Terkejut,
teramat sangat terkejut. Mungkin itulah kata yang dapat menggambarkan
perasaanku saat ini. Saat kulihat lagi dirinya, setelah sekian lama sosok itu
hilang dari hidupku. Siang ini, tiba-tiba saja dia berdiri didepanku. Masih
mempesona seperti dulu. Persis seperti yang kuingat kala terakhir bertemu.
Namanya Selvi.
Aku memanggilnya dengan panggilan Evi. Dia salah satu kisah cinta dalam
lembaran hidupku. Kala itu kami masih di semester awal sebagai mahasiswa. Bukan
cinta pertama, bukan pula cinta terakhir. Dia hanya salah satu cinta, namun
sulit untuk terlupa. Entah apa sebutan untuk cinta semacam itu. Aku sendiri
tidak tahu.
“Aku ingin
bercerai dengan suamiku.” Itulah kalimat yang pertama kali meluncur dari
mulutnya.
“Ma-maksudmu?”
Aku tergagap dibuatnya.
“Iya, aku ingin
bercerai dengan suamiku.”
Dia mengulangi
perkatakan yang sama. Sebenarnya bukan itu maksud pertanyaanku tadi. Sebagai
seorang pengacara, kata perceraian bukanlah hal asing di telingaku. Aku hanya
tidak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya. Masih segar
dalam ingatanku bagaimana cerita-ceritanya dulu. Cerita tentang bagaimana luar
biasanya sang “prince charming”, yang
kini menjadi suaminya. Bagaimana ekspresi wajahnya yang berbinar kala
menjelaskan, dan bagaimana sakitnya hatiku kala mendengarkan. Sungguh, aku
masih mengingatnya dengan sangat jelas. Sangat jelas.
“Sebenarnya apa
yang terjadi? Tentu tidak mungkin ada petir kalau tidak ada hujan kan?”
Pancingku guna mendapat penjelasan.
“Aku tidak
mencintainya lagi.”