tawa dari meja mereka
duduk. Dua buah meja panjang sengaja ditaruh dalam ruangan. Satu untuk mereka bekerja,
satu lagi untuk tempat beristirahat. Ternyata kehadiran Ella cukup mencairkan
suasana dalam ruangan tersebut. Ruangan yang semula bekas gudang itu kini
terasa lebih ceria. Ben hanya bisa menggelengkan kepala melihat mereka. Bli Wira
sendiri terlihat tersenyum di samping Ben.
“Nah, ini
silakan dicoba. Satu orang satu gelas. Tolong kemudian diberikan komentarnya.” Bli
Wira mendekati Jody dan kawan-kawan. Mereka lalu masing-masing mengambil jatahnya.
Bersamaan mereka
menyeruput kopi yang di tangan. Seruputan pertama mereka saling pandang. Tidak
ada komentar yang keluar. Mereka kompak kembali menyeruput.
“Ini sih enak
banget Bli, luar biasa!” Ella yang pertama berkomentar. Diangkatnya tangan
kanan, seperti sedang meninju langit-langit. Seperti biasa dialah yang paling
ekspresif mengungkapkan isi kepalanya.
Jody, Nana, Aldi
dan Aga, kemudian bergantian memberikan komentar. Kesemua dari mereka hampir
memberikan komentar yang sama. Tentang kenikmatan luar biasa yang mereka kecap
di lidah mereka. Bergantian mereka mengacungkan jempol ke arah Bli Wira, dan
juga Ben. Dari kejauhan Ben melihat reaksi yang muncul dari semua penikmat kopi
racikannya. Kemudian dia menyeruput kopi yang dipegangnya. Dia pun kini bisa
mengerti kenapa tadi semuanya beraksi demikian. Hasil penggabungan racikan kopi
miliknya dan Bli Wira sungguh luar biasa hasilnya. Rasa inilah yang dia cari
selama ini. Seberkas senyuman tersungging di bibirnya. Terbayang kilasan wajah
cantik El, sedang membalas senyumannya itu di kepala.
Dari kejauhan
terlihat Bli Wira melambai ke arah Ben. Sepertinya dia meminta Ben untuk datang
mendekat. Ben pun melangkah mendekati mereka. Kembali lambaian jempol diberikan
semua orang kepada Ben. Dia hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
“Kayaknya kopi
ini musti diberi nama juga Mas Ben,” celetuk Nana.
Ben hanya
mengangkat bahunya. “Terserah aja. Kamu mau ngasi nama apa?”
“Nggak tau Mas,
belum kepikiran,” Nana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ucapan Nana tadi
langsung disambut tawa oleh yang lainnya. Aldi dan Aga melengkapi garukan itu dengan
beberapa kali tepukan di bahu Nana.
Jody kemudian
gantian nyeletuk, “Bagaimana kalau biarkan saja kopi ini tidak memiliki nama
untuk sementara. Toh mungkin kopi ini tidak akan menjadi milik kita, walau kita
bersama yang membuatnya.”
Walau terdengar bernada
getir, namun semua yang ada di ruangan menyetujui perkataan Jody tadi. Namun,
itu tidak mengurangi kecerian di antara mereka. Tidak terasa hari sudah
beranjak larut. Hari itu mereka tutup dengan yel-yel ala Filosofi Kopi, atas
usulan Nana. Mereka pun membentuk lingkaran kecil. Menyatukan tangan di tengah,
dan pada hitungan ketiga bersorak berbarengan sambil mengangkat tangan
tinggi-tinggi.
“Filosofi...
Kopi... !!”
*****
“Belum bisa
tidur, Dik Ben?”
Ben tersadar
dari renungannya, karena sapaan itu. Diangkatnya kepala dan menoleh ke arah Bli
Wira. Dia tersenyum, saat laki-laki itu menyodorkan segelas kopi hangat. Diterimanya
sambil mengucapkan terima kasih. Mereka berdua, bersama dengan Jody, Aldi dan Aga,
memang memilih untuk tetap tinggal di gudang. Hanya saja, ketiga lainnya kini
sudah terlelap.
“Iya Bli. Besok
hari yang penting, kepala saya tidak mau berhenti berpikir.”
Bli Wira duduk
di samping Ben. Ditatapnya deretan bintang tengah kegelapan langit di atas
sana. Malam ini langit memang terlihat cerah. Bulan sabit juga terlihat di antara
gugusan bintang, menambah indahnya suasana.
“Memang apa yang
sedang kamu pikirkan?”
“Entahlah,
semuanya mungkin. Bagaimana kalau seandainya kopi yang kita racik tidak sesuai
dengan selera Sofie, maka El tidak akan bisa bebas dari tahanan. Itu akan
menjadi kesalahan saya, dan El pasti juga akan menyalahkan saya. Benar-benar tidak
bisa saya bayangkan kalau hal itu sampai terjadi.”
“Bukannya tadi kamu
sudah mengunjungi El? Kamu bilang kepadanya kan kalau kita sudah menemukan
racikan kopi untuk Sofie?”
“Iya, dan dia
terlihat sangat bahagia. Apalagi saat saya katakan kalau hasil racikan kopi itu
adalah hasil kerja bersama, kawan-kawan di Filosofi Kopi dan Bli Wira.”
Bli Wira
tersenyum. “Apakah terlihat ada keraguan di matanya?”
Ben menggeleng.
“Tidak, sama sekali tidak.”
“Itu karena El
percaya padamu, pada kawan-kawannya di Filosofi Kopi. Saya sudah mengenal El
sejak lama. Dia bukanlah gadis yang mudah menyerah. Tentu saja dia tidak akan
menyerah pada kasus ini, karena dia tahu kalian juga tidak akan menyerah
padanya. Apapun hasilnya besok, El pasti mengerti kalau kamu dan kawan-kawannya
sudah memberikan yang terbaik untuknya.”
“Tapi bagaimana kalau
saya sendiri tidak yakin dengan kopi racikan saya sendiri?”
“Dik Ben, Dik
Ben.” Kali ini Bli Wira tertawa. Sempat dia terbatuk karenanya. Diseruputnya
kopi yang dipegangnya. Kemudian mengacungkannya di hadapan Ben.
“Mungkin kamu
sudah pernah mendengar ucapan ini dari Pak Seno. Kopi tetaplah akan menjadi
kopi. Pada hakikatnya tidak ada kopi yang sempurna, sebaik apapun kita
meraciknya. Sejarah mencatat, kalau kopi pertama hanyalah berasal dari campuran
bubuk kopi, gula dan air hangat. Itu saja. Ego manusia yang mulai bermain
kemudian. Kita mulai mencampur bahan-bahan lain, agar tercipta rasa yang
berbeda. Namun apapun rasa yang tercipta, pada dasarnya komposisi kopi adalah
sama.” Bli Wira berdehem, sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa manusia
terus mencari rasa yang berbeda dari kopi? Semata-mata karena manusia ingin
memuaskan indera mereka. Lidah, mata, hidung, kulit dan indera lainnya. Itulah kemudian
yang menjadi tugas kita sebagai barista. Memuaskan indera manusia. Tapi
pertanyaannya kemudian, apakah indera manusia akan pernah puas? Jawabannya
adalah tidak. Indera manusia tidak akan pernah puas. Ditambah lagi, satu
manusia dengan manusia lain diciptakan berbeda. Demikian pun indera manusia.
Sesempurna apapun kopi racikan kita, akan selalu memunculkan pendapat yang
berbeda. Itu yang saya pelajari dari hasil perjalanan hidup saya selama ini.”
Ben terdiam. Dia
memandang ke depan dengan tatapan kosong. “Lalu apa itu berarti Bli meminta saya
untuk berhenti? Berhenti mencari racikan kopi yang menurut saya terbaik?”
“Oh tidak, sama
sekali tidak. Manusia akan terus belajar dan berkarya selama mereka hidup. Itu
adalah hakikat manusia. Yang ingin saya sampaikan adalah ada saatnya kita harus
menerima apabila ada yang memberikan penilaian berbeda terhadap hasil karya
kita. Ada saatnya kita harus sadar kapan waktunya kita untuk berhenti mencari,
dan melihat apa yang sudah ada di sekitar kita. Bisa saja apa yang ingin kita
cari, justru sudah ada disekitar kita selama ini. Hanya saja, kita belum
menyadarinya.”
“Maksud Bli apa
sebenarnya?” Ben menolehkan kepala, dipandanginya kemudian wajah laki-laki di sebelahnya.
“Sadarkah kamu
kalau kopi yang kamu minum beberapa jam yang lalu, rasanya berbeda dengan kopi
yang kamu pegang sekarang?”
Dipandanginya gelas
kopi yang dipegangnya. Ben dengan ragu dijawabnya pertanyaan Bli Wira tadi,
“Mungkin...”
Lagi-lagi Bli
Wira melempar senyuman. “Biar saya kasih tahu sebuah rahasia. Racikan kopi yang
kamu pegang, sama percis dengan yang kita racik beberapa jam yang lalu.
Bahan-bahannya sama, cara membuatnya pun sama. Lalu apa yang membuatnya
berbeda? Itulah yang menjadi pertanyaan berikutnya.” Bli Wira menyeruput
kembali kopi yang dipegangnya. “Jawabannya, karena ada satu indera lagi yang masih
harus dipuaskan dalam proses peracikan kopi. Satu indera yang kadang sangat
sulit untuk kita puaskan sebagai barista. Indera itu adalah hati. Perbedaan
rasa yang timbul dari kopi ini, karena beberapa jam yang lalu kamu bersama
orang-orang yang kamu cintai dan mencintai kamu. Tanpa sadar itu menambah rasa
nikmat dari kopi yang kita cicipi. Sedangkan sekarang hanya ada kita berdua.”
Ben kembali
terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan kata-kata Bli Wira tadi. Melihat itu,
Bli Wira melanjutkan kata-katanya.
“Itulah kenapa
tadi saya katakan, selama ini kamu terus mencari dan mencari. Suatu saat kamu
harus menyadari kapan harus berhenti mencari, dan melihat di sekitarmu. Tidak-kah
kamu sadari ada begitu banyak cinta di sekitarmu, Dik Ben? Selama ini kamu
meracik kopi untuk memuaskan indera lidah, mata, hidung, dan indera lainnya.
Namun pernahkah kamu menyadari sesuatu ada satu indera yang belum terpuaskan,
dan itulah yang menjadi penyebab kamu terus mencari dan mencari. Mungkin yang
kamu butuhkan hanya melihat, dan menyadari. Atau mungkin saatnya lewat orang
tua ini, kamu diingatkan untuk mencoba melihat, dan menyadari.”
Ben masih tetap
terdiam. Masih belum ada komentar apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Pikirkan-lah
kata-kata saya tadi. Apapun hasilnya besok, saya tahu itu adalah hasil terbaik
yang bisa kamu berikan. Untuk El, untuk kawan-kawan Filosofi Kopi, dan untuk
dirimu sendiri.”
Bli Wira bangkit
berdiri. Ditepuknya dua kali bahu Ben. “El itu gadis yang baik. Kamu harus
melihat, dan menyadari itu.”
Setelah
mengucapkan itu, Bli Wira melangkah pelan masuk ke dalam gudang. Meninggalkan
Ben sendirian, bersama dengan pikirannya.
*****
“Saya senang
kalian menghubungi saya lebih cepat dari waktu yang diberikan.”
Sofie duduk dengan
anggun ditemani dua pengawal di belakangnya. Si pengacara duduk di meja sebelah,
tidak jauh dari tempat kliennya duduk. Ben duduk tepat berhadapan dengan Sofie.
Tatap mata keduanya beradu dengan tajam. Sementara Jody dan Ella, duduk di sebelah
Ben. Kawan-kawan Filosofi Kopi lainnya diminta untuk tetap tinggal di mobil.
Jody sama sekali
tidak terbayang kalau dirinya akan kembali ke tempat ini. Tata letaknya masih
sama, hanya interiornya cukup banyak berubah. Sofie telah menyulap tempat ini
menjadi lebih terkesan modern. Tidak heran apabila melihat dana yang dimiliki
oleh gadis itu. Berbeda ketika dirinya masih mengelola tempat ini. Semuanya
dimulai dari tumpukan hutang, dan setiap rupiah coba mereka kumpulkan lembar
demi lembar bersama Ben. Iya, mereka memang sedang berada di gedung lama kedai Filosofi
Kopi. Jody pun menyesal telah menjual tempat ini. Terlalu banyak memori indah
di tempat ini. Terlalu banyak.
“Bisakah kita
langsung mulai saja membuat kopi?” ucap Ben sinis.
Sofie tergelak.
“Bagus, bagus. Saya juga orang yang tidak suka membuang-buang waktu. Silakan
dimulai kalau begitu. Anda pasti tahu dimana letak bar-nya. Saya sama sekali belum
merubah posisinya,” giliran gadis cantik itu yang tersenyum sinis.
Ben langsung
berdiri, disusul Jody dan Ella. Mereka berjalan menuju ke balik meja bar. Di sana
dilihat oleh Ben kalau mesin kopi sudah berganti dengan keluaran terbaru. Sofie
benar-benar telah merubah wajah Filosofi Kopi yang lebih fresh. Hanya saja, masih ada satu hal yang tidak dirubah oleh
Sofie. Di tengah modernisasi besar-besaran yang terjadi, coretan “No Wi-fi” masih tetap ada diposisinya. Entah
apa maksudnya, mereka pun enggan bertanya.
Mulailah Ben
bekerja. Sofie meminta dua barista miliknya untuk mengawasi pekerjaan Ben. Satu
pria dan satu wanita. Keduanya kerap menyeringai sinis, saat tubuh mereka sedikit
bersenggolan dengan Jody maupun Ella. Begitu pun dibalas dengan seringaian yang
sama oleh Jody dan Ella. Aura permusuhan benar-benar terasa dalam ruangan
tersebut.
Pekerjaan Ben akhirnya
selesai. Semerbak aroma kopi memenuhi ruangan, dibawa oleh kepulan asap. Hidung
Sofie rupanya cukup sensitif. Dia tahu kalau kopi buatan Ben ini memiliki aroma
yang spesial. Berbeda dari kopi-kopi yang pernah dinikmatinya. Senyuman kecil
tersungging kembali di bibirnya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu.
“Silakan...” Ben
berdiri di depan Sofie yang masih duduk dengan anggun. Di depan gadis cantik
itu kini terdapat segelas kopi. Kepulan asapnya benar-benar menggoda hidung.
Tampilannya pun tidak kalah menggoda mata.
Sofie mengambil
gelas tersebut. Ditatapnya tajam racikan kopi di tangannya. Kemudian mulai
menyeruputnya sedikit. Dahinya sedikit berkerut. Sekali lagi diseruputnya kopi
tersebut, sebelum diletakkannya kembali gelas itu di atas meja.
“Siapa yang
membantu anda membuat racikan ini?” ujar Sofie ketus. Ditatapnya tajam wajah
Ben. Ada nada penuh selidik di matanya.
“Apa maksudmu?
Aku membuatnya sendiri, kamu melihatnya sendiri tadi bukan?”
“Saya tidak
bodoh. Saya tahu benar campuran rasa yang ada di dalam kopi ini. Tidak mungkin
anda membuatnya sendiri. Hanya ada satu orang yang sanggup meracik rasa seperti
ini, dan saya tahu benar siapa orangnya.”
Jody dan Ella
yang berdiri di samping Ben, mulai terlihat gelisah. Ben sendiri hanya bisa
berdiri mematung. Bingung dia harus menjawab apa. Akhirnya hanya ada kebisuan
antara ketiganya.
“Saya yang
membantu mereka...” Di tengah kebisuan, tiba-tiba terdengar suara dari pintu.
Di sana telah berdiri Bli Wira. Ben, Jody, dan Ella langsung menoleh bersamaan.
Begitu pula dengan Sofie. Senyuman sinis kembali tersungging di bibirnya.
“Saya sudah
menduga pasti anda ikut campur dalam racikan kopi ini.”
Bli Wira
melangkah masuk. “Tolong jangan kamu ganggu kehidupan anak-anak muda ini Sofie,
mereka ini anak-anak yang baik, saya tahu benar itu.”
Sofie berdiri
dari tempat duduknya. Pengacara dan dua penjaganya ikut berdiri.
“Apa hak anda untuk
meminta saya melakukan itu? Bagi saya anda bukanlah siapa-siapa.” Nada suara
Sofie masih terdengar datar. Walau terasa sedikit getaran kemarahan di sana.
Ben, Jody dan
Ella bergiliran saling bertukar pandangan. Sepertinya mereka bertiga mencoba
saling bertanya satu sama lain. Mencoba mencari tahu akan apa yang terjadi sebenarnya.
Namun mereka bertiga tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Mereka hanya bisa
tetap terdiam.
“Kata-kata kamu
itu benar-benar menyakitkan. Bagaimana pun kamu tetaplah putriku Sofie.”
Perkataan Bli
Wira tadi kembali membuat Ben, Jody, dan Ella saling pandang. Putri? Sofie dan Bli
Wira memiliki hubungan darah? Sofie adalah anak dari Bli Wira? Pertanyaan itu
bergiliran berkecambuk di benak ketiganya. Namun tetap saja mereka hanya bisa
terdiam.
“Oh, jangan lagi
anda ungkit-ungkit masalah itu. Ke mana anda saat saya membutuhkan anda sebagai
ayah? Ke mana anda saat saya dan ibu saya membutuhkan anda sebagai kepala
keluarga? Ke mana anda? Ke mana?” Keanggunan Sofie kini sedikit terkikis. Dia
mulai menghardik dengan suara agak tinggi. “Berhenti mencampuri urusan saya,
dan berhenti untuk mencoba masuk ke dalam kehidupan saya.”
Sofie melangkah
melewati Bli Wira. Ketika hendak berpapasan dengan Ben, Jody dan Ella, gadis
cantik itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Ben. “Urusan kita belum
selesai...”
Lanjut kemudian
dia melangkah menuju pintu. Langkah Sofie diikuti itu oleh kedua pengawal,
pengacara, dan dua baristanya. Tidak lama terdengar suara deru mobil-mobil pergi
menjauh.
Bli Wira
melangkah mendekati Ben, Jody dan Ella. Dipandanginya wajah ketiganya.
“Maafkan
saya...” Hanya itu yang keluar dari mulut Bli Wira. Nada suaranya terdengar
getir.
Laki-laki paruh
baya itu lalu melangkah gontai menuju pintu. Sosok Bli Wira pun menghilang,
meninggalkan tiga orang yang masih tersisa di ruangan itu. Suasana yang tadi
sempat memanas kini menjadi sunyi.
“Sekarang apa
yang harus kita lakukan?” tanya Jody.
“Entahlah...”
sahut Ella pelan.
Suasana kembali
sunyi. Ketiganya tetap berdiri mematung di sana, dalam diam.
*****
“Maafkan saya Dik
El, saya telah mengacaukan segalanya.”
Di wajah cantik
El tersungging sebuah senyuman. “Tidak apa-apa Bli, saya tahu Bli hanya ingin
membantu.”
Bli Wira datang
mengunjungi El untuk berpamitan. Dia menyatakan kehendaknya untuk kembali ke
Bali. Dia sudah lama meninggalkan rumah dan galerinya. Ada guratan getir dalam
benak Bli Wira, melihat gadis secantik El harus mengenakan seragam tahanan. Di sisi
lain, ada guratan penyesalan pula dalam dirinya, karena telah gagal membantu El
dan kawan-kawannya.
“Saya dengar
kalau ternyata Sofie adalah putri Bli? Apakah itu benar?”
Bli Wira menghela
napas, sebelum mengangguk. “Ceritanya panjang sekali. Ingin saya simpan sendiri
sebenarnya cerita tersebut. Hanya saja, ketika saya melihat kamu, Ben, dan kawan-kawan
kalian di Filosofi Kopi, saya tergerak untuk mengungkap masa lalu kelam saya
ini. Saya pikir kehadiran saya akan membantu, namun ternyata justru membuat
segalanya menjadi kacau.”
“Maaf, saya
tidak bermaksud untuk mengingatkan anda pada masa lalu anda.”
“Tidak apa-apa.
Semua ini memang salah saya, bukan salah Sofie. Saya-lah yang meninggalkan
mereka demi memuaskan ke-ego-an diri saya. Dulu saya telah digelapkan oleh
pencarian akan kesempurnaan, tanpa menyadari kalau kesempurnaan itu sudah ada
di sekitar saya.”
“Karena itu kah anda
membantu Ben?”
Bli Wira
tergelak. “Iya, mungkin ketika saya melihat Ben, saya seperti melihat bayangan
cermin diri saya sendiri ketika muda dulu. Begitu antusias dan penuh energi.”
Kembali kemudian dia tergelak. “Saya hanya tidak ingin Ben sampai mengulangi
kesalahan yang pernah saya lakukan.”
El memegang
kedua tangan Bli Wira. “Apa pun yang akan terjadi nanti, saya ucapkan terima kasih
untuk semua yang sudah Bli lakukan. Percayalah ini semua bukan kesalahan Bli.”
Senyuman Bli
Wira kembali tersungging. “Kamu adalah gadis yang baik Dik El, sebenarnya Ben
beruntung memilikimu. Semoga saja dia cepat menyadari itu.”
Giliran El yang
tersenyum, dan dia mengaggukkan kepala.
“Oh ya, bolehkah
saya meminta satu permintaan Dik El?”
“Tentu saja Bli,
permintaan apa itu?”
Bli Wira
kemudian mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Terlihat juga secarik
kertas disana. “Kalau Sofie datang menemuimu, dan saya yakin dia pasti akan melakukan
itu. Tolong berikan ini kepadanya. Saya tahu dia sudah tidak mau lagi bertemu
dengan saya. Dan saya tidak menyalahkan dia karena melakukan itu. Namun saya
harap ketika dia menerima ini, akan dapat memperbaiki masalah yang melibatkan
kamu dan kawan-kawanmu.”
El menerima
pemberian Bli Wira itu. Ternyata benda itu adalah sebuah kalung, dengan hiasan leontin
kecil berbahan mutiara. Sedangkan secarik kertas tadi adalah sebuah amplop. El
yakin di dalamnya terdapat sebuah surat.
“Tentu saja Bli,
saya akan menyerahkan ini kalau kami bertemu.”
Beranjak
kemudian Bli Wira. Dia melangkah pergi, setelah mengucapkan terima kasih pada
El. Sementara sebulir air mata mengalir turun dari pelupuk mata El. Tiba-tiba
dia jadi rindu sosok ayahnya, yang kini sudah tidak lagi ada.
*****
“Gue ini bodoh
banget. Bodoh, bodoh, bodoh...” Ben mengucek-ucek rambutnya yang sudah
berantakan sedari tadi. Dia terlihat sangat kesal. Kesal pada dirinya sendiri
tepatnya. “Ini semua salah gue, seharusnya gue percaya dengan kopi racikan gue
sendiri.”
“Sudahlah Ben, ini
semua salah kita kok. Nggak usah nyalahin diri lu sendiri kayak gitu.” Jody
menimpali. “Kalau sudah seperti ini, artinya kasus ini akan dilanjutkan?” Dia
lalu menoleh ke Ella yang duduk di sampingnya.
“Iya,” sahut
Ella singkat. Dia menghela napas. “Tapi gue sudah menyiapkan bahan-bahan buat
pembelaan, seadainya kasus ini mesti sampai ke persidangan. Gue sih masih
berharap Sofie mau mencabut gugatannya.”
“Kalau melihat
kemarahan dia tadi sih kayaknya sulit.”
Ella menimpali kata-kata
Jody itu dengan anggukan. Kembali dia memungut kerikil di depannya dan
melemparkan sejauh mungkin. Mereka bertiga terlihat teramat galau. Padahal
mereka sudah mempersiapkan segalanya sebaik mungkin. Bahkan hari ini Ella
sampai mengenakan pakaian formal, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Jody
dan yang lainnya sampai dibuat menganga melihat penampilan Ella hari itu. Dia
terlihat menyerupai wanita dewasa, ketimbang biasanya.
“Gue juga nyesel
banget kenapa dulu gue jual kedai Filosofi Kopi. Makin nyesel lagi gue waktu
tahu yang beli kedai itu si Sofie. Sialan,” umpat Jody. “Seandainya saja gue
bisa beli lagi kedai itu dari Sofie. Sialan, sialan.”
Giliran Ben yang
menepuk bahu Jody. Keduanya seolah membagi perasaan galau mereka. Ella
memberikan beberapa buah kerikil kepada Jody. Ikut dilemparnya kerikil-kerikil
itu sejauh dia bisa, guna melegakan kembali kegundahan yang ada.
“Gue janji akan
berusaha semampu gue. Nggak akan gue biarin terjadi apa-apa sama El,” Ella
menoleh kepada Ben dan Jody.
“Makasi yah
Ella, buat semuanya...” terdengar suara Ben sedikit parau.
Ella dan Jody
kompak menoleh. Dari mulut Ben keluar ucapan terima kasih untuk Ella? Sungguh
sebuah keajaiban. Biasanya yang keluar hanyalah kata-kata sinis. Keduanya seolah
tidak percaya dengan kenyataan tersebut. Disambutnya kata-kata itu dengan
senyuman oleh Ella.
“Itu artinya
kita sudah genjatan senjata?”
Ben mengangkat
bahunya. “Mungkin…”
Ella tertawa
kecil. Dia terlihat sumringah. Hampir saja dia berjingkrak kegirangan. Dia pun
lalu mengacungkan jari kelingkingnya. Dengan harapan Ben melakukan hal yang
sama. Mengaitkan jari kelingking adalah bentuk simbol perdamaian. Paling tidak
itu menurut Ella. Entah dibacanya dari sejarah negara manakah itu.
Dahi Ben
berkerut melihat itu. “Serius? Yang bener aja deh...” Dia balik melengos.
Ditariknya
kembali jari kelingking itu. Ella kemudian tergelak dengan gaya centil. “Kan nggak
ada salahnya mencoba,” celetuknya.
Jody hanya
menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Paling tidak sekarang kucing dan
tikus sudah tidak lagi bertikai. Untuk sementara, dan tidak tahu sampai kapan.
Beberapa saat
kemudian, terdengar suara dering nada handphone.
Berasal dari handphone milik Ella.
Gadis itu mengangkatnya dan mulai berbicara. Pembicaran tidak berlangsung lama.
Selesai berbicara, ekspresi wajahnya terlihat serius.
“Dari siapa?”
tanya Jody.
“Dari pihak kepolisian,
mereka bilang El mau ketemu gue. Empat mata.”
*****
“Pengacara saya
bilang, anda mau bertemu saya? Ada keperluan apa kalau saya boleh tahu.”
Seperti biasa
gaya bicara Sofie terdengar sedikit angkuh. Masih dengan menggunakan kalimat-kalimat
resmi.
El tersenyum.
“Sebelumnya terima kasih karena anda mau datang. Saya menghargainya.”
Dibalasnya kata-kata
El itu oleh Sofie dengan sebuah anggukan. Keduanya terlihat duduk saling
berhadap-hadapan. Di dalam ruangan khusus untuk menjenguk tahanan itu juga ada
Ella dan pengacara Sofie. Baik Ella maupun pengacara Sofie berdiri di sudut
ruangan, agak jauh dari posisi duduk El dan Sofie. Ella menjaga sikapnya tetap
waspada. Seperti karateka yang siap memasang kuda-kuda. Walau siapa pun tahu, tubuh
mungil Ella tidak mungkin menang melawan tubuh tambun di dekatnya. Sesekali tatapan
keduanya beradu. Sama sekali tidak ada keramahan dalam tatapan tersebut.
“Ini tentang Bli
Wira, ayah anda...”
“Oh dia. Kalau
tidak ada hal lain yang ingin anda bicarakan, maka pembicaraan ini saya anggap
selesai...” Sofie berujar ketus. Dia lalu terlihat hendak berdiri, namun segera
dicegah oleh El.
“Dia meminta
saya untuk menyerahkan ini kepada anda.”
Melihat dua
benda di telapak tangan El, Sofie membatalkan niatnya. Kembali dia duduk. Sorot
matanya yang tadi penuh keangkuhan, kini terlihat meredup. Ada sesuatu pada kedua
benda itu yang mampu meredam Sofie. El menyodorkan kedua benda itu lebih dekat.
Memberi isyarat pada Sofie untuk mengambilnya.
Perlahan Sofie
menyodorkan juga tangannya. Diambilnya kalung dan amplop surat itu. Ditatap
dalam-dalam kalung digenggamannya. Dari ekspresi wajah Sofie, terlihat sekali kalau
kalung itu memiliki makna yang mendalam. Berikutnya, Sofie membuka amplop dan
mengeluarkan kertas yang ada di dalamnya. Dibacanya perlahan, dan ekspresi
wajah Sofie kembali berubah. Kali ini ada kesedihan terlihat, betapapun dia
berusaha menyembunyikannya.
Sementara di sudut
ruangan, Ella dan pengacara Sofie masih bertukar pandangan sinis. Tanpa mereka
sadari, tiba-tiba Sofie sudah melangkah keluar ruangan. Aksi tatap menatap di antara
keduanya pun berakhir. Pengacara Sofie ikut melangkah keluar ruangan. Berhamburan
lalu Ella langsung mendekati El.
“Ada apa tadi
itu? Kenapa nenek sihir cantik itu bisa tiba-tiba saja pergi?” Dicecarnya El
dengan pertanyaan, begitu pantatnya menghempas di sofa.
“Nenek sihir
cantik?” Dahi El berkerut mendengarnya.
“Hei dia itu
jahat, sinis, dingin, kejam, nggak berperasaan. Mirip banget sama nenek sihir.
Tapi sialnya, harus gue akui kalau dia juga cantik. Elu lihat nggak sih kuku
tangannya. Gila banget deh, itu kuku kinclong bener.”
“Serius lu
sempet ngeliatin kukunya?” Dahi El lebih berkerut dari sebelumnya.
“Dia itu musuh
kita El. Udah tugas gue mempelajari musuh kita itu secara mendalam,
sedalam-dalamnya. Dan elu tahu nggak sih, sepatu yang dia pakai berapa harganya?
Enam digit bok! Itu belum dihitung dress, kalung sama gelangnya. Duh, dia itu itu
bener-bener udah kayak brand berjalan
deh!” Ella terlihat begitu antusias membahas calon lawannya itu di pengadilan
nanti.
El hanya
menggeleng-geleng, dan tersenyum geli. “Kamu tahu itu semua dari mana?”
“Dari internet
dong. Tapi nggak apa-apa, gue sudah siap kok ngelawan dia. Gue sudah nyiapin
semua bahan-bahan yang kita butuhin. Sudah gue ketik sampai seratus halaman
lebih sekarang, kalau perlu nanti bakal gue tambah. Sumpah, seumur hidup gue
nggak pernah ngetik sebanyak itu. Tugas kuliah aja nggak pernah gue bikin
sebanyak itu. Demi elu, gue rela kok El, beneran rela, rela banget...”
“Ella, Ella,
udah, udah...” El berusaha menghentikan rancauan sahabatnya itu. Ella pun
menurut, di-rem-nya mulutnya untuk berbicara. Ditariknya napas saat El meminta
dia melakukannya.
“Sofie bilang dua
hari lagi dia akan menarik gugatannya.”
Ella nampak
kaget. Seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Se-serius?”
“Iya, serius.”
El mengangguk.
“Sedikit aneh
nggak sih. Apa yang mendadak bisa bikin seorang nenek sihir cantik berubah jadi
malaikat cantik dalam waktu sekejap?”
“Nggak tahu juga
sih, tapi itu yang dia bilang tadi.”
El sengaja tidak
membicarakan tentang kalung dan surat pemberian Bli Wira kepada Ella. Biarlah
itu menjadi masalah antara Bli Wira dan Sofie. Dia tahu masalah keluarga memang
bukanlah untuk konsumsi puBlik. Dalam hati, El menaruh harapan masalah antara Bli
Wira dan Sofie dapat diselesaikan dengan baik. Dalam waktu dekat tentunya.
“Kita musti
kabarin kabar baik ini sama temen-temen lain,” seru Ella sumringah.
“Ella, bisa nggak
kabar ini jangan dulu lu sampaiin ke yang lain? Biar nanti jadi kejutan kalau
beneran terjadi.”
Ella menyetujui
permintaan El. “Eh , tahu nggak apa yang mesti kita lakuin pertama begitu elu
keluar dari tahanan?”
“Nggak.” El
mengangkat bahu.
“Kita musti
pergi meni-pedi bareng. Sudah cukup
kali ini saja kuku tangan gue kalah kinclong dari calon lawan gue.”
Keduanya lalu
tertawa. Tertawa geli tepatnya.
*****
Rumah dan galeri
Bli Wira sudah sepi malam itu. Hanya terdengar suara jangkrik dan katak dari
daerah sungai yang banyak tertutupi tanaman. Sengaja Bli Wira tidak meletakkan
lampu di sana. Hanya beberapa titik dari rumahnya yang diterangi lampu, itu pun
dengan watt yang tidak besar. Bli
Wira menyukai suasana alami. Dia lebih memiliki penerangan seperti obor atau
sentir. Di beberapa bagian rumahnya diterangi lampu-lampu sentir yang
bergantung. Di dalam rumah, Bli Wira tinggal sendirian. Memang ada pembantu,
tukang kebun, dan sopir yang juga merangkap keamanan. Namun, mereka tidak tinggal
di area rumah. Mereka khusus dibuatkan kamar di areal belakang, terpisah dari
rumah utama.
Bli Wira
terlihat duduk santai di dalam ruang kerjanya. Ruang berantakan yang kerap dipakainya
melukis. Di depannya ada sebuah lukisan seorang wanita, berparas anggun. Lukisan
itu belumlah selesai. Sosok wanita di lukisan itu sudah terlihat, namun tidak
demikian dengan latar belakang lukisannya. Di tatapnya lukisan itu dalam-dalam.
Ada kesenduan dalam tatapan mata tersebut.
Lamunan Bli Wira
terputus, saat mendengar deru suara mobil mendekat. Kilatan lampu menyorot ke
dalam rumah, sebelum padam. Bli Wira beranjak berdiri, dan melangkah menuju
pintu utama. Langkahnya terhenti saat melihat sosok gadis berdiri di ambang
pintu. Suasana dalam ruangan agak sedikit temaram. Walau tidak jelas, hanya
terlihat seluetnya saja, Bli Wira tahu siapa yang berdiri di sana. Bli Wira diam
terpaku, dan membiarkan gadis itu yang melangkah mendekatinya. Beberapa langkah
si gadis berhenti, memberi jarak yang cukup untuk mereka berbicara. Gadis itu
adalah Sofie.
“Saya datang
karena ini. Kenapa benda ini bisa ada di tangan anda?”
Sofie
menyodorkan sebuah kalung berleontin mutiara di genggamannya.
“Pemilik kalung
itu yang menyerahkannya langsung kepada saya. Kalung itu dan sebuah surat yang
ditujukan untukmu. Saya tidak pernah sempat untuk menyerahkannya, karena kamu
tidak pernah mau menemui saya.”
“Kapan dia
datang menemui anda?”
“Sebulan sebelum
dia meninggal dunia. Dia datang karena khawatir kamu akan sendirian. Dia tahu
waktunya tidak lagi lama, saat kondisi kesehatannya terus menurun. Dia
memintaku untuk menjagamu. Permintaan terakhir yang tidak pernah dapat saya penuhi
sampai detik ini. Namun syukurlah kulihat kamu sudah bisa menjaga dirimu dengan
baik, tanpa saya.”
Tidak ada respon
dari Sofie. Dia hanya berdiri mematung. Sepertinya dia berusaha menahan diri
untuk menangis.
“Maafkan
perbuatan saya selama ini kepada kamu dan ibumu. Saya sadar kesalahan saya
terlalu besar padamu. Saya mengerti kalau pada akhirnya kamu tidak mau
memaafkan saya. Itu adalah sepenuhnya hak kamu.”
“Jadi anda yang
meletakkan bunga di makam ibu saya, setiap hari ulang tahunnya?”
Bli Wira
mengangguk. “Saya tahu dia sangat menyukai bunga lili. Kamu juga pasti tahu
itu.”
“Terima kasih
sudah menjaga kalung dan surat ibu saya. Besok saya akan kembali ke Perancis.
Masalah dengan El dan kawan-kawannya saya anggap selesai, sesuai dengan permintaan
anda, saat terakhir kali kita bertemu.”
Kembali Bli Wira
mengangguk. “Terima kasih...”
“Kalau begitu
saya permisi sekarang. Senang bisa berbicara dengan anda.”
Ketika Sofie
hendak berbalik, Bli Wira menahannya. “Bisakah kamu tinggal sebentar lagi? Saya
bisa membuatkanmu segelas kopi. Cappucino,
dengan satu sendok gula dan sedikit krim. Itu kan kesukaanmu? Tapi, itu pun
kalau kamu mau. Saya tidak memaksa.”
“Baiklah, tapi
saya tidak bisa lama.”
Tanpa disangka Bli
Wira, Sofie memenuhi ajakannya. Mereka berdua, tanpa pengawalan, masuk ke dalam
rumah. Ketika melewati ruang kerja, Sofie melihat sekilas lukisan wanita cantik
karya Bli Wira. Dia pun langsung mengenali sosok wanita tersebut. Dia adalah
ibunya, istri dari Bli Wira. Dia terlihat begitu cantik dalam lukisan itu.
Sosok seorang wanita Perancis yang pernah memilih untuk tinggal di Bali, demi
cinta.
Malam itu terasa
emosional baik bagi Sofie maupun Bli Wira. Kopi yang mereka minum terasa nikmat
luar biasa, mengalahkan kopi manapun di dunia. Dua hati yang sempat lama
terpisah, kini menyatu kembali dalam perantara segelas kopi.
*****
“Uh lama banget
sih ini anak dua...”
Untuk kesekian
kalinya Ben meruntuk. Untuk kesekian kalinya dia juga berjalan mondar-mandir.
“Ben, bisa nggak
sih elu duduk. Lu sekarang kelihatan seperti suami yang lagi nungguin istrinya
melahirkan.” Jody memprotes kegiatan Ben.
“Paling tidak
ini bisa membuat gue lebih tenang.”
“Iya, tapi kita
yang ngeliatin lu jadi nggak tenang.”
Dialog bernuansa
perdebatan antara kedua terus terjadi. Mereka yang lain yang ada di ruangan,
hanya bisa menatap tanpa berkomentar. Nana, Aldi, dan Aga hanya memandangi Ben
berputar-putar. Bola mata mereka ikut bergerak ke kanan dan ke kiri.
Suara deru mobil
akhirnya bisa menghentikan perdebatan itu. Ben sontak berlari keluar, disusul
oleh Jody. Nana, Aldi, dan Aga juga ikut berhamburan keluar. Sesaat setelah mobil
berhenti Ben langsung membuka pintu. Di sana telah tersenyum El, tanpa
berseragam tahanan lagi pastinya. Begitu El turun dari mobil, Ben langsung
memeluk gadis cantik itu. Tergambar kerinduan yang sangat besar dari pelukan
tersebut.
“Ya, ya, pelukan
saja terus, nggak usah peduliin gue. Gue bisa buka pintu sendiri kok, makasi.”
Ella turun dari kursi pengemudi. Dia ngedumel sendirian, karena merasa dicuekin.
Maksud hati ingin menyindir, tapi apa daya cuma dianggap angin lalu.
Jody yang
melihat itu tertawa geli. Dihampirinya Ella, kemudian digandengnya tangan gadis
itu. Ketika hendak mengajaknya melangkah masuk, gadis itu menghentikannya.
“Tunggu bentar, ada seseorang yang mau ketemu elu dan Ben.” Selesai berujar
demikian, sebuah mobil lain berlahan datang mendekat.
Tidak perlu Jody
bertanya siapa yang dimaksud oleh Ella, karena sudah terlihat sosok itu dari
balik kaca jendela mobil. Kini Jody mengerti kenapa mereka diminta menunggu di sini,
di kedai lama Filosofi Kopi.
“Buat apa dia ikut
datang ke sini?” tanya Jody heran.
“Biar dia deh yang
ngejelasin sendiri,” sahut Ella singkat.
Dari tempatnya
berdiri, Jody juga bisa melihat Ben sama waspadanya seperti dirinya. Apalagi
saat Sofie sudah turun dari mobil. Tetap dengan gayanya yang berkesan glamor,
berkaca mata hitam. Mungkin Ben sama herannya dengan dirinya, saat dilihatnya
El menyambut Sofie dengan ramah. Tidak lama keduanya berdampingan masuk ke
kedai. Ben hanya bisa menurut mengikuti langkah kedua gadis tersebut. Demikian
pun Jody, Ella, dan kawan-kawan lainnya.
Di dalam Sofie
mempersilakan El duduk di salah satu meja. Awalnya Jody enggan ikut mendekat,
namun paksaan Ella membuat kakinya mau tidak mau melangkah. Demikian pula
dengan Ben. Lambaian tangan El mau tidak mau memaksanya mendekat. Mereka
berlima kini berkumpul di satu meja. Sementara itu Nana, Aldi dan Aga memilih
untuk berdiri agak jauh. Sesekali terlihat ketiga saling berbisik, entah apa
yang mereka bisikkan.
Untuk sejenak,
tidak ada yang bersuara. Mereka hanya bergantian saling memandang. Sampai El
membuka percakapan, “Jadi gini, Sofie punya sesuatu hal yang ingin dibicarakan
dengan kalian berdua.” El memandang bergantian Ben dan Jody, kemudian dia
melanjutkan lagi kata-katanya, “Tolong didengerin sebentar. Silakan Sofie.”
Tidak seperti
biasanya, wajah Sofie kali ini terlihat lebih ramah, tenang dan bersahabat.
Namun, tetap saja Ben dan Jody belum terbiasa dengan semua itu. Mereka masih
melihat Sofie layaknya musuh yang harus diwaspadai. Meskipun kini El sepertinya
ada dipihak Sofie.
Sofie berdehem,
sebelum mulai berbicara. “Pertama, saya ingin mengucapkan maaf karena telah
menyusahkan kalian semua, terutama El. Dan saya sudah mengatakan itu secara
pribadi kepada El kemarin. Kedua, saya ingin berterima kasih kepada Ben sudah
membuat racikan kopi yang hasilnya sangat baik...”
“Sama-sama. Dan
sekarang racikan kopi itu bukanlah milikku lagi, sesuai kesepakatan awal. Kalau
itu yang memang kamu mau dengar,” Ben menyerobot dengan ketus.
El memegangi
tangan Ben. Dia memberi isyarat agar Ben memberikan kesempatan Sofie untuk
berbicara. Ben melengos, dan menuruti kemauan El.
“Saya tidak
memiliki banyak waktu karena harus mengejar pesawat, jadi saya persingkat saja.
Saya ingin menawarkan kerja sama bisnis dengan kalian berdua. Saya merasa
Filosofi Kopi akan jauh lebih berkembang di tangan kalian berdua. Daripada saya
serahkan pengelolaan Filosofi Kopi kepada orang lain, lebih baik saya serahkan
kepada kalian, itupun kalau kalian mau. Untuk sistem pembagian keuntungan bisa
kita bicarakan lebih lanjut.”
Mendengar itu
Ben dan Jody saling pandang. Mereka seakan tidak percaya, keinginan mereka
untuk mendapatkan Filosofi Kopi bisa diwujudkan dengan mudah. Tidak perlu ada pertengkaran
dan perselisihan lebih lanjut, sebagaimana mereka pikir sebelumnya. Secara
teknis, memang hak kepemilikan Filosofi Kopi tidak mereka dapatkan sepenuhnya.
Namun, kesepakatan ini mereka rasa sudah cukup bagus. Untuk beberapa saat
keduanya berdiskusi dengan berbisik.
“Itu kedengarannya
bagus. Tapi kami ingin diberi kebebasan mengubah beberapa hal, terutama masalah
interior dan hal teknis lainnya,” tawar Jody, mewakili keinginan Ben
sebenarnya.
“Lakukan apapun
yang kalian mau pada tempat ini. Yang saya tekankan hanyalah pembagian
keuntungan dan kiriman laporan keuangan setiap bulannya.”
Mendengar itu,
Ben dan Jody kembali berdiskusi. Untuk soal yang diutarakan Sofie tadi, selama
ini Jody yang paling memegang peran. Mereka berdua pernah melempar gurauan,
kalau dalam mengelola Filosofi Kopi, Ben itu ibarat otot sedangkan Jody adalah ibarat
otak. Dan menurut mereka, otak dan otot harus dibebaskan dalam bergerak agar benar-benar
berfungsi maksimal.
“Kalau begitu
kita sepakat,” Jody menyodorkan tangannya, yang langsung disambut oleh Sofie.
Itu pertama kali mereka bersentuhan. Ternyata kulit tangan Sofie memang sehalus
yang terlihat. Sedangkan Ben tidak merasa perlu untuk melakukan hal yang sama.
Cara pandangnya terhadap Sofie belumlah berubah.
“Baiklah, saya
kira cukup ini sebagai perbicaraan awal kita. Untuk detailnya anda bisa
berbicara dengan pengacara saya di lain waktu. Senang bisa berbisnis dengan
anda,” ucap Sofie sambil tersenyum. Senyum paling ramah yang pernah tersungging
di wajahnya. Setelahnya gadis cantik itu berdiri, dan berpamitan kepada
semuanya.
Begitu
mobil-mobil Sofie dan koleganya berderu menjauh, seketika itu baik Nana, Aldi
dan Aga langsung berhamburan mendekat. Nana langsung membuka pertanyaan.
“Mas Jody, mas
Ben, itu artinya kita balik lagi ‘ngantor’ di sini?” tanya Nana, walau entah
istilah ‘ngantor’ yang dipakainya itu tepat dengan konteks kalimat.
Jody mengiyakan.
“Iya Na, tapi itu cuma Senin sampai Kamis saja, sisanya kita tetap berkeliling
buat ‘jemput gelas’ mendatangi pelanggan-pelanggan Filosofi Kopi di luar kota.
Gimana menurut lu Ben?”
“Hhmm.. ‘Jemput
gelas’ yah? Istilah yang bagus. Gue setuju.”
Ucapan Ben dan
Jody itu langsung diamini yang lain dengan sorakan. Mereka akhirnya bisa
kembali ke kedai lama Filosofi Kopi, di mana semuanya berawal. Mengawali
kebersamaan dalam wadah kekeluargaan. Kini Jody justru bersyukur kalau
Sofie-lah yang membeli gedung tersebut. Seandainya saja bukan dirinya, mungkin
gedung ini sudah beralih fungsi. Sejarah Filosofi Kopi akan hilang begitu saja.
Jody berjanji dalam hati, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan yang
dia buat saat menjual ‘sejarah’ Filosofi Kopi. Melihat raut-raut wajah gembira,
membuat Jody bisa merasakan lagi ‘sejarah’ itu. Pun demikian mungkin yang
dirasakan kawan-kawannya saat ini.
“Oke, karena
semuanya sudah beres sekarang gue pamit dulu.” Ella beranjak untuk berdiri.
“Kenapa? Butik
temen lu ngadain diskon lagi?” tanya Ben. Kali ini tentu tanpa nada ketus,
lebih bermaksud menggoda.
Ella langsung
terbahak. “Nggaklah, duit dari mana? Sekarang waktunya nyari duit dulu. Sambil
tetep buka mata dan telinga soal diskonan sih.” Disambut Ben dengan sunggingan
senyum.
Ketika Ella
hendak beranjak, Jody berdiri dan menanggilnya. “Ella...”
“Iya, kenapa?”
Gadis mungil itu membalikkan pandangan.
Sejenak Jody
mematung. Dia terlihat bingung memulai kata-katanya. “Gi-gini nih El, ka-karena
ke depannya gue harus berurusan sama pengacaranya Sofie, sepertinya gue juga
perlu pengacara nih. E-elu mau nggak jadi pengacara gue?”
Sebelum Ella
sempat menjawab, Nana keburu menyeletuk. “Cie, mas Jody nanyain Ella mau jadi
pengacara kayak nanyain mau jadi pacar aja...”
Celetukan Nana
itu langsung disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Termasuk Ella tentunya. Sedangkan
Jody hanya bisa mesem-mesem kesal ke arah Nana, dengan wajah memerah. Semakin
kencanglah suara tawa dari yang lainnya.
“Iya, boleh.
Asal bayarannya sesuai aja dong pastinya,” Ella segera menyahut agar kekikukan
Jody mereda. Dijawab pula pertanyaan Jody itu dengan senyuman.
“Ba-bagus deh.
Kalo gitu kita ketemu besok sambil makan malam. Ngomongin soal kontrak, dan...
dan lain-lain.”
Sedetik kemudian
terdengar suara batuk. Kali ini berasal dari El. Suara batuk El tadi kembali
disambut tawa oleh yang lainnya. Bahkan, kini Ben pun tidak bisa tidak untuk
ikut tertawa. Kini tidak hanya wajah Jody yang memerah, wajah Ella pun berwarna
senada.
Namun, bukan
Ella namanya kalau tidak dengan cepat menguasai keadaan. Dia langsung nyengir
sambil menggaruk kepalanya. “Oke Jod, nanti elu telpon gue saja deh. Di sini
nggak kondusif, terlalu banyak ‘gangguan’ soalnya.”
Disebut sebagai
‘gangguan’, El dan kawan-kawan malah merespon makin riuh. Bahkan satu dua kali
terdengar siulan dari Aldi dan Aga. Memang keduanya sempat naksir pada Ella,
namun kini mereka sadar kalau Ella sedikit ‘ketinggian’ bagi mereka. Apabila
Jody memang nantinya jadian dengan Ella, paling tidak mereka bisa melihat wajah
manis Ella. Dukungan pun mereka berikan seratus persen.
Tanpa memperdulikan
keriuhan yang ada, Ella melambai bak putri kecantikan. Tidak lama wajah manisnya
sudah menghilang. Tinggallah Jody yang dijadikan bulan-bulanan oleh kawan-kawan
Filosofi Kopi. Ben terlihat merangkul pundak Jody, sambil mengacungkan
jempolnya. Jody tidak merespon apa-apa. Dia hanya nyengir. Dalam hatinya hanya
berharap, semoga masa jomblo-nya akan
segera berakhir. Semoga.
*****
Enam bulan
berikutnya...
“Ada apa nih tiba-tiba
saja kamu ngasi hadiah kayak ini?” tanya El, sambil tersenyum. Sebuah kotak
kecil yang dibungkus kertas kado, kini ada di genggaman El.
Ben balas
tersenyum. “Memang harus ada alasan untuk ngasi hadiah ya?” Dia balik bertanya.
“Ya nggak sih,
tapi terima kasih ya. Aku buka sekarang?”
“Jangan. Kamu
buka saja setelah sampai di rumah.”
Lagi El tersenyum.
Disimpannya bungkusan itu di dalam tas. Ben kemudian memegangi kedua tangan El
dengan lembut. Hilang sosok Ben yang selama ini angkuh dan terkesan arogan.
“Terima kasih selama
ini kamu sudah sabar denganku,” ujar Ben.
“Justru aku yang
harus berterima kasih, karena sudah mau berubah untukku, untuk kawan-kawan di
Filosofi Kopi, dan terpenting sudah mau berubah untuk dirimu sendiri.”
“Iya. Semua ini
berkat pesan hebat seorang laki-laki tua di Bali. Dia memintaku untuk melihat apa
yang ada di sekitarku, dan aku melakukannya.”
“Dan apa yang
kamu lihat?”
“Aku lihat kamu,
Jody, Nana, Aga, Aldi, dan si nyebelin Ella.”
El tergelak.
Ditepuknya pundak Ben atas sebutan ‘nyebelin’ untuk sahabatnya itu. Disambut
Ben dengan erangan palsu. Kembali dipegangnya tangan El, kali ini lebih erat
dari sebelumnya.
“Sekali lagi
terima kasih El, terima kasih untuk semuanya.”
Disahutnya
kata-kata Ben itu dengan anggukan kepala. Beberapa detik keduanya saling beradu
pandang. Tanpa sadar, mereka mendekatkan wajah mereka. Ketika bibir mereka
hampir bertemu, terdengar teriakan dari belakang mereka. Bibir itu pun kembali
menjauh.
“Hei, mojok aja
sih kalian berdua. Acaranya udah mau mulai tuh,” terdengar suara nyaring Jody.
Disusul teriakan cempreng dari Ella.
Ben dan El
saling melempar senyum. Keduanya lalu berdiri, dan berjalan sambil bergandengan
tangan. Mereka berjalan mendekati keramaian. Hari itu adalah grand opening kedai Filosofi Kopi dengan
wajahnya yang baru. Kawan-kawan mereka sudah berkumpul di sana. Demikian pula
beberapa pelanggan Filosofi Kopi, yang sempat merasa kehilangan tempat
berkumpul santai favorit mereka. Di sana juga terlihat sosok cantik Sofie dan Bli
Wira. Semuanya kemudian larut dalam kegembiraan. Suasana riuh menjadi semakin
riuh, dengan lontaran kembang api.
Filosofi Kopi ber-metafora
dari kepompongnya. Pada papan depan tertulis “Filosofi d’Familia coffee” sebagai menu andalan baru. Sebuah tanda
kalau Filosofi Kopi telah menemukan kembali keluarganya yang sempat hilang.
Karena kini mereka sadar kalau kopi bukan hanya mengenai rasa, namun berkaitan pula
dengan cinta. Welcome to new Filosofi
Kopi.
*****
“Kamu dan El pacaran?”
tanya Sofie.
Sofie kini tidak
lagi memakai bahasa resmi saat berbicara dengan Ben dan Jody. Demikian pula
dengan El, Ella, dan kawan-kawan Filosofi Kopi lain. Beberapa kali pertemuan, telah
membuat mereka akrab. Ternyata dibalik sikap “nenek sihir”-nya, Sofie adalah
sosok yang baik.
“Begitulah,
kenapa?”
Ben tidak
menghentikan kegiatannya di depan mesin kopi. Sofie sendiri berdiri di samping
Ben. Dia mengumpulkan gelas-gelas yang telah terisi kopi, dan meletakkannya di atas
baki. Sementara yang lainnya duduk di meja panjang. Sesekali terdengar suara gelak
tawa dari sana. Tamu-tamu undangan lain sudah pada pulang. Acara peresmian
kedai Filosofi Kopi telah berakhir.
“Tidak apa-apa.
Aku hanya tidak suka melihatnya.”
Mendengar itu kegiatan
Ben langsung terhenti. Dia menoleh ke arah Sofie. Dahinya berkerut, dan
ekspresi wajahnya penuh tanya. Sedangkan Sofie terlihat santai, sambil menyandarkan
punggung di tembok.
“Apa maksud
perkataanmu tadi?”
“Iya. Aku tidak
suka melihat kamu dekat-dekat dengan El.”
“Tapi kenapa?”
tanya Ben lagi.
“Karena aku juga
menyukaimu. Aku cemburu.”
Mulut Ben
menganga mendengarnya. Tidak percaya dia dengan apa yang baru saja didengarnya.
Melihat keterkejutan Ben, Sofie malah tersenyum lebar. Ada segurat kepuasan di sana.
Sofie pun melanjutkan kata-katanya, “Aku mau kamu jadi pacarku. Dan aku selalu
mendapatkan apa yang aku mau.”
Selesai
mengucapkan itu, Sofie mengambil baki berisi gelas-gelas kopi. Mulailah dia melangkah.
Melangkah mendekati kawan-kawan lain yang sedang berkumpul, termasuk El. Di sana
lalu dia duduk dan ikut bergabung dengan mereka.
Sedangkan di belakang
bar, Ben masih saja terpaku. Masih mencoba mencerna apa yang barusan didengarnya.
*****
TAMAT...?
Tanjung Bungkak, 17 Mei 2016
Dibuat dalam rangka mengikuti
#NgeracikCerita Ben & Jody,
tapi nggak menang hehehe…
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar