Hari itu
matahari seolah lagi ingin menyombongkan kekuatannya. Buliran keringat
membasahi wajah, leher, dan hampir sekujur tubuhku. Sudah sangat cukup
menggambarkan bagaimana teriknya hari itu. Meski waktu sudah menunjukkan pukul
tiga. Tidak dapat lagi dibilang siang. Mereka yang tidak kuat sedari tadi sudah
mencari tempat berteduh. Hanya sedikit saja yang masih bertahan. Salah satunya
ya diriku ini. Masih bertahan aku menjelajahi areal seluas hampir 3,9 hektar
tersebut. Ini bukanlah kali pertama aku datang ke tempat itu. Namun setiap kali
datang, akan selalu aku dibuat kagum dengan keberadaannya. Lima buah bangunan
berbentuk mirip stupa yang menjulang, akan langsung menarik perhatian mata
siapapun yang datang. Tidak percaya kalau bangunan itu sudah berusia 856
masehi. Sudah sangat tua, tapi masih sangat berwibawa. Candi Prambanan, nama
bangunan tersebut. Warisan budaya asli Indonesia, berlokasi di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Tengah.
Sebenarnya aku tak punya rencana berkunjung ke Candi Prambanan. Tujuan
awalku datang ke Yogyakarta adalah untuk bekerja, bukan untuk liburan.
Kebetulan pekerjaanku itu selesai lebih awal, jadi aku punya tambahan waktu
sehari untuk berkeliling. Menikmati lagi keindahan kota Yogyakarta. Sebuah kota
yang tercatat dalam sejarah, pernah menjadi ibukota dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sebuah kebanggan yang luar biasa tentunya. Candi Prambanan
ini menjadi tujuan keliling terakhirku, sebelum besok pagi kembali ke Jakarta
lewat Bandara Adi Sucipto. Sengaja aku lakukan, karena ingin menikmati senja di
Candi Prambanan. Sedari dulu, aku sudah jatuh cinta dengan suasana senja di tempat
ini.
Matahari sedikit lagi akan turun, aku masih berada di areal Candi Sewu.
Salah satu candi yang bisa dikatakan paling jauh dari areal candi utama. Candi
utama yang orang-orang lebih kenal dengan sebutan Candi Roro Jonggrang. Sudah
tahu sendiri kan sebutan itu berasal dari mana? Iya, dari sebuah legenda klasik
Indonesia, kisah cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang.
Memang sangat jarang ada yang “menjelajah” sampai ke Candi Sewu ini.
Terbukti dimana saat itu hanya ada aku dan dua orang bule di sana. Padahal
keindahan corak dari candi tersebut tidak kalah dengan yang ada di areal candi
utama. Bagi diriku sendiri, aku justru sangat menikmati suasana sunyi di Candi
Sewu ini. Seolah bisa merasakan aura magis yang ada di lingkungan sekitarnya.
“Maaf Mas, bisa minta tolong buat fotoin kita?”
Aku sontak menoleh. Tidak menyadari, kalau aku sudah tak lagi sendiri di
tempat itu. Soalnya tadi aku lihat kedua bule yang bersamaku sudah meninggalkan
areal candi. Pemilik suara itu rupanya seorang gadis berambut hitam sebahu.
Kaget aku melihat wajah gadis tersebut. Wajahnya sangatlah tidak asing.
Ternyata tidak hanya diriku, gadis itu pun sama kagetnya.
“Erin?”
“Raka?”
Senang rasanya bisa melihat lagi seorang sahabat lama. Aku dan Erin dulu
satu kampus saat di kuliah di UGM. Hampir lima atau enam tahun lamanya kami
tidak sudah bertemu. Dia seingatku sih berasal dari Malang, Jawa Timur. Apakah
dia ada kegiatan juga di Yogyakarta, atau untuk liburan?
“Kamu liburan nih ke Yogya?”
Eh, malah duluan dia yang menanyakan pertanyaan itu padaku.
“Nggak. Kebetulan ada event di
sini, jadi mampir ke sini mumpung ada waktu.”
“Mengenang masa lalu?” Dia tersenyum simpul.
Balas aku tersenyum. “Begitulah.”
“Kalau kamu?” Tanyaku balik.
“Aku ngambil sisa cuti. Sekalian nengok kakek.”
“Terus ini siapa?”
Gadis di sebelah Erin menyodorkan tangannya. Kalau tidak salah
perkiraan, gadis itu seumuran dengan teman lamaku itu. Perawakannya pun mirip.
Pastilah kedua gadis itu punya hubungan saudara.
“Sinta.”
“Sinta ini sepupuku.”
Kalimat Erin itu pun membenarkan perkiraanku tadi.
Sama sekali tak ada yang berubah dengan Erin. Masih seperti Erin yang
kukenal dulu. Mungkin rambutnya saja yang berbeda. Dulu Erin membiarkannya
hitam polos. Kini dia mewarnainya dengan sedikit corak pirang. Jadi kelihatan
lebih fresh sih.
“Jadi ngambil fotonya?”
Tanyaku untuk memecah kekikukan yang kini menyelimuti kami.
“Oh i-iya. Ini...”
Erin menyerahkan kamera miliknya. Kedua gadis itu pun mulai berpose. Aku
ambil beberapa foto dari beberapa sudut.
“Kameramu sama nih sama kameraku,” celetukku sebelum menyerahkan kembali
kamera milik Erin tersebut.
“Oya? Masa sih?”
Aku keluarkan kamera milikku dari dalam tas. Dan Erin tersenyum
melihatnya.
“Beda di lensanya aja.” Menyadari kalau pada kamera Erin tidak lagi
terpasang lensa kit. Yang terpasang adalah lensa fix, yang aku tahu harganya
tidak murah. “Suka fotografi pasti nih...”
“Nggak juga. Cuma kalau kebetulan travelling
kan sayang kalau nggak diabadiin.”
“Masih suka berburu senja?”
Aku tertawa kecil. Teringat sekelumit kisah kami di masa lalu. Cukup
banyak kisah yang kami lalui di masa lalu. Beberapa bahkan cukup membekas.
Paling tidak bagi diriku. Entah bagi Erin.
Dia ikut tertawa. “Begitulah. Kamu?”
“Kamu pikir kenapa aku masih keluyuran di tempat ini, jam segini, buat
apaan coba?”
Tawa kami pecah berbarengan. Sinta pun jadi ikut tersenyum mendengar
interaksi kami.
Beranjak kemudian kami untuk kembali menuju ke areal candi utama. Tidak
lama lagi matahari akan menuju ke peraduannya. Momen indah yang memang
sama-sama kami incar. Yang sama-sama ingin kami abadikan lewat lensa kamera.
Bertiga kami sudah duduk manis di hamparan rumput. Ternyata di sana
tidak hanya ada kami. Beberapa orang ikut berkumpul secara berkelompok
terpisah-pisah. Ikut serta menunggu momen yang kami tunggu. Perlahan langit di
atas Prambanan mulai memerah. Menjadi sebuah latar belakang yang indah, yang
menambah kesan megah. Duduk kami di sana sampai matahari sepenuhnya “terlelap”.
Sisa waktu kami habiskan dengan berbincang. Banyak sekali cerita yang ingin
kami bagikan. Belum lagi ditambah cerita milik Sinta. Tidak terasa hari pun
beranjak larut.
“Kamu nginep di mana?”
Aku sebutkan sebuah nama hotel. “Deket sini, biar besok nggak jauh ke
bandaranya.”
“Itu searah sama rumahku. Mau aku anter nggak?”
Sempat aku tolak, tapi teman lamaku itu terus memaksa. Jadilah kemudian
aku semobil dengan Erin dan sepupunya. Sempat kami mampir ke sebuah angkringan pinggir jalan, untuk makan
malam. Tempat makan yang dulu sering kami kunjungi sewaktu kuliah. Cita rasanya
masih sama di lidahku. Lagi-lagi momen itu melayangkan memoriku ke masa lalu.
Memori dimana Erin ada di situ.
“Bulan Juni nanti aku ada rencana ke Jakarta.”
“Serius?”
Erin mengangguk. “Pengen ngeliat Monas.”
Aku terbahak mendengarnya. Erin ikutan tertawa. Aku tahu Erin sudah
pernah melihat Monas sebelumnya. Kan aku ikut bersamanya waktu itu. Ketika itu
bersama beberapa teman, kami mewakili kampus mengikuti lomba debat tingkat
Nasional. Di tengah kegiatan kami sempatkan untuk main ke Monas. Tidak lama
sih, tapi cukuplah untuk melihat-lihat situasi sekitarnya. Entah Erin ingat
momen itu atau tidak. Apapun alasan kedatangannya ke Jakarta, sebagai teman
yang sementara berdomisili di Jakarta, tentu aku wajib untuk menemani.
Kami pun bertukar nomor telepon.
Pertemuan hari itu berakhir
begitu aku memasuki lobi hotel. Memang sebuah pertemuan yang singkat, tetapi
teramat berkesan. Sebuah nama yang sempat terlupa, kini kembali memiliki makna.
*****
Tak ada yang istimewa terjadi di ibukota negara hari itu. Masih berkutat
dengan kemacetan lalu lintasnya. Masih lekat dengan hiruk-pikuk ragam
manusianya. Masih sama seperti hari-hari biasanya. Hari itu aku duduk di sebuah
kedai kopi. Menunggu Erin yang kemarin menelepon. Teman lamaku itu ternyata
jadi datang ke Jakarta. Malah menurut pengakuan, dia sudah ada di sana tiga
hari lamanya. Baru saja pesananku datang, sosok Erin memasuki pintu kedai.
Langsung aku melambaikan tangan. Dia tersenyum saat melihat keberadaanku, dan
ikut melambai.
“Sorry telat. Maih bingung
sama alur baru rutenya Trans Jakarta.”
Aku tersenyum. Jangankan dia, aku yang sudah lama di Jakarta saja masih
suka bingung kok.
“Nggak apa-apa.”
Aku persilakan dia duduk. “Kamu mau minum apa?”
“Samain aja deh kayak kamu.”
Melambai kemudian aku kepada pelayan kedai. Memesankan minuman yang sama
untuk Erin.
“Kamu ke Jakarta sama siapa?”
“Sama Sinta.”
“Lho dia di mana sekarakng?”
“Di hotel. Katanya males kalo musti jalan-jalan di Jakarta siang-siang.
Panas.”
Aku tertawa kecil. Benarnya sekali pilihan Sinta itu. Atas dasar
pertimbangan itu pula aku ajak Erin bersantai dahulu. Menunggu matahari di
langit ibukota jadi sedikit lebih bersahabat. Sementara menunggu, kami
berbincang mengenai banyak hal. Selain masa lalu, kami bahas juga soal
fotografi. Tema ini tentu ada kaitannya dengan tempat yang akan kami tuju
nanti. Kawasan Kota Tua, di jalan Taman Fatahillah. Erin bilang tidak punya
acara khusus hari itu. Pokoknya yang penting jalan-jalan. Maka aku ajak dia
untuk ikut hunting foto. Bersama
dengan komunitas, dimana aku sudah turut serta jadi anggotanya beberapa bulan
ke belakang ini.
Satu jam berbincang, kami tinggalkan kedai kopi tersebut. Kami berangkat
pakai sepeda motor. Sesuatu yang lagi-lagi sering kali kami lakukan di masa
lalu. Gadis itu sering menumpang motorku, sepulang dari kampus. Dia bisa irit
biaya angkot, sedang aku jadi kelihatan tidak jomblo-jomblo amat. Sebuah hubungan mutualisme yang sama-sama menguntungkan, bukan?
Sore itu Kawasan Kota Tua lebih ramai dari biasanya. Festival budaya
yang diadakan di sana cukup menarik minat masyarakat untuk datang. Keramaian
itulah yang memang menjadi tujuan kami. Ada sensasi kenikmatan tersendiri bagi
pencinta fotografi, melakukan street photography
di tengah keramaian manusia.
“Dateng juga lu Bro, kirain batal ikutan kita.”
Seorang teman menyambut aku dan Erin. Rupanya sudah cukup banyak yang
datang. Mereka bilang sebentar lagi akan mulai berkeliling. Aku kenalkan Erin
kepada teman lainnya, yang tentu saja disambut dengan hangat. Ditambah cukup
banyak juga fotografer wanita yang datang hari itu.
Ketika mulai keliling kami cukup beruntung, karena beragam tarian asli
Betawi baru saja mulai dipentaskan. Ada Tari Yapong, Tari Lenggang Nyai, Tari Sirih
Kuning, dan tentu saja tarian Ondel-Ondel. Langsung kami siagakan kamera dan
lensa zoom masing-masing. Mulai
mengambil foto demi foto, mengabadikan momen tersebut. Aku perlihatkan hasil
fotoku pada Erin, begitu pula dengan hasil fotonya. Kami saling memberi
komentar. Mungkin ada kurang di diafragma,
mungkin ada kurang di shutter speed, atau ada kurang di ISO. Tidak Cuma fokus
pada tradisi budaya yang lagi dipentaskan, kami juga mengambil foto situasi
sekitar. Ekspresi gembira para penonton. Anak-anak yang sedang berlarian.
Pedagang kaki lima yang lagi berjualan. Dan banyak hal lain yang menurut kami
menarik untuk diabadikan.
Puas berkeliling selama hampir dua jam, kami duduk di salah satu sudut
di Kawasan Kota Tua. Dekat sungai yang baru saja direnovasi. Disulap menjadi
mirip sungai di kawasan Eropa.
“Kamu mau kerak telor? Udah lama banget aku nggak makan makanan itu.”
“Boleh.”
Berdiri aku, lalu mengikuti langkah Erin yang sudah lebih dulu mendekati
lapak penjual. Tidak hanya Erin, aku juga sudah lama tidak menikmati makanan
khas Betawi tersebut. Makanan yang merupakan campuran dari beras ketan putih,
kelapa parut yang disangrai, telur bebek, ebi (udang kering yang diasinkan),
bawang goreng, dan bumbu-bumbu penyedap lain yang dihaluskan. Kesemua bahan ini
kemudian digoreng dalam sebuah wajan cekung. Rasanya gurih-gurih legit di
lidah. Katanya sih, menurut gosip, makanan ini ditemukan secara tidak sengaja.
Berawal dari keisengan sekelompok masyarakat Betawi, yang berdiam di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika duduk berdua sambil menikmati kerak telor, empat orang teman
mendatangi kami.
“Kita mau lanjut ambil foto di Taman Menteng nih, mau ikutan nggak?”
Aku menoleh kepada Erin. Dia mengangguk. “Boleh.”
Tak perlu waktu lama, kami pun sudah menikmati suasana malam ibukota di
Taman Menteng. Selain mengambil foto, di sana kami juga makan malam di salah
satu warung. Aku perhatikan Erin sangat sering tertawa dan tersenyum. Senang
aku melihat itu. Berarti aku sudah jadi tuan rumah yang baik. Malam sudah
larut, ketika kami berenam berpisah.
“Kalau nanti aku yang gantian ke Malang, bagaimana?” Aku sedikit
berteriak, agar terdengar oleh Erin di boncengan belakang. Deru angin malam itu
memang sedikit agak kencang.
“Boleh. Kabarin aja kalo mau dateng.”
Aku tersenyum mendengarnya. Entah kenapa ide itu tercetus di benakku,
saat itu. Mungkin aku cuma ingin kebersamaan bersama Erin ini bisa terus
berlanjut. Semoga saja Erin juga punya keinginan yang sama. Paling tidak
jawaban tadi memberi secercah harapan.
Hari itu, seperti pertemuan sebelumnya berakhir di lobi hotel. Dimana
Sinta sudah menunggu. Baru saja berpisah, aku sudah tidak sabar lagi untuk bisa
bertemu dengan Erin.
*****
Hampir empat belas jam perjalanan dari Stasiun Gambir, akhirnya aku tiba
di Stasiun Malang Kotabaru. Sebenarnya bisa saja aku memilih naik pesawat, tapi
aku kangen dengan sensasi naik kereta api. Sudah beberapa minggu aku dan Erin
berkomukasi. Membahas rencana kedatanganku ke Malang. Kami sepakat untuk jalan ke
Bromo. Erin menyarankan tempat itu, karena kebetulan sedang ada acara adat di
gunung Bromo. Upacara Kasada, yaitu bentuk ritual pelemparan berbagai hasil
bumi ke mulut kawah Bromo. Merupakan bentuk perwujudan rasa syukur Suku Tengger
terhadap segala berkah yang telah diberikan oleh Sang Hyang Widhi.
“Kamu pasti suka, soalnya menurut sejarah Suku Tengger ini memiliki
kaitan yang erat dengan Hindu di Bali.” Begitu kata Erin hari itu. Dia tahu aku
memiliki darah Bali, dari ayahku. Maka dari itu dia mengajak aku melihat
langsung, bagaimana prosesi ritual Kasada tersebut dilaksanakan. Unik juga lho kalo difoto, tambahnya
lagi saat itu.
Baru saja melewati pintu keluar, aku sedikit terkejut karena malah Sinta
yang menyambutku. Tidak ada sosok Erin di sana.
“Lho Erin mana, Ta?”
“Dia di rumah sakit.” Terasa nada kegundahan pada suara Sinta.
“Rumah sakit? Kenapa dia?”
“Penyakit radang paru-parunya kambuh. Bisa kita bicara di mobil aja?”
Mengangguk aku dengan was-was. Bergegas kuikuti langkah Sinta menuju
parkiran. Berbagai perasan bercampur aduk di benakku saat itu. Banyak
pertanyaan juga membutuhkan jawaban saat itu.
“Dia sudah lama sakit. Sudah lama dia musti bolak-balik ke Jakarta buat
rawat jalan.”
“Jadi dia Jakarta kemarin itu buat berobat?”
“Iya. Aku sempet larang dia buat ketemu kamu karena baru habis terapi.
Tapi dia keras kepala.”
Itu menjelaskan kenapa wajah Sinta terlihat gusar di lobi malam itu.
Baru pula terungkap kalau Sinta ini bukan hanya sepupu Erin, tapi juga
merangkap dokter pribadinya. Itulah kenapa Sinta selalu ada di sisi Erin,
kemanapun dirinya pergi. Berjaga-jaga seandainya penyakit Erin kambuh.
“Maaf, andai saja aku tahu soal penyakit Erin ini sejak awal.”
“Bukan salah kamu. Erin memang nggak mau kamu tahu kok soal penyakitnya.
Dia mau kamu melihat Erin seperti Erin yang dulu, bukan Erin yang penyakitan
seperti sekarang.”
Tertegun aku mendengar kata-kata Sinta tadi. “Kenapa dia musti melakukan
itu?”
“Ya demi kamu.”
“Demi aku?”
“Iya. Dia bilang kalau dulu dia udah jahat ama kamu. Waktu dia nolak
kamu. Dia mau menebus kesalahannya waktu itu.”
Kembali aku tertegun. Ya ampun Erin, ternyata kamu masih mengingat momen
itu. Momen di mana aku pernah menyatakan cinta pada dirinya. Sebenarnya aku memang
sudah tahu akan ditolak. Siapa sih diriku saat itu, yang bukanlah siapa-siapa.
Sedangkan dirinya adalah bunga kampus. Tetapi, tidak ada salahnya untuk
mengungkapkan perasaan kan? Prinsipku, rasa cinta itu musti diungkapkan, kalau
tidak maka dia akan menjadi racun. Lebih baik ditolak, ketimbang harus memendam
rasa. Aku melakukan itu untuk diriku sendiri. Menolak atau menerima adalah hak
Erin sepenuhnya. Sungguh, apapun jawaban dia, tak akan pernah mengurangi rasa
sayangku ke Erin sama sekali. Beberapa bulan ini sudah cukup menjadi buktinya.
“Erin itu perfeksionis banget
anaknya. Tahu kalau kamu ada datang, sudah dari jauh-jauh hari dia berkeliling.
Survey lokasi, kemana saja tempat yang bagus buat mengajak kamu. Semua itu
justru bikin dia kelelahan. Kemarin malam puncaknya.”
Sinta terdiam sejenak.
“Aku bisa saja melarang Erin, tapi aku tidak kuasa ketika melihat cahaya
di matanya. Aku tahu dia bahagia melakukannya. Mata itu mulai bercahaya, dan
terus bercahaya, sehabis bertemu dengan kamu di Jakarta. Kamu bikin dia
melupakan penyakitnya.”
Tidak tahu aku harus berkomentar apa. Kenapa sih Erin musti melakukan
semua ini. Harusnya dia tahu, bukan masalah di mana tempatnya. Bagiku, sudah
bisa bersama dia saja aku sudah bahagia.
Di sela kesibukanku bergelut dengan pikiranku sendiri, Sinta melanjutkan
kata-katanya.
“Aku sudah berjanji ke Erin tidak akan mengatakan semua ini ke kamu.
Tapi kamu harus tahu, dan kamu berhak untuk tahu.”
“Terima kasih sudah mengatakan semua ini, Ta.”
Disisa perjalanan kami berdua hanya terdiam. Sampai mobil memasuki areal
rumah sakit.
Sewaktu tiba di ruang ICU, aku bertemu dengan orang tuanya Erin.
Sepertinya mereka sudah pernah mendengar tentang aku. Mungkin Erin atau Sinta
yang cerita. Mereka menyambut aku dengan sangat hangat. Mereka bilang saat ini
Erin masih belum sadar. Tapi kata mereka, dalam tidurnya Erin tadi sempat
menyebut namaku.
Dari kaca ruangan, aku bisa melihat Erin masih terbaring. Wajahnya masih
terlihat pucat, meski tidak mengurangi kecantikannya. Kini aku yang jadi
bimbang. Harus masuk atau tetap menunggu di luar. Sungguh saat bertemu dia di
Prambanan, aku tidak menaruh harapan apapun. Aku hanya bahagia karena bisa
melihat wajah Erin lagi. Bahagia bisa menghabiskan sedikit waktu lagi
bersamanya. Itu saja, sungguh itu saja. Kini kenyataan malah menunjukkan kalau
ada kesempatan kedua. Kesempatan yang bahkan tidak pernah berani aku impikan
akan ada. Tetapi tentu aku tidak mau jumawa. Tidak sebelum kedua mata itu
terbuka. Sebelum aku mendapat jawabannya, yang terpenting saat ini adalah Erin
butuh aku ada di sampingnya. Paling tidak sebagai seorang teman. Biarlah nanti
sang waktu saja yang mengungkapkan rahasianya. Rahasia kenapa kami berdua
dipertemukan kembali olehnya.
Denpasar, 25 Nopember 2019.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar