Rabu, 08 November 2017

Ayah - Sebuah Novel: Bercerita Cinta Yang Tak Biasa



Siapa yang tidak kenal dengan Andrea Hirata. Seorang penulis yang fenomenal lewat novelnya ‘Laskar Pelangi’. Kebetulan salah satu novel karyanya ada di genggaman saya. Judulnya ‘Ayah - Sebuah Novel’. Novel ini ada di tangan saya karena judulnya tersebut. Sebagai seorang laki-laki, suatu saat nanti (entah kapan), pasti akan menjadi ayah. “Apakah saya akan menjadi seorang ayah yang baik?” Sebuah pertanyaan yang selalu mengusik diri saya. Dari membaca novel ini saya berharap bisa mendapat sedikit pencerahan. Tentang bagaimana menjadi seorang ayah.
Novel ini memiliki sampul yang sederhana, dengan didominasi warna hitam. Tergambar siluet seorang laki-laki, anak kecil, dan sepeda ontel. Diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka, pertama kali tahun 2015. Memiliki 396 halaman, belum termasuk daftar isi dan lainnya. Dari pemilihan font dan spasi, sangat enak untuk dibaca.
Begitu membuka sampul, kita disajikan empat halaman khusus berisi ‘Endorsement for Andrea Hirata - The Rainbow Troops’. Narsis juga nih Bung Andrea, pikir saya. Semua pujian dibuatin halaman khusus segala hehehe... Tapi memang penting sih, karena pujian bagi penulis itu ibarat vitamin. Dengan begitu, semangat untuk menulis bisa terus menyala dalam diri.
Novel ini terdiri dari 67 bab (kalau tidak salah hitung). Setiap bab disusun dengan sangat ringkas dan ringan. Kalimat-kalimat yang digunakan pun sederhana. Saya seperti membaca kumpulan dari cerita-cerita pendek, yang dirangkai  ke dalam satu benang merah.
Secara garis besar novel ini tentang seorang anak yang bercerita mengenai ayahnya. Tentang cinta sang ayah kepada sang ibu. Sang anak bernama Amiru. Sang ayah bernama Sabari. Dan sang ibu bernama Marlena. Inti cerita berpusat pada ketiga tokoh ini, dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Kisah cinta Sabari dan Marlena bermula dari ujian masuk SMA. Ketika ujian Bahasa Indonesia, seorang gadis merampas kertas jawaban Sabari dan menyalinnya. Saking terpesonanya Sabari, dia membiarkan saja aksi gadis itu. Gadis itu adalah Marlena. Terakhir Marlena menyerahkan sebuah pensil sebagai tanda terima kasih. Sebuah pensil yang terus dijaga oleh Sabari, sampai akhir hayatnya. Dia telah jatuh cinta.
Sabari bukanlah pria yang mudah untuk jatuh cinta. Berbeda dengan sahabat karibnya, Ukun dan Tamat. Meski cinta mereka tidak ada satu pun yang berbalas. Bagi Sabari, Marlena adalah cinta pertama dan terakhirnya. Namun, layaknya sang sahabat karib, cinta Sabari pun tidak berbalas. Marlena malah justru berusaha menghindari Sabari. Apapun upaya yang dilakukan Sabari, sama sekali tidak bisa menggetarkan hati Marlena. Semua penolakan Marlena, tidak membuat Sabari putus asa. Dia tetap mencinta Marlena dengan sepenuh hati.
Sampai Sabari lulus SMA dan bekerja, tetap dia tidak bisa melupakan Marlena. Bahkan, demi agar bisa terus melihat sang pujaan hati dia rela bekerja untuk ayah Marlena, Markoni. Sampai di suatu waktu, Marlena hamil tanpa diceritakan proses ‘pembuatannya’. Dengan ikhlas Sabari mau menikahi Marlena. Lalu apakah Marlena menjadi luluh karenanya? Oh tidak. Setelah menikah Marlena tetap tinggal dengan orang tuanya, meski Sabari menyiapkan rumah kecil untuk mereka. Demikian pun saat sang anak lahir, Marlena justru mengajukan permohonan cerai.
Dengan ikhlas Sabari menerima keputusan Marlena. Seperginya Marlena, dengan telaten Sabari merawat sang anak. Anak yang dia panggil Zorro, yang kemudian kita kenal sebagai Amiru. Sedang bahagianya merawat Zorro, Marlena datang merampas sang anak dari Sabari. Sejak saat itu hidup Sabari hancur, berantakan.
Marlena sendiri memiliki petualangan cinta beragam, selepas bercerai dengan Sabari. Ada nama Manikam, JonPijareli, dan Amirza. Semua pernikahan tersebut juga berakhir dengan perceraian, kecuali yang dia jalani bersama Amirza. Bagi Zorro, a.k.a Amiru, ketiga laki-laki ini juga adalah Ayah baginya. Namun, tetap saja cerita yang paling menarik adalah milik Sabari.
Singkat cerita, akhirnya Amiru bertemu lagi dengan Sabari. Sampai detik itu pula Marlena tidak menganggap cinta Sabari. Tetapi, Sabari sangat sadar dan bisa menerima hal tersebut. Mengingat tampang dan hidupnya yang pas-pasan. Bagaimana pun Marlena memperlakukan dirinya, Sabari tetap mencintai Marlena dan Amiru dengan ikhlas. Padahal kalau dipikir-pikir, Amiru bukanlah darah dagingnya sendiri. Sampai di akhir hayat pun Sabari minta ditulisi sebuah puisi di batu nisannya, “Biarkan aku mati dalam keharuman cintamu.” Sebuah puisi yang dia tujukan khusus untuk Marlena. Padahal selama hidupnya, hanya empat kali Sabari berbicara dan bertatap muka dengan Marlena. Satu-satunya wanita yang pernah, dan benar-benar tulus dia cintai.
Apakah benar Marlena begitu membenci Sabari? Entahlah. Yang jelas, diakhir hayatnya Marlena juga menitipkan sebuah pesan. Agar dimakamkan di dekat makam Sabari. Dan di batu nisannya ditulisi, “Purnama kedua belas.” Panggilan yang biasa diucapkan Sabari, untuk dirinya.
Sungguh sebuah kisah cinta yang menggugah hati, bukan? Itulah kenapa saya menyebut cinta Sabari kepada Marlena, sebuah cinta yang tak biasa.
Sebagai sebuah karya, novel ini sangat menarik untuk diikuti. Sangat sederhana, ringkas, dan ringan. Benar-benar terfokus pada alur cerita, tanpa banyak membahas hal-hal lain. Bahkan latar tempat Belitong, kota-kota di Sumatera, dan Australia, tidak terlalu detail diuraikan. Namun, hal inilah yang justru membuat novel ini menarik. Kita menjadi benar-benar fokus diajak ikut dalam kehidupan para tokoh. Termasuk kejenakaan, keluguan, dan keaburadulan tingkah polah mereka. Tanpa perlu dipusingkan detail-detail yang kadang ‘beribet’. Tawa dan haru begitu dikemas rapi dalam novel ini.
Terakhir, selamat membaca, apabila pada saatnya novel ini ada di tangan anda.

Denpasar, 8 Nopember 2017.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar