Terkejut,
teramat sangat terkejut. Mungkin itulah kata yang dapat menggambarkan
perasaanku saat ini. Saat kulihat lagi dirinya, setelah sekian lama sosok itu
hilang dari hidupku. Siang ini, tiba-tiba saja dia berdiri didepanku. Masih
mempesona seperti dulu. Persis seperti yang kuingat kala terakhir bertemu.
Namanya Selvi.
Aku memanggilnya dengan panggilan Evi. Dia salah satu kisah cinta dalam
lembaran hidupku. Kala itu kami masih di semester awal sebagai mahasiswa. Bukan
cinta pertama, bukan pula cinta terakhir. Dia hanya salah satu cinta, namun
sulit untuk terlupa. Entah apa sebutan untuk cinta semacam itu. Aku sendiri
tidak tahu.
“Aku ingin
bercerai dengan suamiku.” Itulah kalimat yang pertama kali meluncur dari
mulutnya.
“Ma-maksudmu?”
Aku tergagap dibuatnya.
“Iya, aku ingin
bercerai dengan suamiku.”
Dia mengulangi
perkatakan yang sama. Sebenarnya bukan itu maksud pertanyaanku tadi. Sebagai
seorang pengacara, kata perceraian bukanlah hal asing di telingaku. Aku hanya
tidak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya. Masih segar
dalam ingatanku bagaimana cerita-ceritanya dulu. Cerita tentang bagaimana luar
biasanya sang “prince charming”, yang
kini menjadi suaminya. Bagaimana ekspresi wajahnya yang berbinar kala
menjelaskan, dan bagaimana sakitnya hatiku kala mendengarkan. Sungguh, aku
masih mengingatnya dengan sangat jelas. Sangat jelas.
“Sebenarnya apa
yang terjadi? Tentu tidak mungkin ada petir kalau tidak ada hujan kan?”
Pancingku guna mendapat penjelasan.
“Aku tidak
mencintainya lagi.”
Kukerutkan
keningku. “Oke. Terus?”
Mulailah dia
menuturkan mahligai rumah tangganya. Bagaimana mimpi indah yang dibayangkan,
berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap. Watak asli sang suami baru muncul setelah
mereka menikah. Sisa cerita sepertinya tidak perlu lagi kujelaskan. Yang jelas
semuanya tidak berjalan sebagaimana harapan. Dimana diantaranya cerita tersebut
diselingi pula dengan kekerasan.
Sungguh miris
perasaanku saat mendengarnya. Sungguh
bukan ini yang kubayangkan saat melihatnya berdiri didepan altar. Kala itu, aku
melepaskannya karena ingin dia berbahagia. Andai saja kutahu semuanya akan
seperti ini, aku bersumpah tak akan melepasnya pergi. Akan kupertahankan
cintaku untuknya.
“Apakah kamu bisa
membantuku?”
“Tentu saja.
Hanya saja ini memerlukan proses yang tidak sebentar.”
“Terima kasih
Di, terima kasih.”
Dia memegang
tanganku. Sontak saja perasaanku langsung bercampur aduk, tak menentu.
Permukaan tangan itu masih terasa halus. Persis seperti yang kuingat kala
terakhir bertemu.
****
“Leo melamarku.”
“Benarkah itu?”
Kucoba menyembunyikan kekecewaanku.
“Iya, kemarin
malam.”
“Kamu mengajakku
kemari hanya untuk mengatakan itu?”
Selvi terdiam
sejenak, sebelum melanjutkan kata-katanya. “Aku pikir kamu perlu tahu.”
Kini giliran aku
yang terdiam. Kupandangi debur ombak yang datang silih berganti, seperti ingin
menggapai kakiku. Sementara dikejauhan sana, matahari sebentar lagi akan
mencapai peraduannnya. Suasana temaram disekitar kami, sama persis dengan gambaran
suasana hatiku saat itu.
“Lalu apa
jawabanmu,” ucapku kemudian.
“Aku belum
memberikan jawaban. Menurutmu aku harus memberikan jawaban apa?”
Sungguh pertanyaan
yang sulit kucari jawabannya. Bagaimana tega dia menyuruhkan untuk mencari
jawaban atas pertanyaan itu. Apapun jawaban yang kuberi pastilah akan melukai
sebuah hati. Hatiku salah satunya.
“Menurutku,
gunakanlah hatimu untuk menjawabnya.”
Selvi mengambil
sebuah ranting. Digunakannya ranting itu untuk mencoret-coret diatas pasir.
Coretan tidak jelas, lebih menjurus abstrak. Mungkin itulah gambaran suasana
hatinya saat itu.
“Hatiku bingung harus
memberikan jawaban apa.”
Dia menghela
nafas panjang. Aku pun ikut menghela nafas, tidak kalah panjang.
“Kamu tahu kan
kalau aku mencintaimu?”
Selvi mengangkat
kepalanya. Dipandanginya wajahku. Kutatap balik wajahnya. Sorot matanya sayu.
Terlihat sekali kegundahan tergambar disana. Aku tahu posisi sulit yang
dihadapinya saat ini. Seandainya saja tidak ada campur tangan keluarganya dalam
masalah ini, mungkin segalanya akan lebih mudah bagi kami.
“Iya,” sahutnya
singkat.
“Baiklah kalau
begitu…” Kuhentikan kata-kataku sejenak. Kuyakinkan diriku kalau ini memang
jawaban terbaik yang dapat kuberikan padanya. “… aku akan mempermudah segalanya
untukmu. Pikirkanlah sekali lagi. Apapun keputusanmu nanti, apapun jawaban yang
akan kamu berikan nanti, tidak akan merubah apa yang pernah terjadi diantara
kita. Semoga itu bisa membuat hatimu tenang.”
Selvi memeluk tubuhku
dan mulai menangis. Entah apa makna tangisan itu, aku sendiri tidak tahu.
Kupeluk balik tubuhnya. Tubuhnya terasa begitu hangat dan harum.
Oh, sungguh aku ingin
sekali menciumnya saat itu juga.
****
Kucoba menjalani
profesiku dengan profesional. Kucoba melihat Selvi murni sebagai klien, tanpa
mengaitkan dirinya dengan masa lalu. Hanya saja, hal itu sulit kulakukan.
Intensitas pertemuan dan percakapan intim, kerap kali memancing kenangan indah dalam
ingatan.
Sidang perdana
berlangsung singkat. Agenda mediasi gagal dilakukan karena pihak tergugat tidak
hadir. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Mengurus sidang kasus perceraian
bagiku tidaklah serumit kasus lainnya. Kasus ini menjadi terasa rumit karena
keberadaan sosok Selvi didalamnya.
“Terima kasih
ya, sudah menemani aku,” ucap Selvi disertai senyuman. Senyuman yang selalu
kukagumi sejak jaman kuliah dulu.
“Sama-sama,”
sahutku singkat. Sedikit gugup sebenarnya. Sepertinya dia menangkap
kegugupanku, karena dia kembali melempar senyum.
“Kamu keberatan kalau
kita tidak langsung balik ke kantormu?”
Aku mengerutkan
kening. “Maksudmu?”
“Kita makan
siang dulu yuk, laper nih.”
Sebuah ajakan
yang tentu tidak bisa kutolak. Demikian seterusnya, pertemuan kami menjadi semakin
intens. Tahapan acara pengadilan yang harus kami lalui, memaksaku untuk terus-menerus
bertemu sosoknya. Otakku berusaha untuk tetap berlogika, hanya hatiku kerap
kali mendesakku kearah yang berbeda.
Dari proses
mediasi sampai sidang dimulai aku selalu mendampinginya. Kasus ini membuat
hubungan yang sempat renggang menjadi rapat kembali. Memori lama yang sempat
ingin kulupakan, kini kembali menggoda ingatan. Setiap kali kami bertemu
ingatan itu semakin menguat. Menggoda dan terus menggoda.
Proses
persidangan terus berjalan. Putusan pengadilan pun akhirnya dibacakan. Majelis
hakim mengabulkan seluruh permohonan Selvi, sebagai penggugat. Perceraian Selvi
kini sah menurut hukum. Putusan tetap diambil tanpa kehadiran sang suami. Bahkan,
suami Selvi tidak sekali pun hadir selama persidangan berlangsung. Bagiku sih
tidak masalah, karena itu justru akan mempersingkat dan mempermudah proses
persidangan.
Selesai persidangan
terakhir, seperti biasa dia mengajakku mampir ke sebuah tempat. Kali ini dia
mengajakku ke sebuah tempat yang dipenuhi oleh memori kami berdua. Disanalah kami
pernah berbagi keceriaan dan kesedihan. Bahkan sampai detik terakhir saat kami masih
bersama.
“Kamu masih ingat
tempat ini?”
“Tentu saja aku
masih ingat. Bagaimana aku bisa lupa?” sahutku pelan.
“Andai saja hari
itu aku mengambil keputusan yang berbeda, tentu jalan cerita hidupku akan
berbeda pula. Seandainya saja aku bisa memutar lagi waktu, sungguh aku ingin sekali
kembali ke hari itu.”
“Kenapa berkata
seperti itu, tidak ada seorang pun yang bisa memutar waktu. Hidup ini hanya
soal pilihan, yang kamu lakukan saat itu hanyalah memilih.”
Selvi menghela
nafas. “Iya, sebuah pilihan yang salah.”
Kami terdiam
untuk beberapa saat. Suasana senja hari ini sama persis seperti hari itu.
Langit mulai nampak kekuningan, berbaur dengan warna jingga kemerahan yang
pekat. Sepoi angin kian lama kian terasa menguat berhembus dari arah lautan. Dikejauhan
sana, matahari sebentar lagi akan mencapai peraduannnya.
“Kalau boleh aku
tahu, masihkah ada ruang untukku dihatimu Di?” Selvi melanjutkan kata-katanya.
Pikiranku pun berkecambuk
mendengarnya. Ya Tuhan Vi, kenapa engkau selalu saja memberikanku pertanyaan
yang sulit kucari jawabannya. Kenapa setiap kali yang berhubungan dengan
dirimu, segalanya selalu saja menjadi begitu rumit.
“Entahlah Vi.” Mungkin
itu jawaban terbaik yang mampu kuberikan.
Kembali kami berdua
terdiam. Kami memberikan diri masing-masing waktu untuk berpikir. Semuanya menjadi
hening. Hanya terdengar deru angin disekitar kami.
“Dingin ya Di,”
ucap Selvi memecah keheningan.
Kulepaskan jas
yang kupakai, dan kugunakan menyelimuti tubuhnya. Dia menatap wajahku dan
tersenyum. Aku balas melempar senyum. Pelan-pelan, tanpa kami sadari wajah kami
sudah sedemikian dekat. Kami pun berciuman. Akhirnya bisa kurasakan kelembutan
bibirnya di bibirku. Sungguh sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Ketika bibir
kami berpisah, kembali kami saling menatap. Tanpa sepatah katapun terucap, seakan
kami bisa saling mengerti apa yang akan terjadi berikutnya. Kami kembali
berciuman. Kali ini lebih lama dari ciuman sebelumnya.
Oh, sepertinya
hari ini akan menjadi hari yang panjang.
***
Kuhempaskan
tubuhku di sofa. Tubuhku terasa lelah sekali, demikian pula pikiranku. Dua jam
lalu kami berpisah, sosok Selvi masih saja berbayang dipikiranku.
“Bagaimana hasil
sidangnya? Tumben sampai malam?”
Suara seorang wanita
membuyarkan bayanganku. Suaranya datang dari belakangku. Melihatnya, langsung kuberdiri
dan memeluk wanita itu erat-erat. Sepertinya dia sedikit heran dengan tingkahku
hari ini.
“Ada apa?”
Aku tersenyum kecil
dan menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa.”
Kudaratkan
ciuman dibibirnya, lalu kupeluk lagi dirinya. Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan
menghadapi cobaan ini. Aku mencintai istriku.
Denpasar, 5 Oktober 2015
@dewadarmayana
NOTE : Sebenarnya waktu itu
dibuat untuk mengikuti lomba menulis cerpen di Majalah Femina, sayang sudah
lewat deadline. Tapi tetap dikirim sih, sekarang lagi menunggu kabar
selanjutnya.
Selvi?siapa ya?
BalasHapusEntahlah...
BalasHapus