Selat Bali adalah nama sebuah selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Menurut legenda, kedua pulau itu dulunya adalah satu kesatuan daratan. Daratan yang kemudian terpisah oleh sebuah peristiwa ajaib.
Tersebutlah di
Kerajaan Daha, terdapat sebuah desa yang terletak di wilayah Kediri, Jawa Timur.
Disana hiduplah seorang brahmana yang bernama Empu Sidi Mantra. Sang Empu
adalah seorang yang sangat disegani, berbudi luhur, dan memiliki pengetahuan
agama luas. Ia juga dikenal sebagai seorang pendeta sakti mandraguna.
Ketekunannya dalam melakukan tapa berata dan semedi, membuat para Dewa sangat menyayanginya.
Atas ketekunannya tersebut, Bhatara Siwa menganugrahi sang Empu harta yang
melimpah, serta seorang istri yang amat cantik. Pasangan tersebut pun hidup
dalam kebahagian.
Hingga
suatu hari, sang istri berkeluh kesah kepada suaminya. “Suamiku, kita sudah cukup
lama berumah tangga. Aku sangat bahagia menjadi sebagai istrimu, hanya saja
sampai kini kita belum juga memiliki anak. Apakah engkau sudah mencoba memohon
kepada para Dewa?”
“Istriku bersabarlah,
malam ini aku akan mencoba lagi bersemedi dan memohon anugrah kepada para Dewa.”
Demikianlah
kegundahan hati sang istri. Kodratnya sebagai seorang wanita, sudah sangat
merindukan untuk menimang anak. Empu Sidi Sastra mengerti kegundahan sang
istri. Maka malam harinya sang Empu mulai melakukan semedi di kamar suci, dekat
areal rumahnya. Beberapa kali sudah ia melakukan semedi, hanya saja belum
kunjung memperoleh hasil. Hingga akhirnya, malam itu Bhatara Siwa menampakkan
wujudnya.
“Wahai
Empu, ada apakah gerangan sampai engkau melakukan semedi yang sedemikian khusuk
kepadaku?”
Sang Empu
pun membuka matanya. Kemudian memberi salam. Dihadapannya berdiri Bhatara Siwa
dengan pancaran cahaya penuh kewibawaan.
“Maafkan
hamba, bukannya maksud hamba untuk mengganggu, hanya saja ada sebuah permohonan
yang hendak hamba minta kepada anda wahai Dewa Siwa.”
“Oh
benarkah itu? Lalu permohonan dalam bentuk apakah yang hendak engkau pinta dariku,
Empu?”
Maka
berceritalah Empu Sidi Sastra tentang masalah yang dihadapinya. Tentang segala kegundahan
yang ia alami bersama sang istri.
“Jadi
engkau hendak memohon berkah seorang anak kepadaku?”
“Iya wahai
Dewa Siwa, itupun apabila Dewa berkenan untuk mengabulkannya.”
“Tentu saja
permohonanmu akan aku kabulkan. Kini kembalilah engkau ke rumah dan sampaikan
kabar gembira ini kepada istrimu. Persiapkanlah diri kalian untuk mengasuh
seorang putra.”
Selesai
bersabda, sosok Bhatara Siwa pun menghilang. Empu Sidi Sastra bangkit dan
keluar dari kamar suci. Berjalanlah ia menuju rumah untuk menyampaikan kabar
gembira tersebut. Sang istri langsung menyambutnya dengan suka cita.
Setelah
lewat beberapa minggu, permohonan sang Empu benar-benar terkabul. Sang istri
mengandung seorang putra. Ditengah kegembiraan, tidak lupa mereka berdua mengucapkan
syukur atas anugrah yang diperoleh. Empu Sidi Sastra menghaturkan beragam
sesajen kepada Bhatara Siwa, sebagai wujud rasa terima kasih. Kegundahan pun
berganti dengan kegembiraan.
Sembilan
bulan setelahnya, tibalah momen yang ditunggu-tunggu. Putra Empu Sidi Sastra
lahir kedunia. Bayi tersebut sangat sehat, tampan, dan berkulit putih. Empu Sidi
Mantra dan istri sepakat menamainya, Manik Angkeran.
“Mau kemana
Manik? Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu. Makanlah dulu sebelum pergi.”
“Nanti saja
makannya Bu, aku sudah ditunggu teman-teman,” sahut Manik Angkeran sambil
mencomot sepotong ketela. Ia melangkah mendekati Empu Sidi Sastra. “Ayah, aku
perlu uang lagi.”
Sang
Brahmana yang sedang membaca lontar mendongak. “Bukankah kemarin Ayah sudah
memberimu uang?”
“Sudah
habis Ayah. Aku bagikan uang itu kepada fakir miskin di desa sebelah.”
“Baiklah
Ayah akan memberimu uang lagi. Hanya saja engkau harus ingat Manik, walaupun
kegiatan amalmu itu adalah niatan mulia, namun ada baiknya engkau lebih sedikit
bijak dalam mengeluarkan uang.”
“Iya Ayah, akan
aku ingat hal itu.”
Tidak
terasa hari demi hari berlalu sedemikian cepat. Manik Angkeran tumbuh menjadi pemuda
yang tampan dan rupawan. Hanya saja, dibalik rupanya yang rupawan tersimpan
sifat-sifat buruk. Manik Angkeran memiliki kegemaran berjudi. Dari sabungan
ayam, tabuh rah[1],
judi bola, sampai judi-judi kecil lainnya. Awalnya ia hanya ikut-ikutan ajakan teman
semata, namun lama-kelamaan menjadi hobi dan kebiasaan.
Kebiasan
buruk ini semakin parah, karena kedua orang tuanya begitu memanjakan Manik
Angkeran. Dari anak-anak semua permintaan Manik Angkeran selalu saja dipenuhi,
termasuk uang. Hal ini membuat Manik Angkeran tumbuh menjadi pemuda yang tidak
bisa mengontrol pengeluaran. Mudah saja dia menghamburkan uang, karena jika
habis ia hanya tinggal meminta. Apalagi ia sangat pintar mengarang alasan guna
mendapatkan uang dari orang tuanya.
“Hei Manik,
engkau datang lagi? Bukankah kemarin sudah kalah banyak?” ucap seorang
laki-laki bertubuh tambun. Dia adalah pemilik tempat sabungan ayam yang biasa
didatangi oleh Manik Angkeran dan teman-temannya.
Manik
Angkeran tertawa. “Uang segitu sih tidak ada artinya buat aku. Sudah jangan
banyak komentarlah, mulai saja permainannya. Hari ini aku yakin akan menang
banyak.”
Demikianlah
kekuatan judi. Daya tariknya sungguh luar biasa. Setiap penjudi pasti memiliki
keyakinan akan menang, walau kemudian sirna saat kekalahanlah yang didapat. Ingat
saja sebagaimana dikisahkan dalam Mahabrata. Yudhistira diawal permainan dadunya
pun yakin akan menang. Akhirnya ia harus berakhir menjalani pengasingan di
hutan. Begitu pun halnya dengan Manik Angkeran.
“Ah, kurang
ajar! Bagaimana mungkin aku kalah terus seperti ini. Kamu pasti bermain curang!”
Manik Angkeran menghardik.
Merasa
tidak terima tuduhan itu, pemilik tempat judi balik membentak. “Hai Manik! Jangan
sembarangan bicara kamu! Kamu sendiri yang sedang apes malah menyalahkan orang
lain. Sudah sekarang pulang saja, kamu sudah tidak punya uang lagi untuk
dipertaruhkan!”
“Tidak
bisa! Kamu pasti main curang!”
Akhirnya
adu mulut itu berkembang jadi adu jotos. Perkelahian baru berakhir ketika
petugas keamanan melerai mereka. Manik Angkeran diusir dari tempat itu. Dia pulang
dalam kondisi penuh memar, tanpa sepeser pun uang.
“Ya ampun
Manik, apa yang terjadi?”
Sang ibu
terlihat panik melihat anaknya pulang dalam kondisi memprihatinkan.
“Tidak
apa-apa Bu, tadi aku bertemu dengan gerombolan perampok. Aku dan teman-teman
terpaksa melawan.”
Kebohongan lagi-lagi
terucap dari mulut Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra dan istrinya memang belum
mengetahui kebiasaan buruk putra mereka. Kebohongan demi kebohongan Manik
Angkeran mereka percayai begitu saja.
Namun, sepandai
pandainya tupai melompat, akhirnya pastilah jatuh juga. Inilah kiranya
peribahasa yang cocok untuk Manik Angkeran. Perlahan berita burung tentang
kebiasaan Manik Angkeran mulai menyebar di kalangan warga. Berita burung itu pun
sampai ke telinga Empu Sidi Sastra dan istrinya.
“Apakah
engkau sudah mendengar kabar burung tentang anak kita, suamiku?”
“Iya, aku
sudah mendengarnya. Hanya saja janganlah kita terlalu percaya pada kabar
burung, bisa saja itu fitnah.”
Demikianlah
selalu kata-kata sang Empu guna membela putranya. Sesungguhnya dalam hati ia
sangat terkejut dengan berita yang didengarnya. Hanya saja, rasa sayangnya kepada
sang putra membuat telinganya tertutup. Rasa sayang yang berlebihan cenderung membawa
dampak buruk bagi perkembangan mental anak.
Sampai
suatu hari, Manik Angkeran pulang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Nafasnya tersengal-sengal.
“Ayah, Ibu,
tolong aku!” seru Manik Angkeran.
“Ada apa,
Manik? Apa yang telah terjadi? Kenapa dirimu pulang dengan berlarian seperti ini?”
tanya ibunya dengan perasaan cemas.
“A-a-aku
dikejar orang-orang, Bu,” jawabnya dengan terengah.
“Siapa
orang-orang itu Manik?” timpa Empu Sidi Sastra.
“Me-mereka
para penagih hutang.”
“Kenapa para
penagih hutang bisa mengejarmu?” tanya sang ayah lagi.
“A-aku
kalah berjudi Ayah.”
Akhirnya
sebuah pengakuan keluar dari mulut Manik Angkeran sendiri. Empu Sidi Sastra menghela
nafas panjang. Kabar burung yang selama ini didengarnya telah terbukti. Sang
Empu dan istri tidak lagi terkejut dengan kenyataan ini. Hanya saja, dulu mereka
sempat berharap agar kabar ini tidaklah benar adanya.
“Tolong
aku, Ayah. Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran memelas.
Belum
sempat Empu Sidi Sastra menjawab, terdengar teriakan dari luar rumah. Sang Empu
mengintip dari balik jendela. Disana terlihat beberapa orang pemuda membawa
golok. Ekspresi wajah mereka sangar penuh kemarahan.
“Hei, Manik
Angkeran! Jangan jadi pengecut! Keluar dan bayar hutangmu!”
Terdengar
teriakan dari salah satu dari mereka. Teriakan ancaman itu dibarengi dengan
acungan golok. Mendengar ancaman itu, Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia panik
dan berlari ke kamarnya untuk bersembunyi. Melihat putranya tengah ketakutan,
kembali rasa sayang sang Empu terusik.
Dengan
tenang Empu Sidi Mantra keluar rumah. Ditemuinya para pemuda tersebut. Melihat
sang Empu yang justru keluar, para pemuda tersebut langsung berhenti berteriak.
Walaupun kesal dengan Manik Angkeran, para pemuda tersebut tetap menaruh hormat
kepada ayahnya.
“Hai
anak-anak muda, ada keperluan apakah kalian datang ke rumahku?”
Salah satu
dari mereka menjawab mewakili yang lain.
“Mohon maaf
Empu, kami telah mengganggu. Kami ingin bertemu dengan putra Empu, Manik
Angkeran.”
“Kenapa
kalian ingin bertemu dengan putraku?”
“Dia sudah
lama berhutang kepada kami, kebetulan tadi kami melihatnya di arena sabungan
ayam. Kami ingin menagih hutang-hutangnya, eh malah dia menghindar dari kami
dan berlari kemari.”
“Baiklah,
kalau begitu ijinkan aku berbicara dulu dengan putraku. Kembalilah besok, akan
aku lunasi hutang-hutang putraku kepada kalian,” pinta Empu Sidi Sastra.
“Baiklah
kalau begitu Empu, kami akan memenuhi permintaan anda. Kami akan kembali lagi
besok siang untuk mengambil uang kami.”
Kesepakatan
telah tercapai. Para pemuda itu pun membubarkan diri. Empu Sidi Sastra kembali
masuk ke dalam rumah. Ia berjalan pelan menuju kamar putranya. Disana
dilihatnya, Manik Angkeran masih gemetaran dalam pelukan ibunya.
“Ceritakan
apa yang sebenarnya terjadi anakku, kenapa kamu bisa berutang kepada para
pemuda itu?”
Manik
Angkeran pun mulai bercerita. Mendengar cerita putranya, baik Empu Sidi Sastra
maupun istri benar-benar merasa kecewa. Walau kecewa, keduanya tidak dapat
berbuat apa-apa. Hutang yang sudah terlanjur dibuat haruslah dibayar. Manik
Angkeran menceritakan semuanya sambil terisak. Berkali-kali ia berkata kalau ia
menyesla dan sudah kapok. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Melihat
penyesalan putranya, Empu Sidi Sastra menjadi luluh. Kekecewaannya langsung
memudar. Ia pun mempercayai kata-kata putranya.
Keeseokan
harinya, para pemuda itu benar-benar datang kembali. Empu Sidi Sastra menepati
janjinya untuk melunasi hutang putranya. Ternyata jumlahnya cukup besar.
Pembayaran itu cukup menguras harta yang dimiliki sang Empu.
Selepas
kejadian itu, kebiasaan Manik Angkeran mengalami perubahan. Kini Manik Angkeran
lebih sering berada dirumah. Ia tidak lagi keluyuran dan kerap membantu orang tua.
Empu Sidi Sastra sangat bersyukur melihat perubahan tersebut. Hanya saja,
semuanya kembali berubah saat Manik Angkeran bertemu dengan teman-teman
lamanya. Saat itu ia sedang dalam perjalanan ke pasar, membeli kebutuhan
bulanan keluarga.
“Hei,
Manik!”
Manik
Angkeran menoleh kearah teriakan yang memanggilnya. Dilihatnya dua orang teman
yang dikenalnya di arena judi.
“Hei,
kemana saja kamu. Lama sekali aku tidak melihatmu. Dengar-dengar sekarang kamu
sudah tobat jadi anak baik-baik?” Demikian ejekan salah seorang pemuda. Diakhir
perkataanya dia tertawa lebar.
Ego Manik
Angkeran terusik. “Ah tidak juga, aku cuma beristirahat sebentar karena sakit.
Kondisiku lagi kurang baik,” sahutnya berbohong.
“Benarkah
itu? Sekarang kamu kelihatannya baik-baik saja. Ayo ikut dengan kita, mari kita
bersenang-senang seperti dulu.”
“Sekarang aku
masih ada keperluan, mungkin nanti aku akan menyusul,” Manik Angkeran berusaha
menolak.
Penolakannya
itu sia-sia belaka. Teman-teman lamanya itu terus memaksa dan menggoda. Semakin
keras Manik Angkeran menolak, semakin keras pula mereka godaan mereka. Akhirnya
ia menuruti ajakan teman-temannya menuju arena sabungan ayam. Sekedar
bernostalgia dengan teman lama kan tidak apa-apa, pikirnya. Diawal ia agak
canggung karena sudah lama tidak datang ke tempat itu. Hanya saja,
lama-kelamaan Manik Angkeran justru menikmati. Usaha berbulan-bulan untuk
menjauhi godaan judi pun sekejap sirna. Judi kembali membuatnya lupa diri. Uang
untuk belanja kebutuhan bulanan pun ludes dalam sekejap.
“Sial!”
hardik Manik Angkeran.
Saat sadar
uang uangnya tidak tersisa sepeser pun, Manik Angkeran panik. Barulah ia ingat
suruhan ibunya untuk berbelanja. Kini tidak ada lagi yang bisa dipakai untuk
membeli barang-barang. Melihat kepanikan Manik Angkeran, seorang pemuda berjalan
mendekatinya.
“Ada apa
sobat?”
Manik
Angkeran menghela nafas panjang. “Yah beginilah, kalah lagi.”
“Jangan
menyerah begitu. Bermainlah lagi, keberuntunganmu pasti bisa berubah kalau kamu
terus bermain.”
“Main pakai
apa lagi? Sudah tidak ada yang tersisa.”
“Kalau kamu
mau aku bisa meminjamimu uang.”
Mendengar penawaran
itu, wajah Manik Angkeran langsung terlihat tegang. Memori datangnya para
penagih kembali berbayang. Sebuah memori yang jelas tidak ingin ia ulangi untuk
terjadi.
“Oh tidak,
tidak. Lebih baik sekarang aku pulang saja.” Manik Angkerang
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika
Manik Angkeran hendak menghindar, pemuda itu memegang tangannya. Beberapa kalimat
hasutan mulai diluncurkan. Pemuda itu ternyata pandai bersilat lidah. Manik
Angkeran dibuatnya bimbang. Antara menerima uang pemberian pemuda itu, atau
pulang tanpa membawa apa-apa. Pikiran Manik Angkeran terus berkecambuk. Pikirannya
mulai ikut menghasut dirinya. Tidak ada salahnya kalau menang uang itu kan akan
jadi berlipat, pikirnya.
Hasutan
pemuda itu pun berhasil. Manik Angkeran menerima uang yang disodorkan. Ia kembali
berjudi dengan penuh keyakinan akan menang. Namun, apa daya nasib sial tidak
dapat ditolak. Saat kemenangan yang diharap, justru kekalahan yang didapat. Uang
pinjaman itu tidak lama ada dalam genggaman Manik Angkeran. Hutang pun kembali
dibuatnya, bahkan kini lebih besar dari sebelumnya. Manik Angkeran sebenarnya
takut untuk pulang, namun dia tidak memiliki tempat untuk tinggal. Siang pun
kemudian berganti malam. Akhirnya rasa lapar dan kantuk membuatnya melangkah ke
rumah.
“Ya ampun
kemana saja kamu Manik, ibu khawatir sekali.”
Sang ibu berlari
menyambut anaknya. Langsung dipeluknya Manik Angkeran. Ekspresi wajahnya
terlihat panik. Tak lama Empu Sidi Sastra juga ikut keluar dari dalam rumah.
“Ma-maafkan
aku ibu.”
“Ada apa
Manik?”
“A-aku ber-berjudi lagi…”
Dengan
tergagap, Manik Angkeran bercerita. Kedua orang tuanya menghela nafas panjang.
Lagi-lagi mereka tidak bisa melakukan apa-apa, selain pasrah. Mereka hanya bisa
menyuruh Manik Angkeran untuk makan, kemudian beristirahat.
Keesokan
siangnya, seperti telah diduga datanglah para penagih hutang. Empu Sidi Sastra
tidak terkejut, bahkan ia sudah menyiapkan sejumlah besar uang. Ia tidak bisa
memarahi anak semata wayangnya itu. Rasa sayanglah penyebabnya. Jauh didalam
benaknya, Empu Sidi Sastra masih memiliki harapan kalau putranya akan berubah.
Hanya saja, harapan tersebut tinggallah harapan.
Seperti
sebelumnya, penyesalan Manik Angkeran hanya bertahan tiga minggu. Kebiasaan
buruknya terulang kembali. Hutang-hutang judi terus saja dibuatnya. Sepertinya
ia yakin kalau sang ayah pasti akan mampu membayarnya. Memang benar adanya, Empu
Sidi Sastra selalu membayar hutang-hutang tersebut. Hanya saja akibatnya harta
yang mereka miliki jadi semakin menipis. Terus menipis dan menipis setiap
harinya. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang tersisa.
Saat
keuangan keluarga kian carut marut, Manik Angkeran bukannya sadar. Kebiasaan
judinya justru makin menggila. Empu Sidi Sastra dibuat kebingungan mencari cara
untuk melunasi hutang-hutang anaknya. Harta yang dulu dimilikinya kini sudah
tidak ada lagi. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, kini sang
Empu harus bekerja ekstra. Tahu kalau orang tuanya tidak lagi bisa diharapkan,
Manik Angkeran jadi jarang pulang.
“Tadi siang
para penagih hutang datang lagi suamiku.”
Empu Sidi
Sastra menghela nafas. Dihempaskannya tubuhnya ke kursi. Wajahnya terlihat
begitu lelah. Tubuh kini terlihat lebih renta dari usianya.
“Iya
istriku, aku akan mencari cara untuk membayar hutang-hutang itu. Apa Manik
pulang hari ini?”
Sang istri
menggelengkan kepalanya. “Sudah seminggu anak kita tidak pulang.”
Kembali
Empu Sidi Sastra menghela nafas. “Ya sudah, sekarang biar aku mandi dulu dan
istirahat. Kita pikirkan lagi masalah ini besok.”
Rasa lelah membuat
Empu Sidi Sastra jadi cepat terlelap. Ditengah tidurnya, sang Empu mengalami
mimpi. Dalam mimpi tersebut Bhatara Siwa hadir dan bersabda.
“Wahai
Empu, aku melihat saat ini engkau sedang dirundung masalah karena kelakuan buruk
putramu.”
“Terima
kasih atas perhatiannya Dewa Siwa, memang saat ini keluarga kami sedang dilanda
masalah yang cukup sulit.”
“Untuk
memecahan masalahmu, pergilah ke kawah Gunung Agung. Disana engkau akan menemukan
sebuah gua besar. Disana pula engkau akan bertemu dengan seekor naga bernama
Naga Basuki. Utarakanlah masalahmu padanya dan ia akan membantumu,” demikian
sabda Bhatara Siwa.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, Empu Sidi Sastra menceritakan mimpinya itu kepada
sang istri. Istri sang Empu memberi saran untuk mencoba menuruti sabda
tersebut. Maka berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung. Perjalanan
yang musti ditempuh sang Empu cukup jauh, terjal dan berliku. Sesampainya
disana, benar saja ia melihat sebuah gua besar.
Di depan
gua sang empu duduk bersila sambil membunyikan genta[2] saktinya.
Dari mulutnya terucap mantra-mantra sembari menyebut nama Naga Basuki. Tidak
begitu lama terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua. Sosok naga besar pun
keluar dari dalamnya.
“Hai Kisanak,
siapakah berkenan dirimu ini dan ada apa engkau memanggilku?” tanya Naga
Basukih dengan suara menggelegar.
Sang Empu
memberi hormat dengan sopan. “Hamba Empu Sidi Mantra dari sebuah desa dalam
wilayah Kerajaan Daha. Adapun maksud kedatangan hamba kemari adalah untuk
meminta bantuanmu, wahai Naga.”
“Oh, memangnya
bantuan apa yang dapat kuberikan untukmu, wahai Empu? Katakanlah,” ucap Naga
Basuki kembali.
Empu Sidi
Mantra pun mulai menguraikan permasalahan yang dihadapinya. Ia bercerita secara
lengkap sebagaimana sabda Bhatara Siwa dalam mimpinya. Naga Basuki memperhatikan
dengan seksama. Sesekali kepalanya terlihat mengangguk-angguk. Rasa iba sang
Naga menjadi terusik.
“Malang
benar nasibmu wahai Empu. Baiklah, aku akan membantumu.”
Usai
berucap, Naga Basuki menggoyangkan sekujur tubuhnya. Seketika itu pula, secara
ajaib emas dan berlian berjatuhan dari balik sisiknya. Jumlahnya begitu banyak,
sehingga dalam sekejap sudah memenuhi tanah tempat mereka berdiri.
“Bawalah
emas dan berlian ini Empu, aku rasa jumlahnya akan cukup untuk membayar
hutang-hutang putramu. Hanya saja ingatlah wahai Empu, menasehati putramu agar
dia segera merubah perilakunya. Kalau tidak maka petaka akan mengancamnya,
camkan itu baik-baik!”
“Baiklah
wahai Naga Basuki, akan hamba sampaikan kepada putra hamba. Terima kasih atas
bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.
Diambilnya seluruh
emas dan berlian pemberian sang Naga. Setelah berpamitan, Empu Sidi Sastra pulang
ke rumah. Sang istri menyambut dengan suka cita suaminya. Harta itu pun
digunakan Empu Sidi Sastra untuk tujuan semula, yaitu melunasi hutang-hutang putranya.
Sisanya yang masih cukup banyak ia simpan untuk masa depan keluarga. Ia sadar
usianya kini sudah semakin senja.
Mendengar
hutang-hutangnya sudah dilunasi, barulah Manik Angkeran pulang kerumahnya. Empu
Sidi Sastra beserta istri Bukannya menyesal, malah tanpa malu ia bertanya
dimana sang ayah bisa mendapatkan uang. Agaknya ia penasaran untuk mencari
tahu.
“Tidak
perlu kamu tahu dimana ayah mendapat uang, yang penting kini kamu janganlah berjudi
lagi. Tidak ada manfaatnya berjudi, hanya akan mendatangkan kesengsaraan dalam
hidupmu.”
Empu Sidi
Sastra untuk kesekian kalinya berusaha menyadarkan putranya itu. Masih tetap
saja ia percaya kalau Manik Angkeran akan bisa merubah sikapnya, walaupun hal
itu tidak juga kunjung terjadi. Manik Angkeran tetap saja dengan kebiasaannya.
Malah semakin menjadi-jadi setiap harinya.
Itulah juga
kenapa Manik Angkeran bersikeras mencari tahu asal uang yang diperoleh ayahnya.
Ia berpikir seandainya dia bisa mendapatkan uang tersebut, maka ia akan bebas
menghabiskannya di arena judi. Hanya saja, sang ayah tetap tidak mau
memberitahu.
Manik
Angkeran tidak kehabisan akal. Seorang penjudi dalam mendapat uang pasti selalu
saja memiliki jalan. Untuk mendapatkan informasi, maka didekatilah ibunya. Ia
tahu ibunya akan lebih mudah untuk dibujuk.
“Harta itu
pemberian seekor naga di kawah Gunung Agung,” sang ibu akhirnya membuka rahasia
suaminya setelah terus dibujuk.
“Benarkah
itu ibu? Lalu bagaimana aku bisa memanggil naga itu?”
“Kalau
tidak salah, ayahmu memakai genta sakti miliknya.”
Berbekal
informasi tersebut, Manik Angkeran berniat mencuri genta sakti milik sang ayah.
Ia pun melaksanakan niatnya itu ketika Empu Sidi Sastra tertidur. Sembunyi-sembunyi
ia memasuki kamar suci ayahnya, dan usaha itu pun berhasil. Kenekatan itu
ditempuhnya, karena sang ayah sudah tidak mau lagi memberinya uang. Berbekal
genta sakti, malam itu juga ia berangkat menuju Gunung Agung.
Menjelang
pagi sampailah Manik Angkeran di kawah Gungung Agung, dengan nafas tersengal. Didepan
mulut gua ia terlihat kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Barulah ia sadar kalau selama ini tidak ada satupun mantra yang dikuasainya. Padahal
sang ayah sudah berusaha mengajari beberapa kali, hanya ia saja yang tidak
memperhatikan.
Ditengah
kebingungan, Manik Angkeran mengambil jalan pintas. Akhirnya, ia mengeluarkan
saja genta sakti milik ayahnya. Dibunyikan genta itu ala kadarnya, tanpa mantra
pemanggil sang naga yang seharusnya diucapkan. Dibunyikannya sekali, tidak terjadi
apa-apa. Melihat hal itu, ia coba membunyikannya sekali lagi. Demikian
seterusnya sampai terdengar suara gemuruh dari dalam gua. Naga Basuki pun keluar
dari sarangnya.
“Hai anak muda!
Engkau ini siapa? Berani-beraninya engkau mengganggu tidurku dengan suara
gentamu itu!” tanya Naga Basukih. Suaranya menggelegar marah.
“Ma-maafkan
aku wahai Naga. A-aku Manik Angkeran, putra dari Empu Sidi Mantra,” jawabnya dengan
gugup.
“Oh ternyata
engkau yang bernama Manik Angkeran. Aku sudah pernah mendengar namamu. Kemana
ayahmu? Kenapa genta saktinya ada ditanganmu?”
Manik
Angkeran terlihat semakin gugup. Tidak mungkin ia jujur kalau genta yang
dipegangnya ia curi dari sang ayah. Ia pun memilih untuk berbohong.
“Ayahku
sedang sakit. Ia tidak bisa datang jadi aku mewakilinya.”
“Oh begitu.
Lalu apakah maksud kedatanganmu kali ini?”
Manik
Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Lagi-lagi ia menceritakan
cerita bohong. Ia mengarang cerita kalau harta yang diberikan Naga Basuki telah
dicuri perampok. Dengan demikian harta itu habis, sebelum dipakai untuk
melunasi hutang-hutangnya. Naga Basuki mendengarkan dengan seksama apa yang
disampaikan Manik Angkeran.
“Apakah
benar ceritamu itu anak muda?”
Kembali
suara Naga Basuki terdengar menggelegar.
“I-iya,
benar.” Suara Manik Angkeran tergagap lagi.
“Baiklah,
aku percaya dengan ceritamu itu. Akan kuberikan lagi engkau harta seperti
sebelumnya. Kali ini jagalah baik-baik dan gunakan dengan bijak!”
Selesai
mengucapkan kalimat tersebut, Naga Basuki mengguncangkan tubuhnya. Maka
berjatuhanlah emas dan berlian dari sela-sela sisiknya. Manik Angkeran
terkagum-kagum melihat keajaiban itu. Bergegas ia mengumpulkan emas dan berlian
yang berserakan di tanah. Wajahnya terlihat sumringah.
Tidak cukup
dengan semua harta itu, Manik Angkeran melihat adanya intan sebesar batu kali
diujung ekor sang naga. Langsung saja rasa tamak menggoda dirinya. Kalau bisa
mendapatkan intan sebesar itu, maka tidak terbayang berapa uang yang akan
didapatkannya. Manik Angkeran pun gelap mata. Menyadari kalau Naga Basuki
sedang lengah, dihunusnya sebilah pedang. Dengar secepat kilat diayunkannya
pedang tersebut. Sekali hentak, ekor sang naga pun putus. Tak ayal, Naga Basuki
menjerit kesakitan. Tubuhnya meronta-ronta menahan sakit.
Kala rasa
sakitnya mulai melandanya mereda, sang naga baru menyadari kalau Manik Angkeran
sudah pergi. Ia pergi membawa semua emas dan berlian, serta intan pada ekornya.
Dengan penuh amarah, Naga Basuki berusaha mengejar putra Empu Sidi Mantra itu.
Hanya saja, usahanya sia-sia belaka. Sosok Manik Angkeran sudah hilang entah ke
mana.
Ditengah
pencariannya, Naga Basuki menemukan beberapa jejak kaki yang arahnya menuruni
lereng gunung. Yakinlah ia kalau itu adalah milik Manik Angkeran. Maka dengan
kesaktian yang dimilikinya, Naga Basuki menjilati jejak kaki tersebut. Ajaib
sekali. Jilatan Naga Basuki memunculkan percikan api dan mulai membakar
jejak-jejak kaki itu.
Dikejauhan
sana, Manik Angkeran sudah hampir mencapai kaki Gunung Agung. Mendadak ia merasakan
rasa panas pada kedua telapak kaki nya. Panas itu terus menjalar naik menuju
betis, paha dan tubuh lainnya. Ia berteriak-teriak menahan sakit. Berguling-guling
ia diatas tanah, berusaha memadamkan api. Usahanya sia-sia. Tak lama
setelahnya, seluruh tubuh Manik Angkeran pun terbakar. Api terus membesar
hingga akhirnya putra Empu Sidi Sastra itu menjadi abu.
Sementara
itu, di Kerajaan Daha. Empu Sidi Mantra dan istrinya nampak gelisah. Putra
mereka menghilang lagi, padahal baru semalam ia masih ada dikamarnya. Mereka mencoba
mencarinya kemana-mana. Setiap orang yang mereka tanya mengaku tidak melihat
sosok Manik Angkeran.
Ditengah
kebingungan, sang ibu ingat kalau putranya sempat bertanya tentang harta
pemberian Naga Basuki. Ia pun memberitahukan hal itu kepada suaminya. Empu Sidi
Sastra bergegas masuk kedalam kamar suci. Benar saja, disana ia menemukan kalau
genta sakti miliknya telah hilang.
“Istriku,
sepertinya aku tahu kemana putra kita pergi.”
“Kalau
begitu pergilah suamiku, segera susul anak kita.”
Empu Sidi
Sastra pamit kepada istrinya. Berjalanlah ia menuju Gunung Agung, secepat ia
mampu. Kala mendaki lereng gunung pun sang empu berusaha secepat-cepatnya. Setibanya
di depan gua, di kawah gunung, ia melihat Naga Basukih terbaring lemah didepan
gua.
“Wahai Naga
Basuki, apa yang terjadi padamu?”
Sang naga
mengangkat kepalanya dan menggeram marah. “Ini adalah ulah anakmu yang durhaka
itu! Dia datang meminta harta, dan memotong ekorku!”
“Maaf
beribu maaf hamba ucapkan wahai Naga Basuki, perbuatan putra hamba sangatlah
tercela. Biar hamba memarahi dan menghukumnya. Berkenanlah Naga memberi tahu
dimana sekarang putra hamba berada?”
“Engkau tidak
perlu mencarinya lagi Empu! Aku sudah membakarnya dengan lidah apiku! Anak
durhaka seperti dia sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya!”
Mendengar
kata-kata Naga Basuki, Empu Sidi Sastra terkejut bukan kepalang. Tak lama ia meneteskan
air mata. Kesedihan melandanya, karena harus menerima kenyataan kalau putra
semata wayangnya telah meninggal dunia.
“Maaf sekali
lagi hamba ucapkan wahai Naga Basuki, hamba akui putraku itu memiliki watak
yang kurang baik. Hanya saja, dia adalah putra semata wayang hamba. Tidakkah anda
bisa sedikit berbelas kasihan untuk menghidupkannya kembali?” ucap Empu Sidi
mengiba.
“Untuk apa
engkau musti menangisi anak macam itu Empu? Aku bisa saja menghidupkan dia
lagi, tapi apa gunanya? Dia hanya akan merepotkanmu lagi, dan juga orang-orang
lain disekitarnya.”
“Wahai Naga
Basuki, apa yang anda katakan itu memang benar adanya. Namun, hamba dan istri
hamba sudah lama sekali mendamba kedatangan seorang putra. Apa yang selama ini
dilakukan oleh putra hamba sebenarnya juga merupakan kesalahan hamba yang
terlalu memanjakannya. Hamba masih yakin kalau Manik Angkeran diberikan waktu,
maka dia akan bisa berubah.”
“Baiklah
Empu, mengingat bakti yang selama ini engkau berikan pada masyarakat maka
permohonanmu akan aku kabulkan, dengan syarat engkau kembalikan ekorku seperti
semula. Satu syarat lagi, Manik Angkeran harus tinggal bersamaku sampai dia bisa
merubah sifat buruknya. Selama aku mendidiknya engkau tidak boleh menemuinya.
Saat waktunya tiba, dia akan kupertemukan lagi denganmu.”
Empu Sidi
Mantra bersedia memenuhi syarat yang diajukan Naga Basuki. Maka mulailah Naga
Basuki merapal mantra sakti. Dikejauhan sana, abu dari tubuh Manik Angkeran berkumpul
menjadi satu. Perlahan abu tersebut membentuk sesosok tubuh. Sosok Manik
Angkeran pun kembali utuh, hidup dan bernafas.
“Jemputlah
putramu di lereng gunung Empu, dan bawalah ia kemari. Disana juga engkau akan
menemukan ujung ekorku.”
Turunlah
Empu Sidi Sastra menuju lereng Gunung Agung. Akhirnya, sang Empu menemukan
putranya sedang terisak ditengah hutan. Ditenangkannya putranya tersebut. Manik
Angkeran menanyakan apa yang terjadi, dan Empu Sidi Sastra menceritakan
semuanya. Langsung saja Manik Angkeran memeluk ayahnya sambil menangis.
Berkali-kali ia meminta maaf kepada ayahnya.
Setelah
Manik Angkeran tenang, Empu Sidi Sastra mengajaknya naik kembali ke kawah
gunung untuk menemui Naga Basuki. Manik Angkeran bersujud didepan Naga Basuki
dan meminta maaf. Amarah Naga Basuki pun mereda. Sesuai kesepakatan, Empu Sidi
Sastra mengembalikan intan di ekor sang naga. Setelah merapal mantra, ekor Naga
Basuki pun kembali seperti semula.
“Sepertinya
ini adalah waktunya kita untuk berpisah putraku.”
Manik
Angkeran memeluk ayahnya. Sepertinya kali ini, ia sudah membulatkan tekad untuk
merubah sikap. Ia berjanji pada sang ayah, kalau ia akan tekun berguru pada Naga
Basuki. Berjanji juga untuk merubah sikapnya. Mereka pun kemudian berpisah.
Empu Sidi Sastra kembali ke Kerajaan Daha seorang diri.
Ditengah
perjalanan, sekitar wilayah perbatasan Jawa Timur, Empu Sidi Sastra teringat
kejadian yang melibatkan putranya. Acapkali Manik Angkeran tergoda ajakan
teman-temannya, sehingga kebiasaan berjudinya akan kambuh. Tidak ingin hal itu
terjadi lagi, maka diambilnya sebilah tongkat dan ditusukkannya ke tanah.
Secara ajaib, dari bekas tusukan tersebut keluar semburan air. Semakin lama semburan
air yang keluar semakin deras. Semakin deras, dan semakin deras.
Tidak lama
kemudian timbullah pula beberapa kali gempa. Gempa-gempa itu menyebabkan
retakan pada tanah yang terus memanjang. Retakan tanah itu juga semakin lebar
dan terus dibanjiri air. Diakhir, air laut ikut memasuki retakan tanah tersebut
dan terciptalah sebuah selat.
Sejak saat
itulah Pulau Jawa dan Pulau Bali terpisah. Selat pemisah yang tercipta secara
ajaib itulah yang kemudian dikenal dengan nama, Selat Bali.
Diikutkan dalam Lomba Penulisan Cerita Rakyat Tahun 2015
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
@dewadarmayana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar