Kamis, 09 Mei 2019

Tukang Jagal Itu Bernama Sensor Film


Ave Maryam
Bulan April 2019 terdengar kabar akan tayang tiga film Indonesia, yang telah wara-wiri di ajang festival film internasional. Ketiga film ini bahkan menggaet penghargaan di ajang-ajang tersebut. Penasaran dong saya dibuatnya. Film-film tersebut antara lain: Ave Maryam, Kucumbu Tubuh Indahku, dan 27 Steps of May. Sempat saya dengar juga kalau ketiga film ini berjuang keras agar bisa tayang di bioskop. Kenapa? Karena ketiganya mengangkat tema yang tergolong ‘sensitif’ untuk kriteria perfilman Indonesia. Film-film ini ‘terpaksa’ harus melewati hadangan Lembaga Sensor Film (LSF). Akibatnya, ketiganya pun harus rela kena ‘mutilasi’ dari sang ‘tukang jagal’. Siapa korbannya? Tentu saja saya, dan semua penonton bioskop lainnya. Sudah keluar uang yang tidak sedikit, tetapi tidak mendapat tayangan film yang penuh.
Tidak usah kita bahas tentang LSF ini. Mereka hanya melaksanakan tugas, sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pembuat undang-undang saja yang ‘sedikit’ lebay mengatur akhlak pribadi warga negara.
Kita mulai saja dari film pertama, AVE MARYAM. Urutan ini saya susun berdasarkan tanggal penayangan. Sesuai judulnya, film ini berkisah mengenai kehidupan seorang biarawati bernama Maryam (Maudy Koesnaedi). Sebuah film yang indah, itu kesan yang saya dapat saat menonton. Tone warna, setting tempat dan waktu, ditampilan secara teramat elegan. Tidak hanya suasana gereja sebagai latar utama, tetapi latar-latar pendukungnya pun tidak kalah indah.
Alur film berjalan sangat lamban. Sejak awal, adegan demi adegan mengalir pelan lewat visual yang minim dialog. Bagi beberapa tipe penonton mungkin saja akan bikin bosan. Namun, justru kekuatan film ini ada pada alurnya yang lamban tersebut. Sesuai dengan rutinitas Maryam, yang sehari-hari bertugas merawat biarawati lansia. Sang tokoh utama yang cenderung memiliki sifat ‘introvert’ juga sesuai dengan alurnya film ini. Rutinitas gereja menjadi bagian dari kehidupan Maryam, sampai kedatangan Romo Yosef (Chicco Jerikho). Rutinitas hidup yang mulanya hanya berlangsung begitu-begitu saja, tiba-tiba menjadi ‘sedikit’ memiliki warna. Maryam mulai berani melakukan ‘kenakalan-kenalan’ kecil, sampai terakhir di klimaks dirinya melakukan ‘dosa’.
Dari awal alur film ini tersusun dengan sangat rapi, sampai tiba pada kemunculan tokoh Romo Yosef. Sepertinya sensor mulai merusak alur film. Terasa seperti ada satu atau dua adegan yang meloncat-loncat. Entah perasaan saya saja atau bagaimana. Sejak awal saya tahu kalau film Ave Maryam terkena sensor 12 menit. Bayangkan lho, 12 menit! Dan sialnya lagi, dalam 12 menit ini termasuk potongan pada ‘klimaks’ dari film ini. Terima kasih LSF. Lalu kenapa saya masih tetap menontonnya di bioskop? Karena saya cinta film Indonesia berkualitas.
Saya tentu saja tidak bisa memberi penilaian, karena tidak menonton filmnya secara utuh. Secara garis besar, film Ave Maryam adalah sebuah film yang indah dan elegan. Itu saja.
.
Kucumbu Tubuh Indahku
Film kedua, KUCUMBU TUBUH INDAHKU. Untuk film ini sepertinya lebih sadis lagi terkena sensor LSF. Kalau film Ave Maryam, paling tidak tiga perempat alur masih bisa saya nikmati. Sedangkan film Kucumbu Tubuh Indahku, saya dibuat menekukkan dahi hampir sepanjang film. Lho kok bisa gitu? Lho kok jadi gitu? Itu saja isi kepala saja selama duduk di bangku bioskop. Bukan karena film ini memakai dialog bahasa daerah, namun lebih ke alur ceritanya yang saya tangkap bergerak serampangan. Entah kalau nanti saya menonton film ini secara utuh.
Menonton film Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop, seperti menonton film box office di televisi nasional. Bagi yang beruntung bisa menonton filmnya di televisi berbayar, tentu akan tahu pasti bagian mana yang hilang. Bagaimana bagi yang tidak pernah menonton versi utuhnya? Pastilah perasaan mereka akan sama persis seperti yang saya alami. Lho kok? Lho kok? Lho kok?
Berkisah tentang kehidupan Juno, seorang penari Lengger. Katanya film ini diangkat dari kisah nyata. Sang tokoh utama memiliki garis hidup yang keras. Ditinggal seorang diri oleh sang ayah, Juno kecil mulai hidup secara nomaden. Dari hidup bersama guru tarinya, bibinya yang penjual ayam, pamannya yang penjahit, bersama seorang petinju, sampai bersama seorang Warok. Jalan hidup yang keras inilah yang membentuk watak dan karakter Juno sampai dewasa. Mungkin itulah garis besar yang bisa saya tangkap dari menonton film ini. Sisanya, entahlah... semuanya seperti meloncat-loncat. Loncatan yang lebih ‘kasar’, ketimbang loncatan alur film Ave Maryam. Dan saking kasarnya, penutup dari film ini pun saya tidak paham. Tiba-tiba berakhir begitu saja. Lho kok? Lho kok? Lho kok?
TERIMA KASIH LSF.
Setelah mencari tahu dari sosial media, ternyata film ini kena cekal dibeberapa kota. Bahkan, ada yang membuat petisi khusus agar film ini dilarang tayang. Usut punya usut, ternyata film ini menayangkan adegan LGBT. Apa itu LGBT? Halaah, tidak usah saya sebutlah. Anda pasti tahu sendiri. Memang ada adegan tersebut di film ini, tapi ya saya tidak mengerti. Bagaimana seorang Juno yang semula memiliki ketertarikan seksual ‘normal’, bisa menjadi ‘menyimpang’? Proses ini yang tidak masuk ke nalar logika saya. Mungkin - kembali lagi - kalau nanti saya menonton filmnya secara utuh, pertanyaan dari loncatan alur logika ini akan terjawab.
Sementara itu, saya tidak bisa memberi penilaian untuk film Kucumbu Tubuh Indahku. Mungkin cuma bisa memberi jempol untuk lagu-lagu soundtrack dari film ini. Terdengar enak di telinga.
.
27 Steps of May
Film ketiga, 27 Steps of May. Nah, khusus untuk film ini saya musti memberi dua jempol. Bagus banget. Entah kena sensor LSF juga atau tidak, tetapi alur film ini terasa mengalir dengan sangat baik sampai akhir. Berbeda dengan kedua film di atas. Selama durasi film emosi saya sanggup dibuat naik turun bak roller coster. Meski, di awal film saya sempat sedikit dibikin mengerutkan kening. Seriously? Mba Raihaanun, apa nggak terlalu dewasa tuh buat jadi anak SMP? Hehehe. But anyway, di luar dari adegan pembuka yang tidak sampai lima menit itu, semuanya terasa pas.
Berkisah mengenai May, seorang gadis yang mengalami kejadian tragis di usia sangat muda. Dia mengalami kekerasan seksual oleh sekelompok laki-laki, sehingga mengakibatkan trauma yang mendalam. May tidak lagi berani keluar rumah. Kehidupan dia selama 8 tahun, setelah kejadian tersebut, hanya sebatas keempat dinding kamarnya. Ayahnya (Lukman Sardi) turut mengalami trauma akibat perasaan bersalah, karena tak sanggup melindungi sang buah hati. Berbeda dengan May yang menutup diri, sang ayah menyalurkan trauma dirinya melalui tinju dan tarung bebas.
Sama hanya seperti Ave Maryam, film ini juga sangat minim dialog. Bergelut dengan trauma, May tidak pernah lagi berbicara. Bahkan dengan sang ayah sekalipun. Untuk mengisi waktunya sehari-hari, May dibantu sang ayah menjahit pakaian boneka. Selama 8 tahun mereka berdua hidup dalam siklus rutinitas yang selalu sama, akibat obsessive compulsive disorder (OCD) yang diderita May. Bangun tidur, makan, membuat baju boneka. Semua dilakukan dalam waktu yang persis sama setiap harinya. Makanan pun begitu. Sehari-hari selalu sama. Nasi putih, tahu, telur dan toge. Semua tanpa bumbu. Rutinitas ini digambarkan secara sangat baik oleh sang sutradara.
Siklus rutinitas May mulai terganggu, dimulai dari sebuah kejadian kebakaran. Akibat kejadian itu muncul lubang kecil di dinding kamar May. Pelan-pelan lubang itu menarik perhatian sang gadis. Ternyata di seberang dinding tinggallah seorang pesulap (Ario Bayu). Sedikit demi sedikit terjadi interaksi antara May dan pesulap. May yang semula sangat tertutup, secara perlahan-lahan mulai membuka diri. Lewat trik-trik sulap, mulailah terbangun ketertarikan emosional antara keduanya. Sekali lagi, proses perubahan diri May ini digambarkan dengan sangat baik oleh sang sutradara.
Meski sangat minim dialog, film ini jauh dari kata membosankan. Permainan akting dan ekspresi antara Raihaanun, Lukman Sardi, dan Ario Bayu, terasa terbangun dengan begitu kuat. Ikatan batin antara ketiga tokoh utama ini berhasil membangun pondasi dari film ini. Ditambah dengan banyolan-banyolan dari tokoh-tokoh pendamping, terutama si pedagang boneka, yang dimainkan oleh Verdi Solaiman. Kesemuanya itu membuat film ini terasa enak ditonton. Meski kita diajak ikut berempati dengan trauma hidup May dan sang ayah, namun di beberapa momen kita akan dibuat senyum-senyum pula dengan kekonyolan yang ada. Sebuah perpaduan yang solid. Seperti saya katakan di awal, penonton dibuat terombang-ambing dalam emosi mereka sendiri. Bahkan, di sebelah saya ada dua orang wanita yang sampai terisak dibuat oleh film ini.
Pokoknya, saksikan sajalah film ini untuk merasakan sendiri sensasinya. Selagi film ini masih tayang di beberapa bioskop, sebelum anda menyesal nanti.
Penilaian saya untuk film ini, 9/10. Jalan ceritanya mungkin saja sederhana. Kalau dinalar secara logika, mungkin beberapa adegan terasa tidak masuk akal. Tapi soal memainkan emosi, film ini sih juara banget. Bukankah kadang yang terjadi dalam hidup tidak harus selalu dinalar pakai logika. Ada kalanya semuanya kembali ke soal rasa dan makna.
.
Sebagai penutup, sebagaimana biasa, saya ucapkan selamat menonton dimana pun nanti anda menonton ketiga film ini. Mohon maaf kalau ada tulisan saya yang kurang berkenan. Semua ini semata-mata hanya yang saya rasakan ketika duduk di depan layar bioskop. Dan maju terus perfilman Indonesia!

Simpang Siur, 4 Mei 2018
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar