Novel yang
akan kita bahas kali ini adalah Partikel. Seri keempat dari semesta Supernova,
karya Dee Lestari. Dibutuhkan waktu delapan tahun, bagi Partikel untuk hadir menemui
pembacanya. Sebuah jangka waktu yang amat panjang untuk memproduksi sebuah
karya. Menurut penulisnya, dalam durasi tersebut, Partikel digodok, digarap, dimatangkan
dan ditransformasi menjadi kata-kata. Tidak sia-sia menanti selama sewindu,
karena Partikel menjelma sebagai seri Supernova yang paling meninggalkan kesan.
Paling tidak menurut saya. Meski dibaca berulang-ulang, kesan itu tetap tidak
juga hilang.
Partikel |
Partikel
diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka). Pada Agustus 2017,
novel ini sudah dicetak ulang sebanyak enam kali. Memiliki total halaman,
kurang lebih 490 lembar. Sama seperti seri lainnya, novel ini juga memiliki
tampilan simbolnya sendiri. Simbol berwarna hijau, berupa lingkaran dengan
tanda palang di tengahnya. Kenapa hijau? Mungkin, karena novel ini mengajak untuk
memahami dunia hayati melalui fiksi. Iya, Partikel mengajak kita untuk sejenak menoleh
ke sekitar. Ke Bumi di mana kita bertumbuh, beserta dengan segala makhluk yang
ada di dalamnya. Termasuk manusia, tentunya.
Zarah
Amala, si tokoh utama, gadis yang tinggal di pinggir Kota Bogor. Tepatnya,
dekat sebuah kampung kecil bernama Batu Luhur. Zarah Amala, sebuah nama yang
memiliki makna ‘partikel cinta’. Keseluruhan semesta Partikel dibangun dengan
Zarah sebagai titik sentralnya. Kehidupan keluarga, persahabatan, petualangan,
serta kisah cinta seorang Zarah.
Zarah
memiliki garis keluarga yang unik. Keunikan ini sudah dimulai dari asal usul
kedua orang tuanya. Dimulai dari seorang pendatang keturunan Arab bernama Hamid
Jalaludin. Dia kerap memberi ceramah agama di daerah Bogor dan sekitarnya.
Hamid, yang biasa dipanggil Abah oleh warga kampung, akhirnya memilih menetap
di Batu Luhur. Nasib mempertemukan dirinya dengan seorang anak laki-laki yatim
piatu. Anak ini lalu diadopsi dan diberi nama Faris. Lima tahun berselang, Abah
sendiri akhirnya memiliki anak kandung, yang diberinya nama Aisyah.
Seiring
berjalannya waktu, benih-benih cinta tumbuh antara Faris dan Aisyah. Hubungan yang
ditentang Abah, karena menganggap keduanya adalah saudara. Meski begitu, ternyata
cinta Faris dan Aisyah begitu kuat. Mereka pun menikah. Dari pernikahan ini,
lahir tokoh utama kita Zarah serta adiknya Hara.
Itu baru
keunikan pertama. Keunikan kedua adalah Zarah hidup di antara dua kubu yang
sedikit bertolak belakang. Kubu Abah, yang begitu memegang teguh ajaran agama
dan spiritual. Dan kubu Faris, yang lebih mengutamakan logika, sains dan ilmu
pengetahuan. Pola pikir Zarah yang sangat condong ke kubu Faris, kerap
membuatnya berkonflik dengan sang kakek. Konflik-konfik yang muncul antara
Faris, Abah dan Zarah, membuat saya tersenyum-senyum kecil. Secara tidak
langsung Dee mengajak kita merenung. Merenung tentang makna dari ajaran agama,
makna dari fungsi pendidikan formal. Tentang pentingnya untuk tetap berlogika,
dalam menelaah kehidupan spiritual. Tentang bagaimana pola asuh, mempengaruhi
anak dalam memandang kehidupan.
Petualangan
hidup seorang Zarah Amala, benar-benar dimulai ketika sosok sang ayah mendadak
menghilang. Dirinya seakan kehilangan pegangan. Kehilangan seorang mentor dan
pembimbing. Tidak ada yang tahu kemana Faris pergi. Dia seolah lenyap ditelan
bumi. Sementara itu, konflik dengan sang kakek, begitu pula dengan sang ibu,
malah semakin meruncing. Itu belum ditambah konflik dengan guru dan teman
sekelas. Zarah benar-benar merasa seorang diri. Dia benar-benar merindukan
sosok ayahnya. Maka melalui jurnal-jurnal yang dia ‘warisi’, Zarah terus mencoba
mencari kemana hilangnya Faris. Pencarian yang selalu bermuara pada sebuah
tempat misterius, yang dikenal dengan nama Bukit Jambul. Tempat terakhir yang Zarah
kunjungi bersama Faris, sebelum ayahnya itu menghilang.
Segala usaha
pencarian Zarah menemui titik buntu. Sampai tiba hari ulang tahun Zarah yang
ke-17. Secara tiba-tiba, dirinya menerima paket berisikan sebuah kamera. Anehnya,
dulu sang ayah memang pernah berjanji akan membelikan dirinya benda yang serupa.
Melalui perantara kamera tersebut, mendaratkan kaki Zarah di Tanjung Puting, Kalimantan
Tengah. Sebagai hadiah dari lomba foto sebuah majalah, yang secara ‘mistis’ dia
menangi, tanpa sadar dia ikuti.
Di Tanjung
Puting, Zarah memahami tentang makna pentingnya hidup bersinergi dengan alam.
Dulu dia hanya melihat dunia hayati sebatas Batu Luhur dan Bukit Jambul. Kini
dunia hayati bisa dilihat jauh lebih luas dan beragam. Zarah jadi benar-benar
memahami makna dari kata-kata ayahnya. Saat sang ayah berkata, “Kita, manusia, adalah virus terjahat yang
pernah ada di muka bumi. Kita adalah kutukan bagi Bumi ini.” Di tengah belantara
Kalimantan, Zarah menemukan mentor baru dalam memaknai alam, dalam sosok Inga
Dominykas. Ibu Inga adalah pemimpin dari kamp pionir penyelamatan orangutan. Di
sini pula dia berkenalan dengan Sarah, seekor anak orangutan, yang menganggap
Zarah sebagai ibu. Pertemuan yang membuat Zarah memutuskan untuk menetap, dan menjadi
relawan.
Kalau
lewat Faris, Zarah berkenalan dengan keragaman hayati melalui fungi (jamur).
Sedangkan lewat Ibu Inga, keragaman hayati dikenal Zarah melalui hutan lindung
Tanjung Puting. Menurut penilaian saya, Tanjung Puting adalah core (inti) dari semesta Partikel. Kenapa
simbol Partikel berwarna hijau. Mengajak kita merenung, kalau manusia berbagi 97%
DNA yang sama dengan orangutan. Seharusnya manusia bisa hidup menyatu dengan
alam. Namun, yang ada malah sisa tiga persen menjadikan manusia pemusnah dari
spesiesnya. Partikel, mengajak untuk menyadari kembali eksistensi kita sebagai
manusia di alam semesta ini. Manusia
perlu kembali ingat ia diciptakan dengan bahan baku dasar yang sama dengan
semua makhluk di atas Bumi.
Dari
Tanjung Puting, garis takdir mendaratkan Zarah di London. Bermula dari
pertemuan Zarah dengan tim pembuat film dokumenter, yang datang dari Inggris. Sebuah
tim yang diberi julukan The A-Team. Tim
ini digawangi oleh Paul Daly dan Gary Anderson. Bermodal bahasa Inggris fasih
yang dimiliki saat mengajar les, Zarah dengan mudah berinteraksi dengan mereka.
Melihat potensi Zarah sebagai fotografer wildlife
profesional, Paul pun mengajaknya bergabung.
Tujuh
minggu pertama di London, Zarah habiskan untuk belajar teknologi kamera
digital. Dirasa siap, tugas pertama pun menanti dirinya. Kenya, Afrika. Di
sini, Zarah begitu dekat dengan alam liar kerajaan fauna. Memata-matai
kehidupan mereka. Dari teriknya matahari, sampai tercebur di kubangan air,
menjadi kehidupan baru Zarah. Dapat dikatakan bagian ini menjadi core lain dari semesta Partikel. Mengajak
kita menyadari, kalau manusia dan hewan
sama-sama penumpang di Bumi. Tidak ada yang lebih unggul. Kedudukan kita
sejajar. Melalui kemurahan hati Bumi-lah,
kita mampu melangsungkan kehidupan yang sekejap mata ini.
Baik ke London,
tanpa disangka Zarah bertemu lagi dengan Koso Onyemelukwe, sahabat lama yang
dikenal semasa sekolah. Koso kini berprofesi sebagai penari Broadway. Pertemuan
dengan Koso membuat Zarah bertransformasi dari gadis ‘acak-acakan’ menjadi gadis ‘classy’.
Dirinya masuk ke pergaulan kalangan elit. Transformasi Zarah banyak terbantu
oleh Koso. Di London ini pula, Zarah merasakan pahit manisnya cinta. Cinta
pertama. Pada sosok Storm Bradley, seorang fotografer profesional.
Petualangan
Zarah, tidaklah berhenti di London. Lewat Paul, dirinya mendapat petunjuk tentang
kamera yang terkirim secara ‘misterius’. Pencarian akan sosok sang ayah,
kembali berkelebat di benak Zarah. Menggerakkan kakinya melangkah menuju
Glastonbury, bertemu dengan seorang pengusaha asal Indonesia, bernama Simon
Hardiman.
Pertemuan
Zarah dengan Pak Simon, seakan menggiring pembaca menuju ke sebuah dunia baru.
Kalau sebelumnya, kisah hidup Zarah masih berpijak di dunia nyata. Dunia
manusia. Di bagian ini, seolah kita dibukakan portal menuju dunia supranatural dan dunia ekstraterestrial.
Secara
mengejutkan, Pak Simon mengaku kalau sering berkirim surat dengan Faris.
Pembicaraan mereka berkisar pada dunia alien, UFO, crop circle dan tema-tema lain sejenis. Ketertarikan Pak Simon pada
dunia ekstraterestrial bermula dari pengalaman
pribadi ‘bertemu’ alien. Pengalaman ini membuatnya cocok dengan Faris, yang
juga percaya adanya dunia lain di luar sana. Bahkan, Faris memberikan Pak Simon
salinan dari jurnal-jurnal miliknya. Dia pun menawarkan bantuan pada Zarah, untuk
bertemu Faris, melalui perantara laki-laki bernama Hawkeye Apachito.
Zarah sendiri
sebenarnya sempat bertemu dengan Hawkeye, di acara Glastonbury Symposium. Dia
tertarik pada laki-laki eksentrik itu, ketika menjelaskan figur shaman. Seorang shaman yang bisa menyeberangi bolak-balik dunia materi dan dunia
spirit, lewat perantara enteogen. Enteogen sendiri merupakan jenis tanaman
sakral, dimana salah satunya adalah fungi (jamur). Kata-kata Hawkeye ini mengingatkan
Zarah pada kata-kata sang ayah. Tanpa ragu, Zarah pun menerima bantuan Hawkeye
untuk terhubung dengan spirit (roh)
Faris. Mencoba bertanya di manakah sang ayah berada kini. Selama seminggu
menjalani ‘ritual’, Zarah malah bertemu dengan spirit Abah. Di dunia spirit mereka
berbicara. Pembicaraan yang terasa bak perpisahan. Esok harinya, Zarah menerima
kabar kalau ternyata sang kakek telah meninggal.
Zarah
lalu berpamitan kepada Pak Simon dan Hawkeye, untuk pulang kembali ke
Indonesia.
Di bagian
akhir, di dalam pesawat, Zarah iseng mengecek salinan jurnal milik ayahnya.
Sampai pada halaman terakhir, dia dikejutkan oleh selembar halaman yang dulunya
tidak ada. Terlampir di sana sebuah surat yang ditujukan untuk Partikel, yaitu
dirinya. Sebuah surat dari Supernova.
Pada
novel ini, disisipkan pula sebuah bab tambahan (post credit). Satu bab yang menceritakan pertemuan Bodhi (a.k.a
Akar) dan Elektra (a.k.a Petir).
Seperti
telah saya sebutkan di awal, kalau mengikuti petualangan hidup Zarah, ibarat
memasuki beberapa portal. Portal Batu Luhur, Portal Bukit Jambul, Portal
Tanjung Puting, Portal London, Portal Kenya, dan Portal Glastonbury. Pada setiap
portal kita ‘dibujuk’ untuk ikut berpikir dan merenung, tanpa sama sekali ada
tendensi menggurui. Semua seakan mengalir begitu saja, ibarat ada di atas sebuah
rakit yang mengikuti arus sungai. Membiarkan kita sebagai pembaca, untuk menelaah
sendiri sesuai kefasihan dalam berfantasi dan berasumsi. Sesuatu hal yang sangat
saya kagumi dari seorang, Dee.
Mungkin
sebatas itu saja saya mampu membahas novel Partikel ini. Kalau nanti anda
membaca novel ini sendiri, tentu bisa saja anda menangkap ‘kesan’ yang berbeda.
Sebagai
penutup, seperti biasa, saya ucapkan selamat membaca. Apabila kebetulan novel
Partikel ini ada di tangan anda.
Denpasar, 28 Pebruari 2019.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar