Minggu, 01 Desember 2013

Sang Penari Dan Aku


Namanya adalah Sekar Jagat. Nama itu diambil dari sebuah nama tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa memanggilnya Sekar. Bukanlah sebuah kebetulan ia menyandang nama itu sejak lahir. Ia terlahir sebagai gadis Bali dan kedua orang tuanya berprofesi sebagai seniman. Sang ayah adalah pemusik tradisional, sedangkan sang ibu adalah seorang penari. Nama itu sudah dipersiapkan untuknya jauh hari sebelum kelahirannya. Sang ayah sudah memanggilnya dengan nama itu saat mengelus perut sang istri yang semakin membesar. Sang ibu sudah memanggilnya dengan nama itu saat mulai merasakan gerakan dirahimnya. Sampai saat yang dinantikan pun tiba. Hari itu, menjelang dini hari, untuk pertama kalinya sang pemilik nama menghirup udara dunia.
“Lihat matanya mirip biang-nya, pasti besarnya akan menjadi penari juga”, sang nenek berseru bahagia.
“Oh tidak lebih mirip ajik-nya”, sang kakek berseru tidak kalah bahagia.
“Ah Bli tahu apa, pakai dulu kaca mata sana”.
Tiang tidak perlu kaca mata untuk melihat cucu sendiri”.
Bli itu sudah rabun, mengenali anak sendiri dari jarak sepuluh meter saja susah”.
“Tapi itu tidak berlaku untuk cucu”.
Perdebatan antara kedua lanjut usia itu disambut tawa oleh mereka yang ada disana. Kamar rumah sakit itu dipenuhi oleh aura kebahagiaan. Semuanya saling bercengkrama. Semuanya saling berbagi cerita. Semuanya terlihat bahagia. Terutama orang tua Sekar yang telah lama menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Di antara mereka yang ada di ruangan itu, ada dua orang yang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Orang pertama adalah Sekar. Tidak dapat disalahkan memang karena umurnya baru dua hari. Dia terlihat hanya bergelinjang di pelukan sang ibu. Matanya bahkan masih terpejam. Ia tentu tidak mengerti kalau dia-lah bintang pembicaraan malam itu. Sedangkan orang kedua adalah aku. Iya, aku.
Siapakah aku? Saat itu aku hanya seorang bocah berusia tiga tahun. Aku kebetulan ada di ruangan itu karena orang tuaku menjenguk orang tua Sekar. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Ayahku bersahabat dengan ayah Sekar karena pernah berkolaborasi membuat musik gamelan. Entah kebetulan atau tidak, ibuku dan ibu Sekar juga pernah menari bersama dalam sebuah pementasan Sendratari. Mereka seakan memang sudah berjodoh untuk menjadi sahabat.
Namaku adalah Wirayudha. Sama halnya seperti Sekar, namaku juga diambil dari nama sebuah tarian tradisional Bali. Orang-orang biasa memanggilku Wira. Sama pula halnya dengan Sekar, nama itu juga bukan kebetulan aku sandang sejak lahir. Kedua orang tuaku yang juga adalah sepasang seniman, tentunya yang menjadi alasan.
“Lihat tangannya sudah bergerak dengan sangat gemulai”, ucapan itu berasal dari ibuku.
Ucapan itu diamini senyuman oleh ibu Sekar.
“Benar kan, dia pasti akan menjadi seorang penari”, sang nenek berucap bangga karena ada yang mendukungnya.
“Siapa tahu nanti dia bisa menari bersama dengan Wira”.
Ibuku menatapku. Aku menatap balik ibuku. Aku tidak tahu harus berkomentar apa atas ucapan ibuku itu. Sepertinya aku memang tidak perlu berkomentar, karena setelahnya tawa pecah di antara mereka.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Sekar. Dia pun terlihat ikut tertawa kecil.

*****

Hari itu, sepuluh tahun setelahnya. Sekar sudah tidak lagi hanya bisa menangis. Dia sudah menjelma menjadi seorang gadis kecil yang cantik. Ia kini tidak hanya bisa berjalan dan berlarian. Sekar kecil bahkan sudah bisa menari sekarang. Keelokan gerakannya diturunkan langsung dari sang ibu. Saat ia mulai menari matamu tidak akan berhenti menatapnya. Begitu pun dengan ribuan pasang mata di hari itu, termasuk sepasang mata milikku. Hari itu di kawasan Art Centre Denpasar, di gedung Ardha Candra, diadakan pementasan Gong Kebyar tingkat anak-anak. Pementasan itu diadakan dalam rangka mengisi agenda acara Pesta Kesenian Bali. Sekar menjadi salah satu penari dalam pementasan tersebut. Itu adalah pementasan pertamanya, dimana ia menjadi penari termuda di antara penari yang ada di sana.
Aku juga ada di sana. Aku ada di antara puluhan penabuh gamelan pengiring para penari. Sama seperti penonton yang ada di sana, aku pun terpesona. Sekar terlihat begitu elok menarikan Tari Cendrawasih dipadukan dengan lakon yang dipentaskan. Durasi dua jam terasa begitu singkat saat itu, paling tidak untukku. Melihat Sekar menari seakan menyihir alam bawah sadarku. Saat itu Sekar ibarat benar-benar menjelma menjadi seekor Cendrawasih yang berbulu indah.
Bli, Bli, tiang bisa, tiang bisa…”.
Sekar berlarian menuju ke arahku. Wajahnya terlihat sumringah. Ia memelukku dan aku menyambut pelukannya.
Suksma sudah memberi tiang semangat sebelum pentas”.
Tiang tahu Sekar pasti bisa”.
“Tadi menegangkan sekali, tiang sempat salah di tengah-tengah”.
“Ah penonton tidak tahu itu, buktinya tepuk tangannya meriah sekali”.
Sekar tersenyum.
“Tapi tetap suksma”.
Nggih, sama-sama”.
“Besok pulang latihan Bli ada acara?”.
“Belum, memang ada apa?”.
“Ada traktiran”.
Giliran aku yang tersenyum.
“Bagaimana? Bisa?”.
“Bisa, tentu saja bisa”.
Melihat kebahagian Sekar saat itu aku pun bahagia. Kami tumbuh dan besar bersama di dunia seni. Ibarat pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Aku mendalami berbagai gamelan tradisional dan modern, seperti halnya ayahku. Sedangkan Sekar lebih fokus dengan menekuni berbagai gerakan tari, seperti halnya ibunya.
Bli, tiang ingin menari sambil berkeliling Indonesia seperti mereka, tiang ingin menjadi duta kesenian Bali”.
Aku terbayang ucapan Sekar beberapa hari sebelumnya. Saat itu kami ada di Ubud, Kabupaten Gianyar, dalam rangka acara Pentas Seni Nasional. Saat itu dipentaskan beragam kesenian dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia. Sumatera diwakili Aceh dan Medan mementaskan Tari Seudati dan Tari Serampang Dua Belas, Jawa diwakili Jakarta dan Yogyakarta mementaskan Tari Jaipong dan Tari Bedoyo, Kalimantan diwakili Banjarmasin dan Samarinda mementaskan Tari Radap Rahayu dan Tari Perang, Sumatera diwakili Makassar dan Manado mementaskan Tari Kipas dan Tari Maengkat, sedangkan wilayah Timur diwakili Ambon, Ternate dan Papua mementaskan Tari Cakalele, Tari Lenso dan Tari Musyoh. Sedangkan aku dan Sekar, kami bersama dengan Mataram mewakili Nusa Tenggara mementaskan Tari Legong dan Tari Batunganga.
“Oh bagus itu, kalau perlu menari sampai luar negeri dan jadi duta Indonesia untuk dunia”.
Sekar tersenyum.
“Ah kalau itu sih sepertinya mimpi yang terlalu tinggi”.
“Kenapa tidak? Semua hal besar selalu dimulai dari sebuah mimpi”.
“Iya, semoga saja bisa ya Bli”.
Sejak itu aku bertekad untuk membantu Sekar mewujudkan mimpinya. Saat itu keterpesonaanku mulai berubah menjadi ketertarikan atas sosok Sekar. Hubungan kami sudah semakin dekat, tidak hanya sebatas kakak dan adik ataupun sahabat karib. Paling tidak bagiku, entahlah bagi Sekar. Terlepas dari semua itu, sosok Sekar memang terlihat berbeda dengan sosok penari pada umumnya. Dia seakan terlahir dengan taksu di dalam dirinya. Dunia kesenian Bali sangat beruntung untuk memilikinya.

*****

Hari itu, delapan tahun setelahnya. Sekar tidak lagi seorang gadis kecil yang cantik. Sekar sudah beranjak remaja. Parasnya semakin hari terlihat semakin cantik. Sekar remaja masih tetap menari dan tariannya jauh lebih elok dari sebelumnya. Namun, bertambahnya umur membuat pola pikir Sekar tidak sesederhana dulu. Gejolak gairah masa remaja membuat segala yang ada di pikirannya menjadi lebih kompleks.
Sekar remaja kini membutuhkan pakaian mahal untuk menarik lawan jenis. Sekar remaja membutuhkan ponsel untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Sekar remaja membutuhkan kendaraan bermotor untuk mobilitasnya. Sekar remaja membutuhkan hal-hal pendukung lainnya untuk aktifitas lainnya. Semua kebutuhan itu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Semua kebutuhan itu tidak bisa lagi ditukar beberapa lembar puluhan ribu rupiah hasil dari menari. Menari pun kini seakan tidak lagi menjadi sesuatu menarik di mata Sekar.
Tiang tidak mau menari lagi”, ucap Sekar itu mengawali pembicaraan.
Selepas ucapan itu kesunyian mendera untuk beberapa detik.
“Memang kenapa Gek?”, tanya sang Ibu.
Tiang sudah bosan”.
“Bosan?”.
Nggih, tiang merasa menari tidak cukup untuk menghasilkan uang”.
Ekspresi kesedihan terpancar di wajah sang ibu. Demikian pula dengan sang ayah yang sedari tadi hanya terdiam. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas, karena aku ada di sana. Sekar memang memintaku untuk menemani berbicara dengan orang tuanya. Ekspresi yang sama juga melanda diriku beberapa jam sebelumnya. Tepat saat Sekar mengucapkan kata-kata yang sama kepadaku.
“Tapi bukannya biang menghidupi Gek dari menari juga? Gek bisa sekolah juga dari uang hasil pentas ajik?”.
“Iya, tapi dulu dengan sekarang beda. Sekarang segalanya butuh uang”.
Sang ibu terus berusaha untuk meyakinkan sang anak untuk berubah pikiran. Sang ayah sendiri hanya bisa terdiam, sama halnya seperti diriku. Harus diakui apa yang dikatakan oleh Sekar itu ada benarnya. Di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, penghargaan terhadap pekerja seni masih sangat kecil. Bali adalah Provinsi yang begitu identik dengan keindahan alam, seni dan juga budayanya. Alam, seni dan budaya ibarat taksu bagi Bali. Di satu sisi pekerja seni diminta untuk tetap menjaga taksu Bali, namun di sisi lain mereka tentu tidak bisa hidup tanpa materi. Bukan rahasia lagi kalau upah sebuah pementasan seni tidak mampu menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Sepertinya hal itu belum diamini oleh para pemimpin di negeri ini. Bagi pekerja seni yang memiliki idealisme, mereka akan berusaha untuk tetap bertahan. Namun, bagi mereka yang tidak maka satu persatu dari mereka akan berguguran.
Kalau kalimat itu keluar dari mulut yang lain aku tidak akan pedulikan, namun saat kalimat itu keluar dari mulut Sekar itu terasa menyakitkan. Pembicaraan itu tidak berlangsung lama. Kedua orang tua Sekar memilih untuk mengalah. Rasa sayang kepada sang anak semata wayang membuat mereka tidak berdaya untuk menolak. Sekar tetap bersikeras untuk berhenti menari dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Deburan ombak pantai Sanur mengisi kesunyian di antara kami. Selama beberapa menit lamanya kami memang tidak berbicara. Sekar dan aku hanya memandang deburan ombak yang datang silih berganti.
Gek sudah yakin akan pergi?”, ucapku memecah kesunyian.
“Iya Bli, tiang akan kuliah di luar Bali”.
“Kapan berangkatnya?”.
“Minggu depan”.
“Jadi benar kalau Gek akan berhenti menari?”.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak”.
“Janganlah berhenti menari…”.
“Kenapa Bli?”.
“Saat menari seorang gadis bernama Sekar ibarat seekor Cendrawasih yang indah, Bli menyukainya, dan Bli tidak ingin kehilangan keindahan itu”.
Sekar tersenyum. Perkataanku tadi memang sudah begitu sering didengarnya, bahkan terlalu sering.
Bli pasti akan menemukan Cendrawasih Bli yang lain”.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak”, jawabku mengutip jawaban Sekar sebelumnya.
Sekar kembali tersenyum, namun tidak denganku. Bibirku terlalu kelu untuk tersenyum.
“Kemana mimpi Sekar kecil yang ingin menjadi duta seni Indonesia untuk dunia?”.
“Ah, itu cuma mimpi seorang anak kecil, saat kita dewasa kita akan memiliki mimpi yang berbeda”.
“Oh jadi sekarang itu cuma sekedar mimpi?”.
“Iya Bli, mungkin sudah saatnya tiang bangun dari mimpi dan hidup dalam kenyataan”.
Untuk kedua kalinya di hari itu hatiku disakiti kata-kata Sekar. Aku menghela nafas panjang.
Bli, merelakan tiang pergi kan?”.
Ingin aku menjawab pertanyaan itu dengan penolakan, namun kata-kata yang keluar justru berbeda.
“Terserah Gek saja, kalau memang itu membuat Gek bahagia”.
“Suksma Bli”.
Sekar memelukku dan aku memeluknya balik. Tolong jangan pergi, begitu teriakku dalam hati. Ingin sekali aku mengeluarkan kata-kata itu dari mulutku, namun aku tidak mampu. Aku merasa tidak memiliki hak untuk melakukan itu. Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu. Aku terlalu pengecut untuk mengakui kalau ketertarikanku kepada Sekar telah berubah menjadi cinta.
“Kita bisa pergi sekarang Bli?”.
“Iya”.
Aku membantu Sekar berdiri. Kami berjalan pelan di sepanjang pasir yang menghitam. Deburan ombak terus mengiringi hari yang kian beranjak senja. Aku sama sekali tidak tahu kalau senja ini adalah senja terakhir untukku dan Sekar.

*****

Hari itu, lima tahun setelahnya. Pasca kepergian Sekar aku memang masih sering mendengar kabarnya. Surat atau telpon darinya masih sering aku terima. Mulai dari kabar tentang Sekar yang menjadi anggota Senat, Sekar yang mencapai IPK 3,9 di semester akhir, Sekar yang lulus 3,5 tahun dengan status cumlaude, sampai tentang Sekar yang diterima bekerja di sebuah Bank yang merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Aku tidak heran mendengarnya karena aku tahu dengan kecerdasannya, Sekar pasti sangat mampu untuk mencapai semua itu. Semua itu memang berita gembira dan aku pun turut gembira mendengarnya. Namun, yang aku sedihkan adalah tidak ada kabar tentang Sekar yang menarikan Tari Cendrawasih, Tari Legong atau tari-tari lainnya. Benarkah Sekar sudah melupakan sama sekali gairah menarinya? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku, walaupun aku sama sekali tidak pernah mendapat jawabannya.
Hari berganti hari, aku sudah hampir tidak pernah lagi mendengar kabar dari Sekar. Tidak ada lagi surat, tidak ada lagi telpon. Kabar terakhir yang aku terima adalah saat Sekar bercerita kalau di sana ia telah memiliki kekasih. Aku pun hancur mendengarnya.
Segalanya bertambah hancur ketika suatu hari selembar kertas sampai di tanganku. Di kertas itu tertulis nama Sekar dan nama seorang laki-laki. Kertas beraroma wangi itu adalah sebuah kartu undangan pernikahan. Langit duniaku pun runtuh detik itu juga.
Detik itu aku seperti terperangkap dalam lakon Ramayana pada pementasan Tari Kecak. Aku seperti Sang Rama yang tidak mampu mempertahankan Dewi Shinta. Dewi Shinta-ku telah diculik oleh Sang Rahwana dan dilarikan jauh ke negeri sana. Dalam lakon Ramayana dikisahkan Sang Rama berperang guna merebut kembali cintanya dari tangan sang raksasa. Tidak demikian dengan aku, di sini aku cuma bisa pasrah membiarkan cintaku hilang direbut orang. Detik itu pula aku seperti terperangkap dalam kisah Layonsari dan Jayaprana. Sebuah kisah cinta yang berakhir dramatis dan tragis. Tidak ada yang patut di salahkan atas terciptanya alur cerita ini. Semuanya memang salahku sendiri. Semua terjadi dikarenakan kepengecutan diriku sendiri. Kepengecutan untuk mengungkapkan sebuah cinta. Ironis memang, sangat ironis.
Sekar menelponku beberapa hari sebelum tanggal yang tercantum di kartu undangan. Dia memintaku datang ke pernikahannya. Aku memang menjawab dengan iya, namun semuanya pun tahu kalau aku berbohong. Aku akhirnya memilih untuk tidak datang.
Saat itu aku pun menyadari kalau aku ini hanyalah seorang laki-laki yang terlupakan. Aku pun menyibukkan diri dengan segala hal. Aku tahu rasa frustasiku harus disalurkan kepada hal-hal positif. Aku berkolaborasi dengan teman-teman musisiku. Aku mulai meramu berbagai jenis aliran musik tradisional maupun modern. Pentas seni dari satu panggung ke panggung kerap aku jalani. Rekaman studio pun sempat aku coba, walaupun hasilnya tidak begitu sukses. Kesibukan yang aku jalani itu berhasil menghapus sosok Sekar dari pikiranku, juga dari hatiku.

*****

Hari itu, tiga tahun setelahnya. Semuanya berjalan dengan lancar, sampai suatu saat aku menerima sebuah berita.
“Dik Wira, bisa pulang ke Bali?”.
Aku bisa mengenali suara wanita di ujung telpon. Saat itu aku sedang berada di luar negeri. Aku ada di sana untuk mementaskan salah satu karya milikku yang disponsori oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Aku terkejut karena suara itu sudah lama sekali tidak aku dengar. Aku mulai mendengarkan dengan seksama penjelasan dari wanita itu. Sesekali terdengar suara isak tangis di ujung telpon. Begitu telpon terputus, saat itu juga aku meminta asistenku untuk membelikan tiket balik ke Indonesia.
Hanya butuh beberapa jam untuk aku berdiri di depan pintu rumah itu. Rumah yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Aku masih teringat bagaimana aku dan Sekar kecil sering bermain di teras rumah itu. Saat itu kami begitu bahagia. Sekelebat bayangan bahagia itu membuat mataku berkaca-kaca.
Wanita yang menelponku menyambutku. Dia mengajak aku masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana aku bisa melihat seorang wanita muda tergolek lemas di atas ranjang. Berbagai peralatan medis berada di sebelah kanan ranjang. Wanita muda itu terlihat kurus. Aku memegang tangan wanita muda itu. Tangan itu tidak terlihat lagi sebagaimana aku pernah mengingatnya.
“Suaminya meninggalkannya saat tahu dia mengidap kanker stadium 3”, wanita paruh baya yang berdiri di sampingku menghela nafasnya sejenak. “Sejak itu kesehatannya terus menurun, akhirnya ibu memintanya untuk dirawat di rumah saja”.
Aku tidak mampu lagi menahan air mataku. Semua yang aku lihat disana, terlalu menyedihkan.
“Hai”, ucapku ketika melihat sang wanita perlahan membuka matanya.
“Hai”, sahutnya singkat.
Aku tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa lagi. Aku terdiam.
Suksma sudah mau datang Bli”.
Nggih, sama-sama”.
Air mataku kian membanjir. Aku bukanlah laki-laki cengeng. Namun, saat itu aku tidak memiki cukup kekuatan untuk menahan kesedihan itu.
“Maaf, Bli harus melihat tiang dalam kondisi seperti ini”.
“Tidak apa-apa”.
Tiang sudah tidak cantik lagi ya Bli?”.
Gadis muda itu memaksakan diri untuk tersenyum.
“Tidak, Gek masih tetap cantik. Cantik sekali”.
Aku tidak perlu berbohong untuk menjawab pertanyaan itu. Sosok wanita itu memang masih seperti sosok sebagaimana yang ada di pikiranku. Sosok cantik yang sempat mengisi hatiku. Sosok yang pernah dan masih akan selalu aku cintai. Bahkan, cinta itu tidak pernah aku berikan untuk wanita lain selain dirinya. Sosok yang tergolek lemas itu memang adalah Sekar. Sang Cendrawasih-ku.
Tiang dengar sekarang Bli sering pentas ke luar negeri?”.
“Iya, Bli harus berterima kasih kepada Gek untuk itu”.
“Terima kasih? Terima kasih untuk apa Bli?”.
“Terima kasih karena Gek yang memulai mimpi tentang duta seni Indonesia untuk dunia, Bli cuma melanjutkan mimpi Gek itu”.
Sekar kembali mencoba tersenyum. Namun, kali ini senyuman itu disertai dengan suara batuk yang berat.
Bli, tiang meminta Bli datang karena ingin menanyakan sebuah pertanyaan”, suaranya terdengar lirih.
“Apa itu?”.
“Kenapa waktu itu Bli tidak menghalangi aku pergi?”.
Aku menghela nafas.
“Karena Bli mencintai Gek, Bli ingin Gek bahagia”.
“Lalu kenapa Bli tidak pernah memintaku pulang?”.
Suara Sekar terdengar semakin lirih.
“Karena Bli pengecut dan Bli minta maaf untuk itu”.
“Tidak usah minta maaf Bli, tiang juga salah sama Bli”.
Aku memegang tangan Sekar lebih erat. Seandainya saja delapan tahun yang lalu kejujuran itu keluar dari mulutku, mungkin ceritanya akan berbeda. Jauh berbeda.
Suksma Bli sudah menjawab pertanyaan tiang, sekarang tiang bisa tenang…”.
Air mata mengalir dari ujung mata Sekar. Suara isak tangis juga terdengar di belakangku. Di sana berdiri ayah dan ibu Sekar. Di sana juga berdiri kedua orang tuaku. Suasana ini begitu bertolak belakang saat pertama kali aku melihat sosok Sekar. Saat itu keceriaan dan canda tawa mengisi penjuru ruangan. Tidak isak tangis seperti saat ini.
“…Sekarang tiang tahu kalau ada laki-laki yang mencintai tiang dengan tulus”, Sekar melanjutkan kata-katanya dengan terbata.
Gek istirahat saja, jangan terlalu dipaksakan untuk berbicara”.
“Iya Bli”.
Sekar menutup matanya. Hembusan nafasnya terdengar semakin berat. Aku terus berada disana memegangi tangannya. Di balik kepucatannya, wajah itu sama sekali tidak kehilangan aura kecantikannya. Fajar berganti fajar, senja berganti senja aku terus berada di sisinya. Walau dokter mengatakan kesehatannya terus menurun, namun aku tetap menunggu Sekar untuk membuka matanya. Aku berharap sang Cendrawasih masih akan bisa mengepakkan sayap indahnya kembali. Harapanku pun akhirnya tetap menjadi sebatas harapan. Sejak terakhir kali tertutup, mata indah itu tidak pernah terbuka kembali.

*****

Hari itu, lima tahun setelahnya.
Jikman, Jikman, tiang bisa, tiang bisa…”.
Seorang gadis kecil berlarian menuju ke arahku. Dia memelukku dan aku memeluknya balik. Senyumnya tersungging di bibirnya saat aku menggendongnya. Cucuran keringat masih membasahi wajah cantiknya. Pakaian tari Cendrawasih membalut tubuh mungilnya.
Jikman bilang apa? Pasti bisa kan?”.
Gadis kecil itu mengangguk.
“Tadi bagus nggak?”.
“Bagus, bagus banget”.
Senyumnya terkembang semakin lebar. Senyumannya cantik sekali. Senyuman yang selalu mengingatkanku kepada seseorang. Senyuman yang sama yang pernah memikatku puluhan tahun yang lalu. Bayangan kejadian saat itu berkelebat singkat di kepalaku. Saat itu aku juga dipeluk oleh orang gadis, namun bedanya saat itu usiaku masih tiga belas tahun.
Siapa nama gadis kecil dalam gendonganku ini? Dia adalah anak angkatku. Namanya adalah Sekar Jagat. Sama seperti nama ibunya.


@dewadarmayana
Tanjung Bungkak, 7-15 Nopember 2013
Diikutkan dalam lomba Tulis Nusantara 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar