Siapa
yang tidak kenal dengan Andrea Hirata. Seorang penulis yang fenomenal lewat
novelnya ‘Laskar Pelangi’. Kebetulan salah satu novel karyanya ada di genggaman
saya. Judulnya ‘Ayah - Sebuah Novel’. Novel ini ada di tangan saya karena
judulnya tersebut. Sebagai seorang laki-laki, suatu saat nanti (entah kapan), pasti
akan menjadi ayah. “Apakah saya akan menjadi seorang ayah yang baik?” Sebuah
pertanyaan yang selalu mengusik diri saya. Dari membaca novel ini saya berharap
bisa mendapat sedikit pencerahan. Tentang bagaimana menjadi seorang ayah.
Novel ini
memiliki sampul yang sederhana, dengan didominasi warna hitam. Tergambar siluet
seorang laki-laki, anak kecil, dan sepeda ontel. Diterbitkan oleh PT. Bentang
Pustaka, pertama kali tahun 2015. Memiliki 396 halaman, belum termasuk daftar
isi dan lainnya. Dari pemilihan font dan
spasi, sangat enak untuk dibaca.
Begitu
membuka sampul, kita disajikan empat halaman khusus berisi ‘Endorsement for Andrea Hirata - The Rainbow
Troops’. Narsis juga nih Bung Andrea, pikir saya. Semua pujian dibuatin
halaman khusus segala hehehe... Tapi memang penting sih, karena pujian bagi
penulis itu ibarat vitamin. Dengan begitu, semangat untuk menulis bisa terus menyala
dalam diri.
Novel ini terdiri dari 67 bab (kalau tidak salah hitung).
Setiap bab disusun dengan sangat ringkas dan ringan. Kalimat-kalimat yang
digunakan pun sederhana. Saya seperti membaca kumpulan dari cerita-cerita
pendek, yang dirangkai ke dalam satu benang
merah.
Secara
garis besar novel ini tentang seorang anak yang bercerita mengenai ayahnya. Tentang
cinta sang ayah kepada sang ibu. Sang anak bernama Amiru. Sang ayah bernama
Sabari. Dan sang ibu bernama Marlena. Inti cerita berpusat pada ketiga tokoh
ini, dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Kisah
cinta Sabari dan Marlena bermula dari ujian masuk SMA. Ketika ujian Bahasa
Indonesia, seorang gadis merampas kertas jawaban Sabari dan menyalinnya. Saking
terpesonanya Sabari, dia membiarkan saja aksi gadis itu. Gadis itu adalah Marlena.
Terakhir Marlena menyerahkan sebuah pensil sebagai tanda terima kasih. Sebuah
pensil yang terus dijaga oleh Sabari, sampai akhir hayatnya. Dia telah jatuh
cinta.
Sabari bukanlah
pria yang mudah untuk jatuh cinta. Berbeda dengan sahabat karibnya, Ukun dan
Tamat. Meski cinta mereka tidak ada satu pun yang berbalas. Bagi Sabari,
Marlena adalah cinta pertama dan terakhirnya. Namun, layaknya sang sahabat
karib, cinta Sabari pun tidak berbalas. Marlena malah justru berusaha menghindari
Sabari. Apapun upaya yang dilakukan Sabari, sama sekali tidak bisa menggetarkan
hati Marlena. Semua penolakan Marlena, tidak membuat Sabari putus asa. Dia
tetap mencinta Marlena dengan sepenuh hati.
Sampai Sabari
lulus SMA dan bekerja, tetap dia tidak bisa melupakan Marlena. Bahkan, demi agar
bisa terus melihat sang pujaan hati dia rela bekerja untuk ayah Marlena, Markoni.
Sampai di suatu waktu, Marlena hamil tanpa diceritakan proses ‘pembuatannya’.
Dengan ikhlas Sabari mau menikahi Marlena. Lalu apakah Marlena menjadi luluh
karenanya? Oh tidak. Setelah menikah Marlena tetap tinggal dengan orang tuanya,
meski Sabari menyiapkan rumah kecil untuk mereka. Demikian pun saat sang anak
lahir, Marlena justru mengajukan permohonan cerai.
Dengan
ikhlas Sabari menerima keputusan Marlena. Seperginya Marlena, dengan telaten
Sabari merawat sang anak. Anak yang dia panggil Zorro, yang kemudian kita kenal
sebagai Amiru. Sedang bahagianya merawat Zorro, Marlena datang merampas sang
anak dari Sabari. Sejak saat itu hidup Sabari hancur, berantakan.
Marlena
sendiri memiliki petualangan cinta beragam, selepas bercerai dengan Sabari. Ada
nama Manikam, JonPijareli, dan Amirza. Semua pernikahan tersebut juga berakhir
dengan perceraian, kecuali yang dia jalani bersama Amirza. Bagi Zorro, a.k.a
Amiru, ketiga laki-laki ini juga adalah Ayah baginya. Namun, tetap saja cerita
yang paling menarik adalah milik Sabari.
Singkat
cerita, akhirnya Amiru bertemu lagi dengan Sabari. Sampai detik itu pula
Marlena tidak menganggap cinta Sabari. Tetapi, Sabari sangat sadar dan bisa
menerima hal tersebut. Mengingat tampang dan hidupnya yang pas-pasan. Bagaimana
pun Marlena memperlakukan dirinya, Sabari tetap mencintai Marlena dan Amiru
dengan ikhlas. Padahal kalau dipikir-pikir, Amiru bukanlah darah dagingnya
sendiri. Sampai di akhir hayat pun Sabari minta ditulisi sebuah puisi di batu
nisannya, “Biarkan aku mati dalam
keharuman cintamu.” Sebuah puisi yang dia tujukan khusus untuk Marlena.
Padahal selama hidupnya, hanya empat kali Sabari berbicara dan bertatap muka dengan
Marlena. Satu-satunya wanita yang pernah, dan benar-benar tulus dia cintai.
Apakah
benar Marlena begitu membenci Sabari? Entahlah. Yang jelas, diakhir hayatnya
Marlena juga menitipkan sebuah pesan. Agar dimakamkan di dekat makam Sabari.
Dan di batu nisannya ditulisi, “Purnama
kedua belas.” Panggilan yang biasa diucapkan Sabari, untuk dirinya.
Sungguh
sebuah kisah cinta yang menggugah hati, bukan? Itulah kenapa saya menyebut
cinta Sabari kepada Marlena, sebuah cinta yang tak biasa.
Sebagai
sebuah karya, novel ini sangat menarik untuk diikuti. Sangat sederhana, ringkas,
dan ringan. Benar-benar terfokus pada alur cerita, tanpa banyak membahas
hal-hal lain. Bahkan latar tempat Belitong, kota-kota di Sumatera, dan
Australia, tidak terlalu detail diuraikan. Namun, hal inilah yang justru membuat
novel ini menarik. Kita menjadi benar-benar fokus diajak ikut dalam kehidupan
para tokoh. Termasuk kejenakaan, keluguan, dan keaburadulan tingkah polah mereka.
Tanpa perlu dipusingkan detail-detail yang kadang ‘beribet’. Tawa dan haru begitu dikemas rapi dalam novel ini.
Terakhir,
selamat membaca, apabila pada saatnya novel ini ada di tangan anda.
Denpasar, 8 Nopember 2017.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar