“Welcome to Thailand.”
Ucapan
itu langsung menyambut di Bandara Don Meuang. Ini adalah kali pertama pasport-ku
mendapat stempel. Bisa dibilang salah satu momen spesial dalam hidupku. Tidak
pakai telor memang, tapi tetap terasa spesial.
Ditengah jet-lag yang kurasa, mataku tertuju lagi
pada sosoknya. Aku tidak tahu namanya saat itu. Tidak hanya dirinya, hampir
sebagian dari rombongan tidak kuketahui juga namanya. Anggap saja aku bisa ada dalam
rombongan ini karena ‘keajaiban’. Tidak perlu kujelaskan kenapa, karena itu
tidaklah penting. Dalam kisah ini yang penting adalah keberadaan sosoknya, iya
dirinya.
Sesuatu
yang berbeda kurasa saat pertama kali melihatnya. Saat itu kami masih di
Bandara Ngurah Rai. Masih sibuk dengan urusan tiket, airport tax dan lainnya. Dia berbeda karena terlihat menarik, kalau
tidak boleh dibilang cantik. Itu saja sih, kesan pertama kala itu. Sisanya ya
seret-seret koper gitu deh, sedikit delay,
kemudian take off.
“Sawaddi Kab/Kha”
Itulah kalimat
pertama yang diperkenalkan oleh guide
kami. Kalimat tersebut adalah salam yang diucapkan dalam bahasa Thailand. Akhiran
‘Kab’ digunakan apabila lawan bicara
kita laki-laki, dan ‘Kha’ apabila
wanita. Kata lain dan cukup populer di rombongan lain adalah ‘Hong Nam’, yang artinya toilet. Aneh
memang, tapi ya begitulah. Semua orang butuh ke toilet kan? Itulah mengapa
akhirnya kata itu menjadi penting. Lalu sisanya? Ya so-so lah. Masuk telinga kanan, keluar telinga kanan juga. Sumpah, bahasa
Thailand itu benar-benar sulit banget
dicerna telinga. Nggak percaya?
Percaya aja deh.
Balik
lagi ke sosok cantik. Akhirnya hari kedua di Thailand aku tahu juga namanya. Aku
akui ilmu intelijenku sedikit agak lelet. Sedikit? Oke, tapi biasanya malah lebih lelet dari itu kok. Sebagai pembelaan,
aku ke Thailand itu buat liburan bro,
bukan buat yang lain-lain. Bisa diterima kan? Nah selanjutnya, sebut saja
namanya Bunga. Hhmm, kok terkesan kayak koran lampu merah ya? Baiklah, kalau
begitu sebut saja namanya Sinta.
“Pertama
kali ke luar negeri?”
“Iya,”
sahutnya singkat.
Percakapan
pertama antara kami terjadi di Gems
Jewellery. Itu adalah tempat belanja perhiasan terkenal di Thailand. Paling
tidak begitu kata guide kami. Kita
semua sih percaya-percaya saja.
Dari sana
aku tahu kalau dia berangkat bersama ibunya. Ibunya ternyata mengenal ibuku. Adik
bungsuku pun ternyata mengenalnya. Cukup bagus apabila hubungan ini hendak
dilanjutkan, pikirku. Kami juga berbagi keluh kesah akan rute liburan yang kami
tempuh. Kami sama-sama menilai rute perjalanan ini terasa kurang ‘menantang’.
Maksudnya, kami butuh rute yang bisa lebih meng-eksplor Thailand itu sendiri. Kekayaan
alamnya lah, atau seni budayanya lah. Percakapan yang menarik, untuk sebuah
perkenalan. Semuanya berjalan baik, hingga malam menjelang.
“Beneran
nih masih jomblo?”
“Iya
bener,” sahutku.
Pertanyaan
ini muncul saat makam malam loh. Kenapa
pertanyaan musti ini terlontar saat makan? Pertanyaan ini membuatku jadi sulit untuk
mengunyah dan menelan.
“Bagaimana
dengan si Sinta?”
Aku
mengerutkan kening. Bisa kuraba sih arah pembicaraan ini. Aku cukup familier
dengan model pembicaraan seperti ini. Bisanya sih mengarah ke hal-hal yang ya
begitulah.
“Bagaimana
yang bagaimana?” tanyaku mencoba mengkonfirmasi.
“Dia kan
masih jomblo juga.”
DUEER!
Sukseslah aku jadi semakin sulit mengunyah dan menelan. Dasar ibu-ibu menang.
Gosip pun sepertinya mulai beredar. Mungkin gosip ini sampai juga ditelinga
Sinta. Bisa kutebak, karena dia jadi mulai menjaga jarak. Ya ciri khas
cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Sumpah, ini adalah salah satu momen
paling canggung dalam hidupku. Oke,
kuakui aku memang ingin mengenalnya lebih jauh. Hanya saja, semuanya jadi sulit
sejak saat itu.
Sisa satu
hari perjalanan, tidak ada yang terjadi antara kami. Kecanggungan diantara kami
terus berlanjut. Aku menatapnya, dia memalingkan wajah. Demikian pun
sebaliknya. Terus saja hal itu berulang seharian. Akhirnya kujalani saja hari
itu dengan mencoba menikmati Thailand. Mencoba untuk tidak ambil pusing. Balik
lagi, toh perjalanan ke Thailand ini
buat liburan kan?
Semuanya ‘baik-baik’
saja, sampai disaat kami harus kembali pulang ke Bali. Pesawat kami lagi-lagi mengalami
delay. Momen ini, lagi-lagi aku dijadikan
sasaran ibu-ibu dalam rombongan.
“Itu
Sinta duduk sendirian loh.”
“Iya,
keliatan kok dari sini.”
“Kesana
dong, ajakin ngobrol gitu.”
Aku hanya
menjawab dengan senyuman. Maaf lebih baik aku nyari aman, pikirku. Sampai di rumah dengan tenang jadi prioritasku,
ketimbang gangguin cewek yang mungkin
sudah punya pacar. Aku merasa sudah cukup dibuat salah tingkah dua hari
kebelakang. Ekspresi kekecewaan tergambar di wajah mereka melihat aku hanya
diam. Peduli amatlah, pikirku lagi.
Extra dua
puluh menit menunggu, akhirnya pesawat yang dinanti tiba. Kami pun dipanggil
memasuki pesawat. Entah kebetulan atau apalah namanya, tempat duduk disebelahku
kosong. Entah kebetulan atau apalah juga namanya, disebelahku duduk rekan
perjalanan yang sudah kuanggap kakak. Sebut saja namanya Kak Ayu. Dialah yang
paling getol menjodohkan aku dengan
Sinta. Sialnya lagi, entah kebetulan atau apalah namanya, didepanku duduklah
Sinta. Bisa kutebak, momen canggungku masih akan berlanjut.
“Sinta
duduk dibelakang dong. Jangan sama ibu-ibu gitu. Sama kita-kita yang masih ‘single-single’ ini dong.” Kakakku itu
mulai berulah. Ditambah mengaku ‘single’
lagi.
Sementara
ditempat duduk, aku mulai kikuk mendengarnya. Untung temperatur AC pesawat
sangat rendah, sehingga keringat dinginku tidak mengalir.
“Please jangan pindah, please jangan pindah,” pintaku dalam
hati.
Sumpah,
yang kupinta hanyalah ketenangan dan tidur sepanjang penerbangan. Rupanya permintaanku
tidak terkabul. Ternyata Sinta berpindah duduk kesebelahku. Kini aku duduk
ditengah, diapit oleh dua cewek. Tidak bisa kubayangkan empat jam perjalanan ini
harus kulalui seperti apa. Ini juga adalah salah satu momen paling canggung
dalam hidupku. Sampai pesawat take off
aku membisu, demikian pula Sinta. Sepanjang waktu itu hanya terdengar kicauan
Kak Ayu, disebelah kananku. Ketika Kak Ayu berbicara denganku, aku menanggapi.
Ketika Kak Ayu berbicara dengan Sinta, dia menanggapi. Demikian seterusnya.
Sampai akhirnya kakakku itu tertidur. Beneran tertidur atau pura-pura tidur,
entahlah. Kebisuan pun kembali melanda.
“Lampu
toiletnya kenapa nggak nyala ya?”
Itu
kata-kataku untuk memecah kebisuan. Serius? Kamu ngobrol sama cewek soal
toilet? Hei, hanya itu yang terpikir diotakku saat itu. Aku berdebat dengan
diriku sendiri dalam hati. Mungkin ini adalah imbas dari populernya kata ‘Hong Nam’. Mungkin.
“Soalnya itu
nggak dikunci dari dalam,” sahutnya.
Dia
merespon. Kaget juga sih, kalau obrolan ‘toilet’ itu bisa berhasil. Lucu juga.
“Masa
sih?”
Kami
berdebat soal itu. Sampai seorang penumpang berjalan menuju toilet yang kami
bahas. Bertaruhlah kami apakah lampu toilet akan menyala atau tidak. Lampu
toilet pun menyala, dan dia menang. Obrolan ‘sakit jiwa’ itu pun berlanjut
kemana-mana. Dari sana aku tahu beberapa hal tentang dia. Tidak banyak memang,
karena kurasakan dia sedikit menutupi beberapa hal. Ya ciri khas cewek-cewek
yang sudah punya pacar gitu deh. Aku juga tidak berniat mengejarnya dengan
pertanyaan yang lebih jauh lagi. Sisanya aku lewatkan dengan tidur, sepertinya
sih dia juga sama.
Oya, kurang
sedikit. Ditengah percakapanku dan Sinta, Kak Ayu terbangun. Dia bangun hanya
mengingatkan kami untuk saling bertukar nomor telpon. Bahkan, dia menyerahkan
selembar kertas kepadaku sebelum tidur lagi. Disinilah aku sadar kalau sedari
tadi dia pura-pura tertidur. Uh, dasar. Agaknya usaha kakakku menemui kegagalan.
Sinta seperti segan memberikan nomor telponnya. Ya ciri khas cewek-cewek yang
sudah punya pacar gitu deh. Dia hanya memberi nama WhatsApp-nya untuk nanti bisa aku search. Well, it’s fine.
Rencana empat
jam perjalanan, akhirnya bertambah setengah jam lagi dari jadwal. Pesawat kami
berputar-putar di udara. Menurut info pramugari sih karena landasan sedang
dibersihkan. Busyet, pinter banget
tuh petugas milih waktu buat ngepel landasan. Nggak diaspal ulang sekalian gitu biar lebih lama lagi? Walau
sedikit terlambat, akhirnya kami menginjak kembali tanah Bali dengan sukses.
Aku dan Sinta pun berpisah, sebagaimana layaknya teman. Paling tidak seperti itulah
yang ada dalam pikiranku. Entah pikirannya. Setelahnya kami pun sibuk dengan
urusan koper masing-masing.
“Jadi
ikut di mobil sama-sama?” Ibuku nyeletuk saat kami menuju pintu keluar bandara.
“Boleh,
kalo nggak ngerepotin,” Ibu Sinta menjawab.
Mendengar
itu aku dan Sinta saling bertatapan. Sejak kapan ibu-ibu kami jadi kompak
begini? Jadi kami masih harus sama-sama lagi? Itulah yang ada dalam pikiranku. Entah
pikirannya. Kemudian benar saja, kami memang dalam satu mobil. Tidak hanya satu
mobil, duduknya bersebelahan pula. Duduk bersebelahan lagi, tepatnya. Sumpah,
ini lagi-lagi jadi salah satu momen paling canggung dalam hidupku. Sepertinya
itu pun menjadi momen canggung baginya. Walau pun demikian, kami bisa mengatasinya
dengan baik. Dengan saling membisu.
“Dianterin
dong Sintanya ke rumah,” perintah ibuku.
What?!? Kenapa
diperjalanan tadi tidak langsung saja ke rumah Sinta. Kenapa musti ke rumahku
dulu, dan baru aku yang mengantarnya pulang. Ini pastilah konspirasi tingkat
tinggi, pikirku. Tapi perintah ibu adalah tetap sebuah perintah. Surga berada
ditelapak kakinya. Aku nggak mau
durhaka terus jadi batu, seperti Malin Kundang dong.
Kuantarlah
Sinta dan ibunya kerumah dengan selamat sentosa. Diajaknya sih aku mampir, tapi
aku menolak. Wong yang ngajak mampir
ibunya, bukan Sinta. Diotakku sih sudah terprogram kalau Sinta itu adalah pacar
orang.
Tiga hari
setelahnya, rasa penasaran menghinggapiku. Dengan segala ‘entah kebetulan atau
apalah namanya’ bersama Sinta, sedikit ada harapan juga sih kalau kami
berjodoh. Maka aku mencoba men-search
WhatsApp milik Sinta. Saat kutemukan, DUEER! Display picture-nya bersama seorang cowok. Dan demikianlah kisah
ini berakhir…
****
Sumpah,
aku tidak tahu kalau akan ada babak kedua dalam kisah ini. Ternyata dilain
kesempatan aku bertemu lagi dengan Sinta. Sungguh aku tidak menyangkanya.
Kali ini
tetap dengan rombongan yang sama, namun dengan destinasi yang berbeda. Kali ini
rute perjalanan kami hanya lokal Bali. Kami pun berangkat menggunakan bus,
tidak lagi pesawat. Ya iyalah, nenek-nenek salto juga tahu itu. Dan disanalah
aku melihat lagi sosoknya. Masih cantik seperti terakhir kuingat.
“Hei,
ketemu lagi.”
Dia hanya
membalas dengan senyuman. Duh, manis banget.
Bus yang
akan mengantar kami pun datang. Sopirnya sempat disemprot polisi karena salah
parkir. Sempat terpikir juga bagaimana bisa ada polisi di jam sepagi itu.
Jelas-jelas itu adalah polisi yang sangat berdedikasi.
Oke, skip. Di dalam bus, seperti biasa aku
memilih posisi duduk paling belakang. Entah kenapa, rasanya nyaman saja. Kulihat
Sinta duduk sendirian dua kursi didepanku. Sepertinya ibunya kali ini tidak
ikut. Wah kesempatan nih, pikirku. Namun aku batalkan niatku untuk pindah
duduk. Terlalu agresif nanti kesannya, pelan-pelan saja. Pikirku dalam hati. Aku
pun memilih untuk bergerak setelah sampai tujuan.
“Boleh
duduk disini ya, males duduk dibelakang. Ribut banget.” Alasanku.
Siap-siap
ditolak sih sebenarnya. Eh, tahunya Sinta memperbolehkan. Oke deh, lalu kupindahkan tasku dibangku sebelahnya. Turun dari
bus, aku pun bingung harus jalan bersamanya atau tidak. Maka terbayanglah
kembali display picture WhatsApp
Sinta. Dia itu udah punya orang loh bro,
malaikat berbisik ditelinga kananku. Halah
belum resmi juga santai aja bro, setan
berbisik ditelinga kiriku. Akhirnya malaikat pun menang. Aku memilih untuk
berjalan menjauh darinya. Dengan asumsi malaikatlah yang nantinya akan
mengantarku ke surga.
Acara ulang
tahun kali itu dipusatkan di Ubud. Sengaja tidak kusebut nama perusahaan yang
berulang tahun, nanti disangka promosi. Kalau beneran dibayar sih, dengan
senang hati akan kusebut disini. Bagaimana kira-kira nih bu Bos? Kalau
kebetulan tulisan ini dibaca sih hehe...
Skip, agenda acara bisa
dibilang berjalan lancar. Tidak lancar-lancar banget sih untuukku pribadi.
Disela acara aku ditunjuk untuk menyumbang suara. Busyet, artis kamar mandi kok disuruh nyanyi, ya tahu sendirilah
jadinya. Sukseslah aku mempermalukan diriku sendiri. Tidak apa-apalah,
hitung-hitung menghibur orang-orang. Buktinya mereka semua tertawa, termasuk
Sinta. Artinya mereka terhibur dong. Eits,
ini sih jelas-jelas menghibur diri sendiri namanya
Saat
makan siang, aku mencoba lagi mendekati Sinta. Ya namanya juga coba-coba, boleh
kan? Dia sih tidak menolak. Aku berusaha berpikir kalau saat itu dia perlu
teman. Berusaha untuk tidak kegeeran
gitu deh.
“Nah,
gitu dong. Deket-deket gitu jadi yang nyomblangin kan seneng ngeliatnya,” celetuk
salah teman Kak Ayu. Iya, Kak Ayu memang ada bersama kami lagi di babak ini.
Kami
hanya tersenyum mendengarnya. Dalam pikiranku sih merasa senang. Entah apa yang
ada dipikirannya. Sungguh saat itu ingin sekali aku punya kemampuan telekinetis,
membaca pikiran. Mirip tokoh Profesor X, dalam film X-Men. Ngayal dikit nih ceritanya. Akhirnya kami duduk berpisah. Meja yang
tersedia memang tidak mendukung kami untuk duduk bersama.
Kembali
ke bus, aku pun duduk disamping Sinta. Rupanya penyakit kikuk saat ada didekatnya
masih belum sembuh. Dalam hati aku memaki diriku sendiri, ini nih akibatnya
berbuat nekat deketin cewek orang.
“Guide nya sok asyik nih,” ucapnya.
Aduh baru
start udah negatif gini nih nadanya,
pikirku.
Kucoba
alihkan pembicaraan ke topik lain, tapi nada bicaranya masih sama. Akhirnya
kutahu kalau ternyata dia ‘dipaksa’ untuk ikut rombongan ini. Siapa lagi yang
memaksa kalau bukan ibunya. Sepertinya ini membuat suasana hatinya langsung drop dari pagi. Memang sedikit susah
menghadapi cewek yang lagi nggak mood.
Mungkin aku memilih momen yang salah untuk berpindah duduk. Namun, kucoba untuk
tetap berbicara. Tetap tidak berhasil, hasilnya sama saja. Sinta justru lebih
fokus membahas acara bersama teman-temannya, dihari Minggu. Dia bilang besok siang
akan ijin pisah dari rombongan.
Aku
menanggapi santai ceritanya. Toh, itu adalah urusan dia bersama teman-temannya.
Tidak ada urusannya denganku. Aku minta dia tetap tinggal, pastinya tidak akan
mengubah apa-apa. Tidur pun lagi-lagi jadi pilihan terakhir. Sudah tidak ada
lagi topik yang bisa kami bahas. Paling tidak itu tidak akan merusak mood nya lebih lanjut, pikirku.
Sampai di
hotel di seputaran Kuta, kami berpisah menuju kamar masing-masing.
“Terus
bagaimana nih?”
Dalam
perjalanan menuju kamar, aku dicegat Kak Ayu dan temannya. Inget loh, ini status
kakak ketemu gede, bukan kakak kandung. Konfirmasi aja sih, biar nggak salah paham. Atau malah makin
bikin salah paham? Ah sudahlah. Interogasi singkat pun berlangsung ditempat.
Mirip polisi nilang pelanggar lalu lintas gitu deh.
“Bagaimana
yang bagaimana?” tanyaku balik.
“Bagaimana
perkembangannya dengan Sinta?”
Halah, masih saja dengan
gosip yang sama. Aku menanggapinya dengan candaan. Buat apa ditanggapi serius, toh kupikir hubungan ini tidak akan mengarah
kemana-mana. Mereka masih tetap saja memberiku semangat untuk terus berjuang.
Dikatanya ini masih tahun 1945, pakai acara berjuang segala. Wong Sinta sendiri tidak pernah memberi signal apapun untukku. Harapan sih ada,
tapi apalah arti harapan tanpa kenyataan. Maka lagi-lagi aku tanggapi godaan
mereka dengan candaan.
Malam pun
tiba. Kami menuju rute perjalanan terakhir dihari itu. Garuda Wisnu Kencana disingkat GWK,
menjadi destinasi kami berikutnya. GWK
adalah obyek wisata buatan di wilayah Pecatu, Jimbaran. Disana kami akan menyaksikan
pentas seni drama dan tari (sendratari), yang berjudul “The Legend of Garuda”. Katanya sih yang kami saksikan ini adalah
pentas perdana.
Turun
dari bus, aku masih berusaha menjauhi Sinta. Hanya saja, dipanggung pertunjukan
beberapa peserta rombongan memintaku duduk disamping Sinta. Masih belum
menyerah juga rupanya mereka. Sempat kutolak, walau akhirnya kuikuti saja kemauan
mereka. Pikirku, apa salahnya kucoba sekali lagi untuk berada didekatnya.
Hasilnya? Begitulah, sama saja. Dia masih saja bersemangat membahas acara
dengan teman-temannya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik, walau mood-ku jadi sedikit kacau. Gimana tidak
kacau, yang ada didekatnya aku eh yang dibahas soal lain. Pertunjukan didepan
kami jadi terasa hambar. Ditambah ditengah acara tiba-tiba sound system dan tata lampu mendadak mati. Lengkaplah sudah.
Kekacauan malam itu jadi semakin kacau. Yah, hadapi dengan senyuman sajalah.
Sehabis
makan malam, kami pun kembali ke bus. Perjalanan kembali ke hotel sedikit
terhambat karena macet. Maklum saja, malam itu adalah malam minggu. Aku memilih
untuk kembali duduk dibelakang. Kulihat Sinta kembali duduk dua bangku
didepanku. Disebelahnya duduk salah satu anak dari peserta rombongan. Entah
kenapa, hati kecilku merasa kalau malam itu adalah kali terakhir aku akan
melihatnya.
“Dik,
bisa tukar tempat duduk?” ucapku sambil menepuk pundak anak disebelah Sinta.
Dia
menoleh dan mengangguk. Kami pun bertukar tempat.
“Hei…”
sapaku kepada Sinta.
Dia
nampak terkejut dengan keberadaanku. Aku lihat sih dia sedikit sibuk dengan
ponselnya. Sedang chat dengan
teman-temannya, atau pacarnya mungkin. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Maka
kubiarkan dia melanjutkan aktifitasnya. Toh,
aku cuma ingin berada disampingnya. Itu saja, tidak lebih. Untuk terakhir
kalinya, mungkin. Itu sudah membuatku cukup senang saat itu. Menjelang memasuki
wilayah Kuta, kami baru mulai mengobrol. Itu pun hanya sempat membahas Sushi Tei dan Papaya yang tadi kami lewati.
Sampai di
hotel aku tos tangannya, sebagai perpisahan. Aku tahu kalau besok pasti aku
tidak akan melihatnya lagi. Mungkin juga dihari-hari berikut setelahnya. Sebenarnya
sih aku sedih, tapi apa boleh buat. Pikiran bergejolak, hatiku pun demikian.
Hanya
satu yang kusesali hari itu. Ponselku rusak disaat yang kurang tepat. Dia
memilih waktu yang salah untuk menjalani ‘opname’. Karena itu, aku tidak bisa
meminta Pin Blackberry milik Sinta.
Paling tidak, media komunikasi lainnya lah. Ini penting sekali buatku. Penting
untuk memintanya langsung dari si cewek, guna melihat tingkat keseriusannya.
Tapi, ya sudahlah.
Turun
dari bus, aku hendak kembali ke kamar. Adik bungsu dan ibuku mencegatku. Kami
memang berangkat lagi sekeluarga, minus ayahku. Mereka mengajak untuk
berjalan-jalan malam ke area Legian. Boleh juga nih, mungkin kegaduhan Legian bisa
menghilangkan gejolak pikiranku. Aku pun menyetujuinya. Kami baru kembali ke
hotel menjelang tengah malam.
Paginya
aku sengaja bangun agak telat. Biasanya juga telat sih, jujur nih. Padahal
kemarin aku sempat berjanji untuk berenang bersama beberapa rekan rombongan.
Aku malas untuk keluar kamar. Sebenarnya sih bukan malas keluar kamarnya, hanya
malas bertemu lagi dengan Sinta. Terlalu berat rasanya untuk melihatnya pergi. Akhirnya
aku dan adik keduaku memilih tetap tinggal dikamar, menonton televisi. Kami baru
keluar kamar setelah ada telpon dari ibuku, mengingatkan untuk sarapan. Gila
aja, ngingetin sarapan jam setengah
dua belas lebih. Itu sih namanya sarapan yang kesiangan. Judul sinetron banget
nih.
Begitu
sampai di restoran lantai dasar, Kak Ayu dan temannya mendekatiku.
“Sinta udah
check out loh,” ucapnya.
“Iya
tahu,” sahutku santai.
“Terus
gimana dong?”
“Ya udah,
biarin aja.”
Kakakku
mengerutkan kening melihat sikapku yang dingin. Lagian, segitunya banget sih.
Sinta itu kan bukan siapa-siapanya aku. Dia juga udah gede. Ya biarin aja
dia mau ngelakuin apa. Mengutip
kata-kata Gus Dur, gitu aja kok
repot. Saat itu kujelaskan pada kakakku dan teman-temannya. Kujelaskan kalau
tidak pernah ada apa-apa diantara aku dan Sinta. Kami hanya teman, bahkan belum
sampai level sahabat. Semua yang terjadi hanyalah sebatas gosip semata. Mirip-mirip
infotainment gitu deh. Aku minta kepada
mereka untuk tidak menggodanya bila bertemu lagi. Itu pun kalau masih akan ada pertemuan
berikutnya antara kami. Kesepakatan pun tercapai. Palu diketok tiga kali. Halah.
Hari itu
pun kami melanjutkan rute perjalanan selanjutnya. Destinasi kami adalah Pantai
Pandawa dan menikmati Pirate Cruise di Benoa. Mengasyikkan, malah lebih
mengasyikkan dari perjalanan hari pertama. Kurasa tidak perlu kuceritakan
detailnya, toh tidak ada sosok Sinta
didalamnya. Seperti kubilang sebelumnya, dialah sosok penting dalam kisah ini. So, demikianlah akhir dari babak kedua
kisah ini. Lanjut babak ketiga? Please
deh, nggak usah ngarep…
****
Lalu ini
bukan babak ketiga? Terserah anda mau menamakannya apa. Kalau aku sendiri lebih
suka menyebutnya dengan ending.
Kira-kira
sebulan setelah itu, aku bertemu dua kali lagi dengan ibu Sinta. Ternyata dia
masih baik terhadapku. Ternyata predikat ‘laki-laki disayang calon mertua, tapi
tidak anaknya’ masih saja melekat padaku. Kegeeran
banget, emang dia mau jadi mertuamu? Ya kan namanya juga ngarep. Agak canggung sih sebenarnya, sampai harus bertemu dua kali
dengan ibu Sinta. Syukur dia juga menanggapiku dengan santai.
“Salam
buat Sintanya ya Bu,” ucapku.
“Nggak
mau ah, sampaiin aja sendiri salamnya.”
Nah loh,
kualat nih kalau nggak dilaksanakan. Walau
batal jadi mertua, tapi tetap saja kan pada dasarnya seorang ibu. Teringat lagi
aku dengan pepatah ‘surga ada ditelapak kaki ibu’. Teringat pula aku dengan
kisah Malin Kundang. Loh, disebut-sebut
lagi.
Seminggu
setelahnya, kukerahkan skil intelijenku mencari Pin Blackberry milik Sinta. Nggak
gitu-gitu amat juga sih. Tinggal tanya adik bungsuku aja, mereka kan temenan. Dan
ku add lah Pin tersebut. Anggap saja
menjalin silaturahmi, pikirku. Tidak
ada pikiran lain. Aku kira akan di-block
eh tahunya di-accept. Sebenarnya akan
terasa lebih mudah sih kalau di-block
saja, jadi selesai sudah semuanya. Nah kalau di-accept ini yang justru aku bingung. Harus ngetik apa dong setelahnya? Yah namanya juga perasaan, susah
dibohongi.
Setelah
tiga hari dua malam, akhirnya aku beranikan diri menulis kepada Sinta.
“Sinta
apa kabar? Masih inget aku? Demikian tulisku.
Kutunggu
semenitan, sepuluh menitan, sejaman, dan seterusnya sampai seharian. Tetap tidak
ada balasan. Ya ciri khas cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Hanya
saja, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata dia sesadis itu.
Note, buat
cewek-cewek tolong hargailah chat cowok
yang dikirim kepada kalian. Mana tahu berapa lama dia musti ‘bertapa’ untuk
memulai. Sebenarnya kadang cowok suka bingung untuk memulai sebuah percakapan. Terutama
apabila cowok itu memiliki rasa pada kalian. Sekali lagi tolong dihargailah,
paling nggak dibales gitu walau ala
kadarnya. Dia akan mengerti kok pada akhirnya. Paling nggak tolakan kalian akan terasa lebih elegan gitu.
Keesokannya
siangnya, dengan mengucap astungkara,
aku pun menghapus Sinta dari kontakku. Sekaligus pula menghapus namanya dari
hidupku. Melalui tulisan ini semoga bisa membebaskan sosok Sinta dari pikiranku,
dan juga hatiku.
****
Mungkin
beginilah kisah ini harus berujung. Tidak bahagia memang, tapi itulah adanya. Kalau
anda kecewa, aku pun merasakan hal yang sama. Yah, intinya hidup harus tetap
berjalan. Kisah ini mungkin harus berakhir disini, namun akan ada kisah-kisah
lain yang menanti. Masih tetap dengan dirinya atau mungkin juga dengan yang
lainnya. Aku tidak tahu, sungguh tidak tahu. Well, justru disanalah indahnya rahasia ilahi kan?
*For someone, thank you for the
memory.
Denpasar, 4 Oktober 2015
Pukul 01.00 dini hari
@dewadarmayana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar