PKB 2016 |
Gedung kesenian
Art Centre kembali ramai sejak tanggal 11 Juni 2016. Demikian pula lalu-lintas
di seputaran Jalan Nusa Indah, Denpasar. Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 resmi
dibuka oleh Presiden Jokowi, dan akan berlangsung sampai tanggal 9 Juli 2016
mendatang. Sebuah ajang berkesenian tahunan terbesar di Bali. Tahun ini, saya
pun tidak melewatkan ajang kesenian tahunan ini. Sejak dibuka, beberapa kali
saya sudah datang langsung ke arena PKB. Baik itu sekedar melihat-lihat ataupun
menikmati pagelaran seni yang dipentaskan. Suasana yang saya rasakan di arena
PKB, hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak banyak perubahan pada
susunan stand pameran. Tidak banyak pula perubahan pada arena pementasan seni.
Entah apa ini perasaan saya semata, atau mungkin dirasakan pula oleh pengunjung
arena PKB lainnya.
Sesuai judul
tulisan, pada kesempatan ini saya ingin menyoroti pementasan seni di arena PKB.
Panggung-panggung yang dipakai masih tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
panggung terbuka dan panggung tertutup. Panggung terbuka ada lima, yaitu:
Panggung Terbuka Ardha Candra, Kalangan Angsoka, Kalangan Ratna Kanda, Kalangan
Ayodhya, dan Panggung Terbuka Ksirarnawa. Panggung tertutup ada dua, yaitu:
Gedung Ksirarnawa dan Wantilan. Pada saat saya berkunjung, ada beberapa
kesenian yang dipentaskan di beberapa panggung. Masyarakat yang datang menonton
sangat banyak. Disatu sisi hal ini sangat patut disyukuri. Artinya antusiasme
terhadap seni budaya Bali belumlah luntur di era modern ini. Namun, di sisi
lain menimbulkan kedongkolan tersendiri. Daya tampung panggung-panggung di Art
Centre seakan tidak mampu mengakomodasi rasa antusiasme itu. Sebagian besar
penonton, termasuk saya, terpaksa harus berdiri berdesakan karena tidak
kebagian tempat duduk. Bahkan, dua panggung terbesar di areal Art Centre,
yaitu: Ardha Candra dan Ksirarnawa, tidak lepas dari masalah yang sama. Hal ini
terus berulang setiap tahun. Memang tidak bisa disama-ratakan untuk semua
pementasan. Ada kalanya beberapa pementasan sepi penonton, namun pada umumnya
berdesakan adalah sesuatu yang “biasa” terjadi. Kenyamanan menonton di arena
PKB masih hanya sebatas harapan.
Selain kurangnya
kapasitas tempat duduk, ada satu masalah lagi yang bisa dirasakan di Ardha
Candra. Masalah posisi tiang lampu sorot dan sound system yang amat mengganggu
kenyamanan mata. Seingat saya belasan tahun yang lalu, keempat tiang pancang
besi itu ada di empat sudut, di belakang penonton. Kini keempat tiang pancang
itu tetap ada di empat sudut, tapi posisinya di depan penonton. Posisi ini
jelas menghalangi jangkauan pandang mata manusia normal. Bagi penonton
berstatus VVIP hal ini mungkin tidaklah mengganggu. Namun bagi saya dan mungkin
sebagian besar penonton biasa lainnya, tanpa status VVIP, hanya bisa mengelus
dada. Hal ini makin terasa miris, saat diantara penonton yang berdesakan
terlihat adanya warga negara asing. Keberadaan mereka adalah perwakilan mata
dunia. Entah apa yang ada dipikiran mereka tentang Bali saat itu.
Sebagai
pengunjung PKB biasa, tanpa status VVIP, pernah saya memiliki mimpi. Mimpi yang
tersimpan bertahun-tahun lamanya. Saya bermimpi peningkatan kapasitas Ardha
Candra dengan tambahan tribun penonton bertingkat. Model tribun terbuka
bertingkat seperti ini biasa diadopsi stadion olahraga kelas dunia. Gedung
Wantilan di sisi barat laut sudah mengadopsi model tribun bertingkat ini, hanya
saja kapasitasnya masih sangat minim. Selain itu, saya juga bertanya-tanya apa
sebenarnya kegunaan kolam di pinggir panggung Ardha Candra. Seandainya saja
kolam itu ditiadakan, dan diganti tribun penonton tentu akan bisa lebih
bermanfaat. Demikian pula gedung Ksirarnawa. Saya bermimpi adanya tribun
penonton bertingkat layaknya gedung-gedung opera dunia, dengan panggung yang
lebih lebar dan luas. Mimpi saya berlanjut, dengan menghilangkan Kalangan
Angsoka dan Kalangan Ratna Kanda yang kapasitasnya sangat mungil serta
stand-stand kuliner disekitarnya. Dengan demikian, fokus menonton nantinya
hanya akan terpusat di Panggung Terbuka Ksirarnawa saja. Bisa dibiarkan tetap
berupa tanah lapang, atau ditambahkan tribun berundak baik di sisi kanan maupun
kiri panggung. Untuk stand kuliner seluruhnya bisa dipusatkan pada bagian barat
laut Art Centre, dengan penataan yang lebih baik tentunya. Mimpi lainnya adalah
merubah model panggung Kalangan Ayodhya di bagian timur laut, menjadi model
Ardha Candra versi mini. Model tribun terbuka berbentuk setengah lingkaran,
kalau bisa dibentuk bertingkat guna menambah kapasitas penonton. Kalau perlu
kolam teratai di sebelahnya dikorbankan saja, mengingat fungsinya yang entah
untuk apa. Sedangkan Gedung Wantilan di bagian barat laut bisa dikonversi
menjadi Ksirarnawa versi mini, dengan perluasan kapastitas tempat duduk. Kalau
perlu gedung pameran didekatnya dikorbankan saja, mengingat fungsinya yang minim.
Nantinya hanya akan ada lima panggung di Art Centre, dengan kapasitas penonton
bertambah dua sampai tiga kali lipat. Lima buah panggung yang nyaman, kiranya
lebih baik ketimbang tujuh buah panggung yang berdesakan. Yah, namanya juga
bermimpi boleh kan?
Selain panggung,
sistem irigasi juga perlu mendapat sorotan. Pernah saya datang kebetulan hujan
turun dengan derasnya. Maka bisa ditebak hasilnya, air jadi tergenang
dimana-mana. Tidak lama memang, tapi mengganggu. Meminimalisir beton dan
menggantinya dengan paving atau rumput, sepertinya bisa menjadi solusi.
Hitung-hitung bisa menambah ruang terbuka hijau. Atau paling tidak,
saluran-saluran air yang ada bisa diperlebar dan dipastikan dapat mengalir
dengan baik. Mimpi terakhir saya adalah soal toilet di areal Art Centre. Sempat
saya mencoba sebagian besar toilet yang ada, dan ternyata airnya mengalir.
Sebuah kemajuan yang patut mendapat pujian. Namun, untuk kebersihan masih
menjadi pekerjaan rumah yang butuh perbaikan. Mimpi saya tentu toilet selevel
airport Ngurah Rai dong pastinya. Dan berbicara tentang kebersihan, bak-bak
sampah sepertinya masih perlu ditambah di beberapa titik. Sekali lagi, namanya
juga bermimpi boleh kan?
Selain
kenyamanan penonton, kenyamanan para pengisi acara juga patut disoroti. Para pekerja
seni ini adalah bintang di ajang PKB. Mereka sangat layak mendapat pelayanan
yang baik. Saya perhatikan ruang berhias di masing-masing panggung juga perlu
mendapat polesan renovasi. Perlu direnovasi agar lebih ber-standar modern.
Mengingat Art Centre tidak hanya dipakai untuk event bertaraf nasional, tapi
juga internasional. Pernah saya melihat penari joget bumbung yang pentas di
Panggung Terbuka Ksirarnawa, berhias di bale bengong, di salah satu sudut
lantai dua gedung. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Mereka harusnya layak
mendapat ruang berhias yang lebih bersifat privasi. Tidak hanya itu, para
pekerja seni ini juga layak mendapat fasilitas transportasi yang layak.
Mengingat mereka datang dari berbagai daerah di Bali. Ini belum kita berbicara
pula mengenai peningkatan kesejahteraan. Sekali lagi perlu digaris-bawahi kalau
para pekerja ini adalah bintang di ajang PKB. Mereka sangat layak mendapat
pelayanan yang baik.
Dengan
meningkatnya kapastitas sarana prasarana panggung di Art Centre, diharap
kenyamanan menonton pementasan seni di ajang PKB akan tercipta. Sadar atau
tidak, keengganan datang berkunjung ke arena PKB sebagian besar ditimbulkan
oleh tidak adanya kenyamanan. Kalau lalu muncul selentingan, “sudah dikasih
nggak bayar kok minta nyaman”, maka itu adalah pemikiran feodal. PKB harus bisa
merubah image-nya menjadi tempat nongkrong yang asyik dan bertaraf modern. Kini
PKB adalah sebuah event berlevel nasional bahkan internasional, dimana ajang
PKB masuk dalam tagline program “Wonderful Indonesia” Kementerian Pariwisata.
Image yang dirasakan selama pelaksanaan PKB akan berbanding lurus pula dengan
image Bali. Merenovasi gedung kesenian Art Centre memang membutuhkan waktu dan
biaya yang tidak sedikit. Namun, melalui perencanaan yang baik pasti akan bisa
diwujudkan. Kalau pun nantinya selama renovasi Art Centre tidak bisa menjadi
tuan rumah PKB, sepertinya kabupaten-kabupaten lain akan siap ditunjuk sebagai
tuan rumah sementara. Ingat kalau ajang PKB itu adalah milik Bali, bukan Kota
Denpasar semata.
Terakhir, saya
ingin sedikit memberi masukan untuk Bapak dan Ibu, pemimpin-pemimpin Bali yang
terhormat. Sungguh bukan maksud saya, sebagai penulis, untuk berbuat lancang
kepada Bapak dan Ibu. Sesuai dengan tema PKB ke-38, yaitu Karang Awak. Masukan kecil
ini semata-mata didasari rasa cinta saya terhadap seni dan budaya Bali,
termasuk keberlangsungan ajang tahunan PKB. Apabila disela-sela kesibukan Bapak
dan Ibu sempat datang ke ajang PKB, tolong datanglah sebagai pengunjung biasa.
Tanpa kawalan, tanpa protokoler. Dengan demikian, Bapak dan Ibu mungkin bisa
merasakan apa yang saya rasakan dan impikan. Atau mungkin yang kami semua,
masyarakat Bali rasakan dan impikan. Para pengunjung biasa, tanpa status VVIP.
Terima kasih.
Tanjung Bungkak, 27 Juni 2016
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar