Minggu, 24 Maret 2019

Partikel – Memahami Hayati Melalui Fiksi


Novel yang akan kita bahas kali ini adalah Partikel. Seri keempat dari semesta Supernova, karya Dee Lestari. Dibutuhkan waktu delapan tahun, bagi Partikel untuk hadir menemui pembacanya. Sebuah jangka waktu yang amat panjang untuk memproduksi sebuah karya. Menurut penulisnya, dalam durasi tersebut, Partikel digodok, digarap, dimatangkan dan ditransformasi menjadi kata-kata. Tidak sia-sia menanti selama sewindu, karena Partikel menjelma sebagai seri Supernova yang paling meninggalkan kesan. Paling tidak menurut saya. Meski dibaca berulang-ulang, kesan itu tetap tidak juga hilang.
Partikel
Partikel diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka). Pada Agustus 2017, novel ini sudah dicetak ulang sebanyak enam kali. Memiliki total halaman, kurang lebih 490 lembar. Sama seperti seri lainnya, novel ini juga memiliki tampilan simbolnya sendiri. Simbol berwarna hijau, berupa lingkaran dengan tanda palang di tengahnya. Kenapa hijau? Mungkin, karena novel ini mengajak untuk memahami dunia hayati melalui fiksi. Iya, Partikel mengajak kita untuk sejenak menoleh ke sekitar. Ke Bumi di mana kita bertumbuh, beserta dengan segala makhluk yang ada di dalamnya. Termasuk manusia, tentunya.
Zarah Amala, si tokoh utama, gadis yang tinggal di pinggir Kota Bogor. Tepatnya, dekat sebuah kampung kecil bernama Batu Luhur. Zarah Amala, sebuah nama yang memiliki makna ‘partikel cinta’. Keseluruhan semesta Partikel dibangun dengan Zarah sebagai titik sentralnya. Kehidupan keluarga, persahabatan, petualangan, serta kisah cinta seorang Zarah.
Zarah memiliki garis keluarga yang unik. Keunikan ini sudah dimulai dari asal usul kedua orang tuanya. Dimulai dari seorang pendatang keturunan Arab bernama Hamid Jalaludin. Dia kerap memberi ceramah agama di daerah Bogor dan sekitarnya. Hamid, yang biasa dipanggil Abah oleh warga kampung, akhirnya memilih menetap di Batu Luhur. Nasib mempertemukan dirinya dengan seorang anak laki-laki yatim piatu. Anak ini lalu diadopsi dan diberi nama Faris. Lima tahun berselang, Abah sendiri akhirnya memiliki anak kandung, yang diberinya nama Aisyah.
Seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta tumbuh antara Faris dan Aisyah. Hubungan yang ditentang Abah, karena menganggap keduanya adalah saudara. Meski begitu, ternyata cinta Faris dan Aisyah begitu kuat. Mereka pun menikah. Dari pernikahan ini, lahir tokoh utama kita Zarah serta adiknya Hara.
Itu baru keunikan pertama. Keunikan kedua adalah Zarah hidup di antara dua kubu yang sedikit bertolak belakang. Kubu Abah, yang begitu memegang teguh ajaran agama dan spiritual. Dan kubu Faris, yang lebih mengutamakan logika, sains dan ilmu pengetahuan. Pola pikir Zarah yang sangat condong ke kubu Faris, kerap membuatnya berkonflik dengan sang kakek. Konflik-konfik yang muncul antara Faris, Abah dan Zarah, membuat saya tersenyum-senyum kecil. Secara tidak langsung Dee mengajak kita merenung. Merenung tentang makna dari ajaran agama, makna dari fungsi pendidikan formal. Tentang pentingnya untuk tetap berlogika, dalam menelaah kehidupan spiritual. Tentang bagaimana pola asuh, mempengaruhi anak dalam memandang kehidupan.
Petualangan hidup seorang Zarah Amala, benar-benar dimulai ketika sosok sang ayah mendadak menghilang. Dirinya seakan kehilangan pegangan. Kehilangan seorang mentor dan pembimbing. Tidak ada yang tahu kemana Faris pergi. Dia seolah lenyap ditelan bumi. Sementara itu, konflik dengan sang kakek, begitu pula dengan sang ibu, malah semakin meruncing. Itu belum ditambah konflik dengan guru dan teman sekelas. Zarah benar-benar merasa seorang diri. Dia benar-benar merindukan sosok ayahnya. Maka melalui jurnal-jurnal yang dia ‘warisi’, Zarah terus mencoba mencari kemana hilangnya Faris. Pencarian yang selalu bermuara pada sebuah tempat misterius, yang dikenal dengan nama Bukit Jambul. Tempat terakhir yang Zarah kunjungi bersama Faris, sebelum ayahnya itu menghilang.
Segala usaha pencarian Zarah menemui titik buntu. Sampai tiba hari ulang tahun Zarah yang ke-17. Secara tiba-tiba, dirinya menerima paket berisikan sebuah kamera. Anehnya, dulu sang ayah memang pernah berjanji akan membelikan dirinya benda yang serupa. Melalui perantara kamera tersebut, mendaratkan kaki Zarah di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Sebagai hadiah dari lomba foto sebuah majalah, yang secara ‘mistis’ dia menangi, tanpa sadar dia ikuti.
Di Tanjung Puting, Zarah memahami tentang makna pentingnya hidup bersinergi dengan alam. Dulu dia hanya melihat dunia hayati sebatas Batu Luhur dan Bukit Jambul. Kini dunia hayati bisa dilihat jauh lebih luas dan beragam. Zarah jadi benar-benar memahami makna dari kata-kata ayahnya. Saat sang ayah berkata, “Kita, manusia, adalah virus terjahat yang pernah ada di muka bumi. Kita adalah kutukan bagi Bumi ini.” Di tengah belantara Kalimantan, Zarah menemukan mentor baru dalam memaknai alam, dalam sosok Inga Dominykas. Ibu Inga adalah pemimpin dari kamp pionir penyelamatan orangutan. Di sini pula dia berkenalan dengan Sarah, seekor anak orangutan, yang menganggap Zarah sebagai ibu. Pertemuan yang membuat Zarah memutuskan untuk menetap, dan menjadi relawan.
Kalau lewat Faris, Zarah berkenalan dengan keragaman hayati melalui fungi (jamur). Sedangkan lewat Ibu Inga, keragaman hayati dikenal Zarah melalui hutan lindung Tanjung Puting. Menurut penilaian saya, Tanjung Puting adalah core (inti) dari semesta Partikel. Kenapa simbol Partikel berwarna hijau. Mengajak kita merenung, kalau manusia berbagi 97% DNA yang sama dengan orangutan. Seharusnya manusia bisa hidup menyatu dengan alam. Namun, yang ada malah sisa tiga persen menjadikan manusia pemusnah dari spesiesnya. Partikel, mengajak untuk menyadari kembali eksistensi kita sebagai manusia di alam semesta ini. Manusia perlu kembali ingat ia diciptakan dengan bahan baku dasar yang sama dengan semua makhluk di atas Bumi.
Dari Tanjung Puting, garis takdir mendaratkan Zarah di London. Bermula dari pertemuan Zarah dengan tim pembuat film dokumenter, yang datang dari Inggris. Sebuah tim yang diberi julukan The A-Team. Tim ini digawangi oleh Paul Daly dan Gary Anderson. Bermodal bahasa Inggris fasih yang dimiliki saat mengajar les, Zarah dengan mudah berinteraksi dengan mereka. Melihat potensi Zarah sebagai fotografer wildlife profesional, Paul pun mengajaknya bergabung.
Tujuh minggu pertama di London, Zarah habiskan untuk belajar teknologi kamera digital. Dirasa siap, tugas pertama pun menanti dirinya. Kenya, Afrika. Di sini, Zarah begitu dekat dengan alam liar kerajaan fauna. Memata-matai kehidupan mereka. Dari teriknya matahari, sampai tercebur di kubangan air, menjadi kehidupan baru Zarah. Dapat dikatakan bagian ini menjadi core lain dari semesta Partikel. Mengajak kita menyadari, kalau manusia dan hewan sama-sama penumpang di Bumi. Tidak ada yang lebih unggul. Kedudukan kita sejajar. Melalui kemurahan hati Bumi-lah, kita mampu melangsungkan kehidupan yang sekejap mata ini.
Baik ke London, tanpa disangka Zarah bertemu lagi dengan Koso Onyemelukwe, sahabat lama yang dikenal semasa sekolah. Koso kini berprofesi sebagai penari Broadway. Pertemuan dengan Koso membuat Zarah bertransformasi dari gadis ‘acak-acakan’ menjadi gadis ‘classy’. Dirinya masuk ke pergaulan kalangan elit. Transformasi Zarah banyak terbantu oleh Koso. Di London ini pula, Zarah merasakan pahit manisnya cinta. Cinta pertama. Pada sosok Storm Bradley, seorang fotografer profesional.
Petualangan Zarah, tidaklah berhenti di London. Lewat Paul, dirinya mendapat petunjuk tentang kamera yang terkirim secara ‘misterius’. Pencarian akan sosok sang ayah, kembali berkelebat di benak Zarah. Menggerakkan kakinya melangkah menuju Glastonbury, bertemu dengan seorang pengusaha asal Indonesia, bernama Simon Hardiman.
Pertemuan Zarah dengan Pak Simon, seakan menggiring pembaca menuju ke sebuah dunia baru. Kalau sebelumnya, kisah hidup Zarah masih berpijak di dunia nyata. Dunia manusia. Di bagian ini, seolah kita dibukakan portal menuju dunia supranatural dan dunia ekstraterestrial.
Secara mengejutkan, Pak Simon mengaku kalau sering berkirim surat dengan Faris. Pembicaraan mereka berkisar pada dunia alien, UFO, crop circle dan tema-tema lain sejenis. Ketertarikan Pak Simon pada dunia ekstraterestrial bermula dari pengalaman pribadi ‘bertemu’ alien. Pengalaman ini membuatnya cocok dengan Faris, yang juga percaya adanya dunia lain di luar sana. Bahkan, Faris memberikan Pak Simon salinan dari jurnal-jurnal miliknya. Dia pun menawarkan bantuan pada Zarah, untuk bertemu Faris, melalui perantara laki-laki bernama Hawkeye Apachito.
Zarah sendiri sebenarnya sempat bertemu dengan Hawkeye, di acara Glastonbury Symposium. Dia tertarik pada laki-laki eksentrik itu, ketika menjelaskan figur shaman. Seorang shaman yang bisa menyeberangi bolak-balik dunia materi dan dunia spirit, lewat perantara enteogen. Enteogen sendiri merupakan jenis tanaman sakral, dimana salah satunya adalah fungi (jamur). Kata-kata Hawkeye ini mengingatkan Zarah pada kata-kata sang ayah. Tanpa ragu, Zarah pun menerima bantuan Hawkeye untuk terhubung dengan spirit (roh) Faris. Mencoba bertanya di manakah sang ayah berada kini. Selama seminggu menjalani ‘ritual’, Zarah malah bertemu dengan spirit Abah. Di dunia spirit mereka berbicara. Pembicaraan yang terasa bak perpisahan. Esok harinya, Zarah menerima kabar kalau ternyata sang kakek telah meninggal.
Zarah lalu berpamitan kepada Pak Simon dan Hawkeye, untuk pulang kembali ke Indonesia.
Di bagian akhir, di dalam pesawat, Zarah iseng mengecek salinan jurnal milik ayahnya. Sampai pada halaman terakhir, dia dikejutkan oleh selembar halaman yang dulunya tidak ada. Terlampir di sana sebuah surat yang ditujukan untuk Partikel, yaitu dirinya. Sebuah surat dari Supernova.
Pada novel ini, disisipkan pula sebuah bab tambahan (post credit). Satu bab yang menceritakan pertemuan Bodhi (a.k.a Akar) dan Elektra (a.k.a Petir).
Seperti telah saya sebutkan di awal, kalau mengikuti petualangan hidup Zarah, ibarat memasuki beberapa portal. Portal Batu Luhur, Portal Bukit Jambul, Portal Tanjung Puting, Portal London, Portal Kenya, dan Portal Glastonbury. Pada setiap portal kita ‘dibujuk’ untuk ikut berpikir dan merenung, tanpa sama sekali ada tendensi menggurui. Semua seakan mengalir begitu saja, ibarat ada di atas sebuah rakit yang mengikuti arus sungai. Membiarkan kita sebagai pembaca, untuk menelaah sendiri sesuai kefasihan dalam berfantasi dan berasumsi. Sesuatu hal yang sangat saya kagumi dari seorang, Dee.
Mungkin sebatas itu saja saya mampu membahas novel Partikel ini. Kalau nanti anda membaca novel ini sendiri, tentu bisa saja anda menangkap ‘kesan’ yang berbeda.
Sebagai penutup, seperti biasa, saya ucapkan selamat membaca. Apabila kebetulan novel Partikel ini ada di tangan anda.

Denpasar, 28 Pebruari 2019.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar