Senin, 05 Oktober 2015

Sekedar Coretan Hati


Welcome to Thailand.”
Ucapan itu langsung menyambut di Bandara Don Meuang. Ini adalah kali pertama pasport-ku mendapat stempel. Bisa dibilang salah satu momen spesial dalam hidupku. Tidak pakai telor memang, tapi tetap terasa spesial.
Ditengah jet-lag yang kurasa, mataku tertuju lagi pada sosoknya. Aku tidak tahu namanya saat itu. Tidak hanya dirinya, hampir sebagian dari rombongan tidak kuketahui juga namanya. Anggap saja aku bisa ada dalam rombongan ini karena ‘keajaiban’. Tidak perlu kujelaskan kenapa, karena itu tidaklah penting. Dalam kisah ini yang penting adalah keberadaan sosoknya, iya dirinya.
Sesuatu yang berbeda kurasa saat pertama kali melihatnya. Saat itu kami masih di Bandara Ngurah Rai. Masih sibuk dengan urusan tiket, airport tax dan lainnya. Dia berbeda karena terlihat menarik, kalau tidak boleh dibilang cantik. Itu saja sih, kesan pertama kala itu. Sisanya ya seret-seret koper gitu deh, sedikit delay, kemudian take off.
Sawaddi Kab/Kha
Itulah kalimat pertama yang diperkenalkan oleh guide kami. Kalimat tersebut adalah salam yang diucapkan dalam bahasa Thailand. Akhiran ‘Kab’ digunakan apabila lawan bicara kita laki-laki, dan ‘Kha’ apabila wanita. Kata lain dan cukup populer di rombongan lain adalah ‘Hong Nam’, yang artinya toilet. Aneh memang, tapi ya begitulah. Semua orang butuh ke toilet kan? Itulah mengapa akhirnya kata itu menjadi penting. Lalu sisanya? Ya so-so lah. Masuk telinga kanan, keluar telinga kanan juga. Sumpah, bahasa Thailand itu benar-benar sulit banget dicerna telinga. Nggak percaya? Percaya aja deh.
Balik lagi ke sosok cantik. Akhirnya hari kedua di Thailand aku tahu juga namanya. Aku akui ilmu intelijenku sedikit agak lelet. Sedikit? Oke, tapi biasanya malah lebih lelet dari itu kok. Sebagai pembelaan, aku ke Thailand itu buat liburan bro, bukan buat yang lain-lain. Bisa diterima kan? Nah selanjutnya, sebut saja namanya Bunga. Hhmm, kok terkesan kayak koran lampu merah ya? Baiklah, kalau begitu sebut saja namanya Sinta.
“Pertama kali ke luar negeri?”
“Iya,” sahutnya singkat.
Percakapan pertama antara kami terjadi di Gems Jewellery. Itu adalah tempat belanja perhiasan terkenal di Thailand. Paling tidak begitu kata guide kami. Kita semua sih percaya-percaya saja.
Dari sana aku tahu kalau dia berangkat bersama ibunya. Ibunya ternyata mengenal ibuku. Adik bungsuku pun ternyata mengenalnya. Cukup bagus apabila hubungan ini hendak dilanjutkan, pikirku. Kami juga berbagi keluh kesah akan rute liburan yang kami tempuh. Kami sama-sama menilai rute perjalanan ini terasa kurang ‘menantang’. Maksudnya, kami butuh rute yang bisa lebih meng-eksplor Thailand itu sendiri. Kekayaan alamnya lah, atau seni budayanya lah. Percakapan yang menarik, untuk sebuah perkenalan. Semuanya berjalan baik, hingga malam menjelang.
“Beneran nih masih jomblo?”
“Iya bener,” sahutku.
Pertanyaan ini muncul saat makam malam loh. Kenapa pertanyaan musti ini terlontar saat makan? Pertanyaan ini membuatku jadi sulit untuk mengunyah dan menelan.
“Bagaimana dengan si Sinta?”
Aku mengerutkan kening. Bisa kuraba sih arah pembicaraan ini. Aku cukup familier dengan model pembicaraan seperti ini. Bisanya sih mengarah ke hal-hal yang ya begitulah.
“Bagaimana yang bagaimana?” tanyaku mencoba mengkonfirmasi.
“Dia kan masih jomblo juga.”
DUEER! Sukseslah aku jadi semakin sulit mengunyah dan menelan. Dasar ibu-ibu menang. Gosip pun sepertinya mulai beredar. Mungkin gosip ini sampai juga ditelinga Sinta. Bisa kutebak, karena dia jadi mulai menjaga jarak. Ya ciri khas cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Sumpah, ini adalah salah satu momen paling canggung dalam hidupku. Oke, kuakui aku memang ingin mengenalnya lebih jauh. Hanya saja, semuanya jadi sulit sejak saat itu.
Sisa satu hari perjalanan, tidak ada yang terjadi antara kami. Kecanggungan diantara kami terus berlanjut. Aku menatapnya, dia memalingkan wajah. Demikian pun sebaliknya. Terus saja hal itu berulang seharian. Akhirnya kujalani saja hari itu dengan mencoba menikmati Thailand. Mencoba untuk tidak ambil pusing. Balik lagi, toh perjalanan ke Thailand ini buat liburan kan?
Semuanya ‘baik-baik’ saja, sampai disaat kami harus kembali pulang ke Bali. Pesawat kami lagi-lagi mengalami delay. Momen ini, lagi-lagi aku dijadikan sasaran ibu-ibu dalam rombongan.
“Itu Sinta duduk sendirian loh.”
“Iya, keliatan kok dari sini.”
“Kesana dong, ajakin ngobrol gitu.”
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Maaf lebih baik aku nyari aman, pikirku. Sampai di rumah dengan tenang jadi prioritasku, ketimbang gangguin cewek yang mungkin sudah punya pacar. Aku merasa sudah cukup dibuat salah tingkah dua hari kebelakang. Ekspresi kekecewaan tergambar di wajah mereka melihat aku hanya diam. Peduli amatlah, pikirku lagi.
Extra dua puluh menit menunggu, akhirnya pesawat yang dinanti tiba. Kami pun dipanggil memasuki pesawat. Entah kebetulan atau apalah namanya, tempat duduk disebelahku kosong. Entah kebetulan atau apalah juga namanya, disebelahku duduk rekan perjalanan yang sudah kuanggap kakak. Sebut saja namanya Kak Ayu. Dialah yang paling getol menjodohkan aku dengan Sinta. Sialnya lagi, entah kebetulan atau apalah namanya, didepanku duduklah Sinta. Bisa kutebak, momen canggungku masih akan berlanjut.
“Sinta duduk dibelakang dong. Jangan sama ibu-ibu gitu. Sama kita-kita yang masih ‘single-single’ ini dong.” Kakakku itu mulai berulah. Ditambah mengaku ‘single’ lagi.
Sementara ditempat duduk, aku mulai kikuk mendengarnya. Untung temperatur AC pesawat sangat rendah, sehingga keringat dinginku tidak mengalir.
Please jangan pindah, please jangan pindah,” pintaku dalam hati.
Sumpah, yang kupinta hanyalah ketenangan dan tidur sepanjang penerbangan. Rupanya permintaanku tidak terkabul. Ternyata Sinta berpindah duduk kesebelahku. Kini aku duduk ditengah, diapit oleh dua cewek. Tidak bisa kubayangkan empat jam perjalanan ini harus kulalui seperti apa. Ini juga adalah salah satu momen paling canggung dalam hidupku. Sampai pesawat take off aku membisu, demikian pula Sinta. Sepanjang waktu itu hanya terdengar kicauan Kak Ayu, disebelah kananku. Ketika Kak Ayu berbicara denganku, aku menanggapi. Ketika Kak Ayu berbicara dengan Sinta, dia menanggapi. Demikian seterusnya. Sampai akhirnya kakakku itu tertidur. Beneran tertidur atau pura-pura tidur, entahlah. Kebisuan pun kembali melanda.
“Lampu toiletnya kenapa nggak nyala ya?”
Itu kata-kataku untuk memecah kebisuan. Serius? Kamu ngobrol sama cewek soal toilet? Hei, hanya itu yang terpikir diotakku saat itu. Aku berdebat dengan diriku sendiri dalam hati. Mungkin ini adalah imbas dari populernya kata ‘Hong Nam’. Mungkin.
“Soalnya itu nggak dikunci dari dalam,” sahutnya.
Dia merespon. Kaget juga sih, kalau obrolan ‘toilet’ itu bisa berhasil. Lucu juga.
“Masa sih?”
Kami berdebat soal itu. Sampai seorang penumpang berjalan menuju toilet yang kami bahas. Bertaruhlah kami apakah lampu toilet akan menyala atau tidak. Lampu toilet pun menyala, dan dia menang. Obrolan ‘sakit jiwa’ itu pun berlanjut kemana-mana. Dari sana aku tahu beberapa hal tentang dia. Tidak banyak memang, karena kurasakan dia sedikit menutupi beberapa hal. Ya ciri khas cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Aku juga tidak berniat mengejarnya dengan pertanyaan yang lebih jauh lagi. Sisanya aku lewatkan dengan tidur, sepertinya sih dia juga sama.
Oya, kurang sedikit. Ditengah percakapanku dan Sinta, Kak Ayu terbangun. Dia bangun hanya mengingatkan kami untuk saling bertukar nomor telpon. Bahkan, dia menyerahkan selembar kertas kepadaku sebelum tidur lagi. Disinilah aku sadar kalau sedari tadi dia pura-pura tertidur. Uh, dasar. Agaknya usaha kakakku menemui kegagalan. Sinta seperti segan memberikan nomor telponnya. Ya ciri khas cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Dia hanya memberi nama WhatsApp-nya untuk nanti bisa aku search. Well, it’s fine.
Rencana empat jam perjalanan, akhirnya bertambah setengah jam lagi dari jadwal. Pesawat kami berputar-putar di udara. Menurut info pramugari sih karena landasan sedang dibersihkan. Busyet, pinter banget tuh petugas milih waktu buat ngepel landasan. Nggak diaspal ulang sekalian gitu biar lebih lama lagi? Walau sedikit terlambat, akhirnya kami menginjak kembali tanah Bali dengan sukses. Aku dan Sinta pun berpisah, sebagaimana layaknya teman. Paling tidak seperti itulah yang ada dalam pikiranku. Entah pikirannya. Setelahnya kami pun sibuk dengan urusan koper masing-masing.
“Jadi ikut di mobil sama-sama?” Ibuku nyeletuk saat kami menuju pintu keluar bandara.
“Boleh, kalo nggak ngerepotin,” Ibu Sinta menjawab.
Mendengar itu aku dan Sinta saling bertatapan. Sejak kapan ibu-ibu kami jadi kompak begini? Jadi kami masih harus sama-sama lagi? Itulah yang ada dalam pikiranku. Entah pikirannya. Kemudian benar saja, kami memang dalam satu mobil. Tidak hanya satu mobil, duduknya bersebelahan pula. Duduk bersebelahan lagi, tepatnya. Sumpah, ini lagi-lagi jadi salah satu momen paling canggung dalam hidupku. Sepertinya itu pun menjadi momen canggung baginya. Walau pun demikian, kami bisa mengatasinya dengan baik. Dengan saling membisu.
“Dianterin dong Sintanya ke rumah,” perintah ibuku.
What?!? Kenapa diperjalanan tadi tidak langsung saja ke rumah Sinta. Kenapa musti ke rumahku dulu, dan baru aku yang mengantarnya pulang. Ini pastilah konspirasi tingkat tinggi, pikirku. Tapi perintah ibu adalah tetap sebuah perintah. Surga berada ditelapak kakinya. Aku nggak mau durhaka terus jadi batu, seperti Malin Kundang dong.
Kuantarlah Sinta dan ibunya kerumah dengan selamat sentosa. Diajaknya sih aku mampir, tapi aku menolak. Wong yang ngajak mampir ibunya, bukan Sinta. Diotakku sih sudah terprogram kalau Sinta itu adalah pacar orang.
Tiga hari setelahnya, rasa penasaran menghinggapiku. Dengan segala ‘entah kebetulan atau apalah namanya’ bersama Sinta, sedikit ada harapan juga sih kalau kami berjodoh. Maka aku mencoba men-search WhatsApp milik Sinta. Saat kutemukan, DUEER! Display picture-nya bersama seorang cowok. Dan demikianlah kisah ini berakhir…
****
Sumpah, aku tidak tahu kalau akan ada babak kedua dalam kisah ini. Ternyata dilain kesempatan aku bertemu lagi dengan Sinta. Sungguh aku tidak menyangkanya.
Kali ini tetap dengan rombongan yang sama, namun dengan destinasi yang berbeda. Kali ini rute perjalanan kami hanya lokal Bali. Kami pun berangkat menggunakan bus, tidak lagi pesawat. Ya iyalah, nenek-nenek salto juga tahu itu. Dan disanalah aku melihat lagi sosoknya. Masih cantik seperti terakhir kuingat.
“Hei, ketemu lagi.”
Dia hanya membalas dengan senyuman. Duh, manis banget.
Bus yang akan mengantar kami pun datang. Sopirnya sempat disemprot polisi karena salah parkir. Sempat terpikir juga bagaimana bisa ada polisi di jam sepagi itu. Jelas-jelas itu adalah polisi yang sangat berdedikasi.
Oke, skip. Di dalam bus, seperti biasa aku memilih posisi duduk paling belakang. Entah kenapa, rasanya nyaman saja. Kulihat Sinta duduk sendirian dua kursi didepanku. Sepertinya ibunya kali ini tidak ikut. Wah kesempatan nih, pikirku. Namun aku batalkan niatku untuk pindah duduk. Terlalu agresif nanti kesannya, pelan-pelan saja. Pikirku dalam hati. Aku pun memilih untuk bergerak setelah sampai tujuan.
“Boleh duduk disini ya, males duduk dibelakang. Ribut banget.” Alasanku.
Siap-siap ditolak sih sebenarnya. Eh, tahunya Sinta memperbolehkan. Oke deh, lalu kupindahkan tasku dibangku sebelahnya. Turun dari bus, aku pun bingung harus jalan bersamanya atau tidak. Maka terbayanglah kembali display picture WhatsApp Sinta. Dia itu udah punya orang loh bro, malaikat berbisik ditelinga kananku. Halah belum resmi juga santai aja bro, setan berbisik ditelinga kiriku. Akhirnya malaikat pun menang. Aku memilih untuk berjalan menjauh darinya. Dengan asumsi malaikatlah yang nantinya akan mengantarku ke surga.
Acara ulang tahun kali itu dipusatkan di Ubud. Sengaja tidak kusebut nama perusahaan yang berulang tahun, nanti disangka promosi. Kalau beneran dibayar sih, dengan senang hati akan kusebut disini. Bagaimana kira-kira nih bu Bos? Kalau kebetulan tulisan ini dibaca sih hehe...
Skip, agenda acara bisa dibilang berjalan lancar. Tidak lancar-lancar banget sih untuukku pribadi. Disela acara aku ditunjuk untuk menyumbang suara. Busyet, artis kamar mandi kok disuruh nyanyi, ya tahu sendirilah jadinya. Sukseslah aku mempermalukan diriku sendiri. Tidak apa-apalah, hitung-hitung menghibur orang-orang. Buktinya mereka semua tertawa, termasuk Sinta. Artinya mereka terhibur dong. Eits, ini sih jelas-jelas menghibur diri sendiri namanya
Saat makan siang, aku mencoba lagi mendekati Sinta. Ya namanya juga coba-coba, boleh kan? Dia sih tidak menolak. Aku berusaha berpikir kalau saat itu dia perlu teman. Berusaha untuk tidak kegeeran gitu deh.
“Nah, gitu dong. Deket-deket gitu jadi yang nyomblangin kan seneng ngeliatnya,” celetuk salah teman Kak Ayu. Iya, Kak Ayu memang ada bersama kami lagi di babak ini.
Kami hanya tersenyum mendengarnya. Dalam pikiranku sih merasa senang. Entah apa yang ada dipikirannya. Sungguh saat itu ingin sekali aku punya kemampuan telekinetis, membaca pikiran. Mirip tokoh Profesor X, dalam film X-Men. Ngayal dikit nih ceritanya. Akhirnya kami duduk berpisah. Meja yang tersedia memang tidak mendukung kami untuk duduk bersama.
Kembali ke bus, aku pun duduk disamping Sinta. Rupanya penyakit kikuk saat ada didekatnya masih belum sembuh. Dalam hati aku memaki diriku sendiri, ini nih akibatnya berbuat nekat deketin cewek orang.
Guide nya sok asyik nih,” ucapnya.
Aduh baru start udah negatif gini nih nadanya, pikirku.
Kucoba alihkan pembicaraan ke topik lain, tapi nada bicaranya masih sama. Akhirnya kutahu kalau ternyata dia ‘dipaksa’ untuk ikut rombongan ini. Siapa lagi yang memaksa kalau bukan ibunya. Sepertinya ini membuat suasana hatinya langsung drop dari pagi. Memang sedikit susah menghadapi cewek yang lagi nggak mood. Mungkin aku memilih momen yang salah untuk berpindah duduk. Namun, kucoba untuk tetap berbicara. Tetap tidak berhasil, hasilnya sama saja. Sinta justru lebih fokus membahas acara bersama teman-temannya, dihari Minggu. Dia bilang besok siang akan ijin pisah dari rombongan.
Aku menanggapi santai ceritanya. Toh, itu adalah urusan dia bersama teman-temannya. Tidak ada urusannya denganku. Aku minta dia tetap tinggal, pastinya tidak akan mengubah apa-apa. Tidur pun lagi-lagi jadi pilihan terakhir. Sudah tidak ada lagi topik yang bisa kami bahas. Paling tidak itu tidak akan merusak mood nya lebih lanjut, pikirku.
Sampai di hotel di seputaran Kuta, kami berpisah menuju kamar masing-masing.
“Terus bagaimana nih?”
Dalam perjalanan menuju kamar, aku dicegat Kak Ayu dan temannya. Inget loh, ini status kakak ketemu gede, bukan kakak kandung. Konfirmasi aja sih, biar nggak salah paham. Atau malah makin bikin salah paham? Ah sudahlah. Interogasi singkat pun berlangsung ditempat. Mirip polisi nilang pelanggar lalu lintas gitu deh.
“Bagaimana yang bagaimana?” tanyaku balik.
“Bagaimana perkembangannya dengan Sinta?”
Halah, masih saja dengan gosip yang sama. Aku menanggapinya dengan candaan. Buat apa ditanggapi serius, toh kupikir hubungan ini tidak akan mengarah kemana-mana. Mereka masih tetap saja memberiku semangat untuk terus berjuang. Dikatanya ini masih tahun 1945, pakai acara berjuang segala. Wong Sinta sendiri tidak pernah memberi signal apapun untukku. Harapan sih ada, tapi apalah arti harapan tanpa kenyataan. Maka lagi-lagi aku tanggapi godaan mereka dengan candaan.
Malam pun tiba. Kami menuju rute perjalanan terakhir dihari itu. Garuda Wisnu Kencana disingkat GWK, menjadi destinasi kami berikutnya. GWK adalah obyek wisata buatan di wilayah Pecatu, Jimbaran. Disana kami akan menyaksikan pentas seni drama dan tari (sendratari), yang berjudul “The Legend of Garuda”. Katanya sih yang kami saksikan ini adalah pentas perdana.
Turun dari bus, aku masih berusaha menjauhi Sinta. Hanya saja, dipanggung pertunjukan beberapa peserta rombongan memintaku duduk disamping Sinta. Masih belum menyerah juga rupanya mereka. Sempat kutolak, walau akhirnya kuikuti saja kemauan mereka. Pikirku, apa salahnya kucoba sekali lagi untuk berada didekatnya. Hasilnya? Begitulah, sama saja. Dia masih saja bersemangat membahas acara dengan teman-temannya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik, walau mood-ku jadi sedikit kacau. Gimana tidak kacau, yang ada didekatnya aku eh yang dibahas soal lain. Pertunjukan didepan kami jadi terasa hambar. Ditambah ditengah acara tiba-tiba sound system dan tata lampu mendadak mati. Lengkaplah sudah. Kekacauan malam itu jadi semakin kacau. Yah, hadapi dengan senyuman sajalah.
Sehabis makan malam, kami pun kembali ke bus. Perjalanan kembali ke hotel sedikit terhambat karena macet. Maklum saja, malam itu adalah malam minggu. Aku memilih untuk kembali duduk dibelakang. Kulihat Sinta kembali duduk dua bangku didepanku. Disebelahnya duduk salah satu anak dari peserta rombongan. Entah kenapa, hati kecilku merasa kalau malam itu adalah kali terakhir aku akan melihatnya.
“Dik, bisa tukar tempat duduk?” ucapku sambil menepuk pundak anak disebelah Sinta.
Dia menoleh dan mengangguk. Kami pun bertukar tempat.
“Hei…” sapaku kepada Sinta.
Dia nampak terkejut dengan keberadaanku. Aku lihat sih dia sedikit sibuk dengan ponselnya. Sedang chat dengan teman-temannya, atau pacarnya mungkin. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Maka kubiarkan dia melanjutkan aktifitasnya. Toh, aku cuma ingin berada disampingnya. Itu saja, tidak lebih. Untuk terakhir kalinya, mungkin. Itu sudah membuatku cukup senang saat itu. Menjelang memasuki wilayah Kuta, kami baru mulai mengobrol. Itu pun hanya sempat membahas Sushi Tei dan Papaya yang tadi kami lewati.
Sampai di hotel aku tos tangannya, sebagai perpisahan. Aku tahu kalau besok pasti aku tidak akan melihatnya lagi. Mungkin juga dihari-hari berikut setelahnya. Sebenarnya sih aku sedih, tapi apa boleh buat. Pikiran bergejolak, hatiku pun demikian.
Hanya satu yang kusesali hari itu. Ponselku rusak disaat yang kurang tepat. Dia memilih waktu yang salah untuk menjalani ‘opname’. Karena itu, aku tidak bisa meminta Pin Blackberry milik Sinta. Paling tidak, media komunikasi lainnya lah. Ini penting sekali buatku. Penting untuk memintanya langsung dari si cewek, guna melihat tingkat keseriusannya. Tapi, ya sudahlah.
Turun dari bus, aku hendak kembali ke kamar. Adik bungsu dan ibuku mencegatku. Kami memang berangkat lagi sekeluarga, minus ayahku. Mereka mengajak untuk berjalan-jalan malam ke area Legian. Boleh juga nih, mungkin kegaduhan Legian bisa menghilangkan gejolak pikiranku. Aku pun menyetujuinya. Kami baru kembali ke hotel menjelang tengah malam.
Paginya aku sengaja bangun agak telat. Biasanya juga telat sih, jujur nih. Padahal kemarin aku sempat berjanji untuk berenang bersama beberapa rekan rombongan. Aku malas untuk keluar kamar. Sebenarnya sih bukan malas keluar kamarnya, hanya malas bertemu lagi dengan Sinta. Terlalu berat rasanya untuk melihatnya pergi. Akhirnya aku dan adik keduaku memilih tetap tinggal dikamar, menonton televisi. Kami baru keluar kamar setelah ada telpon dari ibuku, mengingatkan untuk sarapan. Gila aja, ngingetin sarapan jam setengah dua belas lebih. Itu sih namanya sarapan yang kesiangan. Judul sinetron banget nih.
Begitu sampai di restoran lantai dasar, Kak Ayu dan temannya mendekatiku.
“Sinta udah check out loh,” ucapnya.
“Iya tahu,” sahutku santai.
“Terus gimana dong?”
“Ya udah, biarin aja.”
Kakakku mengerutkan kening melihat sikapku yang dingin. Lagian, segitunya banget sih. Sinta itu kan bukan siapa-siapanya aku. Dia juga udah gede. Ya biarin aja dia mau ngelakuin apa. Mengutip kata-kata Gus Dur, gitu aja kok repot. Saat itu kujelaskan pada kakakku dan teman-temannya. Kujelaskan kalau tidak pernah ada apa-apa diantara aku dan Sinta. Kami hanya teman, bahkan belum sampai level sahabat. Semua yang terjadi hanyalah sebatas gosip semata. Mirip-mirip infotainment gitu deh. Aku minta kepada mereka untuk tidak menggodanya bila bertemu lagi. Itu pun kalau masih akan ada pertemuan berikutnya antara kami. Kesepakatan pun tercapai. Palu diketok tiga kali. Halah.
Hari itu pun kami melanjutkan rute perjalanan selanjutnya. Destinasi kami adalah Pantai Pandawa dan menikmati Pirate Cruise di Benoa. Mengasyikkan, malah lebih mengasyikkan dari perjalanan hari pertama. Kurasa tidak perlu kuceritakan detailnya, toh tidak ada sosok Sinta didalamnya. Seperti kubilang sebelumnya, dialah sosok penting dalam kisah ini. So, demikianlah akhir dari babak kedua kisah ini. Lanjut babak ketiga? Please deh, nggak usah ngarep
****
Lalu ini bukan babak ketiga? Terserah anda mau menamakannya apa. Kalau aku sendiri lebih suka menyebutnya dengan ending.
Kira-kira sebulan setelah itu, aku bertemu dua kali lagi dengan ibu Sinta. Ternyata dia masih baik terhadapku. Ternyata predikat ‘laki-laki disayang calon mertua, tapi tidak anaknya’ masih saja melekat padaku. Kegeeran banget, emang dia mau jadi mertuamu? Ya kan namanya juga ngarep. Agak canggung sih sebenarnya, sampai harus bertemu dua kali dengan ibu Sinta. Syukur dia juga menanggapiku dengan santai.
“Salam buat Sintanya ya Bu,” ucapku.
“Nggak mau ah, sampaiin aja sendiri salamnya.”
Nah loh, kualat nih kalau nggak dilaksanakan. Walau batal jadi mertua, tapi tetap saja kan pada dasarnya seorang ibu. Teringat lagi aku dengan pepatah ‘surga ada ditelapak kaki ibu’. Teringat pula aku dengan kisah Malin Kundang. Loh, disebut-sebut lagi.
Seminggu setelahnya, kukerahkan skil intelijenku mencari Pin Blackberry milik Sinta. Nggak gitu-gitu amat juga sih. Tinggal tanya adik bungsuku aja, mereka kan temenan. Dan ku add lah Pin tersebut. Anggap saja menjalin silaturahmi, pikirku. Tidak ada pikiran lain. Aku kira akan di-block eh tahunya di-accept. Sebenarnya akan terasa lebih mudah sih kalau di-block saja, jadi selesai sudah semuanya. Nah kalau di-accept ini yang justru aku bingung. Harus ngetik apa dong setelahnya? Yah namanya juga perasaan, susah dibohongi.
Setelah tiga hari dua malam, akhirnya aku beranikan diri menulis kepada Sinta.
“Sinta apa kabar? Masih inget aku? Demikian tulisku.
Kutunggu semenitan, sepuluh menitan, sejaman, dan seterusnya sampai seharian. Tetap tidak ada balasan. Ya ciri khas cewek-cewek yang sudah punya pacar gitu deh. Hanya saja, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata dia sesadis itu.
Note, buat cewek-cewek tolong hargailah chat cowok yang dikirim kepada kalian. Mana tahu berapa lama dia musti ‘bertapa’ untuk memulai. Sebenarnya kadang cowok suka bingung untuk memulai sebuah percakapan. Terutama apabila cowok itu memiliki rasa pada kalian. Sekali lagi tolong dihargailah, paling nggak dibales gitu walau ala kadarnya. Dia akan mengerti kok pada akhirnya. Paling nggak tolakan kalian akan terasa lebih elegan gitu.
Keesokannya siangnya, dengan mengucap astungkara, aku pun menghapus Sinta dari kontakku. Sekaligus pula menghapus namanya dari hidupku. Melalui tulisan ini semoga bisa membebaskan sosok Sinta dari pikiranku, dan juga hatiku.
****
Mungkin beginilah kisah ini harus berujung. Tidak bahagia memang, tapi itulah adanya. Kalau anda kecewa, aku pun merasakan hal yang sama. Yah, intinya hidup harus tetap berjalan. Kisah ini mungkin harus berakhir disini, namun akan ada kisah-kisah lain yang menanti. Masih tetap dengan dirinya atau mungkin juga dengan yang lainnya. Aku tidak tahu, sungguh tidak tahu. Well, justru disanalah indahnya rahasia ilahi kan?

*For someone, thank you for the memory.

Denpasar, 4 Oktober 2015
Pukul 01.00 dini hari
@dewadarmayana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar