Ave Maryam |
Tidak
usah kita bahas tentang LSF ini. Mereka hanya melaksanakan tugas, sebagaimana
diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pembuat undang-undang saja yang ‘sedikit’
lebay mengatur akhlak pribadi warga negara.
Kita
mulai saja dari film pertama, AVE MARYAM. Urutan ini saya susun berdasarkan tanggal
penayangan. Sesuai judulnya, film ini berkisah mengenai kehidupan seorang biarawati
bernama Maryam (Maudy Koesnaedi). Sebuah film yang indah, itu kesan yang saya
dapat saat menonton. Tone warna, setting tempat dan waktu, ditampilan secara
teramat elegan. Tidak hanya suasana gereja sebagai latar utama, tetapi
latar-latar pendukungnya pun tidak kalah indah.
Alur film
berjalan sangat lamban. Sejak awal, adegan demi adegan mengalir pelan lewat visual yang minim dialog. Bagi beberapa tipe
penonton mungkin saja akan bikin bosan. Namun, justru kekuatan film ini ada pada
alurnya yang lamban tersebut. Sesuai dengan rutinitas Maryam, yang sehari-hari bertugas
merawat biarawati lansia. Sang tokoh utama yang cenderung memiliki sifat ‘introvert’ juga sesuai dengan alurnya film
ini. Rutinitas gereja menjadi bagian dari kehidupan Maryam, sampai kedatangan
Romo Yosef (Chicco Jerikho). Rutinitas hidup yang mulanya hanya berlangsung begitu-begitu
saja, tiba-tiba menjadi ‘sedikit’ memiliki warna. Maryam mulai berani melakukan
‘kenakalan-kenalan’ kecil, sampai terakhir di klimaks dirinya melakukan ‘dosa’.
Dari awal
alur film ini tersusun dengan sangat rapi, sampai tiba pada kemunculan tokoh
Romo Yosef. Sepertinya sensor mulai merusak alur film. Terasa seperti ada satu
atau dua adegan yang meloncat-loncat. Entah perasaan saya saja atau bagaimana. Sejak
awal saya tahu kalau film Ave Maryam terkena sensor 12 menit. Bayangkan lho, 12 menit! Dan sialnya lagi, dalam 12
menit ini termasuk potongan pada ‘klimaks’
dari film ini. Terima kasih LSF. Lalu kenapa saya masih tetap menontonnya di
bioskop? Karena saya cinta film Indonesia berkualitas.
Saya
tentu saja tidak bisa memberi penilaian, karena tidak menonton filmnya secara
utuh. Secara garis besar, film Ave Maryam adalah sebuah film yang indah dan
elegan. Itu saja.
.Kucumbu Tubuh Indahku |
Film
kedua, KUCUMBU TUBUH INDAHKU. Untuk film ini sepertinya lebih sadis lagi
terkena sensor LSF. Kalau film Ave Maryam, paling tidak tiga perempat alur
masih bisa saya nikmati. Sedangkan film Kucumbu Tubuh Indahku, saya dibuat
menekukkan dahi hampir sepanjang film. Lho
kok bisa gitu? Lho kok jadi gitu? Itu
saja isi kepala saja selama duduk di bangku bioskop. Bukan karena film ini memakai
dialog bahasa daerah, namun lebih ke alur ceritanya yang saya tangkap bergerak serampangan. Entah kalau nanti saya
menonton film ini secara utuh.
Menonton
film Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop, seperti menonton film box office di televisi nasional. Bagi yang
beruntung bisa menonton filmnya di televisi berbayar, tentu akan tahu pasti bagian
mana yang hilang. Bagaimana bagi yang tidak pernah menonton versi utuhnya? Pastilah
perasaan mereka akan sama persis seperti yang saya alami. Lho kok? Lho kok? Lho kok?
Berkisah
tentang kehidupan Juno, seorang penari Lengger. Katanya film ini diangkat dari
kisah nyata. Sang tokoh utama memiliki garis hidup yang keras. Ditinggal
seorang diri oleh sang ayah, Juno kecil mulai hidup secara nomaden. Dari hidup
bersama guru tarinya, bibinya yang penjual ayam, pamannya yang penjahit,
bersama seorang petinju, sampai bersama seorang Warok. Jalan hidup yang keras
inilah yang membentuk watak dan karakter Juno sampai dewasa. Mungkin itulah
garis besar yang bisa saya tangkap dari menonton film ini. Sisanya, entahlah...
semuanya seperti meloncat-loncat. Loncatan yang lebih ‘kasar’, ketimbang
loncatan alur film Ave Maryam. Dan saking kasarnya, penutup dari film ini pun
saya tidak paham. Tiba-tiba berakhir begitu saja. Lho kok? Lho kok? Lho kok?
TERIMA
KASIH LSF.
Setelah
mencari tahu dari sosial media, ternyata film ini kena cekal dibeberapa kota.
Bahkan, ada yang membuat petisi khusus agar film ini dilarang tayang. Usut
punya usut, ternyata film ini menayangkan adegan LGBT. Apa itu LGBT? Halaah, tidak usah saya sebutlah. Anda
pasti tahu sendiri. Memang ada adegan tersebut di film ini, tapi ya saya tidak
mengerti. Bagaimana seorang Juno yang semula memiliki ketertarikan seksual
‘normal’, bisa menjadi ‘menyimpang’? Proses ini yang tidak masuk ke nalar
logika saya. Mungkin - kembali lagi - kalau nanti saya menonton filmnya secara
utuh, pertanyaan dari loncatan alur logika ini akan terjawab.
Sementara
itu, saya tidak bisa memberi penilaian untuk film Kucumbu Tubuh Indahku.
Mungkin cuma bisa memberi jempol untuk lagu-lagu soundtrack dari film ini. Terdengar enak di telinga.
.
27 Steps of May |
Film
ketiga, 27 Steps of May. Nah, khusus
untuk film ini saya musti memberi dua jempol. Bagus banget. Entah kena sensor LSF
juga atau tidak, tetapi alur film ini terasa mengalir dengan sangat baik sampai
akhir. Berbeda dengan kedua film di atas. Selama durasi film emosi saya sanggup
dibuat naik turun bak roller coster.
Meski, di awal film saya sempat sedikit dibikin mengerutkan kening. Seriously? Mba Raihaanun, apa nggak terlalu dewasa tuh buat jadi anak
SMP? Hehehe. But anyway, di luar dari
adegan pembuka yang tidak sampai lima menit itu, semuanya terasa pas.
Berkisah
mengenai May, seorang gadis yang mengalami kejadian tragis di usia sangat muda.
Dia mengalami kekerasan seksual oleh sekelompok laki-laki, sehingga
mengakibatkan trauma yang mendalam. May tidak lagi berani keluar rumah.
Kehidupan dia selama 8 tahun, setelah kejadian tersebut, hanya sebatas keempat
dinding kamarnya. Ayahnya (Lukman Sardi) turut mengalami trauma akibat perasaan
bersalah, karena tak sanggup melindungi sang buah hati. Berbeda dengan May yang
menutup diri, sang ayah menyalurkan trauma dirinya melalui tinju dan tarung
bebas.
Sama hanya
seperti Ave Maryam, film ini juga sangat minim dialog. Bergelut dengan trauma,
May tidak pernah lagi berbicara. Bahkan dengan sang ayah sekalipun. Untuk mengisi
waktunya sehari-hari, May dibantu sang ayah menjahit pakaian boneka. Selama 8
tahun mereka berdua hidup dalam siklus rutinitas yang selalu sama, akibat obsessive compulsive disorder (OCD) yang
diderita May. Bangun tidur, makan, membuat baju boneka. Semua dilakukan dalam
waktu yang persis sama setiap harinya. Makanan pun begitu. Sehari-hari selalu
sama. Nasi putih, tahu, telur dan toge. Semua tanpa bumbu. Rutinitas ini
digambarkan secara sangat baik oleh sang sutradara.
Siklus
rutinitas May mulai terganggu, dimulai dari sebuah kejadian kebakaran. Akibat
kejadian itu muncul lubang kecil di dinding kamar May. Pelan-pelan lubang itu
menarik perhatian sang gadis. Ternyata di seberang dinding tinggallah seorang
pesulap (Ario Bayu). Sedikit demi sedikit terjadi interaksi antara May dan
pesulap. May yang semula sangat tertutup, secara perlahan-lahan mulai membuka
diri. Lewat trik-trik sulap, mulailah
terbangun ketertarikan emosional antara keduanya. Sekali lagi, proses perubahan
diri May ini digambarkan dengan sangat baik oleh sang sutradara.
Meski sangat
minim dialog, film ini jauh dari kata membosankan. Permainan akting dan ekspresi
antara Raihaanun, Lukman Sardi, dan Ario Bayu, terasa terbangun dengan begitu
kuat. Ikatan batin antara ketiga tokoh utama ini berhasil membangun pondasi
dari film ini. Ditambah dengan banyolan-banyolan
dari tokoh-tokoh pendamping, terutama si pedagang boneka, yang dimainkan oleh
Verdi Solaiman. Kesemuanya itu membuat film ini terasa enak ditonton. Meski kita
diajak ikut berempati dengan trauma hidup May dan sang ayah, namun di beberapa
momen kita akan dibuat senyum-senyum pula dengan kekonyolan yang ada. Sebuah
perpaduan yang solid. Seperti saya katakan di awal, penonton dibuat
terombang-ambing dalam emosi mereka sendiri. Bahkan, di sebelah saya ada dua
orang wanita yang sampai terisak dibuat oleh film ini.
Pokoknya,
saksikan sajalah film ini untuk merasakan sendiri sensasinya. Selagi film ini
masih tayang di beberapa bioskop, sebelum anda menyesal nanti.
Penilaian
saya untuk film ini, 9/10. Jalan ceritanya mungkin saja sederhana. Kalau
dinalar secara logika, mungkin beberapa adegan terasa tidak masuk akal. Tapi
soal memainkan emosi, film ini sih juara banget. Bukankah kadang yang terjadi
dalam hidup tidak harus selalu dinalar pakai logika. Ada kalanya semuanya
kembali ke soal rasa dan makna.
.
Sebagai
penutup, sebagaimana biasa, saya ucapkan selamat menonton dimana pun nanti anda
menonton ketiga film ini. Mohon maaf kalau ada tulisan saya yang kurang
berkenan. Semua ini semata-mata hanya yang saya rasakan ketika duduk di depan
layar bioskop. Dan maju terus perfilman Indonesia!
Simpang Siur, 4 Mei 2018
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar