Rabu, 29 Januari 2020

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini: Sebuah Review


NKCTHI
Tahun 2020 ini dibuka dengan sangat manis oleh film ‘Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’, atau mari kita singkat saja dengan NKCTHI. Capek ngetiknya, Sob! Sebuah film yang diangkat dari novel berjudul sama, karya Marchella FP. Pertama kali saya mendengar nama penulis ini adalah dari akun Youtube milik Noah. Bagaimana Ariel menjelaskan kalau Marchella ini ikut memiliki peran dalam menulis lirik lagu ‘Kupeluk Hatimu’. Kebetulan saya memang suka sekali dengan rangkaian kata di dalam lagu ini, bahkan sejak pertama kali mendengarnya. Tahu kalau Marcella juga ada dibalik layar NKCTHI, langsung saja saya masukkan film ini ke daftar wajib tonton.
Film NKCTHI ini disutradarai Angga Dwimas Sasongko. Beberapa filmnya pernah saya tonton, antara lain Filosofi Kopi dan Love For Sale. Keduanya tidak membuat saya kecewa. Begitu pula dengan NKCTHI. Ceritanya menarik, sehingga tidak merasa saya telah duduk selama 121 menit.
Berkisah tentang satu keluarga. Terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anak mereka. Dimana tiap tokoh utama menghadapi masalah mereka masing-masing. Sesuai dengan tagline dari film ini, ‘Setiap Keluarga Punya Rahasia’. Setiap masalah dituturkan menggunakan alur maju- mundur, sehingga bermuara pada satu persoalan yang hampir menghancurkan keutuhan keluarga ini. Kalau saya tidak salah, film ini punya tiga garis waktu. Iya, tiga garis waktu. Banyak ya. Konsekuensinya, ada beberapa aktor dan aktris yang memerankan masing-masing tokoh utama, sesuai garis waktu yang berbeda-beda. Pembagian tokohnya seperti ini:
-          Ayah/Narendra (Oka Antara, Donny Damara)
-          Ibu/Ajeng (Niken Anjani, Susan Bachtiar)
-          Angkasa (M. Adhiyat, Sinyo Riza, Rio Dewanto)
-          Aurora (Syaqila Afiffah Putri, Nayla D. Purnama, Sheila Dara Aisha)
-          Awan (Alleyra Fakhira, Rachel Amanda)
Tiga garis waktu ini sempat bikin bingung di awal film. Namun, lama kelamaan saya mulai bisa mengikuti alurnya yang kerap ‘bolak-balik’.
Masalah Narendra dan Ajeng langsung dimulai begitu film diputar. Ketika Ajeng mengandung untuk kali ketiga. Masalah Angkasa, si anak sulung, berkutat pada area tanggung jawab sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Bagaimana dia diberi beban menjaga adik-adiknya. Masalah Aurora, si anak kedua, lebih berada pada kurangnya perhatian orang tua. Sang ayah dan ibu lebih terfokus kepada kedua saudaranya ketimbang dirinya. Masalah Awan, si anak bungsu, berkutat pada perhatian yang terlalu berlebihan dari sang ayah. Hal ini membuat dirinya jadi bak hidup dalam sangkar emas. Sisanya, musti ditonton langsung untuk mendapat pengalaman batin anda sendiri, terkait alur film ini.
Dari film ini kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi. Tertawalah bila bahagia, menangislah bila sedih, marahlah bila kesal. Hidup itu tidaklah seperti garis lurus. Kita manusia tidak akan selalu bahagia. Semua masalah di film ini dimulai dari sebuah kalimat dari Narendra. “Ini adalah kesedihan terakhir keluarga kita.” Kalimat itu ibarat ‘Sumpah Palapa’ bagi dirinya, yang diujung justru menjadi bumerang bagi keluarganya. Demi kebahagian keluarga, Narendra malah menekan masalah-masalah yang muncul, bukannya mencari solusi bagi masalah tersebut. Akibatnya, masalah tersebut terus menumpuk, menguat, dan meledak menjadi klimaks dari film ini. Sayangnya, menurut saya, ‘ledakan’ yang timbul tidak berdaya ledak tinggi. Hanya sekedar meletup kemudian hilang dan terselesaikan. Kalau boleh sedikit spoiler dan jujur, ‘Awan punya adik kembar’, bukanlah sebuah klimaks yang greget. Membuat apa yang sudah dibangun dengan apik sedari awal, menjadi terkesan ‘hambar’ dan sia-sia belaka di akhir. Padahal saya sangat suka dengan awal dan akhir dari film ini. Terutama di bagian akhir. Saat ketiga saudara ini berkumpul di puncak gedung, saling mulai membuka diri, berlatar senja yang indah. Mengagumkan.
Ini semata hanya sebuah penilaian pribadi kok. Bisa saja penonton lain malahan merasakan yang berbeda. Setelah dipikir-pikir, hal ini mungkin karena otak saya saja yang berfantasi terlalu liar. Ketika menerka-nerka, kemana sih alur dari film ini akan berpuncak. Kalau boleh saya buka saja isi kepala saya selama duduk di kursi penonton saat itu. Pertama, saya pikir anak ketiga Narendra dan Ajeng meninggal, setelah melihat bagaimana kuatnya tangis Narendra di awal film. Kedua, saya pikir Awan diaposi, guna mengisi kekosongan hidup Ajeng akibat kehilangan anak. Hal ini didasari bagaimana Narendra begitu melimpahkan kasih sayang pada Awan, melebihi apa yang dia berikan pada Angkasa dan Aurora. Seperti halnya ilmu psikologi. Saat seseorang kehilangan, apalagi karena musibah, maka dia butuh penyaluran luka batin dalam dirinya. Pikiran-pikiran liar ini terus menguat sepanjang film, sampai akhirnya tiba di klimaks. Seluruh pikiran saya itu malah terbelokkan ke arah lain. Padahal saya pikir rahasia keluarga ini akan terpusat pada sosok Awan, ternyata malah ke sosok lain. Saudara kembarnya Awan. Sebuah plot twist yang bagus, cuma ya tak sesuai dengan isi kepala saya. Mungkin memang ‘grand design’ di otak saja, yang membuat klimaks film jadi kurang mengena di hati saya. Bukan salah filmnya.
Di luar itu semua, seperti telah dikatakan di awal, film NKCTHI adalah sebuah film yang indah. Baik ditonton mereka yang sudah berkeluarga, ataupun yang baru berencana untuk  membangun keluarga. Tokoh-tokoh tambahan di film ini juga cukup membawa warna sendiri, terutama sosok Kale (Ardhito Pramono). Tentu tak perlu saya bahas lagi sosok ini, karena sudah banyak dibahas oleh netizen di media sosial.
Kini saatnya untuk membaca novel NKCTHI. Sengaja saya tonton dulu filmnya baru membaca novelnya. Soalnya, kalau melakukan yang sebaliknya saya kerap dibuat kecewa. Sebuah novel yang dikompresi ke dalam durasi film, kerap menjadi sebuah ‘malapetaka’ bagi saya atau mereka para ‘penikmat aksara’. Tidak sih semuanya, tapi sebagian besar begitulah adanya.


NB. Sebuah pertanyaan buat Mas Angga atau Mbak Marchella, “Itu Isyana Sarasvati muncul di film buat apa sih?” Mohon dapat dijawab. Terima kasih.

MH. Thamrin, 27 Januari 2020
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar