Selasa, 13 Oktober 2020

Cinta Panggangan Pertama 01


 01

TIDAK ada yang lebih menyebalkan ketimbang seorang chef yang mendadak kehilangan kemampuan memasaknya. Itulah yang dialami oleh Dika Alamsyah satu minggu ke belakang ini. Seorang chef muda kenamaan, yang wajahnya kerap kali wara-wiri di layar televisi, tiba-tiba saja mentok dalam membuat dessert. Hidangan yang  harusnya sederhana untuk seseorang yang sarat pengalaman seperti dirinya. Tiba-tiba saja, seluruh resep yang pernah diolahnya seakan menolak untuk menyajikan rasa yang dicari.

“Kita perlu menampilan menu baru yang fresh. Yang berbeda dari yang biasa kita sajikan setiap minggunya.”

Kata-kata dari sang pemilik restoran itulah yang bikin Dika pusing, sekaligus termotivasi. Dua minggu lagi, rencananya akan diselenggarakan special event di hotel dan juga restoran milik sang milyader. Merayakan ulang tahun emas jejaring bisnisnya. Undangannya tentu tidak main-main. Mengingat luasnya pergaulan sang pemilik, dari mulai kalangan selebritis sampai petinggi negeri masuk ke dalam daftar undangan. Sebuah tanggung jawab besar kini ada di pundak Dika, yang memang secara khusus dipilih sebagai koordinator untuk event tersebut. Tanggung jawab besar, untuk sebuah peluang peningkatan karier yang besar pula. Apabila berhasil, bukan tidak mungkin posisi chef utama yang sedang kosong bisa jatuh ke tangannya.

“Ini sih terlalu internasional rasanya, Dika. Saya itu maunya untuk dessert kita tampilkan hidangan yang lebih nusantara. Agar mewakili kuliner tradisional negeri, tapi dengan cita rasa yang bisa nantinya dinikmati juga oleh lidah para undangan asing.”

Komentar terakhir itu masing saja teringang-ingang di kepala Dika. Selesai sang bos besar mencicipi puding buah yang dia tawarkan untuk dimasukkan ke dalam menu.

Entah sudah berapa jam yang Dika habiskan di dapur rumahnya. Bukanlah hal yang biasa laki-laki itu membawa pekerjaan pulang ke rumah. Malah biasanya dia menghindari dapur kalau sudah di rumah. Semata untuk menghindari rasa jenuh. Namun, khusus untuk event yang akan datang ini Dika harus rela mengubah kebiasaannya. Tiga hari sudah dia selalu menghabiskan waktunya di dapur, ketimbang ruangan lain di rumah tersebut. Mengingat dirinya saat ini sedang diburu waktu. Masih terdapat beberapa resep yang musti dimatangkan atau diolah kembali. Salah satunya ya tentu hidangan dessert.

Entah sudah berapa adonan yang keluar masuk oven sedari tadi. Andai saja si oven dapat berbicara, mungkin dia sudah melapor ke Dinas Tenaga Kerja karena terus-terusan dipaksa untuk bekerja overtime. Beraneka ragam hidangan kue dan jajanan teronggok begitu saja di atas meja. Makin dimeriahkan pula dengan ceceran tepung yang tidak beraturan. Menegaskan status hasil panggangan yang mendapat “stempel” gagal. Termasuk adonan yang baru lima menit lalu keluar dari oven. Ketika dicicipinya, lidah Dika kembali tidak mendapati rasa yang sedang berusaha dia cari. Bahkan racikan bahan yang kali ini punya nasib lebih tragis, karena langsung berakhir di keranjang sampah. Mungkin itu adalah adonan terakhir hari itu. Tubuh dan pikiran Dika sudah tidak kuasa lagi melawan gelutan rasa lelah. Menyadari kalau tubuhnya sudah tak kuat lagi, Dika menghempaskan diri ke sofa. Mungkin memang sudah waktunya untuk rehat sejenak. Baru saja mendapatkan sedikit kenyamanan, terdengar suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Tanpa merasa perlu untuk beranjak, Dika sudah bisa menerka siapa yang datang.

“Mas! Kalau ibu nelpon itu mbok ya diangkat gitu! Kan aku nggak perlu sampe repot-repot mampirin Mas kayak gini kan. Capek tau habis kuliah pake acara musti mampir ke sini lagi!”

Dan benar saja terkaan Dika. Begitu pintu terbuka, suara yang sangat familier langsung tertangkap oleh telinganya. Seorang gadis tinggi semampai langsung menyelonong masuk. Tidak cuma nyelonong, tetapi juga pakai acara ngomel-ngomel segala lagi. Dika tetap saja santai duduk di posisinya semula, melihat tingkah adik perempuannya tersebut. Bukan sesuatu hal yang aneh sih bagi dia soalnya. Adiknya itu memang sudah seperti itu sejak dari bisa bicara. Kalau sudah bicara, apalagi kalau sedang kesal, kadang suka lupa direm. Rugi juga kalau musti dikomentari.

“YA AMPUN! INI DAPUR HABIS KENA GEMPA YA!”

Begitulah. Belum ada satu kata keluar dari mulut Dika, tapi sudah sekian puluh kata keluar dari mulut Renata.

“MAS, ITU APAAN!”

Renata menunjuk ke arah tumpukan adonan kue ‘gagal’ yang ada di meja dapur. Lengkap dengan ekspresi kengerian yang begitu natural. Semacam melihat hantu, setan, kuntilanak, atau sejenisnya. Tanpa menunggu jawaban dari sang kakak, Renata langsung mengambil sapu serta alat-alat lain. Mulai dia melakukan bersih-bersih. semua adonan tadi meluncur cepat ke tempat sampah. Kembali Dika merasa tidak perlu untuk mencegahnya, mengingat semua itu memang sudah tidak penting lagi. Beranjak dia dari sofa, lalu dengan santai melangkah menuju rak gelas.

“Kamu mau dibikinin kopi apa teh?”

“Nggak usah repot, Mas.” Sahutnya sambil mengelap meja dengan cairan sabun.

Dika pun membuat satu gelas saja dari rak.

Renata berhenti sejenak. Teringat kalau tadi dia meletakkan sebuah kotak kertas di bawah rak. “Oya, itu aku bawain kue buatan temen. Dicobain ya. Menurut aku sih enak, nggak tahu deh menurut lidah seorang chef papan atas kayak apa.”

Dika melirik sebentar kotak yang dimaksud tadi, kemudian lanjut mengaduk teh yang baru saja dituangi air panas.

“Bagaimana kabarnya ibu?”

“Mas, tanya ke ibu aja sendiri langsung. Kok nanyanya ke aku sih.”

“Ya kan kamu kebetulan ada di sini.”

“Ibu sehat. Makanya pulang dong sekali-kali, jangan sok sibuk mulu.”

Pikiran Dika menerawang ke masa lalu. Sudah hitungan tahun memang dia tidak pulang ke rumah. Memang faktor kesibukan profesi yang membuatnya susah mencari waktu luang. Namun, di samping itu ada faktor lain yang membuat dirinya enggan untuk pulang. Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, rumah menjadi sebuah memori yang kurang mengenakkan untuk di kenang. Rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk pulang. Dika memang tidak menyalahkan kedua orang tuanya. Dika lebih suka untuk menyalahkan takdir. Meskipun begitu ternyata hal itu tidak cukup untuk memberinya ketenangan jiwa. Dia sudah berusaha untuk menjauh dari rumah sedari memasuki sekolah menengah. Dengan alasan ingin belajar hidup mandiri. Sejak itu, Dika seperti terbiasa bercengkrama dengan kesibukan yang terkadang dicari-carinya. Hanya semata agar bisa menghindari diri untuk pulang. Beruntung ada Renata yang bisa menemani sang ibu. Sang ibu pun sepertinya sangat bisa memahami kondisi psikis anak sulungnya tersebut. Hanya sekali dua kali saja menelepon, sekedar untuk menanyakan kabar.

Tahun kemarin Renata dengan terpaksa harus meninggalkan sang ibu juga. Kuliah perawat yang dicita-citakan sang adik cuma ada di kota ini. Awalnya sang adik tinggal di rumahnya ini. Tapi karena jarak yang cukup jauh dari kampus, Dika mencarikan Renata kosan yang lokasinya lebih dekat. Bahkan mobil miliknya diserahkan sementara kepada sang adik. Semata agar Renata bisa lebih aman berkendara di ibukota. Dia memilih untuk kemana-mana pakai motor saja dulu. Saat ini sang ibu ditemani oleh salah satu bibi, sekedar biar ada teman untuk berbincang. Hanya saja, di akhir pekan atau liburan semester, biasanya Renata masih tetap rutin untuk pulang. Tidak demikian halnya dengan Dika.

“Eh Mas. Diajak ngomong kok bengong aja.”

Dika tersentak dari lamunannya. Tapi memutupi dengan memasang wajah jaim. “Aku kan memang beneran sibuk belakangan ini.”

“Lah terus hari-hari sebelumnya?”

“Ya sibuk juga.”

Renata hanya melengos. Capek dia mendengar jawaban yang sama berkali-kali.

“Ya udah. Karena Mas ternyata masih sehat-sehat aja. Mending sekarang aku pulang deh.”

Gadis itu mengambil lagi tasnya dan pamitan. Meja dapur sudah bersih. begitu pula dengan areal di sekitarnya.

“Hati-hati nyetirnya.”

Renata mengangguk.

“Oya, jangan sampai lupa dicobain kue yang tadi ya,” tambahnya lagi sebelum menghilang dari balik pintu.

Diingatkan kembali, Dika melangkah pelan mendekati kotak kertas yang masih menunggu di atas meja. Sebenarnya dia malas untuk mencicipi sebuah rasa baru lagi. Lidahnya serasa sudah kelu karena mengecap beragam rasa sedari pagi. Tapi, bentuk dan corak penuh warna dari kotak tersebut menarik perhatiannya. Dibuka dan mata Dika langsung menangkap beberapa potong kue Serabi. Bukan seperti Serabi yang umumnya berukuran sedang. Kue yang ini ukurannya lebih kecil. Dapat langsung masuk mulut dan dikunyah habis dalam waktu singkat. Dari tampilan luar saja sudah lumayan eye catching. Disusun dalam dua warna, coklat dan hijau. Masing-masing deret ada lima biji. Yang coklat nampaknya dihasilkan dari warna alami gula aren. Sedang yang hijau pakai campuran air daun pandan. Dika bisa mengetahui itu dari mencium aroma keduanya. Diambilnya satu yang berwarna coklat, kemudian dibelah menjadi dua. Dilihatnya kalau tingkat kematangan kue tersebut sangat bagus. Konturnya lembut, dan matang sampai ke dalam. Setelah memakai indera pengelihatan dan indera penciuman, kini waktunya memakai indera pengecap.

Dika menggigit potongan kue Serabi itu dan mulai menguyah. Baru saja kunyahan pertama dirinya langsung tersentak. Ya ampun! Inilah cita rasa yang ingin dicarinya. Cita rasa inilah yang diinginkannya. Terasa lembut ketika di gigit. Mudah untuk dikunyah. Manisnya pun terasa pas di lidah. Sebuah kue tradisional yang bercita rasa modern.

Langsung Dika berlarian menuju beranda. Dia lihat mobil sudah bergerak pelan. Bergegas laki-laki itu lanjut berlari dan langsung loncat ke depannya. Untungnya Renata bisa dengan sigap menginjak rem. Gadis itu terlihat kaget mendapati kemunculan sang kakak yang begitu tiba-tiba. Sempat dia mengira kakaknya itu kesambet setan kompor atau jin oven. Tapi, memang ada gitu ya setan atau jin yang menghuni peralatan dapur? Dia pun membuka kaca jendela mobil sesuai permintaan Dika. Masih mencoba menelaah apa yang barusan terjadi.

“Kue temenmu enak banget.”

Renata masih kebingungan. Jadi semua ini karena kue yang tadi?

“Okay.” Sahutnya singkat. Habisnya bingung harus berkomentar apa lagi.

“Siapa nama temenmu?”

“Saras.”

“Di mana aku bisa ketemu dia?”

“Di toko kuenya, mungkin...”

“Di mana toko kuenya?”

Dengan sedikit ragu Renata menyebutkan sebuah alamat. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus. Gadis itu ragu, apakah bijak memberi tahu lokasi toko tersebut mengingat kondisi sang kakak yang seperti itu.

“Makasi ya...”

Lho, kembali Renata dibuat kaget oleh tingkah kakaknya yang begitu saja masuk ke dalam rumah. Tidak pakai salam, tidak pakai permisi. Persis sama mengagetkan seperti kemunculannya tadi. Buru-buru gadis itu menarik nafas, sambil menggumamkan doa pengusir setan. “Amit-amit, pergi setan, pergi setan...” Sehabis itu dia sambar ponsel guna menelepon Saras. Penting untuk mencari tahu campuran apa sih yang diracik ke kue buatannya, sehingga membuat kakaknya jadi mendadak “kurang waras”.

***

 

SEBUAH DRAF

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar