Senin, 30 Maret 2020

Dunia Maya 02


02
ESOKNYA, pagi-pagi sekali Maya sudah bangun. Memang sudah menjadi sebuah rutinitas bagi dirinya setiap hari. Menunaikan kewajiban untuk membantu sang ibu. Kue-kue di kukusan tidak akan bisa selesai tepat pada waktunya, bila dikerjakan seorang diri. Harus ada pembagian kerja antara mengerjakan adonan, membungkus dan memasaknya. Cuma yang berbeda hari ini adalah raut wajah Maya. Terlihat lebih berbinar dari hari biasanya. Sepertinya ibu menyadari hal itu.
“Kamu kok senyum-senyum terus dari tadi?”
Maya tersipu.
“Nggak apa-apa, Bu. Cuma lagi seneng aja.”
“Kalau lagi seneng, mbok cerita-cerita gitu sama Ibu.”
“Abah Zain minta aku ikut mengajar hari ini, Bu.”
Raut wajah ibu mendadak berubah. Setiap kali Maya menyebut nama Abah Zain, pastilah ekspresi wajah ibu berubah agak muram. Memang berusaha dia menutupi itu, tapi masih sangat terbaca. Eskpresi yang seakan menunjukkan penyesalan dalam diri. Maya mengerti maksud dari raut wajahnya tersebut. Sebuah penyesalan karena tidak bisa berlaku adil kepada kedua anaknya. Tidak bisa mengirim si anak gadis untuk bersekolah. Padahal, sudah berkali-kali Maya katakan kalau itu tidak apa-apa. Kalau dia sangat bisa mengerti ketidak-mampuan orang tuanya. Meski begitu, tetap saja raut wajah penyesalan itu akan selalu muncul.
Ayah dan ibu tahu kalau Abah Zain yang kerap mengajari Maya baca tulis. Begitu pula dengan anak-anak pedagang lain di pasar. Mereka kan sudah menjadi bagian dari kawasan pasar induk. Cerita tentang “sekolah” si Abah sudah merebak di lingkungan pasar. Sama seperti Maya, setiap bulan pasti ayah dan ibu menyisihkan sedikit hasil panen untuk diberikan kepada Abah. Sebagai ucapan terima kasih. Sebagai pengganti pula biaya mengajar. Pemberian itu tidak pernah ditolak oleh Abah. Dia bisa mengerti, kalau orang tuaku tidak mau menerima kebaikan Abah secara cuma-cuma.
“Boleh kan nanti aku mampir dulu ke tokonya Abah Zain, Bu?”
“Boleh, tapi pulangnya jangan sampai lewat Mahrib ya.”
Maya mengangguk.
“Ya sudah. Kalau gitu kamu mandi saja dulu sana. Ini kan loyang terakhir juga. Nanti biar ibu saja yang lanjut merebusnya.”
Lagi Maya mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduk. Sebentar saja waktu yang dia habiskan di kamar mandi. Sebagian besar waktu justru Maya habiskan berdiri di depan lemari. Tidak perlu lagi dijelaskan apa yang menjadi sebabnya. Maya bukanlah tipikal anak gadis yang bisa membeli pakaian secara rutin. Memilih pakaian yang layak untuk hari pertamanya sebagai guru, sungguhlah sebuah pekerjaan yang sulit. Akhirnya pilihan jatuh pada sebuah kemeja dan celana panjang kain. Hadiah dari salah satu kerabat di hari lebaran yang lalu.
Keluar dari kamar, ternyata Maya menemukan sang ayah sudah menunggu di luar. Segera dia salami tangan ayahnya.
“Ibumu sudah bilang ke ayah soal hari ini. Kamu mau ke rumahnya Abah Zain?”
“Iya Yah. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa.”
Ayah kemudian menyodorkan tas kresek berwarna hitam. “Ini buat si Abah. Kamu kasikan nanti ke Beliau.”
Maya menerimanya. Kalau dia terka isinya adalah beberapa tandan pisang susu. Pasti ayah tadi memetiknya di kebun belakang rumah mereka. Setahu Maya terakhir sudah ada dua-tiga tandan yang matang.
“Kalau gitu aku berangkat, Yah.” Dicium lagi tangan sang ayah.
Beranjak Maya ke dapur. Di sana sudah ada Mahdi. Dia lagi membantu ibu membungkus kue-kue yang tadi mereka masak. Kue-kue itu dimasukkan rapi ke dalam besek bambu, barulah diikat tali, agar lebih mudah dibawa memakai sepeda. Masing-masing besek akan dititipkan ke beberapa warung langganan. Sorenya diambil kembali, kemudian dibayar sesuai dengan jumlah yang laku. Hari ini jumlah kue yang dimasak lebih banyak dari biasanya. Ada tambahan pesanan dari tetangga jauh yang akan mengadakan acara pinangan.
“Kalian paling dulu mampirin rumah Bu Nanik ya. Soalnya dia bilang tamu-tamu bakalan datang mulai dari pagi.”
“Baik, Bu.”
Diciumnya tangan sang ibu. “Aku pamit.”
Mahdi melakukan hal yang sama. Setiap harinya, mereka berdua akan bersepeda bareng menuju pusat desa. Mahdi akan diturunkan di sekolah, lalu Maya akan lanjut untuk berkeliling ke warung-warung langganan. Siangnya, Maya menjemput lagi Mahdi untuk kemudian kembali berkeliling. Mengambil uang dan sisa kue yang tidak laku. Sisa kue tersebut akan dijajakan ibu lagi di dekat rumah. Rutinitas lain yang selalu dilakukan Maya setiap hari. Tentunya di luar masa panen, dimana dia akan menemani orang tuanya naik ke bukit.
Kue pesan Bu Nanik sudah diantarkan.
Sepeda Maya kemudian berhenti di tujuan berikutnya. Toko Abah Zain. Si Abah terlihat lagi sibuk dengan rutinitasnya pula. Duduk di depan meja kasir. Satu gelas kopi ada di atas meja. Dilengkapi kepulan asap rokoknya. Di sana dia akan memandangi hiruk pikuk jalanan di depan tokonya. Dia sangat suka mengamati tingkah laku manusia, dengan berbagai karakternya. Dia selalu mengatakan hal itu pada Maya. Kalau dilihat dari ekspresi wajah santai si Abah, pertanda kalau belumlah ada murid-murid yang datang.
“Asalamualikum.”
“Walaikumsalam.”
“Ini Bah, ada titipan dari Ayah.”
Maya meletakkan plastik hitam yang dibawanya di atas meja.
“Aduh, ayahmu itu repot-repot banget. Bilang makasi sama Ayah ya.”
“Iya, Bah.”
“Langsung aku siapin aja alat-alatnya ya.”
“Kamu bikin teh saja dulu. Masih pagi ini. Ada singkong rebus juga itu.”
“Nggak usah, Bah. Tadi sudah sarapan di rumah.”
Si Abah tersenyum.
Senang dia melihat Maya begitu bersemangat pagi itu.
“Ya sudah. Terserah kamu saja kalo gitu.”
Melangkah naik ke Maya lantai dua. Di sana tersimpan peralatan belajar mengajar. Papan tulis, spidol, buku tulis, pensil dan pulpen. Semua disiapkan Abah pakai biayanya sendiri. Dulu kegiatan belajar mengajar dilakukan di lantai dua ini. Tetapi, mulai dua minggu lalu dipindahkan ke bawah. Kata Abah, biar orang-orang yang lewat bisa melihat kegiatan belajar mengajar yang kami lakukan. Bagus juga sih memang buat promosi gratis. Anak-anak yang lewat kadang ada beberapa mencuri lihat apa yang kami lakukan. Satu dua kali, biasanya di hari berikutnya mereka ada yang ikut bergabung, meskipun datangnya tidak rutin. Semua tergantung jadwal kedatangan orang tua mereka ke pasar induk.
“Alat tulis dibawa turun semua, Bah?” Teriak Maya dari atas.
“Boleh. Sisakan satu dus saja di atas.”
Baru saja satu papan tulis Maya bawa turun, ada dua anak laki-laki yang datang. Pakaian mereka lusuh dan tidak memakai alas kaki. Tanpa peduli dengan penampilan anak-anak tersebut, mereka disambut oleh Abah dengan senyuman. Aku kenal dengan salah satunya. Dia termasuk yang rajin datang untuk belajar. Namanya Galih. Kata dia, nama itu diambil dari judul salah satu film populer televisi, di tahun delapan puluhan. Maya tidak tahu film apa yang dimaksud. Jelas saja, kan tidak ada televisi. Abah meminta kedua anak itu membantu Maya. Masih ada beberapa barang yang perlu untuk diturunkan.
“Nama kamu siapa?”
“Tegar, Kak.”
“Pertama kali dateng ya?”
“Iya. Diajakin sama Galih.”
Mendengar itu, Maya langsung menoleh ke arah Galih. Diacungkan jempol ke arah bocah tersebut. Bocah ceking cuma nyengir. Ibarat klub sepak bola, Galih ini ditugaskan Maya sebagai agen perekrut pemain. Tugas dia, mencari anak-anak yang senasib seperti dirinya. Punya orang tua kurang mampu, tetapi memiliki keinginan kuat untuk belajar. Tugas ini diembankan kepada Galih karena dia lincah bergaul di lingkungan pasar. Temannya banyak. Dia sangat diterima oleh anak-anak di sana. Dengan begitu, diharapkan bisa menarik beberapa anak lain untuk bergabung. Sepertinya cara itu cukup berhasil. Mungkin Maya perlu merekrut lagi “agen-agen” lainnya.
Ketika mulai mengangkat dus-dus berisi alat tulis, dari bawah mulai terdengar suara-suara. Pasti ada anak-anak lain yang datang.
Mundur setengah jam dari jadwal yang seharusnya, kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Abah Zain memperkenalkan Maya sebagai guru hari itu. Kata dia hal itu wajib, meski ada anak-anak yang datang sudah mengenal Maya sebelumnya. Tugas mengajar dibagi dua. Abah akan mengajar anak-anak yang sudah cukup fasih membaca, sedang Maya kebagian anak-anak baru. Anak-anak yang sama sekali masih buta huruf dan angka. Ada dua anak yang ikut dengan Abah ke lantai dua, salah satunya tentu Galih. Sisa empat lainnya, termasuk Tegar, tetap di lantai satu bersama Maya.
“Ini A, ini B, ini C...”
“Ini angka 1, ini angka 2...”
Maya menerangkan cara melafalkan rangkaian alfabet yang tertulis di papan. Lafalan itu diikuti secara serentak oleh anak-anak di depannya. Kemudian Maya menyuruh anak-anak itu secara bergiliran menulis ulang huruf-huruf itu di papan tulis lainnya. Gunanya agar mereka bisa menghapal bentuk-bentuk dari huruf itu. Demikian pula dengan angka. Fokus pelajaran hari itu hanya sebatas perkenalan terhadap huruf dan angka. Abah memang meminta agar Maya jangan terburu-buru. Biarkan semua berproses secara alami, begitu pesan Abah kemarin.
“Ini bener, Kak?”
Salah seorang gadis menyodorkan buku miliknya. Di lembarnya tertulis huruf G besar, dan juga G kecil.
“Iya, itu sudah benar. Dilanjut lagi ke huruf berikutnya.”
Maya melihat satu persatu hasil goresan pada buku murid-muridnya. Mengecek apa ada yang salah tulis, atau tertukar ketika menulis huruf dan angka.
Tidak terasa dua jam terlewat begitu saja. Itu artinya kegiatan belajar musti diakhiri. Anak-anak itu musti kembali lagi membantu orang tua mereka. Satu per satu kemudian anak-anak itu menyalami tangan Abah dan Maya. Mereka dibekali abah satu buku tulis, pensil dan penghapus. Diberikan secara cuma-cuma. Dengan pesan, agar apa yang mereka pelajari hari ini diulangi lagi di rumah. Meskipun dia tahu satu-dua dari anak-anak itu mungkin saja tidak datang lagi. Atau, bisa juga datangnya loncat-loncat sesuai keadaan orang tua. Tidak masalah bagi Abah.
Sebelum balik, seperti halnya tadi Galih dan Tegar kembali membantu Maya. Menyimpan kembali peralatan belajar mengajar ke lantai dua.
“Bagaimana hari pertamamu mengajar?”
Abah Zain mengajak Maya duduk di depan toko. Di temani singkong dan teh manis.
“Seru, Bah.”
Tersenyum Maya lebar sekali. Melihat itu Abah terkekeh. Jujur, Maya memang menikmati sekali perannya sebagai guru hari itu.
“Bagus deh, kalau kamu suka. Abah takut kalau kamu malah jadi kapok.”
“Nggak dong.”
Abah menyeruput teh di gelasnya.
“Bagaimana? Kamu sudah melakukan apa yang Abah minta tadi pagi?”
“Sudah, Bah.”
“Terus, hasilnya?”
Maya terdiam sejenak. Dia coba mengingat semua ‘murid’ yang sudah diajarnya tadi. Pagi harinya, Abah sempat berpesan untuk ikut menilai anak-anak yang datang hari itu. Bagaimana niat belajar mereka. Bagaimana kecakapan mereka. Bagaimana sikap mereka.
“Semua anaknya baik-baik kok, Bah. Tapi Tegar sih yang paling semangat. Dia bilang mau seperti Gilang.”
“Kalau yang lainnya?”
“Ada Asep, ada Nurul, ada Intan.”
“Oh, dua cewek yang tadi ya? Mereka baru kan kalo tidak salah.”
“Iya.”
“Bagus itu. Ada juga akhirnya tambahan murid cewek.”
Abah mengangguk-angguk, sambil mengelusi janggutnya yang memutih.
“Nurul dan Intan cukup lumayan sih walau baru sekali datang. Cuma Asep aja nih yang keliatannya punya masalah.”
“Kenapa memangnya dengan Asep?”
“Sudah tiga kali lho dia datang, tapi belum juga bisa ingat semua bentuk huruf dan angka. Masih musti diulang-ulangin terus.”
Abah tersenyum simpul. “Tidak apa-apa. Setiap manusia itu kan punya kemampuan yang berbeda-beda. Mau datang sampai tiga kali, itu berarti dia ada niat untuk belajar.”
“Apa aku yang tidak bisa mengajar ya, Bah?”
Kali ini Abah terkekeh. Seakan mengerti apa yang dimaksud oleh gadis tersebut. Memang dia pernah satu kali minta Maya mengajari Asep secara khusus. Dengan harapan, diajari secara pribadi dan oleh guru yang lebih muda bisa bikin bocah itu nyaman. Rupanya usaha itu belum juga membawa hasil.
“Hahaha. Lho kenapa malah menyalahkan dirimu sendiri? Kalau menurut Abah, Asep itu memang punya masalah dengan kemampuan menangkap materi. Tidak ada kaitan sama kamu. Kita musti sabar menghadapi anak seperti Asep ini. Harus memberi dia sedikit waktu lebih lama dibanding anak-anak yang lain.”
“Baik, Bah.”
“Itulah kenapa sering Abah ingatkan ke kamu. Guru itu tugasnya bukan cuma mengajar. Guru juga musti mendalami karakter dan kemampuan dari murid-muridnya. Tidak bisa semua murid disama-ratakan. Di antara semua murid, pasti ada saja yang butuh perhatian ekstra. Salah satunya ya seperti Asep ini. Dia sebenarnya tidak bodoh, cuma butuh lebih waktu lebih lama mencerna saja ketimbang teman-temannya.”
“Siap, Bah. Aku ingat-ingat deh pesan Abah.”
“Oya. Kayaknya cuma sampai besok aku bisa ikut ngajar, Bah. Lusa musti nemenin Bapak naik lagi ke bukit.”
“Nggak apa-apa. Kamu datang saja kalau memang nanti ada waktu lagi.”
Model “sekolah” yang dilaksanakan Abah Zain ini memang tidak bisa diberi jadwal secara pasti. Kedatangan anak-anak tidak bisa diprediksi. Khusus hari ini termasuk banyak yang datang, karena lagi musim panen. Banyak petani yang datang ke pasar induk untuk menjual hasil kebun. Kalau tidak begitu, biasanya malah tidak ada anak yang datang. Kalau tidak ada Maya, Abah Zain akan mengajar sendiri. Musim panen masih tersisa beberapa hari lagi. Itu berarti masih ada kemungkinan satu-dua anak akan datang belajar. Maya akan coba untuk berusaha menyediakan waktu. Paling tidak sampai besok. Mengajar kini sudah menjadi hobi baru bagi gadis tersebut.
“Besok aku datang jam yang sama ya.”
“Boleh.”
Laki-laki paruh baya itu tersenyum. Mengagumi semangat dari gadis kecilnya itu.
“Kamu kan sudah mahir membaca dan menghitung. Kalau memang besok tidak ada murid. Kita bisa mulai belajar bahasa Inggris.”
“Bahasa Inggris? Buat apa?”
“Mungkin sekarang kamu memang belum merasa perlu. Tapi nanti kamu akan merasakan pentingnya bisa berbahasa asing.”
“Ya udah, terserah Abah aja.”
Maya menurut saja. Awalnya dia juga kan tidak merasa bisa membaca dan menghitung itu perlu. Tapi Abah selalu mengingatkan Maya kalau itu perlu. Akhirnya kata-kata Abah terbukti. Bisa membaca dan menghitung itu ternyata sangatlah penting. Kalau Abah bilang belajar bahasa Inggris itu penting. Maka itu pasti benaran penting.
“Inggris itu di mana ya?”
“Di Eropa.”
“Jauh ya, Bah?”
“Jauh. Pakai nyeberang laut.”
“Aduh. Nggak bisa naik sepeda dong ke sananya.”
Maya terkekeh. Abah Zain ikutan terkekeh.
“Aku pamit dulu kalo gitu ya, Bah. Musti mungutin uang hasil jualan kue dulu.”
Abah Zain mengangguk.
Maya mencium tangan si Abah, sebelum naik ke sepedanya.
Sepeninggal Maya, laki-laki itu melangkah menuju meja kasir. Setelah duduk, dia menarik salah satu laci. Dari dalam dia mengambil sebuah foto berukuran 3R. Dibuka lipatannya. Gambar di foto itu terlihat sudah lusuh. Memperlihat jelas kalau dicetak sudah sangat lama. Ada gambar seorang gadis kecil di foto itu. Gadis itu terlihat melambai bahagia.
Abah menghela nafas panjang.
Tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca.

***

(SEBUAH DRAFT)
.

TULISAN SEBELUMNYA:
-          Dunia Maya 01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar