Senin, 05 Oktober 2015

Dia Yang Pernah Ada Di Hati


Terkejut, teramat sangat terkejut. Mungkin itulah kata yang dapat menggambarkan perasaanku saat ini. Saat kulihat lagi dirinya, setelah sekian lama sosok itu hilang dari hidupku. Siang ini, tiba-tiba saja dia berdiri didepanku. Masih mempesona seperti dulu. Persis seperti yang kuingat kala terakhir bertemu.
Namanya Selvi. Aku memanggilnya dengan panggilan Evi. Dia salah satu kisah cinta dalam lembaran hidupku. Kala itu kami masih di semester awal sebagai mahasiswa. Bukan cinta pertama, bukan pula cinta terakhir. Dia hanya salah satu cinta, namun sulit untuk terlupa. Entah apa sebutan untuk cinta semacam itu. Aku sendiri tidak tahu.
“Aku ingin bercerai dengan suamiku.” Itulah kalimat yang pertama kali meluncur dari mulutnya.
“Ma-maksudmu?” Aku tergagap dibuatnya.
“Iya, aku ingin bercerai dengan suamiku.”
Dia mengulangi perkatakan yang sama. Sebenarnya bukan itu maksud pertanyaanku tadi. Sebagai seorang pengacara, kata perceraian bukanlah hal asing di telingaku. Aku hanya tidak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya. Masih segar dalam ingatanku bagaimana cerita-ceritanya dulu. Cerita tentang bagaimana luar biasanya sang “prince charming”, yang kini menjadi suaminya. Bagaimana ekspresi wajahnya yang berbinar kala menjelaskan, dan bagaimana sakitnya hatiku kala mendengarkan. Sungguh, aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Sangat jelas.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Tentu tidak mungkin ada petir kalau tidak ada hujan kan?” Pancingku guna mendapat penjelasan.
“Aku tidak mencintainya lagi.”
Kukerutkan keningku. “Oke. Terus?”
Mulailah dia menuturkan mahligai rumah tangganya. Bagaimana mimpi indah yang dibayangkan, berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap. Watak asli sang suami baru muncul setelah mereka menikah. Sisa cerita sepertinya tidak perlu lagi kujelaskan. Yang jelas semuanya tidak berjalan sebagaimana harapan. Dimana diantaranya cerita tersebut diselingi pula dengan kekerasan.
Sungguh miris perasaanku saat mendengarnya.  Sungguh bukan ini yang kubayangkan saat melihatnya berdiri didepan altar. Kala itu, aku melepaskannya karena ingin dia berbahagia. Andai saja kutahu semuanya akan seperti ini, aku bersumpah tak akan melepasnya pergi. Akan kupertahankan cintaku untuknya.
“Apakah kamu bisa membantuku?”
“Tentu saja. Hanya saja ini memerlukan proses yang tidak sebentar.”
“Terima kasih Di, terima kasih.”
Dia memegang tanganku. Sontak saja perasaanku langsung bercampur aduk, tak menentu. Permukaan tangan itu masih terasa halus. Persis seperti yang kuingat kala terakhir bertemu.
****
“Leo melamarku.”
“Benarkah itu?” Kucoba menyembunyikan kekecewaanku.
“Iya, kemarin malam.”
“Kamu mengajakku kemari hanya untuk mengatakan itu?”
Selvi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan kata-katanya. “Aku pikir kamu perlu tahu.”
Kini giliran aku yang terdiam. Kupandangi debur ombak yang datang silih berganti, seperti ingin menggapai kakiku. Sementara dikejauhan sana, matahari sebentar lagi akan mencapai peraduannnya. Suasana temaram disekitar kami, sama persis dengan gambaran suasana hatiku saat itu.
“Lalu apa jawabanmu,” ucapku kemudian.
“Aku belum memberikan jawaban. Menurutmu aku harus memberikan jawaban apa?”
Sungguh pertanyaan yang sulit kucari jawabannya. Bagaimana tega dia menyuruhkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Apapun jawaban yang kuberi pastilah akan melukai sebuah hati. Hatiku salah satunya.
“Menurutku, gunakanlah hatimu untuk menjawabnya.”
Selvi mengambil sebuah ranting. Digunakannya ranting itu untuk mencoret-coret diatas pasir. Coretan tidak jelas, lebih menjurus abstrak. Mungkin itulah gambaran suasana hatinya saat itu.
“Hatiku bingung harus memberikan jawaban apa.”
Dia menghela nafas panjang. Aku pun ikut menghela nafas, tidak kalah panjang.
“Kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”
Selvi mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajahku. Kutatap balik wajahnya. Sorot matanya sayu. Terlihat sekali kegundahan tergambar disana. Aku tahu posisi sulit yang dihadapinya saat ini. Seandainya saja tidak ada campur tangan keluarganya dalam masalah ini, mungkin segalanya akan lebih mudah bagi kami.
“Iya,” sahutnya singkat.
“Baiklah kalau begitu…” Kuhentikan kata-kataku sejenak. Kuyakinkan diriku kalau ini memang jawaban terbaik yang dapat kuberikan padanya. “… aku akan mempermudah segalanya untukmu. Pikirkanlah sekali lagi. Apapun keputusanmu nanti, apapun jawaban yang akan kamu berikan nanti, tidak akan merubah apa yang pernah terjadi diantara kita. Semoga itu bisa membuat hatimu tenang.”
Selvi memeluk tubuhku dan mulai menangis. Entah apa makna tangisan itu, aku sendiri tidak tahu. Kupeluk balik tubuhnya. Tubuhnya terasa begitu hangat dan harum.
Oh, sungguh aku ingin sekali menciumnya saat itu juga.
****
Kucoba menjalani profesiku dengan profesional. Kucoba melihat Selvi murni sebagai klien, tanpa mengaitkan dirinya dengan masa lalu. Hanya saja, hal itu sulit kulakukan. Intensitas pertemuan dan percakapan intim, kerap kali memancing kenangan indah dalam ingatan.
Sidang perdana berlangsung singkat. Agenda mediasi gagal dilakukan karena pihak tergugat tidak hadir. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Mengurus sidang kasus perceraian bagiku tidaklah serumit kasus lainnya. Kasus ini menjadi terasa rumit karena keberadaan sosok Selvi didalamnya.
“Terima kasih ya, sudah menemani aku,” ucap Selvi disertai senyuman. Senyuman yang selalu kukagumi sejak jaman kuliah dulu.
“Sama-sama,” sahutku singkat. Sedikit gugup sebenarnya. Sepertinya dia menangkap kegugupanku, karena dia kembali melempar senyum.
“Kamu keberatan kalau kita tidak langsung balik ke kantormu?”
Aku mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Kita makan siang dulu yuk, laper nih.”
Sebuah ajakan yang tentu tidak bisa kutolak. Demikian seterusnya, pertemuan kami menjadi semakin intens. Tahapan acara pengadilan yang harus kami lalui, memaksaku untuk terus-menerus bertemu sosoknya. Otakku berusaha untuk tetap berlogika, hanya hatiku kerap kali mendesakku kearah yang berbeda.
Dari proses mediasi sampai sidang dimulai aku selalu mendampinginya. Kasus ini membuat hubungan yang sempat renggang menjadi rapat kembali. Memori lama yang sempat ingin kulupakan, kini kembali menggoda ingatan. Setiap kali kami bertemu ingatan itu semakin menguat. Menggoda dan terus menggoda.
Proses persidangan terus berjalan. Putusan pengadilan pun akhirnya dibacakan. Majelis hakim mengabulkan seluruh permohonan Selvi, sebagai penggugat. Perceraian Selvi kini sah menurut hukum. Putusan tetap diambil tanpa kehadiran sang suami. Bahkan, suami Selvi tidak sekali pun hadir selama persidangan berlangsung. Bagiku sih tidak masalah, karena itu justru akan mempersingkat dan mempermudah proses persidangan.
Selesai persidangan terakhir, seperti biasa dia mengajakku mampir ke sebuah tempat. Kali ini dia mengajakku ke sebuah tempat yang dipenuhi oleh memori kami berdua. Disanalah kami pernah berbagi keceriaan dan kesedihan. Bahkan sampai detik terakhir saat kami masih bersama.
“Kamu masih ingat tempat ini?”
“Tentu saja aku masih ingat. Bagaimana aku bisa lupa?” sahutku pelan.
“Andai saja hari itu aku mengambil keputusan yang berbeda, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda pula. Seandainya saja aku bisa memutar lagi waktu, sungguh aku ingin sekali kembali ke hari itu.”
“Kenapa berkata seperti itu, tidak ada seorang pun yang bisa memutar waktu. Hidup ini hanya soal pilihan, yang kamu lakukan saat itu hanyalah memilih.”
Selvi menghela nafas. “Iya, sebuah pilihan yang salah.”
Kami terdiam untuk beberapa saat. Suasana senja hari ini sama persis seperti hari itu. Langit mulai nampak kekuningan, berbaur dengan warna jingga kemerahan yang pekat. Sepoi angin kian lama kian terasa menguat berhembus dari arah lautan. Dikejauhan sana, matahari sebentar lagi akan mencapai peraduannnya.
“Kalau boleh aku tahu, masihkah ada ruang untukku dihatimu Di?” Selvi melanjutkan kata-katanya.
Pikiranku pun berkecambuk mendengarnya. Ya Tuhan Vi, kenapa engkau selalu saja memberikanku pertanyaan yang sulit kucari jawabannya. Kenapa setiap kali yang berhubungan dengan dirimu, segalanya selalu saja menjadi begitu rumit.
“Entahlah Vi.” Mungkin itu jawaban terbaik yang mampu kuberikan.
Kembali kami berdua terdiam. Kami memberikan diri masing-masing waktu untuk berpikir. Semuanya menjadi hening. Hanya terdengar deru angin disekitar kami.
“Dingin ya Di,” ucap Selvi memecah keheningan.
Kulepaskan jas yang kupakai, dan kugunakan menyelimuti tubuhnya. Dia menatap wajahku dan tersenyum. Aku balas melempar senyum. Pelan-pelan, tanpa kami sadari wajah kami sudah sedemikian dekat. Kami pun berciuman. Akhirnya bisa kurasakan kelembutan bibirnya di bibirku. Sungguh sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Ketika bibir kami berpisah, kembali kami saling menatap. Tanpa sepatah katapun terucap, seakan kami bisa saling mengerti apa yang akan terjadi berikutnya. Kami kembali berciuman. Kali ini lebih lama dari ciuman sebelumnya.
Oh, sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang.
***
Kuhempaskan tubuhku di sofa. Tubuhku terasa lelah sekali, demikian pula pikiranku. Dua jam lalu kami berpisah, sosok Selvi masih saja berbayang dipikiranku.
“Bagaimana hasil sidangnya? Tumben sampai malam?”
Suara seorang wanita membuyarkan bayanganku. Suaranya datang dari belakangku. Melihatnya, langsung kuberdiri dan memeluk wanita itu erat-erat. Sepertinya dia sedikit heran dengan tingkahku hari ini.
“Ada apa?”
Aku tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa.”
Kudaratkan ciuman dibibirnya, lalu kupeluk lagi dirinya. Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan menghadapi cobaan ini. Aku mencintai istriku.

Denpasar, 5 Oktober 2015
@dewadarmayana



NOTE : Sebenarnya waktu itu dibuat untuk mengikuti lomba menulis cerpen di Majalah Femina, sayang sudah lewat deadline. Tapi tetap dikirim sih, sekarang lagi menunggu kabar selanjutnya.

2 komentar: