Tubuhnya terguncang mengikuti guncangan perahu. Tangannya sibuk menarik ulur jaring. Kulitnya hitam legam terpapar matahari. Dia lelaki pencari ikan. Sosoknya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang itu adalah ayahku.
Lelaki
pencari ikan menarik jalanya dari air. Ayah juga ahli melakukannya. Dia adalah
pelaut yang handal. Tak ada ombak, tak ada badai yang bisa menghadangnya.
Apapun cuacanya dia akan melaut. Apapun kata orang dia akan melaut. Aku ingat dulu
saat ibu masih ada, dia sering mengingatkan ayah. Mengingatkan sifat keras
kepalanya. Demikian pula hari itu. Aku di kamar sekilas mendengarnya.
“Yakin Bli mau melaut?“
“Iya.”
“Apa Bli tidak mendengar arah-arahan dari
banjar? Bli Made Yoga bilang…”
“Ah Made
Yoga tahu apa, dia kan sudah lama tidak melaut.”
“Tapi Bli bisa melihat sendiri kan diluar.
Angin sedang kencang-kencangnya, ombak sedang besar-besarnya.”
“Tidak
apa-apa. Bli pernah menghadapi yang
lebih parah.”
Aku
dengar sayup-sayup ibu menangis. Suaranya tidak lagi terdengar jelas.
Sepertinya dia masih berusaha menahan kepergian ayah. Hanya saja sepertinya
ayah bersikeras.
“Tapi Bli…”
“Dek,
sebentar lagi Putu akan lulus sekolah. Kita butuh uang untuk menguliahkan dia.”
Kalimat itu
membuatku menitikan air mata. Aku terharu. Ayah memang hanya nelayan, tapi cita-citanya
besar. Dia ingin anak semata wayangnya berpendidikan tinggi. Baginya pendidikan
itu penting untuk masa depan. Sebenarnya aku tidak menginginkan itu. Aku ingin
membantu ayah melaut. Aku tidak ingin dia sendirian diluar sana. Adanya uang
untuk makan esok adalah yang terpenting. Kuliah bagiku terlalu tinggi untuk
diraih. Sebatas mimpi belaka. Tidak demikian dengan ayah.
“Hati-hati.”
Itu kalimat terakhir ibu.
Malam itu
ayah tetap melaut. Aku tidak tidur malam itu. Demikian juga ibu. Kami
menunggunya bersama. Keesokan harinya kusambut dirinya dengan haru. Kuberlari
memeluknya.
“Jam
segini Putu masih dirumah? Nggak sekolah?”
“Nungguin
Bapa datang dulu.”
“Sudah
berangkat sana, nanti Putu terlambat.”
Itulah
ayah. Dia tidak mengkhawatirkan kelelahan dirinya. Dia justru mengkhawatirkan
aku.
****
Lelaki
pencari ikan kulitnya menghitam. Ayah memiliki kulit yang sama. Hitam legam terbakar
matahari. Melaut yang hampir setiap harilah penyebabnya. Semakin dekat kelulusanku,
semakin sering dia melaut. Setiap hari dia melaut. Bahkan terkadang dia melaut
lebih dari semalam. Dia tidak mengijinkanku membantu. Dia memintaku fokus
dengan ujianku. Sampai akhirnya hari itu pun tiba. Hari kelulusanku.
“Kuliahlah
di luar Bali.” Permintaannya padaku.
“Lebih
baik Putu kuliah di Bali saja, jadi tidak perlu jauh dari Bapa.”
“Tidak,
pergilah meninggalkan Bali. Kejarlah pendidikan dan karier setinggi-tingginya. Bukalah
wawasan seluas-luasnya, lalu pulanglah.”
“Bapa, tidak apa-apa Putu tinggal
sendiri?”
Aku
memikirkan kondisi ayah yang tak sekuat dulu. Ibu sudah berpulang kehadapan Ida
Hyang Widhi Wasa, karena kanker. Sebuah penyakit yang tidak bisa dijangkau
perekonomian kami. Meninggalkan ayah sendiri tentu tidaklah bijak. Terutama
saat ini.
“Pergilah.”
“Tapi Bapa…”
“Pergilah.”
Aku tak
kuasa lagi. Itulah sifat ayah. Bahkan ibu tak bisa melawan, kalau itu sudah
menyangkut prinsipnya. Aku mendaftar ke sebuah perguruan tinggi terkemuka di
Jawa. Aku dinyatakan lulus. Itu berarti aku harus pergi. Berat, tapi aku harus
pergi. Amanat ayah yang harus dipenuhi.
“Ini
bekalmu untuk dijalan Putu,” ucapnya melepas kepergianku.
Tidak kulihat
nominal yang diberi ayah. Nominal itu tidak besar memang. Kulihat itu sebagai kerja
kerasnya berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun. Aku tahu itu, aku rasakan itu.
Itulah yang membuatnya sangat berarti. Lebih dari apapun.
“Sudahlah,
Bapa tidak usah memberiku bekal.
Simpan saja untuk Bapa.”
Kutolak
secara halus. Aku memiliki tabunganku sendiri.
“Ini
adalah kewajiban Bapa sebagai orang
tua. Kamu bawa sajalah.” Dia memaksa.
Kutolak
lagi. Dia memaksa lagi. Semakin kutolak, semakin dia memaksa. Lagi-lagi aku tak
kuasa dibuatnya. Kuambil pemberiannya sebagai restu menuju perantauan. Tepat
diusiaku yang ke delapan belas, kutinggalkan Pulau Dewata. Berat aku meninggalkannya.
Kalau tidak keras kepala, maka dia bukan ayahku. Dia memaksaku pergi, bukan
memaksaku tinggal.
****
Lelaki
pencari ikan limbung diterjang ombak. Ayah sering mengalaminya. Sering
kukatakan, ombak bukanlah hal yang asing dalam hidup kami. Aku pernah hampir
menyerah saat ombak tak henti menerjang perahu. Hari sudah larut malam saat
itu. Itu adalah hari pertama aku melaut bersama ayah. Ingin kurasakan bagaimana
beratnya ayah mencari nafkah. Ternyata memang berat, benar-benar berat.
“Jangan
kalah sama ombak.”
“Tapi susah
sekali menarik jala dengan ombak seperti ini.”
“Ombak
akan terus ada. Kita tidak bisa meminta laut untuk berhenti berombak, itu
adalah kodrat laut. Kitalah yang harus bertahan.”
“Pernahkah
Bapa menyerah pada ombak?”
Ayah
memandangiku. Dia tertawa.
“Dengar Putu,
jika laut dibaratkan hidup, maka ombak adalah masalah dan ikan adalah kita.
Akan selalu ada ombak di laut, lalu apakah ikan akan berhenti berenang? Tidak
Putu, demikian pula dengan kita manusia. Akan selalu masalah dalam hidup, lalu
apakah kita akan berhenti untuk hidup? Jawabannya sama, tidak.”
Kalimat
itu selalu terpatri dihatiku. Bekal hidup untukku ‘bertarung’ di negeri orang.
Aku selalu memandang diriku sedang berada di laut. Laut yang kadang tenang,
laut yang kadang berguncang. Hidup adalah lautku, masalah adalah ombakku. Aku
bertekad akan sekuat ayah. Aku tidak akan menyerah pada ombak.
****
Lelaki pencari
ikan mulai mengemasi barangnya. Sepertinya aku sudah terlalu lama terlena akan
sosoknya. Hembusan angin laut semakin kencang. Tak henti dia meniup wajahku. Aku
menghela nafas. Uban ayah pasti sudahlah bertambah sekarang.
Gelar
sarjana sudah kupastikan. Pekerjaan sudah kudapatkan. Cita-cita ayah sudah
kuwujudkan. Hanya saja itu butuh pengorbanan. Hampir lima tahun aku tidak lagi melihat
sosok ayah. Ikatan dinas membuatku tidak bisa datang. Kami hanya berbicara
lewat sambungan telepon. Suaranya terdengar semakin menua. Suara batuk kadang
menyela pembicaraan kami. Sungguh aku merindukannya.
“Penumpang
yang terhormat, sebentar lagi kita akan tiba di pelabuhan Gilimanuk, Bali...”
Suara itu
melegakanku. Kukemasiku ranselku.
“Bapa, Putu pulang.”
Bintara
Budaya Bali, 22 Mei 2015
Dibuat
sebagai tugas individu dalam rangka
Workshop
Cerpen Kompas 2015.
@dewadarmayana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar