01
TIDAK ada yang lebih menyebalkan ketimbang seorang chef yang mendadak
kehilangan kemampuan memasaknya. Itulah yang dialami oleh Dika Alamsyah satu minggu
ke belakang ini. Seorang chef muda kenamaan, yang wajahnya kerap kali wara-wiri
di layar televisi, tiba-tiba saja mentok dalam membuat dessert. Hidangan yang harusnya
sederhana untuk seseorang yang sarat pengalaman seperti dirinya. Tiba-tiba
saja, seluruh resep yang pernah diolahnya seakan menolak untuk menyajikan rasa
yang dicari.
“Kita perlu menampilan menu baru yang fresh. Yang berbeda
dari yang biasa kita sajikan setiap minggunya.”
Kata-kata dari sang pemilik restoran itulah yang bikin Dika pusing,
sekaligus termotivasi. Dua minggu lagi, rencananya akan diselenggarakan special event di hotel dan juga restoran
milik sang milyader. Merayakan ulang tahun emas jejaring bisnisnya. Undangannya
tentu tidak main-main. Mengingat luasnya pergaulan sang pemilik, dari mulai
kalangan selebritis sampai petinggi negeri masuk ke dalam daftar undangan. Sebuah
tanggung jawab besar kini ada di pundak Dika, yang memang secara khusus dipilih
sebagai koordinator untuk event tersebut.
Tanggung jawab besar, untuk sebuah peluang peningkatan karier yang besar pula.
Apabila berhasil, bukan tidak mungkin posisi chef utama yang sedang kosong bisa
jatuh ke tangannya.
“Ini sih terlalu internasional rasanya, Dika. Saya itu
maunya untuk dessert kita tampilkan hidangan yang lebih nusantara. Agar
mewakili kuliner tradisional negeri, tapi dengan cita rasa yang bisa nantinya dinikmati
juga oleh lidah para undangan asing.”
Komentar terakhir itu masing saja teringang-ingang di kepala Dika. Selesai sang bos besar mencicipi puding buah yang dia tawarkan untuk dimasukkan ke dalam menu.
Entah sudah berapa jam yang Dika habiskan di dapur rumahnya. Bukanlah
hal yang biasa laki-laki itu membawa pekerjaan pulang ke rumah. Malah biasanya
dia menghindari dapur kalau sudah di rumah. Semata untuk menghindari rasa
jenuh. Namun, khusus untuk event yang
akan datang ini Dika harus rela mengubah kebiasaannya. Tiga hari sudah dia
selalu menghabiskan waktunya di dapur, ketimbang ruangan lain di rumah
tersebut. Mengingat dirinya saat ini sedang diburu waktu. Masih terdapat beberapa
resep yang musti dimatangkan atau diolah kembali. Salah satunya ya tentu
hidangan dessert.
Entah sudah berapa adonan yang keluar masuk oven sedari tadi. Andai saja
si oven dapat berbicara, mungkin dia sudah melapor ke Dinas Tenaga Kerja karena
terus-terusan dipaksa untuk bekerja overtime.
Beraneka ragam hidangan kue dan jajanan teronggok begitu saja di atas meja.
Makin dimeriahkan pula dengan ceceran tepung yang tidak beraturan. Menegaskan
status hasil panggangan yang mendapat “stempel” gagal. Termasuk adonan yang
baru lima menit lalu keluar dari oven. Ketika dicicipinya, lidah Dika kembali
tidak mendapati rasa yang sedang berusaha dia cari. Bahkan racikan bahan yang
kali ini punya nasib lebih tragis, karena langsung berakhir di keranjang
sampah. Mungkin itu adalah adonan terakhir hari itu. Tubuh dan pikiran Dika
sudah tidak kuasa lagi melawan gelutan rasa lelah. Menyadari kalau tubuhnya
sudah tak kuat lagi, Dika menghempaskan diri ke sofa. Mungkin memang sudah
waktunya untuk rehat sejenak. Baru saja mendapatkan sedikit kenyamanan, terdengar
suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Tanpa merasa perlu untuk beranjak,
Dika sudah bisa menerka siapa yang datang.
“Mas! Kalau ibu nelpon itu mbok ya diangkat gitu! Kan aku nggak perlu
sampe repot-repot mampirin Mas kayak gini kan. Capek tau habis kuliah pake
acara musti mampir ke sini lagi!”
Dan benar saja terkaan Dika. Begitu pintu terbuka, suara yang sangat
familier langsung tertangkap oleh telinganya. Seorang gadis tinggi semampai
langsung menyelonong masuk. Tidak cuma nyelonong, tetapi juga pakai acara
ngomel-ngomel segala lagi. Dika tetap saja santai duduk di posisinya semula,
melihat tingkah adik perempuannya tersebut. Bukan sesuatu hal yang aneh sih
bagi dia soalnya. Adiknya itu memang sudah seperti itu sejak dari bisa bicara.
Kalau sudah bicara, apalagi kalau sedang kesal, kadang suka lupa direm. Rugi
juga kalau musti dikomentari.
“YA AMPUN! INI DAPUR HABIS KENA GEMPA YA!”
Begitulah. Belum ada satu kata keluar dari mulut Dika, tapi sudah sekian
puluh kata keluar dari mulut Renata.
“MAS, ITU APAAN!”
Renata menunjuk ke arah tumpukan adonan kue ‘gagal’ yang ada di meja
dapur. Lengkap dengan ekspresi kengerian yang begitu natural. Semacam melihat
hantu, setan, kuntilanak, atau sejenisnya. Tanpa menunggu jawaban dari sang
kakak, Renata langsung mengambil sapu serta alat-alat lain. Mulai dia melakukan
bersih-bersih. semua adonan tadi meluncur cepat ke tempat sampah. Kembali Dika
merasa tidak perlu untuk mencegahnya, mengingat semua itu memang sudah tidak
penting lagi. Beranjak dia dari sofa, lalu dengan santai melangkah menuju rak
gelas.
“Kamu mau dibikinin kopi apa teh?”
“Nggak usah repot, Mas.” Sahutnya sambil mengelap meja dengan cairan
sabun.
Dika pun membuat satu gelas saja dari rak.
Renata berhenti sejenak. Teringat kalau tadi dia meletakkan sebuah kotak
kertas di bawah rak. “Oya, itu aku bawain kue buatan temen. Dicobain ya.
Menurut aku sih enak, nggak tahu deh menurut lidah seorang chef papan atas kayak
apa.”
Dika melirik sebentar kotak yang dimaksud tadi, kemudian lanjut mengaduk
teh yang baru saja dituangi air panas.
“Bagaimana kabarnya ibu?”
“Mas, tanya ke ibu aja sendiri langsung. Kok nanyanya ke aku sih.”
“Ya kan kamu kebetulan ada di sini.”
“Ibu sehat. Makanya pulang dong sekali-kali, jangan sok sibuk mulu.”
Pikiran Dika menerawang ke masa lalu. Sudah hitungan tahun memang dia
tidak pulang ke rumah. Memang faktor kesibukan profesi yang membuatnya susah
mencari waktu luang. Namun, di samping itu ada faktor lain yang membuat dirinya
enggan untuk pulang. Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, rumah menjadi sebuah
memori yang kurang mengenakkan untuk di kenang. Rumah bukan lagi tempat yang
nyaman untuk pulang. Dika memang tidak menyalahkan kedua orang tuanya. Dika
lebih suka untuk menyalahkan takdir. Meskipun begitu ternyata hal itu tidak
cukup untuk memberinya ketenangan jiwa. Dia sudah berusaha untuk menjauh dari
rumah sedari memasuki sekolah menengah. Dengan alasan ingin belajar hidup
mandiri. Sejak itu, Dika seperti terbiasa bercengkrama dengan kesibukan yang
terkadang dicari-carinya. Hanya semata agar bisa menghindari diri untuk pulang.
Beruntung ada Renata yang bisa menemani sang ibu. Sang ibu pun sepertinya sangat
bisa memahami kondisi psikis anak sulungnya tersebut. Hanya sekali dua kali
saja menelepon, sekedar untuk menanyakan kabar.
Tahun kemarin Renata dengan terpaksa harus meninggalkan sang ibu juga.
Kuliah perawat yang dicita-citakan sang adik cuma ada di kota ini. Awalnya sang
adik tinggal di rumahnya ini. Tapi karena jarak yang cukup jauh dari kampus, Dika
mencarikan Renata kosan yang lokasinya lebih dekat. Bahkan mobil miliknya
diserahkan sementara kepada sang adik. Semata agar Renata bisa lebih aman
berkendara di ibukota. Dia memilih untuk kemana-mana pakai motor saja dulu.
Saat ini sang ibu ditemani oleh salah satu bibi, sekedar biar ada teman untuk berbincang.
Hanya saja, di akhir pekan atau liburan semester, biasanya Renata masih tetap
rutin untuk pulang. Tidak demikian halnya dengan Dika.
“Eh Mas. Diajak ngomong kok bengong aja.”
Dika tersentak dari lamunannya. Tapi memutupi dengan memasang wajah jaim. “Aku kan memang beneran sibuk
belakangan ini.”
“Lah terus hari-hari sebelumnya?”
“Ya sibuk juga.”
Renata hanya melengos. Capek dia mendengar jawaban yang sama
berkali-kali.
“Ya udah. Karena Mas ternyata masih sehat-sehat aja. Mending sekarang
aku pulang deh.”
Gadis itu mengambil lagi tasnya dan pamitan. Meja dapur sudah bersih.
begitu pula dengan areal di sekitarnya.
“Hati-hati nyetirnya.”
Renata mengangguk.
“Oya, jangan sampai lupa dicobain kue yang tadi ya,” tambahnya lagi
sebelum menghilang dari balik pintu.
Diingatkan kembali, Dika melangkah pelan mendekati kotak kertas yang masih
menunggu di atas meja. Sebenarnya dia malas untuk mencicipi sebuah rasa baru
lagi. Lidahnya serasa sudah kelu karena mengecap beragam rasa sedari pagi. Tapi,
bentuk dan corak penuh warna dari kotak tersebut menarik perhatiannya. Dibuka dan
mata Dika langsung menangkap beberapa potong kue Serabi. Bukan seperti Serabi
yang umumnya berukuran sedang. Kue yang ini ukurannya lebih kecil. Dapat langsung
masuk mulut dan dikunyah habis dalam waktu singkat. Dari tampilan luar saja sudah
lumayan eye catching. Disusun dalam
dua warna, coklat dan hijau. Masing-masing deret ada lima biji. Yang coklat nampaknya
dihasilkan dari warna alami gula aren. Sedang yang hijau pakai campuran air daun
pandan. Dika bisa mengetahui itu dari mencium aroma keduanya. Diambilnya satu
yang berwarna coklat, kemudian dibelah menjadi dua. Dilihatnya kalau tingkat
kematangan kue tersebut sangat bagus. Konturnya lembut, dan matang sampai ke
dalam. Setelah memakai indera pengelihatan dan indera penciuman, kini waktunya
memakai indera pengecap.
Dika menggigit potongan kue Serabi itu dan mulai menguyah. Baru saja
kunyahan pertama dirinya langsung tersentak. Ya ampun! Inilah cita rasa yang
ingin dicarinya. Cita rasa inilah yang diinginkannya. Terasa lembut ketika di
gigit. Mudah untuk dikunyah. Manisnya pun terasa pas di lidah. Sebuah kue tradisional
yang bercita rasa modern.
Langsung Dika berlarian menuju beranda. Dia lihat mobil sudah bergerak
pelan. Bergegas laki-laki itu lanjut berlari dan langsung loncat ke depannya.
Untungnya Renata bisa dengan sigap menginjak rem. Gadis itu terlihat kaget mendapati
kemunculan sang kakak yang begitu tiba-tiba. Sempat dia mengira kakaknya itu
kesambet setan kompor atau jin oven. Tapi,
memang ada gitu ya setan atau jin yang menghuni peralatan dapur? Dia pun
membuka kaca jendela mobil sesuai permintaan Dika. Masih mencoba menelaah apa
yang barusan terjadi.
“Kue temenmu enak banget.”
Renata masih kebingungan. Jadi semua
ini karena kue yang tadi?
“Okay.” Sahutnya singkat. Habisnya bingung harus berkomentar apa lagi.
“Siapa nama temenmu?”
“Saras.”
“Di mana aku bisa ketemu dia?”
“Di toko kuenya, mungkin...”
“Di mana toko kuenya?”
Dengan sedikit ragu Renata menyebutkan sebuah alamat. Lokasinya tidak
terlalu jauh dari kampus. Gadis itu ragu, apakah bijak memberi tahu lokasi toko
tersebut mengingat kondisi sang kakak yang seperti itu.
“Makasi ya...”
Lho,
kembali Renata dibuat kaget oleh tingkah kakaknya yang begitu saja masuk ke
dalam rumah. Tidak pakai salam, tidak pakai permisi. Persis sama mengagetkan
seperti kemunculannya tadi. Buru-buru gadis itu menarik nafas, sambil
menggumamkan doa pengusir setan. “Amit-amit,
pergi setan, pergi setan...” Sehabis itu dia sambar ponsel guna menelepon
Saras. Penting untuk mencari tahu campuran apa sih yang diracik ke kue
buatannya, sehingga membuat kakaknya jadi mendadak “kurang waras”.
***
SEBUAH DRAF
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar