Gundala |
Siang ini
akhirnya saya kembali ke bioskop, setelah sekian lama vakum karena faktor
anggaran yang tipis. Nonton jadi kebutuhan nomor sekian yang musti dipenuhi. Namun
khusus untuk film ini, saya sudah menunggunya sejak dari lama. Lebih karena ingin
memuaskan rasa penasaran. Bagaimana sih kiprah dari patriot perdana Indonesia, GUNDALA.
Tokoh ‘superhero’ pelopor, yang mencoba untuk menyeruak di antara gendre perfilman mainstream, cinta-cintaan dan hantu-hantuan.
Secara
garis besar, alur film Gundala dimulai dari seorang bocah bernama Sancaka.
Ayahnya seorang buruh pabrik, sedang ibunya hanya mengurus rumah tangga. Mereka
hidup sangat pas-pasan. Ditambah, sang ayah lagi berkonflik dengan bos pabrik tempatnya
bekerja. Dia menjadi pemimpin gerakan demo buruh. Akibat sebuah konspirasi
antar pekerja, akhirnya sang ayah meninggal dunia. Garis kehidupan Sancaka kian
memburuk, ketika sang ibu menghilang sewaktu pergi ke kota untuk mencari kerja.
Sancaka kecil pun mulai hidup menggelandang. Terjebak dalam kerasnya kehidupan
jalanan.
Sampai suatu hari, Sancaka
bertemu dengan Awang, yang menolongnya ketika bertikai dengan sebuah geng anak
jalanan. Agar tidak terus ditindas, Awang mengajarkan Sancaka cara membela
diri. Sayangnya, pertemuan itu berlangsung singkat. Mereka berpisah saat hendak
menaiki kereta api menuju ke Tenggara.
Waktu
berlalu, Sancaka tumbuh dewasa. Dia kini bekerja menjadi security di sebuah perusahaan media cetak. Meskipun bertugas
sebagai penjaga keamanan, Sancaka tumbuh menjadi seorang pemuda yang pragmatis.
Prinsip hidup yang dia ambil dari kerasnya kehidupan jalanan. Jangan campuri urusan
orang lain, maka hidupmu akan tenang. Prinsip itu berubah saat dirinya bertemu
dengan sosok Wulan dan adiknya. Tetangga di sebelah kamar rusunnya. Menyelamatkan
Wulan dan adiknya, membuat Sancaka harus berkelahi dengan beberapa preman pasar.
Dari perkelahian itu, secara tidak sengaja memicu kekuatan dalam diri Sancaka. Kekuatan
yang ada hubungannya dengan petir. Petir yang sedari kecil justru sangat dia
takuti. Sedikit demi sedikit, Sancaka mulai mencari tahu tentang kekuatan
tersebut.
Dari
perkelahian dengan preman pasar itu juga, mengaitkan Sancaka dengan Pengkor.
Seorang pimpinan mafia yang sangat berpengaruh. Pengkor ini ternyata memiliki
rencana jahat. Dia ingin merusak generasi Indonesia memakai serum, yang dia
sebarkan melalui perantara beras. Konflik antara Sancaka dan geng Pengkor
inilah yang menjadi inti cerita film Gundala. Ditambah tokoh-tokoh pendamping
lain, tentunya.
Begitu
sekilas alur cerita dari film Gundala. Lalu bagaimana kesan saya usai menonton
film ini? Secara umum, film Gundala adalah sebuah film yang bagus. Sangat bagus
malahan. Semua unsur sinematografi terpenuhi dalam film ini. Hanya saja, tidak
cukup memorriable. Keluar dari
teater, saya tidak mendapat kesan grande dari
film ini. Sisi anak-anak dalam diri saya tidak berteriak, WAH AKU INGIN JADI
GUNDALA!
Kalau
boleh saya memberi sedikit pendapat. Masalah ini disebabkan oleh alur cerita
dari film ini sendiri. Struktur alur yang dibangun terlalu bias. Tidak berpusat
pada sang tokoh utama. Terlalu banyak ‘cabang’ yang coba dimampatkan ke dalam durasi
dua jam tiga menit. Bukannya fokus untuk membangun ‘ikatan batin’ antara
penonton dengan Sancaka, film ini malah terkesan sibuk memunculkan
‘cabang-cabang’ untuk film berikutnya. Membuat rangkaian scene demi scene di film
ini jadi terkesan tercampur aduk. Akibatnya scene
antar scene jadi kurang merekat
dengan cerita Sancaka, sebagai tokoh utama. Bukan rahasia, kalau film Gundala ini
adalah pembuka dari Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Sebuah mega proyek,
yang akan menggabung superhero tanah
air dalam satu semesta. Meski tujuannya sudah jelas, namun ada baiknya kalau
semesta ini dibangun secara perlahan. Buatlah masyarakat Indonesia mengenali
dan mencintai para tokoh satu persatu.
Memang
sih film Gundala bercerita tentang sang tokoh utama sedari kecil. Tetapi, kisah
tersebut terasa tidak lebih layaknya tempelan. Sempat ada satu scene dimana Sancaka mengeluarkan petir
dari tubuhnya ketika ayahnya meninggal. Lalu tidak ada lanjutan terhadap scene tersebut. Kalau saja scene itu dijadikan awal dari Sancaka tahu
akan kekuatannya, maka tak perlu lagi ada scene
hujan tambahan, yang terasa terjadi terlalu ‘kebetulan’ di film ini. Iya, saya
menangkap kesan scene hujan dan petir
di film ini, terlalu berlebihan.
Andai dibuat
Sancaka sudah mampu mengendalikan kekuatannya sedari kecil atau remaja, maka
akan ada cukup durasi untuk mengeksplor lebih dalam si sosok villain. Tidak hanya
sekedar diceritakan lewat dialog flashback,
yang tak seberapa lama. Saya menyoroti soal ini, karena film superhero yang
bagus butuh villain yang juga berkualitas.
Villain yang berkarakter kuat. Villain yang berkarisma. Bukan seperti Pengkor,
yang tahu-tahu ada. Tahu-tahu berpikir untuk berbuat jahat. Tahu-tahu bertemu tokoh
utama. Tahu-tahu mati. Di akhir saya sampai meruntuk dalam hati. Serius? Cuma
segitu saja Pengkor ini?
Kurang
digalinya sosok Pengkor, membuat ‘benang merah’ antara dirinya dengan tokoh
Sancaka jadi terasa begitu tipis. Kenapa ya tadi kok keduanya bisa bertikai? Sungguh
saya bertanya-tanya dalam hati, begitu keluar dari teater. Karena kamar rusun
Wulan diserang anak buah Pengkor? Karena pasar tempat Wulan bekerja dibakar
anak buah Pengkor? Sebuah masalah yang terlalu sepele untuk bikin Pengkor
sampai turun gunung, bukan?
Di
sinilah saya kurang melihat sebuah ‘ikatan kuat’ antara Sancaka dan Pengkor.
Ikatan kurang kuat ini, kian dikacaukan lagi dengan ‘cabang’ villain lain,
yaitu Ghani Zulham. Tokoh Ghani ini menurut saya diungkap terlalu awal. Andai
dia diungkap di akhir film, akan jadi plot
twist yang luar biasa. Terungkap kalau kreator dari skenario besar ‘serum
amoral’ bukanlah dari Pengkor, tetapi Ghani. BOOM! Penonton akan dibikin kaget.
Dimana sedari awal penonton seolah terus ‘diyakinkan’, kalau Pengkor inilah si villain utama. Padahal otak dari rencana
jahat ini bukanlah dirinya. Biasanya kan Joko Anwar cukup ahli soal bikin plot twist macam ini.
Selain
itu, kemunculan Ki Wilawuk di film ini menurut saya terlalu prematur. Harusnya
dia bisa saja dimunculkan di film selanjutnya, Sri Asih. Ghani merasa butuh
‘bantuan’ untuk menghadapi Gundala, yang sudah berkolaborasi dengan Sri Asih.
Untuk itu dia membangkitkan Ki Wilawuk. Atau, kalaupun harus dikeluarkan di
film pertama. Villain ini dapat
dimunculkan di credit tittle, jadi
tidak mengganggu durasi film utama.
Satu lagi
yang jadi perhatian. Turning point
dimana Sancaka akhirnya memilih untuk memakai kekuatannya menumpas kejahatan. Spiderman
misalnya, disebabkan oleh kejadian meninggalnya sang paman. Batman, karena
dibunuhnya kedua orangnya. Iron Man, karena penculikan dirinya oleh teroris.
Hampir semua superhero punya
‘penyebab’ itu. Lalu bagaimana dengan Gundala? Kurang cukup jelas digambarkan
di film ini. Tahu-tahu Sancaka diserang di kantor. Tahu-tahu dilempar dari lantai
teratas gedung. Tahu-tahu disambar petir. Tahu-tahu sakti. Tahu-tahu mikir buat
bikin kostum. Tahu-tahu menumpas kejahatan. What?!?!
Padahal awalnya Sancaka ini kan pribadi yang sangat skeptis.
Yah, namanya juga
film superhero perdana. Lebih kurangnya masih bisa dimaklumi. Bagaimana pun
film Gundala bisa alternatif segar, setelah sekian lama dicekoki gendre
percintaan dan horor. Semoga di film Sri Asih, masalah-masalah ini bisa
diperbaiki. Kalau boleh saran, tolong banget fokus saja deh ke sosok Sri Asih
saja. Biarkan kami penonton mengenal sosok Sri Asih. Kan kata orang, tak kenal
maka tak sayang. Jangan lagi terlalu fokus untuk memasukkan ‘cabang-cabang’ untuk
film selanjutnya. ‘Cabang-cabang’ ini malah fokus penonton jadi ikut bercabang.
Ingat bagaimana Marvel membangun ‘dinastinya’? Dengan sangat sabar,
memperkenalkan superhero mereka satu
demi satu. Membiarkan tokoh-tokoh ini melekat dulu di hati para fans. Tidak seperti DC, dengan proyek ‘Batman vs Superman’ dan ‘Justice League’ mereka. Yang saya nilai ‘gagal’
sewaktu dilempar ke pasar.
Sri Asih,
saya menunggu kiprahmu...
.
M.H. Thamrin, 30 Agustus
2019
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar