Kamis, 04 Juni 2015

Lelaki Pencari Ikan


Tubuhnya terguncang mengikuti guncangan perahu. Tangannya sibuk menarik ulur jaring. Kulitnya hitam legam terpapar matahari. Dia lelaki pencari ikan. Sosoknya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang itu adalah ayahku.

Lelaki pencari ikan menarik jalanya dari air. Ayah juga ahli melakukannya. Dia adalah pelaut yang handal. Tak ada ombak, tak ada badai yang bisa menghadangnya. Apapun cuacanya dia akan melaut. Apapun kata orang dia akan melaut. Aku ingat dulu saat ibu masih ada, dia sering mengingatkan ayah. Mengingatkan sifat keras kepalanya. Demikian pula hari itu. Aku di kamar sekilas mendengarnya.
“Yakin Bli mau melaut?“
“Iya.”
“Apa Bli tidak mendengar arah-arahan dari banjar? Bli Made Yoga bilang…”
“Ah Made Yoga tahu apa, dia kan sudah lama tidak melaut.”
“Tapi Bli bisa melihat sendiri kan diluar. Angin sedang kencang-kencangnya, ombak sedang besar-besarnya.”
“Tidak apa-apa. Bli pernah menghadapi yang lebih parah.”
Aku dengar sayup-sayup ibu menangis. Suaranya tidak lagi terdengar jelas. Sepertinya dia masih berusaha menahan kepergian ayah. Hanya saja sepertinya ayah bersikeras.
“Tapi Bli…”
“Dek, sebentar lagi Putu akan lulus sekolah. Kita butuh uang untuk menguliahkan dia.”
Kalimat itu membuatku menitikan air mata. Aku terharu. Ayah memang hanya nelayan, tapi cita-citanya besar. Dia ingin anak semata wayangnya berpendidikan tinggi. Baginya pendidikan itu penting untuk masa depan. Sebenarnya aku tidak menginginkan itu. Aku ingin membantu ayah melaut. Aku tidak ingin dia sendirian diluar sana. Adanya uang untuk makan esok adalah yang terpenting. Kuliah bagiku terlalu tinggi untuk diraih. Sebatas mimpi belaka. Tidak demikian dengan ayah.
“Hati-hati.” Itu kalimat terakhir ibu.
Malam itu ayah tetap melaut. Aku tidak tidur malam itu. Demikian juga ibu. Kami menunggunya bersama. Keesokan harinya kusambut dirinya dengan haru. Kuberlari memeluknya.
“Jam segini Putu masih dirumah? Nggak sekolah?”
“Nungguin Bapa datang dulu.”
“Sudah berangkat sana, nanti Putu terlambat.”
Itulah ayah. Dia tidak mengkhawatirkan kelelahan dirinya. Dia justru mengkhawatirkan aku.

****

Lelaki pencari ikan kulitnya menghitam. Ayah memiliki kulit yang sama. Hitam legam terbakar matahari. Melaut yang hampir setiap harilah penyebabnya. Semakin dekat kelulusanku, semakin sering dia melaut. Setiap hari dia melaut. Bahkan terkadang dia melaut lebih dari semalam. Dia tidak mengijinkanku membantu. Dia memintaku fokus dengan ujianku. Sampai akhirnya hari itu pun tiba. Hari kelulusanku.
“Kuliahlah di luar Bali.” Permintaannya padaku.
“Lebih baik Putu kuliah di Bali saja, jadi tidak perlu jauh dari Bapa.”
“Tidak, pergilah meninggalkan Bali. Kejarlah pendidikan dan karier setinggi-tingginya. Bukalah wawasan seluas-luasnya, lalu pulanglah.”
Bapa, tidak apa-apa Putu tinggal sendiri?”
Aku memikirkan kondisi ayah yang tak sekuat dulu. Ibu sudah berpulang kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa, karena kanker. Sebuah penyakit yang tidak bisa dijangkau perekonomian kami. Meninggalkan ayah sendiri tentu tidaklah bijak. Terutama saat ini.
“Pergilah.”
“Tapi Bapa…”
“Pergilah.”
Aku tak kuasa lagi. Itulah sifat ayah. Bahkan ibu tak bisa melawan, kalau itu sudah menyangkut prinsipnya. Aku mendaftar ke sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jawa. Aku dinyatakan lulus. Itu berarti aku harus pergi. Berat, tapi aku harus pergi. Amanat ayah yang harus dipenuhi.
“Ini bekalmu untuk dijalan Putu,” ucapnya melepas kepergianku.
Tidak kulihat nominal yang diberi ayah. Nominal itu tidak besar memang. Kulihat itu sebagai kerja kerasnya berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun. Aku tahu itu, aku rasakan itu. Itulah yang membuatnya sangat berarti. Lebih dari apapun.
“Sudahlah, Bapa tidak usah memberiku bekal. Simpan saja untuk Bapa.”
Kutolak secara halus. Aku memiliki tabunganku sendiri.
“Ini adalah kewajiban Bapa sebagai orang tua. Kamu bawa sajalah.” Dia memaksa.
Kutolak lagi. Dia memaksa lagi. Semakin kutolak, semakin dia memaksa. Lagi-lagi aku tak kuasa dibuatnya. Kuambil pemberiannya sebagai restu menuju perantauan. Tepat diusiaku yang ke delapan belas, kutinggalkan Pulau Dewata. Berat aku meninggalkannya. Kalau tidak keras kepala, maka dia bukan ayahku. Dia memaksaku pergi, bukan memaksaku tinggal.

****

Lelaki pencari ikan limbung diterjang ombak. Ayah sering mengalaminya. Sering kukatakan, ombak bukanlah hal yang asing dalam hidup kami. Aku pernah hampir menyerah saat ombak tak henti menerjang perahu. Hari sudah larut malam saat itu. Itu adalah hari pertama aku melaut bersama ayah. Ingin kurasakan bagaimana beratnya ayah mencari nafkah. Ternyata memang berat, benar-benar berat.
“Jangan kalah sama ombak.”
“Tapi susah sekali menarik jala dengan ombak seperti ini.”
“Ombak akan terus ada. Kita tidak bisa meminta laut untuk berhenti berombak, itu adalah kodrat laut. Kitalah yang harus bertahan.”
“Pernahkah Bapa menyerah pada ombak?”
Ayah memandangiku. Dia tertawa.
“Dengar Putu, jika laut dibaratkan hidup, maka ombak adalah masalah dan ikan adalah kita. Akan selalu ada ombak di laut, lalu apakah ikan akan berhenti berenang? Tidak Putu, demikian pula dengan kita manusia. Akan selalu masalah dalam hidup, lalu apakah kita akan berhenti untuk hidup? Jawabannya sama, tidak.”
Kalimat itu selalu terpatri dihatiku. Bekal hidup untukku ‘bertarung’ di negeri orang. Aku selalu memandang diriku sedang berada di laut. Laut yang kadang tenang, laut yang kadang berguncang. Hidup adalah lautku, masalah adalah ombakku. Aku bertekad akan sekuat ayah. Aku tidak akan menyerah pada ombak.

****

Lelaki pencari ikan mulai mengemasi barangnya. Sepertinya aku sudah terlalu lama terlena akan sosoknya. Hembusan angin laut semakin kencang. Tak henti dia meniup wajahku. Aku menghela nafas. Uban ayah pasti sudahlah bertambah sekarang.
Gelar sarjana sudah kupastikan. Pekerjaan sudah kudapatkan. Cita-cita ayah sudah kuwujudkan. Hanya saja itu butuh pengorbanan. Hampir lima tahun aku tidak lagi melihat sosok ayah. Ikatan dinas membuatku tidak bisa datang. Kami hanya berbicara lewat sambungan telepon. Suaranya terdengar semakin menua. Suara batuk kadang menyela pembicaraan kami. Sungguh aku merindukannya.
“Penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan tiba di pelabuhan Gilimanuk, Bali...”
Suara itu melegakanku. Kukemasiku ranselku.
Bapa, Putu pulang.”


Bintara Budaya Bali, 22 Mei 2015
Dibuat sebagai tugas individu dalam rangka
Workshop Cerpen Kompas 2015.
@dewadarmayana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar