Namanya adalah Sekar Jagat. Nama itu diambil dari sebuah nama tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa memanggilnya Sekar. Bukanlah sebuah kebetulan ia menyandang nama itu sejak lahir. Ia terlahir sebagai gadis Bali dan kedua orang tuanya berprofesi sebagai seniman. Sang ayah adalah pemusik tradisional, sedangkan sang ibu adalah seorang penari. Nama itu sudah dipersiapkan untuknya jauh hari sebelum kelahirannya. Sang ayah sudah memanggilnya dengan nama itu saat mengelus perut sang istri yang semakin membesar. Sang ibu sudah memanggilnya dengan nama itu saat mulai merasakan gerakan dirahimnya. Sampai saat yang dinantikan pun tiba. Hari itu, menjelang dini hari, untuk pertama kalinya sang pemilik nama menghirup udara dunia.
“Lihat matanya mirip biang-nya, pasti besarnya akan menjadi penari juga”, sang nenek
berseru bahagia.
“Oh tidak lebih mirip ajik-nya”, sang kakek berseru tidak kalah bahagia.
“Ah Bli tahu
apa, pakai dulu kaca mata sana”.
“Tiang tidak
perlu kaca mata untuk melihat cucu sendiri”.
“Bli itu
sudah rabun, mengenali anak sendiri dari jarak sepuluh meter saja susah”.
“Tapi itu tidak berlaku untuk cucu”.
Perdebatan antara kedua lanjut usia itu disambut tawa
oleh mereka yang ada disana. Kamar rumah sakit itu dipenuhi oleh aura
kebahagiaan. Semuanya saling bercengkrama. Semuanya saling berbagi cerita. Semuanya
terlihat bahagia. Terutama orang tua Sekar yang telah lama menantikan kelahiran
anak pertama mereka.
Di antara mereka yang ada di ruangan itu, ada dua
orang yang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang pertama adalah
Sekar. Tidak dapat disalahkan memang karena umurnya baru dua hari. Dia terlihat
hanya bergelinjang di pelukan sang ibu. Matanya bahkan masih terpejam. Ia tentu
tidak mengerti kalau dia-lah bintang pembicaraan malam itu. Sedangkan orang
kedua adalah aku. Iya, aku.
Siapakah aku? Saat itu aku hanya seorang bocah berusia
tiga tahun. Aku kebetulan ada di ruangan itu karena orang tuaku menjenguk orang
tua Sekar. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Ayahku bersahabat dengan ayah
Sekar karena pernah berkolaborasi membuat musik gamelan. Entah kebetulan atau
tidak, ibuku dan ibu Sekar juga pernah menari bersama dalam sebuah pementasan
Sendratari. Mereka seakan memang sudah berjodoh untuk menjadi sahabat.
Namaku adalah Wirayudha. Sama halnya seperti Sekar,
namaku juga diambil dari nama sebuah tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa
memanggilku Wira. Sama pula halnya dengan Sekar, nama itu juga bukan kebetulan
aku sandang sejak lahir. Kedua orang tuaku yang juga adalah sepasang seniman, tentunya
yang menjadi alasan.
“Lihat tangannya sudah bergerak dengan sangat
gemulai”, ucapan itu berasal dari ibuku.
Ucapan itu diamini senyuman oleh ibu Sekar.
“Benar kan, dia pasti akan menjadi seorang penari”,
sang nenek berucap bangga karena ada yang mendukungnya.
“Siapa tahu nanti dia bisa menari bersama dengan Wira”.
Ibuku menatapku. Aku menatap balik ibuku. Aku tidak
tahu harus berkomentar apa atas ucapan ibuku itu. Sepertinya aku memang tidak
perlu berkomentar, karena setelahnya tawa pecah di antara mereka.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Sekar. Dia pun terlihat
ikut tertawa kecil.
*****
Hari itu, sepuluh tahun setelahnya. Sekar sudah tidak
lagi hanya bisa menangis. Dia sudah menjelma menjadi seorang gadis kecil yang
cantik. Ia kini tidak hanya bisa berjalan dan berlarian. Sekar kecil bahkan sudah
bisa menari sekarang. Keelokan gerakannya diturunkan langsung dari sang ibu. Saat
ia mulai menari matamu tidak akan berhenti menatapnya. Begitu pun dengan ribuan
pasang mata di hari itu, termasuk sepasang mata milikku. Hari itu di kawasan Art
Centre Denpasar, di gedung Ardha Candra, diadakan pementasan Gong Kebyar
tingkat anak-anak. Pementasan itu diadakan dalam rangka mengisi agenda acara
Pesta Kesenian Bali. Sekar menjadi salah satu penari dalam pementasan tersebut.
Itu adalah pementasan pertamanya, dimana ia menjadi penari termuda di antara
penari yang ada di sana.
Aku juga ada di sana. Aku ada di antara puluhan
penabuh gamelan pengiring para penari. Sama seperti penonton yang ada di sana,
aku pun terpesona. Sekar terlihat begitu elok menarikan Tari Cendrawasih dipadukan
dengan lakon yang dipentaskan. Durasi dua jam terasa begitu singkat saat itu, paling
tidak untukku. Melihat Sekar menari seakan menyihir alam bawah sadarku. Saat
itu Sekar ibarat benar-benar menjelma menjadi seekor Cendrawasih yang berbulu indah.
“Bli, Bli, tiang bisa, tiang bisa…”.
Sekar berlarian menuju ke arahku. Wajahnya terlihat
sumringah. Ia memelukku dan aku menyambut pelukannya.
“Suksma sudah
memberi tiang semangat sebelum
pentas”.
“Tiang tahu Sekar
pasti bisa”.
“Tadi menegangkan sekali, tiang sempat salah di tengah-tengah”.
“Ah penonton tidak tahu itu, buktinya tepuk tangannya meriah
sekali”.
Sekar tersenyum.
“Tapi tetap suksma”.
“Nggih, sama-sama”.
“Besok pulang latihan Bli ada acara?”.
“Belum, memang ada apa?”.
“Ada traktiran”.
Giliran aku yang tersenyum.
“Bagaimana? Bisa?”.
“Bisa, tentu saja bisa”.
Melihat kebahagian Sekar saat itu aku pun bahagia. Kami
tumbuh dan besar bersama di dunia seni. Ibarat pepatah buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya. Aku mendalami berbagai gamelan tradisional dan modern, seperti
halnya ayahku. Sedangkan Sekar lebih fokus dengan menekuni berbagai gerakan
tari, seperti halnya ibunya.
“Bli, tiang ingin menari sambil berkeliling
Indonesia seperti mereka, tiang ingin
menjadi duta kesenian Bali”.
Aku terbayang ucapan Sekar beberapa hari sebelumnya.
Saat itu kami ada di Ubud, Kabupaten Gianyar, dalam rangka acara Pentas Seni Nasional.
Saat itu dipentaskan beragam kesenian dari berbagai provinsi yang ada di
Indonesia. Sumatera diwakili Aceh dan Medan mementaskan Tari Seudati dan Tari
Serampang Dua Belas, Jawa diwakili Jakarta dan Yogyakarta mementaskan Tari
Jaipong dan Tari Bedoyo, Kalimantan diwakili Banjarmasin dan Samarinda
mementaskan Tari Radap Rahayu dan Tari Perang, Sumatera diwakili Makassar dan
Manado mementaskan Tari Kipas dan Tari Maengkat, sedangkan wilayah Timur
diwakili Ambon, Ternate dan Papua mementaskan Tari Cakalele, Tari Lenso dan
Tari Musyoh. Sedangkan aku dan Sekar, kami bersama dengan Mataram mewakili Nusa
Tenggara mementaskan Tari Legong dan Tari Batunganga.
“Oh bagus itu, kalau perlu menari sampai luar negeri
dan jadi duta Indonesia untuk dunia”.
Sekar tersenyum.
“Ah kalau itu sih sepertinya mimpi yang terlalu
tinggi”.
“Kenapa tidak? Semua hal besar selalu dimulai dari
sebuah mimpi”.
“Iya, semoga saja bisa ya Bli”.
Sejak itu aku bertekad untuk membantu Sekar mewujudkan
mimpinya. Saat itu keterpesonaanku mulai berubah menjadi ketertarikan atas
sosok Sekar. Hubungan kami sudah semakin dekat, tidak hanya sebatas kakak dan
adik ataupun sahabat karib. Paling tidak bagiku, entahlah bagi Sekar. Terlepas
dari semua itu, sosok Sekar memang terlihat berbeda dengan sosok penari pada
umumnya. Dia seakan terlahir dengan taksu
di dalam dirinya. Dunia kesenian Bali sangat beruntung untuk memilikinya.
*****
Hari itu, delapan tahun setelahnya. Sekar tidak lagi
seorang gadis kecil yang cantik. Sekar sudah beranjak remaja. Parasnya semakin hari
terlihat semakin cantik. Sekar remaja masih tetap menari dan tariannya jauh lebih
elok dari sebelumnya. Namun, bertambahnya umur membuat pola pikir Sekar tidak
sesederhana dulu. Gejolak gairah masa remaja membuat segala yang ada di pikirannya
menjadi lebih kompleks.
Sekar remaja kini membutuhkan pakaian mahal untuk menarik
lawan jenis. Sekar remaja membutuhkan ponsel untuk bersosialisasi dengan sesamanya.
Sekar remaja membutuhkan kendaraan bermotor untuk mobilitasnya. Sekar remaja
membutuhkan hal-hal pendukung lainnya untuk aktifitas lainnya. Semua kebutuhan
itu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Semua kebutuhan itu tidak bisa lagi
ditukar beberapa lembar puluhan ribu rupiah hasil dari menari. Menari pun kini seakan
tidak lagi menjadi sesuatu menarik di mata Sekar.
“Tiang tidak
mau menari lagi”, ucap Sekar itu mengawali pembicaraan.
Selepas ucapan itu kesunyian mendera untuk beberapa
detik.
“Memang kenapa Gek?”,
tanya sang Ibu.
“Tiang sudah
bosan”.
“Bosan?”.
“Nggih, tiang merasa menari tidak cukup untuk
menghasilkan uang”.
Ekspresi kesedihan terpancar di wajah sang ibu.
Demikian pula dengan sang ayah yang sedari tadi hanya terdiam. Aku bisa melihat
semuanya dengan jelas, karena aku ada di sana. Sekar memang memintaku untuk
menemani berbicara dengan orang tuanya. Ekspresi yang sama juga melanda diriku
beberapa jam sebelumnya. Tepat saat Sekar mengucapkan kata-kata yang sama
kepadaku.
“Tapi bukannya biang
menghidupi Gek dari menari juga? Gek bisa sekolah juga dari uang hasil
pentas ajik?”.
“Iya, tapi dulu dengan sekarang beda. Sekarang
segalanya butuh uang”.
Sang ibu terus berusaha untuk meyakinkan sang anak
untuk berubah pikiran. Sang ayah sendiri hanya bisa terdiam, sama halnya
seperti diriku. Harus diakui apa yang dikatakan oleh Sekar itu ada benarnya. Di
Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, penghargaan terhadap pekerja
seni masih sangat kecil. Bali adalah Provinsi yang begitu identik dengan keindahan
alam, seni dan juga budayanya. Alam, seni dan budaya ibarat taksu bagi Bali. Di satu sisi pekerja
seni diminta untuk tetap menjaga taksu Bali,
namun di sisi lain mereka tentu tidak bisa hidup tanpa materi. Bukan rahasia
lagi kalau upah sebuah pementasan seni tidak mampu menutupi biaya operasional yang
dikeluarkan. Sepertinya hal itu belum diamini oleh para pemimpin di negeri ini.
Bagi pekerja seni yang memiliki idealisme, mereka akan berusaha untuk tetap bertahan.
Namun, bagi mereka yang tidak maka satu persatu dari mereka akan berguguran.
Kalau kalimat itu keluar dari mulut yang lain aku
tidak akan pedulikan, namun saat kalimat itu keluar dari mulut Sekar itu terasa
menyakitkan. Pembicaraan itu tidak berlangsung lama. Kedua orang tua Sekar
memilih untuk mengalah. Rasa sayang kepada sang anak semata wayang membuat
mereka tidak berdaya untuk menolak. Sekar tetap bersikeras untuk berhenti
menari dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Deburan ombak pantai Sanur mengisi kesunyian di antara
kami. Selama beberapa menit lamanya kami memang tidak berbicara. Sekar dan aku
hanya memandang deburan ombak yang datang silih berganti.
“Gek sudah yakin
akan pergi?”, ucapku memecah kesunyian.
“Iya Bli, tiang akan
kuliah di luar Bali”.
“Kapan berangkatnya?”.
“Minggu depan”.
“Jadi benar kalau Gek
akan berhenti menari?”.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak”.
“Janganlah berhenti menari…”.
“Kenapa Bli?”.
“Saat menari seorang gadis bernama Sekar ibarat seekor
Cendrawasih yang indah, Bli menyukainya,
dan Bli tidak ingin kehilangan
keindahan itu”.
Sekar tersenyum. Perkataanku tadi memang sudah begitu
sering didengarnya, bahkan terlalu sering.
“Bli pasti
akan menemukan Cendrawasih Bli yang
lain”.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak”, jawabku mengutip
jawaban Sekar sebelumnya.
Sekar kembali tersenyum, namun tidak denganku. Bibirku
terlalu kelu untuk tersenyum.
“Kemana mimpi Sekar kecil yang ingin menjadi duta seni
Indonesia untuk dunia?”.
“Ah, itu cuma mimpi seorang anak kecil, saat kita
dewasa kita akan memiliki mimpi yang berbeda”.
“Oh jadi sekarang itu cuma sekedar mimpi?”.
“Iya Bli, mungkin
sudah saatnya tiang bangun dari mimpi
dan hidup dalam kenyataan”.
Untuk kedua kalinya di hari itu hatiku disakiti kata-kata
Sekar. Aku menghela nafas panjang.
“Bli,
merelakan tiang pergi kan?”.
Ingin aku menjawab pertanyaan itu dengan penolakan,
namun kata-kata yang keluar justru berbeda.
“Terserah Gek
saja, kalau memang itu membuat Gek
bahagia”.
“Suksma Bli”.
Sekar memelukku dan aku memeluknya balik. Tolong
jangan pergi, begitu teriakku dalam hati. Ingin sekali aku mengeluarkan
kata-kata itu dari mulutku, namun aku tidak mampu. Aku merasa tidak memiliki
hak untuk melakukan itu. Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu. Aku
terlalu pengecut untuk mengakui kalau ketertarikanku kepada Sekar telah berubah
menjadi cinta.
“Kita bisa pergi sekarang Bli?”.
“Iya”.
Aku membantu Sekar berdiri. Kami berjalan pelan di sepanjang
pasir yang menghitam. Deburan ombak terus mengiringi hari yang kian beranjak
senja. Aku sama sekali tidak tahu kalau senja ini adalah senja terakhir untukku
dan Sekar.
*****
Hari itu, lima tahun setelahnya. Pasca kepergian Sekar
aku memang masih sering mendengar kabarnya. Surat atau telpon darinya masih
sering aku terima. Mulai dari kabar tentang Sekar yang menjadi anggota Senat, Sekar
yang mencapai IPK 3,9 di semester akhir, Sekar yang lulus 3,5 tahun dengan status
cumlaude, sampai tentang Sekar yang diterima
bekerja di sebuah Bank yang merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Aku
tidak heran mendengarnya karena aku tahu dengan kecerdasannya, Sekar pasti
sangat mampu untuk mencapai semua itu. Semua itu memang berita gembira dan aku
pun turut gembira mendengarnya. Namun, yang aku sedihkan adalah tidak ada kabar
tentang Sekar yang menarikan Tari Cendrawasih, Tari Legong atau tari-tari
lainnya. Benarkah Sekar sudah melupakan sama sekali gairah menarinya? Itu yang
selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku, walaupun aku sama sekali tidak pernah
mendapat jawabannya.
Hari berganti hari, aku sudah hampir tidak pernah lagi
mendengar kabar dari Sekar. Tidak ada lagi surat, tidak ada lagi telpon. Kabar
terakhir yang aku terima adalah saat Sekar bercerita kalau di sana ia telah
memiliki kekasih. Aku pun hancur mendengarnya.
Segalanya bertambah hancur ketika suatu hari selembar
kertas sampai di tanganku. Di kertas itu tertulis nama Sekar dan nama seorang
laki-laki. Kertas beraroma wangi itu adalah sebuah kartu undangan pernikahan. Langit
duniaku pun runtuh detik itu juga.
Detik itu aku seperti terperangkap dalam lakon
Ramayana pada pementasan Tari Kecak. Aku seperti Sang Rama yang tidak mampu
mempertahankan Dewi Shinta. Dewi Shinta-ku telah diculik oleh Sang Rahwana dan
dilarikan jauh ke negeri sana. Dalam lakon Ramayana dikisahkan Sang Rama
berperang guna merebut kembali cintanya dari tangan sang raksasa. Tidak
demikian dengan aku, di sini aku cuma bisa pasrah membiarkan cintaku hilang
direbut orang. Detik itu pula aku seperti terperangkap dalam kisah Layonsari
dan Jayaprana. Sebuah kisah cinta yang berakhir dramatis dan tragis. Tidak ada
yang patut di salahkan atas terciptanya alur cerita ini. Semuanya memang
salahku sendiri. Semua terjadi dikarenakan kepengecutan diriku sendiri. Kepengecutan
untuk mengungkapkan sebuah cinta. Ironis memang, sangat ironis.
Sekar menelponku beberapa hari sebelum tanggal yang
tercantum di kartu undangan. Dia memintaku datang ke pernikahannya. Aku memang
menjawab dengan iya, namun semuanya pun tahu kalau aku berbohong. Aku akhirnya memilih
untuk tidak datang.
Saat itu aku pun menyadari kalau aku ini hanyalah
seorang laki-laki yang terlupakan. Aku pun menyibukkan diri dengan segala hal. Aku
tahu rasa frustasiku harus disalurkan kepada hal-hal positif. Aku berkolaborasi
dengan teman-teman musisiku. Aku mulai meramu berbagai jenis aliran musik
tradisional maupun modern. Pentas seni dari satu panggung ke panggung kerap aku
jalani. Rekaman studio pun sempat aku coba, walaupun hasilnya tidak begitu
sukses. Kesibukan yang aku jalani itu berhasil menghapus sosok Sekar dari
pikiranku, juga dari hatiku.
*****
Hari itu, tiga tahun setelahnya. Semuanya berjalan dengan
lancar, sampai suatu saat aku menerima sebuah berita.
“Dik Wira, bisa pulang ke Bali?”.
Aku bisa mengenali suara wanita di ujung telpon. Saat itu
aku sedang berada di luar negeri. Aku ada di sana untuk mementaskan salah satu karya
milikku yang disponsori oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia. Aku terkejut karena suara itu sudah lama sekali tidak aku dengar. Aku
mulai mendengarkan dengan seksama penjelasan dari wanita itu. Sesekali terdengar
suara isak tangis di ujung telpon. Begitu telpon terputus, saat itu juga aku
meminta asistenku untuk membelikan tiket balik ke Indonesia.
Hanya butuh beberapa jam untuk aku berdiri di depan
pintu rumah itu. Rumah yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Aku masih
teringat bagaimana aku dan Sekar kecil sering bermain di teras rumah itu. Saat
itu kami begitu bahagia. Sekelebat bayangan bahagia itu membuat mataku
berkaca-kaca.
Wanita yang menelponku menyambutku. Dia mengajak aku
masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana aku bisa melihat seorang wanita muda tergolek
lemas di atas ranjang. Berbagai peralatan medis berada di sebelah kanan
ranjang. Wanita muda itu terlihat kurus. Aku memegang tangan wanita muda itu.
Tangan itu tidak terlihat lagi sebagaimana aku pernah mengingatnya.
“Suaminya meninggalkannya saat tahu dia mengidap
kanker stadium 3”, wanita paruh baya yang berdiri di sampingku menghela
nafasnya sejenak. “Sejak itu kesehatannya terus menurun, akhirnya ibu
memintanya untuk dirawat di rumah saja”.
Aku tidak mampu lagi menahan air mataku. Semua yang
aku lihat disana, terlalu menyedihkan.
“Hai”, ucapku ketika melihat sang wanita perlahan
membuka matanya.
“Hai”, sahutnya singkat.
Aku tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa lagi.
Aku terdiam.
“Suksma sudah
mau datang Bli”.
“Nggih,
sama-sama”.
Air mataku kian membanjir. Aku bukanlah laki-laki
cengeng. Namun, saat itu aku tidak memiki cukup kekuatan untuk menahan
kesedihan itu.
“Maaf, Bli harus
melihat tiang dalam kondisi seperti
ini”.
“Tidak apa-apa”.
“Tiang sudah
tidak cantik lagi ya Bli?”.
Gadis muda itu memaksakan diri untuk tersenyum.
“Tidak, Gek masih
tetap cantik. Cantik sekali”.
Aku tidak perlu berbohong untuk menjawab pertanyaan
itu. Sosok wanita itu memang masih seperti sosok sebagaimana yang ada di pikiranku.
Sosok cantik yang sempat mengisi hatiku. Sosok yang pernah dan masih akan selalu
aku cintai. Bahkan, cinta itu tidak pernah aku berikan untuk wanita lain selain
dirinya. Sosok yang tergolek lemas itu memang adalah Sekar. Sang Cendrawasih-ku.
“Tiang
dengar sekarang Bli sering pentas ke
luar negeri?”.
“Iya, Bli harus
berterima kasih kepada Gek untuk itu”.
“Terima kasih? Terima kasih untuk apa Bli?”.
“Terima kasih karena Gek yang memulai mimpi tentang duta seni Indonesia untuk dunia, Bli cuma melanjutkan mimpi Gek itu”.
Sekar kembali mencoba tersenyum. Namun, kali ini
senyuman itu disertai dengan suara batuk yang berat.
“Bli, tiang meminta Bli datang karena ingin menanyakan sebuah pertanyaan”, suaranya
terdengar lirih.
“Apa itu?”.
“Kenapa waktu itu Bli
tidak menghalangi aku pergi?”.
Aku menghela nafas.
“Karena Bli
mencintai Gek, Bli ingin Gek bahagia”.
“Lalu kenapa Bli
tidak pernah memintaku pulang?”.
Suara Sekar terdengar semakin lirih.
“Karena Bli
pengecut dan Bli minta maaf untuk
itu”.
“Tidak usah minta maaf Bli, tiang juga salah
sama Bli”.
Aku memegang tangan Sekar lebih erat. Seandainya saja delapan
tahun yang lalu kejujuran itu keluar dari mulutku, mungkin ceritanya akan
berbeda. Jauh berbeda.
“Suksma Bli
sudah menjawab pertanyaan tiang,
sekarang tiang bisa tenang…”.
Air mata mengalir dari ujung mata Sekar. Suara isak tangis
juga terdengar di belakangku. Di sana berdiri ayah dan ibu Sekar. Di sana juga
berdiri kedua orang tuaku. Suasana ini begitu bertolak belakang saat pertama
kali aku melihat sosok Sekar. Saat itu keceriaan dan canda tawa mengisi penjuru
ruangan. Tidak isak tangis seperti saat ini.
“…Sekarang tiang
tahu kalau ada laki-laki yang mencintai tiang
dengan tulus”, Sekar melanjutkan kata-katanya dengan terbata.
“Gek
istirahat saja, jangan terlalu dipaksakan untuk berbicara”.
“Iya Bli”.
Sekar menutup matanya. Hembusan nafasnya terdengar semakin
berat. Aku terus berada disana memegangi tangannya. Di balik kepucatannya,
wajah itu sama sekali tidak kehilangan aura kecantikannya. Fajar berganti
fajar, senja berganti senja aku terus berada di sisinya. Walau dokter
mengatakan kesehatannya terus menurun, namun aku tetap menunggu Sekar untuk membuka
matanya. Aku berharap sang Cendrawasih masih akan bisa mengepakkan sayap
indahnya kembali. Harapanku pun akhirnya tetap menjadi sebatas harapan. Sejak
terakhir kali tertutup, mata indah itu tidak pernah terbuka kembali.
*****
Hari itu, lima tahun setelahnya.
“Jikman, Jikman, tiang bisa, tiang bisa…”.
Seorang gadis kecil berlarian menuju ke arahku. Dia
memelukku dan aku memeluknya balik. Senyumnya tersungging di bibirnya saat aku
menggendongnya. Cucuran keringat masih membasahi wajah cantiknya. Pakaian tari Cendrawasih
membalut tubuh mungilnya.
“Jikman
bilang apa? Pasti bisa kan?”.
Gadis kecil itu mengangguk.
“Tadi bagus nggak?”.
“Bagus, bagus banget”.
Senyumnya terkembang semakin lebar. Senyumannya cantik
sekali. Senyuman yang selalu mengingatkanku kepada seseorang. Senyuman yang
sama yang pernah memikatku puluhan tahun yang lalu. Bayangan kejadian saat itu berkelebat
singkat di kepalaku. Saat itu aku juga dipeluk oleh orang gadis, namun bedanya
saat itu usiaku masih tiga belas tahun.
Siapa nama gadis kecil dalam gendonganku ini? Dia
adalah anak angkatku. Namanya adalah Sekar Jagat. Sama seperti nama ibunya.
@dewadarmayana
Tanjung Bungkak, 7-15 Nopember 2013
Tanjung Bungkak, 7-15 Nopember 2013
Diikutkan dalam lomba Tulis
Nusantara 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar