Selasa, 28 April 2020

Dunia Maya 03


03
SEPERTI telah diduga sebelumnya, kemarin hanya ada dua anak yang datang. Kelas jadi selesai tidak terlalu lama. Sesuai kesepakatan, sehabis itu Maya menjalani kursus Bahasa Inggris, untuk pertama kalinya. Pusing Maya hampir satu jam dicekoki sejumlah kata-kata baru. Sedikit sekali yang nyantol di otak. Hanya yes, no, dan I can not speak English. Paling tidak, menurut Maya, dua kata dan juga satu kalimat itu nantinya berguna kalau bertemu orang asing. Abah Zain tentu tak memaksa Maya untuk langsung bisa. Dia tetap sabar, sebagaimana dulu ketika mengajarkan huruf dan angka. Paling cuma senyum-senyum saja. Terutama bila ada nada baca yang terdengar janggal keluar dari mulut gadis tersebut. Ribet sekali Bahasa Inggris itu, begitu kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil belajar perdana.
Tidak mau menyerah begitu saja, kini di tangan Maya ada sebuah kamus saku. Ukurannya mungil sehingga bisa masuk ke saku celana. Abah yang memberikannya. Pokoknya sehari musti dapat tambahan kosa kata baru, begitulah pesan dari Abah. Pelan-pelan saja, nggak usah terlalu dipaksakan, begitu pesan tambahan lagi darinya.
Tree... green... bird... avocado... flower...
Sambil duduk bergelayut di sebuah batang pohon apokat, Maya melafalkan satu kata demi satu kata. Kalau keluarga yang lain memilih beristirahat di gubuk, maka pohon ini adalah tempat favorit Maya. Tidak begitu tinggi, namun memiliki rangkaian daun yang sangat rindang. Cukup mampu melindungi diri dari terpaan terik matahari. Angin sepoi juga siap memanjakan dengan kesejukan. Ditambah pemandangan lereng bukit yang menyegarkan mata. Sebuah paduan yang membuat Maya betah berlama-lama ada di sana.
Sengaja Maya memilih kata-kata yang dekat dengan dirinya, saat ini. Pohon, hijau, burung, apokat, dan bunga. Semua itu ada disekitarnya. Dengan begitu akan lebih mudah otaknya untuk merekam kata-kata tersebut. Begitu sih niatnya, dan sepertinya itu cukup berhasil. Beberapa kata kini sudah mulai lancar dia lafalkan. Tanpa perlu lagi melihat kamus yang dipegangnya.
Butterfly... cloud... sky... blue...
Bater-flae. Bater, bater-flae...”
Tertawa Maya dalam hati. Mendengar suaranya sendiri, mengeja dalam bahasa Inggris.
“KAK MAYA!”
Lagi asyik mengutak-atik isi kamus, terdengar suara memanggil dirinya dari bawah. Maya menoleh. Dilihatnya seorang bocah sedang berdiri di bawah pohon. Oh, Asep rupanya. Pasti dia datang bersama orang tuanya untuk memetik hasil kebun mereka juga. Memang satu-dua anak didiknya kerap Maya jumpai di bukit. Terutama saat musim panen seperti sekarang ini.
“Tunggu sebentar, Sep. Aku turun dulu.”
Disimpannya lagi kamus ke dalam saku. Dengan sigap lalu Maya turun dari pohon. Saking terbiasanya, keahlian gadis itu saat menaiki dan menuruni pohon sudah melebihi Tarzan. Iya, di bukit ini dialah sang ratu hutan. Sesampai di bawah, Maya membersihkan dulu pakaiannya yang terkena noda saat merosot turun tadi.
“Ada apa, Sep?”
“Mau nanya ini tulisannya sudah bener apa belum ya?”
Bocah kerempeng itu menyodorkan selembar kertas. Maya menerimanya. Memang sedikit lecek, namun masih cukup bersih. Kagum dia melihat deretan huruf yang tertulis di atas kertas tersebut. Rupanya dia mencoba menulis tentang dirinya sendiri. Nama lengkapnya, asal desanya, nama orang tuanya. Sudah sangatlah rapi kalau dinilai dari kemampuan Asep. Meski masih ada satu-dua huruf yang salah tulis. Sangat bisa untuk dimaklumi.
“Ini kamu sendiri yang nulis?”
Asep mengangguk mantap. Seakan dia sangat percaya diri dengan hasil karyanya.
“Pasti masih ada yang salah ya.” Dia nyengir.
Maya tersenyum lebar.
“Kamu sudah selesai metik buah?”
“Sudah. Hari ini dapetnya dikit aja.”
Diajaknya kemudian bocah itu duduk di bawah pohon. Masih ada sedikit waktu buat Maya membahas soal tulisan Asep, sebelum balik lagi melanjutkan tugasnya.
“Ini kamu nulis H pakai huruf besar. Kalau di depannya huruf kecil, ya musti dilanjuti lagi sama huruf kecil. Kecuali ada tanda titik.”
Karena tidak membawa buku dan alat tulis, Maya memakai media tanah untuk memberi penjelasan. Pakai sebatang ranting dia mencoret-coret tanah di depan mereka. Menganggap itu adalah sebidang papan tulis. Menjelaskan kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan Asep dalam tulisannya. Bocah itu mengangguk-angguk. Sesekali terlontar pertanyaan dari mulutnya. Dengan perlahan Maya menjawab dan lanjut lagi menjelaskan.
“Kalau ini, Kak?”
Asep mengeluarkan sebuah buku dari jepitan celana belakang. Pasti buku yang diberikan oleh Abah Zain. Lagi-lagi Maya dibuat terkagum. Ternyata benar yang dikatakan Abah. Asep ini memang kurang dalam menangkap pelajaran, tapi punya niat belajar yang tinggi. Seperti biasa, si Abah pastilah memberi buku yang ada banyak gambarnya dulu. Rupanya gambar-gambar tokoh pewayangan yang menarik minat Asep. Ada penjelasan berupa deretan kalimat di bawah gambar.
“Ini bacaannya. Bima mengayunkan senjatanya.”
“Mengayungkan. Meng-a-yun-kan.”
Dicobanya mengeja kata yang tadi dia sulit mengerti. Mengeja kata panjang yang banyak deretan huruf matinya memang agak sulit. Dulu juga Maya mengalaminya.
“Mengayunkan itu yang kayak gini ya?”
Asep mencoba untuk menirukan gaya Bima yang ada pada gambar. Hanya saja dilengkapi kini dengan gerakan.
“Nah itu betul. Mengayunkan itu yang kayak gitu.”
Bocah itu tersenyum lebar. Puas dia karena kerja kerasnya tidak sia-sia.
“Kamu suka wayang?”
“Iya Kak. Aku mau kuat kayak Bima. Biar bisa memberantas kejahatan.”
Ganti Maya yang tersenyum lebar. Geli dia melihat keluguan Asep.
“MAYA! MAYA!”
Obrolan keduanya terputus ketika terdengar suara sang ibu.
“Iya Bu. Aku di sini!”
Maya berdiri, sambil melambai agar bisa terlihat. Ibunya pun berjalan mendekat.
“Ada yang nyariin kamu tuh di pondok.”
“Siapa?”
“Nggak tau. Cowok. Katanya disuruh ke sini sama Abah Zain.”
Berkerut dahi Maya. Perasan kemarin Abah tidak bilang apa-apa seingatnya. Melihat kalau sang guru ada kerjaan lain, Asep pun permisi balik ke orang tuanya.
“Nanti kalau ada kesulitan lagi, bisa tanya-tanya lagi kok nggak apa-apa.”
“Makasi, Kak.”
Sepeninggal Asep, Maya lalu mengikuti langkah ibunya menuju ke bawah.
“Bersihkan dulu sedikit celanamu itu.”
Maya nyengir. Dia baru sadar kalau masih tersisa beberapa titik noda di pakaiannya.
Sampai di bawah ternyata benar ada seorang laki-laki muda lagi ngobrol dengan ayahnya. Perawakannya tinggi, rapi, dan sepertinya cukup berada. Kalau dilihat-lihat sepertinya tidak jauh beda usianya dengan Maya. Mau apa sih laki-laki seperti ini mencari dirinya. Gadis itu masih tak habis pikir.
“Maya ya?”
Maya mengangguk. Laki-laki itu menyodorkan tangan. Maya menyambutnya.
“Saya Mahesa. Panggil saja Mahes.”
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Seminggu lalu saya ada diberi apokat sama Abah Zain. Buat contoh katanya. Dia promosi katanya itu apokat kualitas terbaik, dan setelah saya coba pakai rasanya memang berbeda. Punya ciri khas. Tidak terlalu manis, tapi tidak pahit juga.”
Maya tersenyum dalam hati. Memang itu terdengar seperti gaya Abah. Bisa mengalahkan promosi penjual mana pun, kalau sudah urusan menawarkan sesuatu.
“Saya membuka kafe kecil-kecilan di kota, menjual juice aneka buah salah satunya. Kalau bersedia, saya mau mengajukan tawaran kerja sama.”
“Maksudnya Dik Mahes mau mencari stok buah di kami?” Ibu langsung menimpali.
Soal bisnis dan bagaimana mencari uang memang ibu jagonya. Sedangkan Maya, apa yang namanya ‘juice’ saja dia belum tahu bentuknya seperti apa. Maka untuk sementara dia memilih dia saja mendengarkan.
“Iya Bu. Kalau bisa disuplai setiap minggu sekali, barang dua atau tiga kilo. Saya bersedia mengambil secara rutin di ibu.”
“Bisa sih. Asal harganya sesuai saja.”
Mahes tertawa kecil. “Kalau dari tangan pertama seperti ibu, saya yakin pasti terjangkau.”
Maya, dan ayahnya cuma bisa saling pandang satu sama lain. Mereka heran, entah kenapa bisnis itu langsung tercapai begitu saja. Salut pada keahlian tawar menawar ibu. Tahu-tahu saja ibu dan si Mahes ini sudah berjabat tangan. Bahkan laki-laki itu akan langsung mengambil tiga kilo apokat, hari ini juga. Malahan ibu menawarkan lagi tambahan nangka, mangga dan durian. Dan tanpa banyak ba-bi-bu, tawaran itu langsung diiyakan oleh Mahes.
Sebagai konsekuensi dari transaksi mereka tersebut, Maya mau tidak mau harus memetik tambahan mangga dan durian. Itu berarti dirinya musti memanjat dua atau mungkin tiga pohon lagi hari itu. Didampingi ayahnya dan Mahes, Maya melangkah naik ke arah utara bukit. Durian adalah buah pertama yang akan mereka petik. Mahes ikut karena ingin melihat langsung tingkat kematangan dari buah-buah tersebut. Apakah bisa langsung dikonsumsi atau tidak.
“Kamu kenal sama Abah Zain di mana?”
Sambil melangkah di jalan setapak bersemak, Maya mencoba mencari tahu sedikit tentang sosok Mahes. Ini mungkin pertemuan pertama mereka, namun Maya merasa ini tidak akan jadi pertemuan terakhir mereka.
“Di Kota. Beliau sempat mampir ke kafe saya. Kami sempat ngobrol.”
“Terus, kok bisa ke tokonya Abah?”
“Abah minta bantuan saya buat mengantarkan buku-buku bekas pesanan ke toko. Soalnya kan Beliau tahu kalau saya sering mampir ke pasar induk buat mencari bahan mentah, terutama buah-buahan. Belum lama juga kok, baru dua kali antaran.”
Maya mengangguk-angguk. Pantesan dia belum pernah bertemu dengan Mahes di toko.
“Kamu sudah lama kenal Abah?” Laki-laki itu balik bertanya.
“Sudah. Aku ikut bantuin Abah mengajar anak-anak.”
“Oh. Yang dibilang sekolah gratis itu ya?”
Maya mengangguk.
“Bagus itu. Saya belum pernah sih ngeliat langsung proses belajar mengajar di sana, cuma menurut saya apa yang dilakuin Abah berguna banget.”
Kali ini Maya tersenyum. Iya dong, aku salah satu contohnya. Bergumam dia dalam hati.
“Kapan-kapan main ke kafeku kalau kamu sempet ke kota.”
“Aku belum pernah ke kota.”
“Serius?” Raut wajah Mahes berubah menjadi keheranan.
Lagi Maya mengangguk.
“Kalau begitu nanti kamu ikut saya saja, kalau nanti kamu punya waktu.”
Maya tidak tahu harus memberi jawaban apa, selain kembali mengangguk. Bisa saja kan itu cuma sekedar tawaran basa-basi.
Dalam sepuluh menit, mereka tiba di deretan pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa pohon terlihat digelayuti buah durian yang nampak sudah ranum. Satu batang pohon bahkan ada yang sampai digelantungi tiga sampai lima biji buah. Melihat itu Mahes sampai berdecak kagum. Dia semakin terkagum-kagum ketika melihat Maya mulai memanjat. Gadis itu membuat seolah memanjat pohon durian terlihat begitu mudah.
“Hati-hati!” Mahes berteriak.
Maya hanya tersenyum kecil, sambil melambai dari atas sana.
Memakai tali yang dibawanya tadi, Maya perlahan menurunkan satu demi satu buah durian yang dipetiknya. Di bawah sang ayah akan menangkap dan memasukkan ke karung. Mahes ikut membantu. Dari rerimbunan pohon durian, mereka berpindah ke deretan pohon mangga. Sama halnya seperti tadi, Maya yang bertugas naik memetik buah-buah yang ada. Setelah dirasa cukup, mereka kembali sambil membawa membawa dua karung turun menuju gubuk. Ayah memanggul satu karung. Mahes sedang berusaha untuk membawa karung yang lain. Bisa dikatakan berusaha, karena beberapa kali karung itu meleset dari bahunya. Maya sampai geli melihatnya. Kelihatan sekali kalau pekerjaan itu sesuatu yang baru buatnya. Semestinya Maya yang membawa karung itu, tapi kenalan barunya itu ingin bersikap gentleman. Ya, sudahlah.
Sementara mereka melangkah, matahari sudah kian condong ke arah barat.
“Ini, diminum dulu.”
Maya menyodorkan segelas air putih.
Mahes yang sekujur tubuhnya basah oleh keringat, menerima gelas tersebut. Keadaan dia masih tersengal-sengal. Diteguk pelan setelah nafasnya sudah mulai kembali teratur. Tersenyum Maya melihat laki-laki itu. Ayah dan ibunya juga ikut tersenyum. Melangkah Maya mengambil teko air. Disodorkan lagi pada Mahes. Satu gelas jelaslah tidak akan cukup. Laki-laki itu tertawa kecil, sambil mengucapkan terima kasih.
“Istirahat dulu sebentar lagi.” Ibu menyarankan pada Mahes, ketika dia berpamitan untuk balik ke kota.
“Biar nggak kemaleman, Bu.”
Kemudian laki-laki itu menyodorkan beberapa lembar uang, sebagai ganti buah yang akan dibawanya. Sesuai hasil kesepakatan harga bersama ibu di awal tadi. Besarannya bisa dikatakan lebih dari cukup. Paling tidak, kini biaya makan kami dan uang sekolah Mahdi bulan ini sudah tercukupi. Hasil penjualan panen bisa disimpan dulu buat bulan depan.
Bersama ayahnya, Maya ikut membantu membawa dua karung tadi naik ke mobil Mahes. Sementara dua karung apokat, hasil petikan di pagi hari, sudah lebih dahulu dinaikkan. Laki-laki itu membawa mobil pick up dan menyetir sendirian.
“Hati-hati, Dik Mahes.” Ayah berujar.
“Terima kasih, Pak.”
Mahes ganti menoleh ke arah Maya. “Kapan-kapan saya bakal mampir lagi. Ternyata seru juga memetik buah langsung dari pohonnya. Nanti kamu ajarin saya memanjat ya.”
Maya tersenyum, sambil mengangguk.
Mahes masuk ke dalam mobil. Sedetik kemudian mobil sudah mulai melaju pelan. Tatapan mata Maya terus mengikuti lajunya sampai dia menghilang di kejauhan. Maya mungkin baru saja mengenal Mahes, namun dia sangat percaya pada Abah Zain. Kalau Abah menyuruh dia bertemu dengan Maya, maka berarti laki-laki itu sosok yang baik. Musti diakui kalau Abah sangat handal dalam menilai karakter seseorang. Bahkan hanya dari sekali kesempatan berbincang.
Mahes laki-laki yang menarik. Dalam hatinya, Maya berharap pertemuan mereka akan bisa terjadi lagi dalam waktu dekat.
***
.

TULISAN SEBELUMNYA:
-          Dunia Maya 01
-          Dunia Maya 02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar