Minggu, 04 Oktober 2015

Legenda Manik Angkeran (Asal Mula Selat Bali)



Selat Bali adalah nama sebuah selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Menurut legenda, kedua pulau itu dulunya adalah satu kesatuan daratan. Daratan yang kemudian terpisah oleh sebuah peristiwa ajaib.

Tersebutlah di Kerajaan Daha, terdapat sebuah desa yang terletak di wilayah Kediri, Jawa Timur. Disana hiduplah seorang brahmana yang bernama Empu Sidi Mantra. Sang Empu adalah seorang yang sangat disegani, berbudi luhur, dan memiliki pengetahuan agama luas. Ia juga dikenal sebagai seorang pendeta sakti mandraguna. Ketekunannya dalam melakukan tapa berata dan semedi, membuat para Dewa sangat menyayanginya. Atas ketekunannya tersebut, Bhatara Siwa menganugrahi sang Empu harta yang melimpah, serta seorang istri yang amat cantik. Pasangan tersebut pun hidup dalam kebahagian.
Hingga suatu hari, sang istri berkeluh kesah kepada suaminya. “Suamiku, kita sudah cukup lama berumah tangga. Aku sangat bahagia menjadi sebagai istrimu, hanya saja sampai kini kita belum juga memiliki anak. Apakah engkau sudah mencoba memohon kepada para Dewa?”
“Istriku bersabarlah, malam ini aku akan mencoba lagi bersemedi dan memohon anugrah kepada para Dewa.”
Demikianlah kegundahan hati sang istri. Kodratnya sebagai seorang wanita, sudah sangat merindukan untuk menimang anak. Empu Sidi Sastra mengerti kegundahan sang istri. Maka malam harinya sang Empu mulai melakukan semedi di kamar suci, dekat areal rumahnya. Beberapa kali sudah ia melakukan semedi, hanya saja belum kunjung memperoleh hasil. Hingga akhirnya, malam itu Bhatara Siwa menampakkan wujudnya.
“Wahai Empu, ada apakah gerangan sampai engkau melakukan semedi yang sedemikian khusuk kepadaku?”
Sang Empu pun membuka matanya. Kemudian memberi salam. Dihadapannya berdiri Bhatara Siwa dengan pancaran cahaya penuh kewibawaan.
“Maafkan hamba, bukannya maksud hamba untuk mengganggu, hanya saja ada sebuah permohonan yang hendak hamba minta kepada anda wahai Dewa Siwa.”
“Oh benarkah itu? Lalu permohonan dalam bentuk apakah yang hendak engkau pinta dariku, Empu?”
Maka berceritalah Empu Sidi Sastra tentang masalah yang dihadapinya. Tentang segala kegundahan yang ia alami bersama sang istri.
“Jadi engkau hendak memohon berkah seorang anak kepadaku?”
“Iya wahai Dewa Siwa, itupun apabila Dewa berkenan untuk mengabulkannya.”
“Tentu saja permohonanmu akan aku kabulkan. Kini kembalilah engkau ke rumah dan sampaikan kabar gembira ini kepada istrimu. Persiapkanlah diri kalian untuk mengasuh seorang putra.”
Selesai bersabda, sosok Bhatara Siwa pun menghilang. Empu Sidi Sastra bangkit dan keluar dari kamar suci. Berjalanlah ia menuju rumah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Sang istri langsung menyambutnya dengan suka cita.
Setelah lewat beberapa minggu, permohonan sang Empu benar-benar terkabul. Sang istri mengandung seorang putra. Ditengah kegembiraan, tidak lupa mereka berdua mengucapkan syukur atas anugrah yang diperoleh. Empu Sidi Sastra menghaturkan beragam sesajen kepada Bhatara Siwa, sebagai wujud rasa terima kasih. Kegundahan pun berganti dengan kegembiraan.
Sembilan bulan setelahnya, tibalah momen yang ditunggu-tunggu. Putra Empu Sidi Sastra lahir kedunia. Bayi tersebut sangat sehat, tampan, dan berkulit putih. Empu Sidi Mantra dan istri sepakat menamainya, Manik Angkeran.
“Mau kemana Manik? Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu. Makanlah dulu sebelum pergi.”
“Nanti saja makannya Bu, aku sudah ditunggu teman-teman,” sahut Manik Angkeran sambil mencomot sepotong ketela. Ia melangkah mendekati Empu Sidi Sastra. “Ayah, aku perlu uang lagi.”
Sang Brahmana yang sedang membaca lontar mendongak. “Bukankah kemarin Ayah sudah memberimu uang?”
“Sudah habis Ayah. Aku bagikan uang itu kepada fakir miskin di desa sebelah.”
“Baiklah Ayah akan memberimu uang lagi. Hanya saja engkau harus ingat Manik, walaupun kegiatan amalmu itu adalah niatan mulia, namun ada baiknya engkau lebih sedikit bijak dalam mengeluarkan uang.”
“Iya Ayah, akan aku ingat hal itu.”
Tidak terasa hari demi hari berlalu sedemikian cepat. Manik Angkeran tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Hanya saja, dibalik rupanya yang rupawan tersimpan sifat-sifat buruk. Manik Angkeran memiliki kegemaran berjudi. Dari sabungan ayam, tabuh rah[1], judi bola, sampai judi-judi kecil lainnya. Awalnya ia hanya ikut-ikutan ajakan teman semata, namun lama-kelamaan menjadi hobi dan kebiasaan.
Kebiasan buruk ini semakin parah, karena kedua orang tuanya begitu memanjakan Manik Angkeran. Dari anak-anak semua permintaan Manik Angkeran selalu saja dipenuhi, termasuk uang. Hal ini membuat Manik Angkeran tumbuh menjadi pemuda yang tidak bisa mengontrol pengeluaran. Mudah saja dia menghamburkan uang, karena jika habis ia hanya tinggal meminta. Apalagi ia sangat pintar mengarang alasan guna mendapatkan uang dari orang tuanya.
“Hei Manik, engkau datang lagi? Bukankah kemarin sudah kalah banyak?” ucap seorang laki-laki bertubuh tambun. Dia adalah pemilik tempat sabungan ayam yang biasa didatangi oleh Manik Angkeran dan teman-temannya.
Manik Angkeran tertawa. “Uang segitu sih tidak ada artinya buat aku. Sudah jangan banyak komentarlah, mulai saja permainannya. Hari ini aku yakin akan menang banyak.”
Demikianlah kekuatan judi. Daya tariknya sungguh luar biasa. Setiap penjudi pasti memiliki keyakinan akan menang, walau kemudian sirna saat kekalahanlah yang didapat. Ingat saja sebagaimana dikisahkan dalam Mahabrata. Yudhistira diawal permainan dadunya pun yakin akan menang. Akhirnya ia harus berakhir menjalani pengasingan di hutan. Begitu pun halnya dengan Manik Angkeran.
“Ah, kurang ajar! Bagaimana mungkin aku kalah terus seperti ini. Kamu pasti bermain curang!” Manik Angkeran menghardik.
Merasa tidak terima tuduhan itu, pemilik tempat judi balik membentak. “Hai Manik! Jangan sembarangan bicara kamu! Kamu sendiri yang sedang apes malah menyalahkan orang lain. Sudah sekarang pulang saja, kamu sudah tidak punya uang lagi untuk dipertaruhkan!”
“Tidak bisa! Kamu pasti main curang!”
Akhirnya adu mulut itu berkembang jadi adu jotos. Perkelahian baru berakhir ketika petugas keamanan melerai mereka. Manik Angkeran diusir dari tempat itu. Dia pulang dalam kondisi penuh memar, tanpa sepeser pun uang.
“Ya ampun Manik, apa yang terjadi?”
Sang ibu terlihat panik melihat anaknya pulang dalam kondisi memprihatinkan.
“Tidak apa-apa Bu, tadi aku bertemu dengan gerombolan perampok. Aku dan teman-teman terpaksa melawan.”
Kebohongan lagi-lagi terucap dari mulut Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra dan istrinya memang belum mengetahui kebiasaan buruk putra mereka. Kebohongan demi kebohongan Manik Angkeran mereka percayai begitu saja.
Namun, sepandai pandainya tupai melompat, akhirnya pastilah jatuh juga. Inilah kiranya peribahasa yang cocok untuk Manik Angkeran. Perlahan berita burung tentang kebiasaan Manik Angkeran mulai menyebar di kalangan warga. Berita burung itu pun sampai ke telinga Empu Sidi Sastra dan istrinya.
“Apakah engkau sudah mendengar kabar burung tentang anak kita, suamiku?”
“Iya, aku sudah mendengarnya. Hanya saja janganlah kita terlalu percaya pada kabar burung, bisa saja itu fitnah.”
Demikianlah selalu kata-kata sang Empu guna membela putranya. Sesungguhnya dalam hati ia sangat terkejut dengan berita yang didengarnya. Hanya saja, rasa sayangnya kepada sang putra membuat telinganya tertutup. Rasa sayang yang berlebihan cenderung membawa dampak buruk bagi perkembangan mental anak.
Sampai suatu hari, Manik Angkeran pulang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Nafasnya tersengal-sengal.
“Ayah, Ibu, tolong aku!” seru Manik Angkeran.
“Ada apa, Manik? Apa yang telah terjadi? Kenapa dirimu pulang dengan berlarian seperti ini?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.
“A-a-aku dikejar orang-orang, Bu,” jawabnya dengan terengah.
“Siapa orang-orang itu Manik?” timpa Empu Sidi Sastra.
“Me-mereka para penagih hutang.”
“Kenapa para penagih hutang bisa mengejarmu?” tanya sang ayah lagi.
“A-aku kalah berjudi Ayah.”
Akhirnya sebuah pengakuan keluar dari mulut Manik Angkeran sendiri. Empu Sidi Sastra menghela nafas panjang. Kabar burung yang selama ini didengarnya telah terbukti. Sang Empu dan istri tidak lagi terkejut dengan kenyataan ini. Hanya saja, dulu mereka sempat berharap agar kabar ini tidaklah benar adanya.
“Tolong aku, Ayah. Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran memelas.
Belum sempat Empu Sidi Sastra menjawab, terdengar teriakan dari luar rumah. Sang Empu mengintip dari balik jendela. Disana terlihat beberapa orang pemuda membawa golok. Ekspresi wajah mereka sangar penuh kemarahan.
“Hei, Manik Angkeran! Jangan jadi pengecut! Keluar dan bayar hutangmu!”
Terdengar teriakan dari salah satu dari mereka. Teriakan ancaman itu dibarengi dengan acungan golok. Mendengar ancaman itu, Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia panik dan berlari ke kamarnya untuk bersembunyi. Melihat putranya tengah ketakutan, kembali rasa sayang sang Empu terusik.
Dengan tenang Empu Sidi Mantra keluar rumah. Ditemuinya para pemuda tersebut. Melihat sang Empu yang justru keluar, para pemuda tersebut langsung berhenti berteriak. Walaupun kesal dengan Manik Angkeran, para pemuda tersebut tetap menaruh hormat kepada ayahnya.
“Hai anak-anak muda, ada keperluan apakah kalian datang ke rumahku?”
Salah satu dari mereka menjawab mewakili yang lain.
“Mohon maaf Empu, kami telah mengganggu. Kami ingin bertemu dengan putra Empu, Manik Angkeran.”
“Kenapa kalian ingin bertemu dengan putraku?”
“Dia sudah lama berhutang kepada kami, kebetulan tadi kami melihatnya di arena sabungan ayam. Kami ingin menagih hutang-hutangnya, eh malah dia menghindar dari kami dan berlari kemari.”
“Baiklah, kalau begitu ijinkan aku berbicara dulu dengan putraku. Kembalilah besok, akan aku lunasi hutang-hutang putraku kepada kalian,” pinta Empu Sidi Sastra.
“Baiklah kalau begitu Empu, kami akan memenuhi permintaan anda. Kami akan kembali lagi besok siang untuk mengambil uang kami.”
Kesepakatan telah tercapai. Para pemuda itu pun membubarkan diri. Empu Sidi Sastra kembali masuk ke dalam rumah. Ia berjalan pelan menuju kamar putranya. Disana dilihatnya, Manik Angkeran masih gemetaran dalam pelukan ibunya.
“Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi anakku, kenapa kamu bisa berutang kepada para pemuda itu?”
Manik Angkeran pun mulai bercerita. Mendengar cerita putranya, baik Empu Sidi Sastra maupun istri benar-benar merasa kecewa. Walau kecewa, keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Hutang yang sudah terlanjur dibuat haruslah dibayar. Manik Angkeran menceritakan semuanya sambil terisak. Berkali-kali ia berkata kalau ia menyesla dan sudah kapok. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Melihat penyesalan putranya, Empu Sidi Sastra menjadi luluh. Kekecewaannya langsung memudar. Ia pun mempercayai kata-kata putranya.
Keeseokan harinya, para pemuda itu benar-benar datang kembali. Empu Sidi Sastra menepati janjinya untuk melunasi hutang putranya. Ternyata jumlahnya cukup besar. Pembayaran itu cukup menguras harta yang dimiliki sang Empu.
Selepas kejadian itu, kebiasaan Manik Angkeran mengalami perubahan. Kini Manik Angkeran lebih sering berada dirumah. Ia tidak lagi keluyuran dan kerap membantu orang tua. Empu Sidi Sastra sangat bersyukur melihat perubahan tersebut. Hanya saja, semuanya kembali berubah saat Manik Angkeran bertemu dengan teman-teman lamanya. Saat itu ia sedang dalam perjalanan ke pasar, membeli kebutuhan bulanan keluarga.
“Hei, Manik!”
Manik Angkeran menoleh kearah teriakan yang memanggilnya. Dilihatnya dua orang teman yang dikenalnya di arena judi.
“Hei, kemana saja kamu. Lama sekali aku tidak melihatmu. Dengar-dengar sekarang kamu sudah tobat jadi anak baik-baik?” Demikian ejekan salah seorang pemuda. Diakhir perkataanya dia tertawa lebar.
Ego Manik Angkeran terusik. “Ah tidak juga, aku cuma beristirahat sebentar karena sakit. Kondisiku lagi kurang baik,” sahutnya berbohong.
“Benarkah itu? Sekarang kamu kelihatannya baik-baik saja. Ayo ikut dengan kita, mari kita bersenang-senang seperti dulu.”
“Sekarang aku masih ada keperluan, mungkin nanti aku akan menyusul,” Manik Angkeran berusaha menolak.
Penolakannya itu sia-sia belaka. Teman-teman lamanya itu terus memaksa dan menggoda. Semakin keras Manik Angkeran menolak, semakin keras pula mereka godaan mereka. Akhirnya ia menuruti ajakan teman-temannya menuju arena sabungan ayam. Sekedar bernostalgia dengan teman lama kan tidak apa-apa, pikirnya. Diawal ia agak canggung karena sudah lama tidak datang ke tempat itu. Hanya saja, lama-kelamaan Manik Angkeran justru menikmati. Usaha berbulan-bulan untuk menjauhi godaan judi pun sekejap sirna. Judi kembali membuatnya lupa diri. Uang untuk belanja kebutuhan bulanan pun ludes dalam sekejap.
“Sial!” hardik Manik Angkeran.
Saat sadar uang uangnya tidak tersisa sepeser pun, Manik Angkeran panik. Barulah ia ingat suruhan ibunya untuk berbelanja. Kini tidak ada lagi yang bisa dipakai untuk membeli barang-barang. Melihat kepanikan Manik Angkeran, seorang pemuda berjalan mendekatinya.
“Ada apa sobat?”
Manik Angkeran menghela nafas panjang. “Yah beginilah, kalah lagi.”
“Jangan menyerah begitu. Bermainlah lagi, keberuntunganmu pasti bisa berubah kalau kamu terus bermain.”
“Main pakai apa lagi? Sudah tidak ada yang tersisa.”
“Kalau kamu mau aku bisa meminjamimu uang.”
Mendengar penawaran itu, wajah Manik Angkeran langsung terlihat tegang. Memori datangnya para penagih kembali berbayang. Sebuah memori yang jelas tidak ingin ia ulangi untuk terjadi.
“Oh tidak, tidak. Lebih baik sekarang aku pulang saja.” Manik Angkerang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Manik Angkeran hendak menghindar, pemuda itu memegang tangannya. Beberapa kalimat hasutan mulai diluncurkan. Pemuda itu ternyata pandai bersilat lidah. Manik Angkeran dibuatnya bimbang. Antara menerima uang pemberian pemuda itu, atau pulang tanpa membawa apa-apa. Pikiran Manik Angkeran terus berkecambuk. Pikirannya mulai ikut menghasut dirinya. Tidak ada salahnya kalau menang uang itu kan akan jadi berlipat, pikirnya.
Hasutan pemuda itu pun berhasil. Manik Angkeran menerima uang yang disodorkan. Ia kembali berjudi dengan penuh keyakinan akan menang. Namun, apa daya nasib sial tidak dapat ditolak. Saat kemenangan yang diharap, justru kekalahan yang didapat. Uang pinjaman itu tidak lama ada dalam genggaman Manik Angkeran. Hutang pun kembali dibuatnya, bahkan kini lebih besar dari sebelumnya. Manik Angkeran sebenarnya takut untuk pulang, namun dia tidak memiliki tempat untuk tinggal. Siang pun kemudian berganti malam. Akhirnya rasa lapar dan kantuk membuatnya melangkah ke rumah.
“Ya ampun kemana saja kamu Manik, ibu khawatir sekali.”
Sang ibu berlari menyambut anaknya. Langsung dipeluknya Manik Angkeran. Ekspresi wajahnya terlihat panik. Tak lama Empu Sidi Sastra juga ikut keluar dari dalam rumah.
“Ma-maafkan aku ibu.”
“Ada apa Manik?”
 “A-aku ber-berjudi lagi…”
Dengan tergagap, Manik Angkeran bercerita. Kedua orang tuanya menghela nafas panjang. Lagi-lagi mereka tidak bisa melakukan apa-apa, selain pasrah. Mereka hanya bisa menyuruh Manik Angkeran untuk makan, kemudian beristirahat.
Keesokan siangnya, seperti telah diduga datanglah para penagih hutang. Empu Sidi Sastra tidak terkejut, bahkan ia sudah menyiapkan sejumlah besar uang. Ia tidak bisa memarahi anak semata wayangnya itu. Rasa sayanglah penyebabnya. Jauh didalam benaknya, Empu Sidi Sastra masih memiliki harapan kalau putranya akan berubah. Hanya saja, harapan tersebut tinggallah harapan.
Seperti sebelumnya, penyesalan Manik Angkeran hanya bertahan tiga minggu. Kebiasaan buruknya terulang kembali. Hutang-hutang judi terus saja dibuatnya. Sepertinya ia yakin kalau sang ayah pasti akan mampu membayarnya. Memang benar adanya, Empu Sidi Sastra selalu membayar hutang-hutang tersebut. Hanya saja akibatnya harta yang mereka miliki jadi semakin menipis. Terus menipis dan menipis setiap harinya. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang tersisa.
Saat keuangan keluarga kian carut marut, Manik Angkeran bukannya sadar. Kebiasaan judinya justru makin menggila. Empu Sidi Sastra dibuat kebingungan mencari cara untuk melunasi hutang-hutang anaknya. Harta yang dulu dimilikinya kini sudah tidak ada lagi. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kini sang Empu harus bekerja ekstra. Tahu kalau orang tuanya tidak lagi bisa diharapkan, Manik Angkeran jadi jarang pulang.
“Tadi siang para penagih hutang datang lagi suamiku.”
Empu Sidi Sastra menghela nafas. Dihempaskannya tubuhnya ke kursi. Wajahnya terlihat begitu lelah. Tubuh kini terlihat lebih renta dari usianya.
“Iya istriku, aku akan mencari cara untuk membayar hutang-hutang itu. Apa Manik pulang hari ini?”
Sang istri menggelengkan kepalanya. “Sudah seminggu anak kita tidak pulang.”
Kembali Empu Sidi Sastra menghela nafas. “Ya sudah, sekarang biar aku mandi dulu dan istirahat. Kita pikirkan lagi masalah ini besok.”
Rasa lelah membuat Empu Sidi Sastra jadi cepat terlelap. Ditengah tidurnya, sang Empu mengalami mimpi. Dalam mimpi tersebut Bhatara Siwa hadir dan bersabda.
“Wahai Empu, aku melihat saat ini engkau sedang dirundung masalah karena kelakuan buruk putramu.”
“Terima kasih atas perhatiannya Dewa Siwa, memang saat ini keluarga kami sedang dilanda masalah yang cukup sulit.”
“Untuk memecahan masalahmu, pergilah ke kawah Gunung Agung. Disana engkau akan menemukan sebuah gua besar. Disana pula engkau akan bertemu dengan seekor naga bernama Naga Basuki. Utarakanlah masalahmu padanya dan ia akan membantumu,” demikian sabda Bhatara Siwa.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Empu Sidi Sastra menceritakan mimpinya itu kepada sang istri. Istri sang Empu memberi saran untuk mencoba menuruti sabda tersebut. Maka berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung. Perjalanan yang musti ditempuh sang Empu cukup jauh, terjal dan berliku. Sesampainya disana, benar saja ia melihat sebuah gua besar.
Di depan gua sang empu duduk bersila sambil membunyikan genta[2] saktinya. Dari mulutnya terucap mantra-mantra sembari menyebut nama Naga Basuki. Tidak begitu lama terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua. Sosok naga besar pun keluar dari dalamnya.
“Hai Kisanak, siapakah berkenan dirimu ini dan ada apa engkau memanggilku?” tanya Naga Basukih dengan suara menggelegar.
Sang Empu memberi hormat dengan sopan. “Hamba Empu Sidi Mantra dari sebuah desa dalam wilayah Kerajaan Daha. Adapun maksud kedatangan hamba kemari adalah untuk meminta bantuanmu, wahai Naga.”
“Oh, memangnya bantuan apa yang dapat kuberikan untukmu, wahai Empu? Katakanlah,” ucap Naga Basuki kembali.
Empu Sidi Mantra pun mulai menguraikan permasalahan yang dihadapinya. Ia bercerita secara lengkap sebagaimana sabda Bhatara Siwa dalam mimpinya. Naga Basuki memperhatikan dengan seksama. Sesekali kepalanya terlihat mengangguk-angguk. Rasa iba sang Naga menjadi terusik.
“Malang benar nasibmu wahai Empu. Baiklah, aku akan membantumu.”
Usai berucap, Naga Basuki menggoyangkan sekujur tubuhnya. Seketika itu pula, secara ajaib emas dan berlian berjatuhan dari balik sisiknya. Jumlahnya begitu banyak, sehingga dalam sekejap sudah memenuhi tanah tempat mereka berdiri.
“Bawalah emas dan berlian ini Empu, aku rasa jumlahnya akan cukup untuk membayar hutang-hutang putramu. Hanya saja ingatlah wahai Empu, menasehati putramu agar dia segera merubah perilakunya. Kalau tidak maka petaka akan mengancamnya, camkan itu baik-baik!”
“Baiklah wahai Naga Basuki, akan hamba sampaikan kepada putra hamba. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.
Diambilnya seluruh emas dan berlian pemberian sang Naga. Setelah berpamitan, Empu Sidi Sastra pulang ke rumah. Sang istri menyambut dengan suka cita suaminya. Harta itu pun digunakan Empu Sidi Sastra untuk tujuan semula, yaitu melunasi hutang-hutang putranya. Sisanya yang masih cukup banyak ia simpan untuk masa depan keluarga. Ia sadar usianya kini sudah semakin senja.
Mendengar hutang-hutangnya sudah dilunasi, barulah Manik Angkeran pulang kerumahnya. Empu Sidi Sastra beserta istri Bukannya menyesal, malah tanpa malu ia bertanya dimana sang ayah bisa mendapatkan uang. Agaknya ia penasaran untuk mencari tahu.
“Tidak perlu kamu tahu dimana ayah mendapat uang, yang penting kini kamu janganlah berjudi lagi. Tidak ada manfaatnya berjudi, hanya akan mendatangkan kesengsaraan dalam hidupmu.”
Empu Sidi Sastra untuk kesekian kalinya berusaha menyadarkan putranya itu. Masih tetap saja ia percaya kalau Manik Angkeran akan bisa merubah sikapnya, walaupun hal itu tidak juga kunjung terjadi. Manik Angkeran tetap saja dengan kebiasaannya. Malah semakin menjadi-jadi setiap harinya.
Itulah juga kenapa Manik Angkeran bersikeras mencari tahu asal uang yang diperoleh ayahnya. Ia berpikir seandainya dia bisa mendapatkan uang tersebut, maka ia akan bebas menghabiskannya di arena judi. Hanya saja, sang ayah tetap tidak mau memberitahu.
Manik Angkeran tidak kehabisan akal. Seorang penjudi dalam mendapat uang pasti selalu saja memiliki jalan. Untuk mendapatkan informasi, maka didekatilah ibunya. Ia tahu ibunya akan lebih mudah untuk dibujuk.
“Harta itu pemberian seekor naga di kawah Gunung Agung,” sang ibu akhirnya membuka rahasia suaminya setelah terus dibujuk.
“Benarkah itu ibu? Lalu bagaimana aku bisa memanggil naga itu?”
“Kalau tidak salah, ayahmu memakai genta sakti miliknya.”
Berbekal informasi tersebut, Manik Angkeran berniat mencuri genta sakti milik sang ayah. Ia pun melaksanakan niatnya itu ketika Empu Sidi Sastra tertidur. Sembunyi-sembunyi ia memasuki kamar suci ayahnya, dan usaha itu pun berhasil. Kenekatan itu ditempuhnya, karena sang ayah sudah tidak mau lagi memberinya uang. Berbekal genta sakti, malam itu juga ia berangkat menuju Gunung Agung.
Menjelang pagi sampailah Manik Angkeran di kawah Gungung Agung, dengan nafas tersengal. Didepan mulut gua ia terlihat kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Barulah ia sadar kalau selama ini tidak ada satupun mantra yang dikuasainya. Padahal sang ayah sudah berusaha mengajari beberapa kali, hanya ia saja yang tidak memperhatikan.
Ditengah kebingungan, Manik Angkeran mengambil jalan pintas. Akhirnya, ia mengeluarkan saja genta sakti milik ayahnya. Dibunyikan genta itu ala kadarnya, tanpa mantra pemanggil sang naga yang seharusnya diucapkan. Dibunyikannya sekali, tidak terjadi apa-apa. Melihat hal itu, ia coba membunyikannya sekali lagi. Demikian seterusnya sampai terdengar suara gemuruh dari dalam gua. Naga Basuki pun keluar dari sarangnya.
“Hai anak muda! Engkau ini siapa? Berani-beraninya engkau mengganggu tidurku dengan suara gentamu itu!” tanya Naga Basukih. Suaranya menggelegar marah.
“Ma-maafkan aku wahai Naga. A-aku Manik Angkeran, putra dari Empu Sidi Mantra,” jawabnya dengan gugup.
“Oh ternyata engkau yang bernama Manik Angkeran. Aku sudah pernah mendengar namamu. Kemana ayahmu? Kenapa genta saktinya ada ditanganmu?”
Manik Angkeran terlihat semakin gugup. Tidak mungkin ia jujur kalau genta yang dipegangnya ia curi dari sang ayah. Ia pun memilih untuk berbohong.
“Ayahku sedang sakit. Ia tidak bisa datang jadi aku mewakilinya.”
“Oh begitu. Lalu apakah maksud kedatanganmu kali ini?”
Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Lagi-lagi ia menceritakan cerita bohong. Ia mengarang cerita kalau harta yang diberikan Naga Basuki telah dicuri perampok. Dengan demikian harta itu habis, sebelum dipakai untuk melunasi hutang-hutangnya. Naga Basuki mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan Manik Angkeran.
“Apakah benar ceritamu itu anak muda?”
Kembali suara Naga Basuki terdengar menggelegar.
“I-iya, benar.” Suara Manik Angkeran tergagap lagi.
“Baiklah, aku percaya dengan ceritamu itu. Akan kuberikan lagi engkau harta seperti sebelumnya. Kali ini jagalah baik-baik dan gunakan dengan bijak!”
Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Naga Basuki mengguncangkan tubuhnya. Maka berjatuhanlah emas dan berlian dari sela-sela sisiknya. Manik Angkeran terkagum-kagum melihat keajaiban itu. Bergegas ia mengumpulkan emas dan berlian yang berserakan di tanah. Wajahnya terlihat sumringah.
Tidak cukup dengan semua harta itu, Manik Angkeran melihat adanya intan sebesar batu kali diujung ekor sang naga. Langsung saja rasa tamak menggoda dirinya. Kalau bisa mendapatkan intan sebesar itu, maka tidak terbayang berapa uang yang akan didapatkannya. Manik Angkeran pun gelap mata. Menyadari kalau Naga Basuki sedang lengah, dihunusnya sebilah pedang. Dengar secepat kilat diayunkannya pedang tersebut. Sekali hentak, ekor sang naga pun putus. Tak ayal, Naga Basuki menjerit kesakitan. Tubuhnya meronta-ronta menahan sakit.
Kala rasa sakitnya mulai melandanya mereda, sang naga baru menyadari kalau Manik Angkeran sudah pergi. Ia pergi membawa semua emas dan berlian, serta intan pada ekornya. Dengan penuh amarah, Naga Basuki berusaha mengejar putra Empu Sidi Mantra itu. Hanya saja, usahanya sia-sia belaka. Sosok Manik Angkeran sudah hilang entah ke mana.
Ditengah pencariannya, Naga Basuki menemukan beberapa jejak kaki yang arahnya menuruni lereng gunung. Yakinlah ia kalau itu adalah milik Manik Angkeran. Maka dengan kesaktian yang dimilikinya, Naga Basuki menjilati jejak kaki tersebut. Ajaib sekali. Jilatan Naga Basuki memunculkan percikan api dan mulai membakar jejak-jejak kaki itu.
Dikejauhan sana, Manik Angkeran sudah hampir mencapai kaki Gunung Agung. Mendadak ia merasakan rasa panas pada kedua telapak kaki nya. Panas itu terus menjalar naik menuju betis, paha dan tubuh lainnya. Ia berteriak-teriak menahan sakit. Berguling-guling ia diatas tanah, berusaha memadamkan api. Usahanya sia-sia. Tak lama setelahnya, seluruh tubuh Manik Angkeran pun terbakar. Api terus membesar hingga akhirnya putra Empu Sidi Sastra itu menjadi abu.
Sementara itu, di Kerajaan Daha. Empu Sidi Mantra dan istrinya nampak gelisah. Putra mereka menghilang lagi, padahal baru semalam ia masih ada dikamarnya. Mereka mencoba mencarinya kemana-mana. Setiap orang yang mereka tanya mengaku tidak melihat sosok Manik Angkeran.
Ditengah kebingungan, sang ibu ingat kalau putranya sempat bertanya tentang harta pemberian Naga Basuki. Ia pun memberitahukan hal itu kepada suaminya. Empu Sidi Sastra bergegas masuk kedalam kamar suci. Benar saja, disana ia menemukan kalau genta sakti miliknya telah hilang.
“Istriku, sepertinya aku tahu kemana putra kita pergi.”
“Kalau begitu pergilah suamiku, segera susul anak kita.”
Empu Sidi Sastra pamit kepada istrinya. Berjalanlah ia menuju Gunung Agung, secepat ia mampu. Kala mendaki lereng gunung pun sang empu berusaha secepat-cepatnya. Setibanya di depan gua, di kawah gunung, ia melihat Naga Basukih terbaring lemah didepan gua.
“Wahai Naga Basuki, apa yang terjadi padamu?”
Sang naga mengangkat kepalanya dan menggeram marah. “Ini adalah ulah anakmu yang durhaka itu! Dia datang meminta harta, dan memotong ekorku!”
“Maaf beribu maaf hamba ucapkan wahai Naga Basuki, perbuatan putra hamba sangatlah tercela. Biar hamba memarahi dan menghukumnya. Berkenanlah Naga memberi tahu dimana sekarang putra hamba berada?”
“Engkau tidak perlu mencarinya lagi Empu! Aku sudah membakarnya dengan lidah apiku! Anak durhaka seperti dia sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya!”
Mendengar kata-kata Naga Basuki, Empu Sidi Sastra terkejut bukan kepalang. Tak lama ia meneteskan air mata. Kesedihan melandanya, karena harus menerima kenyataan kalau putra semata wayangnya telah meninggal dunia.
“Maaf sekali lagi hamba ucapkan wahai Naga Basuki, hamba akui putraku itu memiliki watak yang kurang baik. Hanya saja, dia adalah putra semata wayang hamba. Tidakkah anda bisa sedikit berbelas kasihan untuk menghidupkannya kembali?” ucap Empu Sidi mengiba.
“Untuk apa engkau musti menangisi anak macam itu Empu? Aku bisa saja menghidupkan dia lagi, tapi apa gunanya? Dia hanya akan merepotkanmu lagi, dan juga orang-orang lain disekitarnya.”
“Wahai Naga Basuki, apa yang anda katakan itu memang benar adanya. Namun, hamba dan istri hamba sudah lama sekali mendamba kedatangan seorang putra. Apa yang selama ini dilakukan oleh putra hamba sebenarnya juga merupakan kesalahan hamba yang terlalu memanjakannya. Hamba masih yakin kalau Manik Angkeran diberikan waktu, maka dia akan bisa berubah.”
“Baiklah Empu, mengingat bakti yang selama ini engkau berikan pada masyarakat maka permohonanmu akan aku kabulkan, dengan syarat engkau kembalikan ekorku seperti semula. Satu syarat lagi, Manik Angkeran harus tinggal bersamaku sampai dia bisa merubah sifat buruknya. Selama aku mendidiknya engkau tidak boleh menemuinya. Saat waktunya tiba, dia akan kupertemukan lagi denganmu.”
Empu Sidi Mantra bersedia memenuhi syarat yang diajukan Naga Basuki. Maka mulailah Naga Basuki merapal mantra sakti. Dikejauhan sana, abu dari tubuh Manik Angkeran berkumpul menjadi satu. Perlahan abu tersebut membentuk sesosok tubuh. Sosok Manik Angkeran pun kembali utuh, hidup dan bernafas.
“Jemputlah putramu di lereng gunung Empu, dan bawalah ia kemari. Disana juga engkau akan menemukan ujung ekorku.”
Turunlah Empu Sidi Sastra menuju lereng Gunung Agung. Akhirnya, sang Empu menemukan putranya sedang terisak ditengah hutan. Ditenangkannya putranya tersebut. Manik Angkeran menanyakan apa yang terjadi, dan Empu Sidi Sastra menceritakan semuanya. Langsung saja Manik Angkeran memeluk ayahnya sambil menangis. Berkali-kali ia meminta maaf kepada ayahnya.
Setelah Manik Angkeran tenang, Empu Sidi Sastra mengajaknya naik kembali ke kawah gunung untuk menemui Naga Basuki. Manik Angkeran bersujud didepan Naga Basuki dan meminta maaf. Amarah Naga Basuki pun mereda. Sesuai kesepakatan, Empu Sidi Sastra mengembalikan intan di ekor sang naga. Setelah merapal mantra, ekor Naga Basuki pun kembali seperti semula.
“Sepertinya ini adalah waktunya kita untuk berpisah putraku.”
Manik Angkeran memeluk ayahnya. Sepertinya kali ini, ia sudah membulatkan tekad untuk merubah sikap. Ia berjanji pada sang ayah, kalau ia akan tekun berguru pada Naga Basuki. Berjanji juga untuk merubah sikapnya. Mereka pun kemudian berpisah. Empu Sidi Sastra kembali ke Kerajaan Daha seorang diri.
Ditengah perjalanan, sekitar wilayah perbatasan Jawa Timur, Empu Sidi Sastra teringat kejadian yang melibatkan putranya. Acapkali Manik Angkeran tergoda ajakan teman-temannya, sehingga kebiasaan berjudinya akan kambuh. Tidak ingin hal itu terjadi lagi, maka diambilnya sebilah tongkat dan ditusukkannya ke tanah. Secara ajaib, dari bekas tusukan tersebut keluar semburan air. Semakin lama semburan air yang keluar semakin deras. Semakin deras, dan semakin deras.
Tidak lama kemudian timbullah pula beberapa kali gempa. Gempa-gempa itu menyebabkan retakan pada tanah yang terus memanjang. Retakan tanah itu juga semakin lebar dan terus dibanjiri air. Diakhir, air laut ikut memasuki retakan tanah tersebut dan terciptalah sebuah selat.
Sejak saat itulah Pulau Jawa dan Pulau Bali terpisah. Selat pemisah yang tercipta secara ajaib itulah yang kemudian dikenal dengan nama, Selat Bali.

TAMAT.



Diikutkan dalam Lomba Penulisan Cerita Rakyat Tahun 2015
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia 

@dewadarmayana 


[1] Sejenis sabungan ayam yang diselenggarakan sebagai rangkaian upacara keagaman (Yadnya).
[2] Lonceng yang dimiliki oleh Brahmana atau Empu. Umumnya dipakai sarana upacara keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar