02
ESOKNYA,
pagi-pagi sekali Maya sudah bangun. Memang sudah menjadi sebuah rutinitas bagi dirinya
setiap hari. Menunaikan kewajiban untuk membantu sang ibu. Kue-kue di kukusan
tidak akan bisa selesai tepat pada waktunya, bila dikerjakan seorang diri.
Harus ada pembagian kerja antara mengerjakan adonan, membungkus dan memasaknya.
Cuma yang berbeda hari ini adalah raut wajah Maya. Terlihat lebih berbinar dari
hari biasanya. Sepertinya ibu menyadari hal itu.
“Kamu kok senyum-senyum terus dari tadi?”
Maya tersipu.
“Nggak apa-apa, Bu. Cuma lagi seneng aja.”
“Kalau lagi seneng, mbok cerita-cerita gitu sama Ibu.”
“Abah Zain minta aku ikut mengajar hari ini, Bu.”
Raut wajah ibu mendadak berubah. Setiap kali Maya menyebut nama Abah
Zain, pastilah ekspresi wajah ibu berubah agak muram. Memang berusaha dia
menutupi itu, tapi masih sangat terbaca. Eskpresi yang seakan menunjukkan
penyesalan dalam diri. Maya mengerti maksud dari raut wajahnya tersebut. Sebuah
penyesalan karena tidak bisa berlaku adil kepada kedua anaknya. Tidak bisa mengirim
si anak gadis untuk bersekolah. Padahal, sudah berkali-kali Maya katakan kalau itu
tidak apa-apa. Kalau dia sangat bisa mengerti ketidak-mampuan orang tuanya. Meski
begitu, tetap saja raut wajah penyesalan itu akan selalu muncul.
Ayah dan ibu tahu kalau Abah Zain yang kerap mengajari Maya baca tulis. Begitu
pula dengan anak-anak pedagang lain di pasar. Mereka kan sudah menjadi bagian
dari kawasan pasar induk. Cerita tentang “sekolah” si Abah sudah merebak di
lingkungan pasar. Sama seperti Maya, setiap bulan pasti ayah dan ibu
menyisihkan sedikit hasil panen untuk diberikan kepada Abah. Sebagai ucapan
terima kasih. Sebagai pengganti pula biaya mengajar. Pemberian itu tidak pernah
ditolak oleh Abah. Dia bisa mengerti, kalau orang tuaku tidak mau menerima
kebaikan Abah secara cuma-cuma.
“Boleh kan nanti aku mampir dulu ke tokonya Abah Zain, Bu?”
“Boleh, tapi pulangnya jangan sampai lewat Mahrib ya.”
Maya mengangguk.
“Ya sudah. Kalau gitu kamu mandi saja dulu sana. Ini kan loyang terakhir
juga. Nanti biar ibu saja yang lanjut merebusnya.”
Lagi Maya mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduk. Sebentar saja
waktu yang dia habiskan di kamar mandi. Sebagian besar waktu justru Maya habiskan
berdiri di depan lemari. Tidak perlu lagi dijelaskan apa yang menjadi sebabnya.
Maya bukanlah tipikal anak gadis yang bisa membeli pakaian secara rutin. Memilih
pakaian yang layak untuk hari pertamanya sebagai guru, sungguhlah sebuah
pekerjaan yang sulit. Akhirnya pilihan jatuh pada sebuah kemeja dan celana
panjang kain. Hadiah dari salah satu kerabat di hari lebaran yang lalu.
Keluar dari kamar, ternyata Maya menemukan sang ayah sudah menunggu di
luar. Segera dia salami tangan ayahnya.
“Ibumu sudah bilang ke ayah soal hari ini. Kamu mau ke rumahnya Abah
Zain?”
“Iya Yah. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa.”
Ayah kemudian menyodorkan tas kresek berwarna hitam. “Ini buat si Abah.
Kamu kasikan nanti ke Beliau.”
Maya menerimanya. Kalau dia terka isinya adalah beberapa tandan pisang
susu. Pasti ayah tadi memetiknya di kebun belakang rumah mereka. Setahu Maya terakhir
sudah ada dua-tiga tandan yang matang.
“Kalau gitu aku berangkat, Yah.” Dicium lagi tangan sang ayah.
Beranjak Maya ke dapur. Di sana sudah ada Mahdi. Dia lagi membantu ibu
membungkus kue-kue yang tadi mereka masak. Kue-kue itu dimasukkan rapi ke dalam
besek bambu, barulah diikat tali, agar lebih mudah dibawa memakai sepeda.
Masing-masing besek akan dititipkan ke beberapa warung langganan. Sorenya
diambil kembali, kemudian dibayar sesuai dengan jumlah yang laku. Hari ini
jumlah kue yang dimasak lebih banyak dari biasanya. Ada tambahan pesanan dari
tetangga jauh yang akan mengadakan acara pinangan.
“Kalian paling dulu mampirin rumah Bu Nanik ya. Soalnya dia bilang
tamu-tamu bakalan datang mulai dari pagi.”
“Baik, Bu.”
Diciumnya tangan sang ibu. “Aku pamit.”
Mahdi melakukan hal yang sama. Setiap harinya, mereka berdua akan
bersepeda bareng menuju pusat desa. Mahdi akan diturunkan di sekolah, lalu Maya
akan lanjut untuk berkeliling ke warung-warung langganan. Siangnya, Maya
menjemput lagi Mahdi untuk kemudian kembali berkeliling. Mengambil uang dan
sisa kue yang tidak laku. Sisa kue tersebut akan dijajakan ibu lagi di dekat
rumah. Rutinitas lain yang selalu dilakukan Maya setiap hari. Tentunya di luar
masa panen, dimana dia akan menemani orang tuanya naik ke bukit.
Kue pesan Bu Nanik sudah diantarkan.
Sepeda Maya kemudian berhenti di tujuan berikutnya. Toko Abah Zain. Si
Abah terlihat lagi sibuk dengan rutinitasnya pula. Duduk di depan meja kasir.
Satu gelas kopi ada di atas meja. Dilengkapi kepulan asap rokoknya. Di sana dia
akan memandangi hiruk pikuk jalanan di depan tokonya. Dia sangat suka mengamati
tingkah laku manusia, dengan berbagai karakternya. Dia selalu mengatakan hal
itu pada Maya. Kalau dilihat dari ekspresi wajah santai si Abah, pertanda kalau
belumlah ada murid-murid yang datang.
“Asalamualikum.”
“Walaikumsalam.”
“Ini Bah, ada titipan dari Ayah.”
Maya meletakkan plastik hitam yang dibawanya di atas meja.
“Aduh, ayahmu itu repot-repot banget. Bilang makasi sama Ayah ya.”
“Iya, Bah.”
“Langsung aku siapin aja alat-alatnya ya.”
“Kamu bikin teh saja dulu. Masih pagi ini. Ada singkong rebus juga itu.”
“Nggak usah, Bah. Tadi sudah sarapan di rumah.”
Si Abah tersenyum.
Senang dia melihat Maya begitu bersemangat pagi itu.
“Ya sudah. Terserah kamu saja kalo gitu.”
Melangkah naik ke Maya lantai dua. Di sana tersimpan peralatan belajar
mengajar. Papan tulis, spidol, buku tulis, pensil dan pulpen. Semua disiapkan
Abah pakai biayanya sendiri. Dulu kegiatan belajar mengajar dilakukan di lantai
dua ini. Tetapi, mulai dua minggu lalu dipindahkan ke bawah. Kata Abah, biar
orang-orang yang lewat bisa melihat kegiatan belajar mengajar yang kami
lakukan. Bagus juga sih memang buat promosi gratis. Anak-anak yang lewat kadang
ada beberapa mencuri lihat apa yang kami lakukan. Satu dua kali, biasanya di
hari berikutnya mereka ada yang ikut bergabung, meskipun datangnya tidak rutin.
Semua tergantung jadwal kedatangan orang tua mereka ke pasar induk.
“Alat tulis dibawa turun semua, Bah?” Teriak Maya dari atas.
“Boleh. Sisakan satu dus saja di atas.”
Baru saja satu papan tulis Maya bawa turun, ada dua anak laki-laki yang
datang. Pakaian mereka lusuh dan tidak memakai alas kaki. Tanpa peduli dengan
penampilan anak-anak tersebut, mereka disambut oleh Abah dengan senyuman. Aku
kenal dengan salah satunya. Dia termasuk yang rajin datang untuk belajar. Namanya
Galih. Kata dia, nama itu diambil dari judul salah satu film populer televisi,
di tahun delapan puluhan. Maya tidak tahu film apa yang dimaksud. Jelas saja,
kan tidak ada televisi. Abah meminta kedua anak itu membantu Maya. Masih ada
beberapa barang yang perlu untuk diturunkan.
“Nama kamu siapa?”
“Tegar, Kak.”
“Pertama kali dateng ya?”
“Iya. Diajakin sama Galih.”
Mendengar itu, Maya langsung menoleh ke arah Galih. Diacungkan jempol ke
arah bocah tersebut. Bocah ceking cuma nyengir. Ibarat klub sepak bola, Galih
ini ditugaskan Maya sebagai agen perekrut pemain. Tugas dia, mencari anak-anak
yang senasib seperti dirinya. Punya orang tua kurang mampu, tetapi memiliki
keinginan kuat untuk belajar. Tugas ini diembankan kepada Galih karena dia lincah
bergaul di lingkungan pasar. Temannya banyak. Dia sangat diterima oleh
anak-anak di sana. Dengan begitu, diharapkan bisa menarik beberapa anak lain
untuk bergabung. Sepertinya cara itu cukup berhasil. Mungkin Maya perlu
merekrut lagi “agen-agen” lainnya.
Ketika mulai mengangkat dus-dus berisi alat tulis, dari bawah mulai terdengar
suara-suara. Pasti ada anak-anak lain yang datang.
Mundur setengah jam dari jadwal yang seharusnya, kegiatan belajar mengajar
pun dimulai. Abah Zain memperkenalkan Maya sebagai guru hari itu. Kata dia hal
itu wajib, meski ada anak-anak yang datang sudah mengenal Maya sebelumnya.
Tugas mengajar dibagi dua. Abah akan mengajar anak-anak yang sudah cukup fasih
membaca, sedang Maya kebagian anak-anak baru. Anak-anak yang sama sekali masih buta
huruf dan angka. Ada dua anak yang ikut dengan Abah ke lantai dua, salah
satunya tentu Galih. Sisa empat lainnya, termasuk Tegar, tetap di lantai satu
bersama Maya.
“Ini A, ini B, ini C...”
“Ini angka 1, ini angka 2...”
Maya menerangkan cara melafalkan rangkaian alfabet yang tertulis di
papan. Lafalan itu diikuti secara serentak oleh anak-anak di depannya. Kemudian
Maya menyuruh anak-anak itu secara bergiliran menulis ulang huruf-huruf itu di
papan tulis lainnya. Gunanya agar mereka bisa menghapal bentuk-bentuk dari
huruf itu. Demikian pula dengan angka. Fokus pelajaran hari itu hanya sebatas
perkenalan terhadap huruf dan angka. Abah memang meminta agar Maya jangan
terburu-buru. Biarkan semua berproses secara alami, begitu pesan Abah kemarin.
“Ini bener, Kak?”
Salah seorang gadis menyodorkan buku miliknya. Di lembarnya tertulis
huruf G besar, dan juga G kecil.
“Iya, itu sudah benar. Dilanjut lagi ke huruf berikutnya.”
Maya melihat satu persatu hasil goresan pada buku murid-muridnya.
Mengecek apa ada yang salah tulis, atau tertukar ketika menulis huruf dan
angka.
Tidak terasa dua jam terlewat begitu saja. Itu artinya kegiatan belajar
musti diakhiri. Anak-anak itu musti kembali lagi membantu orang tua mereka.
Satu per satu kemudian anak-anak itu menyalami tangan Abah dan Maya. Mereka dibekali
abah satu buku tulis, pensil dan penghapus. Diberikan secara cuma-cuma. Dengan
pesan, agar apa yang mereka pelajari hari ini diulangi lagi di rumah. Meskipun
dia tahu satu-dua dari anak-anak itu mungkin saja tidak datang lagi. Atau, bisa
juga datangnya loncat-loncat sesuai keadaan orang tua. Tidak masalah bagi Abah.
Sebelum balik, seperti halnya tadi Galih dan Tegar kembali membantu
Maya. Menyimpan kembali peralatan belajar mengajar ke lantai dua.
“Bagaimana hari pertamamu mengajar?”
Abah Zain mengajak Maya duduk di depan toko. Di temani singkong dan teh
manis.
“Seru, Bah.”
Tersenyum Maya lebar sekali. Melihat itu Abah terkekeh. Jujur, Maya memang
menikmati sekali perannya sebagai guru hari itu.
“Bagus deh, kalau kamu suka. Abah takut kalau kamu malah jadi kapok.”
“Nggak dong.”
Abah menyeruput teh di gelasnya.
“Bagaimana? Kamu sudah melakukan apa yang Abah minta tadi pagi?”
“Sudah, Bah.”
“Terus, hasilnya?”
Maya terdiam sejenak. Dia coba mengingat semua ‘murid’ yang sudah
diajarnya tadi. Pagi harinya, Abah sempat berpesan untuk ikut menilai anak-anak
yang datang hari itu. Bagaimana niat belajar mereka. Bagaimana kecakapan
mereka. Bagaimana sikap mereka.
“Semua anaknya baik-baik kok, Bah. Tapi Tegar sih yang paling semangat.
Dia bilang mau seperti Gilang.”
“Kalau yang lainnya?”
“Ada Asep, ada Nurul, ada Intan.”
“Oh, dua cewek yang tadi ya? Mereka baru kan kalo tidak salah.”
“Iya.”
“Bagus itu. Ada juga akhirnya tambahan murid cewek.”
Abah mengangguk-angguk, sambil mengelusi janggutnya yang memutih.
“Nurul dan Intan cukup lumayan sih walau baru sekali datang. Cuma Asep aja
nih yang keliatannya punya masalah.”
“Kenapa memangnya dengan Asep?”
“Sudah tiga kali lho dia datang, tapi belum juga bisa ingat semua bentuk
huruf dan angka. Masih musti diulang-ulangin terus.”
Abah tersenyum simpul. “Tidak apa-apa. Setiap manusia itu kan punya
kemampuan yang berbeda-beda. Mau datang sampai tiga kali, itu berarti dia ada
niat untuk belajar.”
“Apa aku yang tidak bisa mengajar ya, Bah?”
Kali ini Abah terkekeh. Seakan mengerti apa yang dimaksud oleh gadis
tersebut. Memang dia pernah satu kali minta Maya mengajari Asep secara khusus.
Dengan harapan, diajari secara pribadi dan oleh guru yang lebih muda bisa bikin
bocah itu nyaman. Rupanya usaha itu belum juga membawa hasil.
“Hahaha. Lho kenapa malah menyalahkan dirimu sendiri? Kalau menurut
Abah, Asep itu memang punya masalah dengan kemampuan menangkap materi. Tidak
ada kaitan sama kamu. Kita musti sabar menghadapi anak seperti Asep ini. Harus
memberi dia sedikit waktu lebih lama dibanding anak-anak yang lain.”
“Baik, Bah.”
“Itulah kenapa sering Abah ingatkan ke kamu. Guru itu tugasnya bukan
cuma mengajar. Guru juga musti mendalami karakter dan kemampuan dari murid-muridnya.
Tidak bisa semua murid disama-ratakan. Di antara semua murid, pasti ada saja
yang butuh perhatian ekstra. Salah satunya ya seperti Asep ini. Dia sebenarnya
tidak bodoh, cuma butuh lebih waktu lebih lama mencerna saja ketimbang
teman-temannya.”
“Siap, Bah. Aku ingat-ingat deh pesan Abah.”
“Oya. Kayaknya cuma sampai besok aku bisa ikut ngajar, Bah. Lusa musti
nemenin Bapak naik lagi ke bukit.”
“Nggak apa-apa. Kamu datang saja kalau memang nanti ada waktu lagi.”
Model “sekolah” yang dilaksanakan Abah Zain ini memang tidak bisa diberi
jadwal secara pasti. Kedatangan anak-anak tidak bisa diprediksi. Khusus hari
ini termasuk banyak yang datang, karena lagi musim panen. Banyak petani yang
datang ke pasar induk untuk menjual hasil kebun. Kalau tidak begitu, biasanya malah
tidak ada anak yang datang. Kalau tidak ada Maya, Abah Zain akan mengajar
sendiri. Musim panen masih tersisa beberapa hari lagi. Itu berarti masih ada
kemungkinan satu-dua anak akan datang belajar. Maya akan coba untuk berusaha menyediakan
waktu. Paling tidak sampai besok. Mengajar kini sudah menjadi hobi baru bagi gadis
tersebut.
“Besok aku datang jam yang sama ya.”
“Boleh.”
Laki-laki paruh baya itu tersenyum. Mengagumi semangat dari gadis
kecilnya itu.
“Kamu kan sudah mahir membaca dan menghitung. Kalau memang besok tidak
ada murid. Kita bisa mulai belajar bahasa Inggris.”
“Bahasa Inggris? Buat apa?”
“Mungkin sekarang kamu memang belum merasa perlu. Tapi nanti kamu akan
merasakan pentingnya bisa berbahasa asing.”
“Ya udah, terserah Abah aja.”
Maya menurut saja. Awalnya dia juga kan tidak merasa bisa membaca dan
menghitung itu perlu. Tapi Abah selalu mengingatkan Maya kalau itu perlu. Akhirnya
kata-kata Abah terbukti. Bisa membaca dan menghitung itu ternyata sangatlah
penting. Kalau Abah bilang belajar bahasa Inggris itu penting. Maka itu pasti
benaran penting.
“Inggris itu di mana ya?”
“Di Eropa.”
“Jauh ya, Bah?”
“Jauh. Pakai nyeberang laut.”
“Aduh. Nggak bisa naik sepeda dong ke sananya.”
Maya terkekeh. Abah Zain ikutan terkekeh.
“Aku pamit dulu kalo gitu ya, Bah. Musti mungutin uang hasil jualan kue
dulu.”
Abah Zain mengangguk.
Maya mencium tangan si Abah, sebelum naik ke sepedanya.
Sepeninggal Maya, laki-laki itu melangkah menuju meja kasir. Setelah
duduk, dia menarik salah satu laci. Dari dalam dia mengambil sebuah foto
berukuran 3R. Dibuka lipatannya. Gambar di foto itu terlihat sudah lusuh.
Memperlihat jelas kalau dicetak sudah sangat lama. Ada gambar seorang gadis
kecil di foto itu. Gadis itu terlihat melambai bahagia.
Abah menghela nafas panjang.
Tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar