Minggu, 29 Desember 2019

Masa Lalu Yang Kembali Bertemu


Hari itu matahari seolah lagi ingin menyombongkan kekuatannya. Buliran keringat membasahi wajah, leher, dan hampir sekujur tubuhku. Sudah sangat cukup menggambarkan bagaimana teriknya hari itu. Meski waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Tidak dapat lagi dibilang siang. Mereka yang tidak kuat sedari tadi sudah mencari tempat berteduh. Hanya sedikit saja yang masih bertahan. Salah satunya ya diriku ini. Masih bertahan aku menjelajahi areal seluas hampir 3,9 hektar tersebut. Ini bukanlah kali pertama aku datang ke tempat itu. Namun setiap kali datang, akan selalu aku dibuat kagum dengan keberadaannya. Lima buah bangunan berbentuk mirip stupa yang menjulang, akan langsung menarik perhatian mata siapapun yang datang. Tidak percaya kalau bangunan itu sudah berusia 856 masehi. Sudah sangat tua, tapi masih sangat berwibawa. Candi Prambanan, nama bangunan tersebut. Warisan budaya asli Indonesia, berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah.
Sebenarnya aku tak punya rencana berkunjung ke Candi Prambanan. Tujuan awalku datang ke Yogyakarta adalah untuk bekerja, bukan untuk liburan. Kebetulan pekerjaanku itu selesai lebih awal, jadi aku punya tambahan waktu sehari untuk berkeliling. Menikmati lagi keindahan kota Yogyakarta. Sebuah kota yang tercatat dalam sejarah, pernah menjadi ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah kebanggan yang luar biasa tentunya. Candi Prambanan ini menjadi tujuan keliling terakhirku, sebelum besok pagi kembali ke Jakarta lewat Bandara Adi Sucipto. Sengaja aku lakukan, karena ingin menikmati senja di Candi Prambanan. Sedari dulu, aku sudah jatuh cinta dengan suasana senja di tempat ini.
Matahari sedikit lagi akan turun, aku masih berada di areal Candi Sewu. Salah satu candi yang bisa dikatakan paling jauh dari areal candi utama. Candi utama yang orang-orang lebih kenal dengan sebutan Candi Roro Jonggrang. Sudah tahu sendiri kan sebutan itu berasal dari mana? Iya, dari sebuah legenda klasik Indonesia, kisah cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang.
Memang sangat jarang ada yang “menjelajah” sampai ke Candi Sewu ini. Terbukti dimana saat itu hanya ada aku dan dua orang bule di sana. Padahal keindahan corak dari candi tersebut tidak kalah dengan yang ada di areal candi utama. Bagi diriku sendiri, aku justru sangat menikmati suasana sunyi di Candi Sewu ini. Seolah bisa merasakan aura magis yang ada di lingkungan sekitarnya.
“Maaf Mas, bisa minta tolong buat fotoin kita?”
Aku sontak menoleh. Tidak menyadari, kalau aku sudah tak lagi sendiri di tempat itu. Soalnya tadi aku lihat kedua bule yang bersamaku sudah meninggalkan areal candi. Pemilik suara itu rupanya seorang gadis berambut hitam sebahu. Kaget aku melihat wajah gadis tersebut. Wajahnya sangatlah tidak asing. Ternyata tidak hanya diriku, gadis itu pun sama kagetnya.
“Erin?”
“Raka?”
Senang rasanya bisa melihat lagi seorang sahabat lama. Aku dan Erin dulu satu kampus saat di kuliah di UGM. Hampir lima atau enam tahun lamanya kami tidak sudah bertemu. Dia seingatku sih berasal dari Malang, Jawa Timur. Apakah dia ada kegiatan juga di Yogyakarta, atau untuk liburan?
“Kamu liburan nih ke Yogya?”
Eh, malah duluan dia yang menanyakan pertanyaan itu padaku.
“Nggak. Kebetulan ada event di sini, jadi mampir ke sini mumpung ada waktu.”
“Mengenang masa lalu?” Dia tersenyum simpul.
Balas aku tersenyum. “Begitulah.”
“Kalau kamu?” Tanyaku balik.
“Aku ngambil sisa cuti. Sekalian nengok kakek.”
“Terus ini siapa?”
Gadis di sebelah Erin menyodorkan tangannya. Kalau tidak salah perkiraan, gadis itu seumuran dengan teman lamaku itu. Perawakannya pun mirip. Pastilah kedua gadis itu punya hubungan saudara.
“Sinta.”
“Sinta ini sepupuku.”
Kalimat Erin itu pun membenarkan perkiraanku tadi.
Sama sekali tak ada yang berubah dengan Erin. Masih seperti Erin yang kukenal dulu. Mungkin rambutnya saja yang berbeda. Dulu Erin membiarkannya hitam polos. Kini dia mewarnainya dengan sedikit corak pirang. Jadi kelihatan lebih fresh sih.
“Jadi ngambil fotonya?”
Tanyaku untuk memecah kekikukan yang kini menyelimuti kami.
“Oh i-iya. Ini...”
Erin menyerahkan kamera miliknya. Kedua gadis itu pun mulai berpose. Aku ambil beberapa foto dari beberapa sudut.
“Kameramu sama nih sama kameraku,” celetukku sebelum menyerahkan kembali kamera milik Erin tersebut.
“Oya? Masa sih?”
Aku keluarkan kamera milikku dari dalam tas. Dan Erin tersenyum melihatnya.
“Beda di lensanya aja.” Menyadari kalau pada kamera Erin tidak lagi terpasang lensa kit. Yang terpasang adalah lensa fix, yang aku tahu harganya tidak murah. “Suka fotografi pasti nih...”
“Nggak juga. Cuma kalau kebetulan travelling kan sayang kalau nggak diabadiin.”
“Masih suka berburu senja?”
Aku tertawa kecil. Teringat sekelumit kisah kami di masa lalu. Cukup banyak kisah yang kami lalui di masa lalu. Beberapa bahkan cukup membekas. Paling tidak bagi diriku. Entah bagi Erin.
Dia ikut tertawa. “Begitulah. Kamu?”
“Kamu pikir kenapa aku masih keluyuran di tempat ini, jam segini, buat apaan coba?”
Tawa kami pecah berbarengan. Sinta pun jadi ikut tersenyum mendengar interaksi kami.
Beranjak kemudian kami untuk kembali menuju ke areal candi utama. Tidak lama lagi matahari akan menuju ke peraduannya. Momen indah yang memang sama-sama kami incar. Yang sama-sama ingin kami abadikan lewat lensa kamera.
Bertiga kami sudah duduk manis di hamparan rumput. Ternyata di sana tidak hanya ada kami. Beberapa orang ikut berkumpul secara berkelompok terpisah-pisah. Ikut serta menunggu momen yang kami tunggu. Perlahan langit di atas Prambanan mulai memerah. Menjadi sebuah latar belakang yang indah, yang menambah kesan megah. Duduk kami di sana sampai matahari sepenuhnya “terlelap”. Sisa waktu kami habiskan dengan berbincang. Banyak sekali cerita yang ingin kami bagikan. Belum lagi ditambah cerita milik Sinta. Tidak terasa hari pun beranjak larut.
“Kamu nginep di mana?”
Aku sebutkan sebuah nama hotel. “Deket sini, biar besok nggak jauh ke bandaranya.”
“Itu searah sama rumahku. Mau aku anter nggak?”
Sempat aku tolak, tapi teman lamaku itu terus memaksa. Jadilah kemudian aku semobil dengan Erin dan sepupunya. Sempat kami mampir ke sebuah angkringan pinggir jalan, untuk makan malam. Tempat makan yang dulu sering kami kunjungi sewaktu kuliah. Cita rasanya masih sama di lidahku. Lagi-lagi momen itu melayangkan memoriku ke masa lalu. Memori dimana Erin ada di situ.
“Bulan Juni nanti aku ada rencana ke Jakarta.”
“Serius?”
Erin mengangguk. “Pengen ngeliat Monas.”
Aku terbahak mendengarnya. Erin ikutan tertawa. Aku tahu Erin sudah pernah melihat Monas sebelumnya. Kan aku ikut bersamanya waktu itu. Ketika itu bersama beberapa teman, kami mewakili kampus mengikuti lomba debat tingkat Nasional. Di tengah kegiatan kami sempatkan untuk main ke Monas. Tidak lama sih, tapi cukuplah untuk melihat-lihat situasi sekitarnya. Entah Erin ingat momen itu atau tidak. Apapun alasan kedatangannya ke Jakarta, sebagai teman yang sementara berdomisili di Jakarta, tentu aku wajib untuk menemani.
Kami pun bertukar nomor telepon.
 Pertemuan hari itu berakhir begitu aku memasuki lobi hotel. Memang sebuah pertemuan yang singkat, tetapi teramat berkesan. Sebuah nama yang sempat terlupa, kini kembali memiliki makna.
*****
Tak ada yang istimewa terjadi di ibukota negara hari itu. Masih berkutat dengan kemacetan lalu lintasnya. Masih lekat dengan hiruk-pikuk ragam manusianya. Masih sama seperti hari-hari biasanya. Hari itu aku duduk di sebuah kedai kopi. Menunggu Erin yang kemarin menelepon. Teman lamaku itu ternyata jadi datang ke Jakarta. Malah menurut pengakuan, dia sudah ada di sana tiga hari lamanya. Baru saja pesananku datang, sosok Erin memasuki pintu kedai. Langsung aku melambaikan tangan. Dia tersenyum saat melihat keberadaanku, dan ikut melambai.
Sorry telat. Maih bingung sama alur baru rutenya Trans Jakarta.”
Aku tersenyum. Jangankan dia, aku yang sudah lama di Jakarta saja masih suka bingung kok.
“Nggak apa-apa.”
Aku persilakan dia duduk. “Kamu mau minum apa?”
“Samain aja deh kayak kamu.”
Melambai kemudian aku kepada pelayan kedai. Memesankan minuman yang sama untuk Erin.
“Kamu ke Jakarta sama siapa?”
“Sama Sinta.”
“Lho dia di mana sekarakng?”
“Di hotel. Katanya males kalo musti jalan-jalan di Jakarta siang-siang. Panas.”
Aku tertawa kecil. Benarnya sekali pilihan Sinta itu. Atas dasar pertimbangan itu pula aku ajak Erin bersantai dahulu. Menunggu matahari di langit ibukota jadi sedikit lebih bersahabat. Sementara menunggu, kami berbincang mengenai banyak hal. Selain masa lalu, kami bahas juga soal fotografi. Tema ini tentu ada kaitannya dengan tempat yang akan kami tuju nanti. Kawasan Kota Tua, di jalan Taman Fatahillah. Erin bilang tidak punya acara khusus hari itu. Pokoknya yang penting jalan-jalan. Maka aku ajak dia untuk ikut hunting foto. Bersama dengan komunitas, dimana aku sudah turut serta jadi anggotanya beberapa bulan ke belakang ini.
Satu jam berbincang, kami tinggalkan kedai kopi tersebut. Kami berangkat pakai sepeda motor. Sesuatu yang lagi-lagi sering kali kami lakukan di masa lalu. Gadis itu sering menumpang motorku, sepulang dari kampus. Dia bisa irit biaya angkot, sedang aku jadi kelihatan tidak jomblo-jomblo amat. Sebuah hubungan mutualisme yang sama-sama menguntungkan, bukan?
Sore itu Kawasan Kota Tua lebih ramai dari biasanya. Festival budaya yang diadakan di sana cukup menarik minat masyarakat untuk datang. Keramaian itulah yang memang menjadi tujuan kami. Ada sensasi kenikmatan tersendiri bagi pencinta fotografi, melakukan street photography di tengah keramaian manusia.
“Dateng juga lu Bro, kirain batal ikutan kita.”
Seorang teman menyambut aku dan Erin. Rupanya sudah cukup banyak yang datang. Mereka bilang sebentar lagi akan mulai berkeliling. Aku kenalkan Erin kepada teman lainnya, yang tentu saja disambut dengan hangat. Ditambah cukup banyak juga fotografer wanita yang datang hari itu.
Ketika mulai keliling kami cukup beruntung, karena beragam tarian asli Betawi baru saja mulai dipentaskan. Ada Tari Yapong, Tari Lenggang Nyai, Tari Sirih Kuning, dan tentu saja tarian Ondel-Ondel. Langsung kami siagakan kamera dan lensa zoom masing-masing. Mulai mengambil foto demi foto, mengabadikan momen tersebut. Aku perlihatkan hasil fotoku pada Erin, begitu pula dengan hasil fotonya. Kami saling memberi komentar. Mungkin ada kurang di diafragma, mungkin ada kurang di shutter speed, atau ada kurang di ISO. Tidak Cuma fokus pada tradisi budaya yang lagi dipentaskan, kami juga mengambil foto situasi sekitar. Ekspresi gembira para penonton. Anak-anak yang sedang berlarian. Pedagang kaki lima yang lagi berjualan. Dan banyak hal lain yang menurut kami menarik untuk diabadikan.
Puas berkeliling selama hampir dua jam, kami duduk di salah satu sudut di Kawasan Kota Tua. Dekat sungai yang baru saja direnovasi. Disulap menjadi mirip sungai di kawasan Eropa.
“Kamu mau kerak telor? Udah lama banget aku nggak makan makanan itu.”
“Boleh.”
Berdiri aku, lalu mengikuti langkah Erin yang sudah lebih dulu mendekati lapak penjual. Tidak hanya Erin, aku juga sudah lama tidak menikmati makanan khas Betawi tersebut. Makanan yang merupakan campuran dari beras ketan putih, kelapa parut yang disangrai, telur bebek, ebi (udang kering yang diasinkan), bawang goreng, dan bumbu-bumbu penyedap lain yang dihaluskan. Kesemua bahan ini kemudian digoreng dalam sebuah wajan cekung. Rasanya gurih-gurih legit di lidah. Katanya sih, menurut gosip, makanan ini ditemukan secara tidak sengaja. Berawal dari keisengan sekelompok masyarakat Betawi, yang berdiam di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika duduk berdua sambil menikmati kerak telor, empat orang teman mendatangi kami.
“Kita mau lanjut ambil foto di Taman Menteng nih, mau ikutan nggak?”
Aku menoleh kepada Erin. Dia mengangguk. “Boleh.”
Tak perlu waktu lama, kami pun sudah menikmati suasana malam ibukota di Taman Menteng. Selain mengambil foto, di sana kami juga makan malam di salah satu warung. Aku perhatikan Erin sangat sering tertawa dan tersenyum. Senang aku melihat itu. Berarti aku sudah jadi tuan rumah yang baik. Malam sudah larut, ketika kami berenam berpisah.
“Kalau nanti aku yang gantian ke Malang, bagaimana?” Aku sedikit berteriak, agar terdengar oleh Erin di boncengan belakang. Deru angin malam itu memang sedikit agak kencang.
“Boleh. Kabarin aja kalo mau dateng.”
Aku tersenyum mendengarnya. Entah kenapa ide itu tercetus di benakku, saat itu. Mungkin aku cuma ingin kebersamaan bersama Erin ini bisa terus berlanjut. Semoga saja Erin juga punya keinginan yang sama. Paling tidak jawaban tadi memberi secercah harapan.
Hari itu, seperti pertemuan sebelumnya berakhir di lobi hotel. Dimana Sinta sudah menunggu. Baru saja berpisah, aku sudah tidak sabar lagi untuk bisa bertemu dengan Erin.
*****
Hampir empat belas jam perjalanan dari Stasiun Gambir, akhirnya aku tiba di Stasiun Malang Kotabaru. Sebenarnya bisa saja aku memilih naik pesawat, tapi aku kangen dengan sensasi naik kereta api. Sudah beberapa minggu aku dan Erin berkomukasi. Membahas rencana kedatanganku ke Malang. Kami sepakat untuk jalan ke Bromo. Erin menyarankan tempat itu, karena kebetulan sedang ada acara adat di gunung Bromo. Upacara Kasada, yaitu bentuk ritual pelemparan berbagai hasil bumi ke mulut kawah Bromo. Merupakan bentuk perwujudan rasa syukur Suku Tengger terhadap segala berkah yang telah diberikan oleh Sang Hyang Widhi.
“Kamu pasti suka, soalnya menurut sejarah Suku Tengger ini memiliki kaitan yang erat dengan Hindu di Bali.” Begitu kata Erin hari itu. Dia tahu aku memiliki darah Bali, dari ayahku. Maka dari itu dia mengajak aku melihat langsung, bagaimana prosesi ritual Kasada tersebut dilaksanakan. Unik juga lho kalo difoto, tambahnya lagi saat itu.
Baru saja melewati pintu keluar, aku sedikit terkejut karena malah Sinta yang menyambutku. Tidak ada sosok Erin di sana.
“Lho Erin mana, Ta?”
“Dia di rumah sakit.” Terasa nada kegundahan pada suara Sinta.
“Rumah sakit? Kenapa dia?”
“Penyakit radang paru-parunya kambuh. Bisa kita bicara di mobil aja?”
Mengangguk aku dengan was-was. Bergegas kuikuti langkah Sinta menuju parkiran. Berbagai perasan bercampur aduk di benakku saat itu. Banyak pertanyaan juga membutuhkan jawaban saat itu.
“Dia sudah lama sakit. Sudah lama dia musti bolak-balik ke Jakarta buat rawat jalan.”
“Jadi dia Jakarta kemarin itu buat berobat?”
“Iya. Aku sempet larang dia buat ketemu kamu karena baru habis terapi. Tapi dia keras kepala.”
Itu menjelaskan kenapa wajah Sinta terlihat gusar di lobi malam itu. Baru pula terungkap kalau Sinta ini bukan hanya sepupu Erin, tapi juga merangkap dokter pribadinya. Itulah kenapa Sinta selalu ada di sisi Erin, kemanapun dirinya pergi. Berjaga-jaga seandainya penyakit Erin kambuh.
“Maaf, andai saja aku tahu soal penyakit Erin ini sejak awal.”
“Bukan salah kamu. Erin memang nggak mau kamu tahu kok soal penyakitnya. Dia mau kamu melihat Erin seperti Erin yang dulu, bukan Erin yang penyakitan seperti sekarang.”
Tertegun aku mendengar kata-kata Sinta tadi. “Kenapa dia musti melakukan itu?”
“Ya demi kamu.”
“Demi aku?”
“Iya. Dia bilang kalau dulu dia udah jahat ama kamu. Waktu dia nolak kamu. Dia mau menebus kesalahannya waktu itu.”
Kembali aku tertegun. Ya ampun Erin, ternyata kamu masih mengingat momen itu. Momen di mana aku pernah menyatakan cinta pada dirinya. Sebenarnya aku memang sudah tahu akan ditolak. Siapa sih diriku saat itu, yang bukanlah siapa-siapa. Sedangkan dirinya adalah bunga kampus. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mengungkapkan perasaan kan? Prinsipku, rasa cinta itu musti diungkapkan, kalau tidak maka dia akan menjadi racun. Lebih baik ditolak, ketimbang harus memendam rasa. Aku melakukan itu untuk diriku sendiri. Menolak atau menerima adalah hak Erin sepenuhnya. Sungguh, apapun jawaban dia, tak akan pernah mengurangi rasa sayangku ke Erin sama sekali. Beberapa bulan ini sudah cukup menjadi buktinya.
“Erin itu perfeksionis banget anaknya. Tahu kalau kamu ada datang, sudah dari jauh-jauh hari dia berkeliling. Survey lokasi, kemana saja tempat yang bagus buat mengajak kamu. Semua itu justru bikin dia kelelahan. Kemarin malam puncaknya.”
Sinta terdiam sejenak.
“Aku bisa saja melarang Erin, tapi aku tidak kuasa ketika melihat cahaya di matanya. Aku tahu dia bahagia melakukannya. Mata itu mulai bercahaya, dan terus bercahaya, sehabis bertemu dengan kamu di Jakarta. Kamu bikin dia melupakan penyakitnya.”
Tidak tahu aku harus berkomentar apa. Kenapa sih Erin musti melakukan semua ini. Harusnya dia tahu, bukan masalah di mana tempatnya. Bagiku, sudah bisa bersama dia saja aku sudah bahagia.
Di sela kesibukanku bergelut dengan pikiranku sendiri, Sinta melanjutkan kata-katanya.
“Aku sudah berjanji ke Erin tidak akan mengatakan semua ini ke kamu. Tapi kamu harus tahu, dan kamu berhak untuk tahu.”
“Terima kasih sudah mengatakan semua ini, Ta.”
Disisa perjalanan kami berdua hanya terdiam. Sampai mobil memasuki areal rumah sakit.
Sewaktu tiba di ruang ICU, aku bertemu dengan orang tuanya Erin. Sepertinya mereka sudah pernah mendengar tentang aku. Mungkin Erin atau Sinta yang cerita. Mereka menyambut aku dengan sangat hangat. Mereka bilang saat ini Erin masih belum sadar. Tapi kata mereka, dalam tidurnya Erin tadi sempat menyebut namaku.
Dari kaca ruangan, aku bisa melihat Erin masih terbaring. Wajahnya masih terlihat pucat, meski tidak mengurangi kecantikannya. Kini aku yang jadi bimbang. Harus masuk atau tetap menunggu di luar. Sungguh saat bertemu dia di Prambanan, aku tidak menaruh harapan apapun. Aku hanya bahagia karena bisa melihat wajah Erin lagi. Bahagia bisa menghabiskan sedikit waktu lagi bersamanya. Itu saja, sungguh itu saja. Kini kenyataan malah menunjukkan kalau ada kesempatan kedua. Kesempatan yang bahkan tidak pernah berani aku impikan akan ada. Tetapi tentu aku tidak mau jumawa. Tidak sebelum kedua mata itu terbuka. Sebelum aku mendapat jawabannya, yang terpenting saat ini adalah Erin butuh aku ada di sampingnya. Paling tidak sebagai seorang teman. Biarlah nanti sang waktu saja yang mengungkapkan rahasianya. Rahasia kenapa kami berdua dipertemukan kembali olehnya.

Denpasar, 25 Nopember 2019.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar