Kisah mbak
Jingga ternyata berlanjut! Itu yang terlintas dipikiran, saat saya melihat
Novel Diary Pramugari 2: Pilot, Pramugari & Penumpang. Novel yang tidak
sengaja tertangkap lirikan mata, di rak sebuah toko buku. Memang sejak dulu tertarik
dengan kisah hidup mbak Jingga, novel ini langsung saya ambil tanpa pikir
panjang. Bayar di kasir, langsung di bawa pulang.
Diary Pramugari 2 |
Oya,
judul tulisan ini saya samakan dengan tulisan pertama. Cuma ditambahkan angka 2
(dua) di belakangnya, biar terkesan seperti sinetron atau FTV gitu hehehe... Buat yang belum tahu tulisan
saya tentang kisah hidup awal mbak Jingga, bisa dibaca di sini.
Sebelum kita
bahas lanjutan kisah hidup mbak Jingga, mari bahas dulu penampilan fisik dari
Novel Diary Pramugari 2. Tidak banyak yang berbeda dari tampilan depan. Masih
menampilkan betis wanita yang memakai high
heels warna merah. Ukuran novel kedua ini pun sangat identik, dengan novel
pertama. Memakai dimensi 18,5 x 13 cm, sehingga nyaman untuk dipegang atau
ditaruh di tas. Hanya kini tulisan judul memakai ‘sensasi’ huruf timbul, yang bisa
terasa apabila diraba dengan jari. Perbedaan lainnya, tentu pada jumlah halaman
yang lebih tebal. Novel kedua ini memiliki total 464 halaman. Edisi pertama
yang saya pegang (Desember 2017), penerbitnya masih tetap Pohon Cahaya.
Di novel
kedua ini, Jingga, begitu saja kita memanggilnya. Karena di dalam novel, tokoh
utama kita yang cantik ini tidak suka dipanggil pakai embel-embel ‘mbak’. Katanya jadi terkesan tua hehehe... Diceritakan dirinya sudah menjadi pramugari senior, yang
wajib ‘mengemong’ junior-juniornya. Lika-liku
kehidupan Jingga pun jauh lebih kompleks. Meski begitu ternyata Jingga tetaplah
Jingga, sebagaimana yang saya kenal dari novel pertama. Masihlah wanita anggun,
yang menjaga norma-norma ketimuran dan ajaran agamanya, meski berada di pusaran
pergaulan bebas ‘era kekinian’. Sifatnya sama sekali tidak berubah. Dan itu
yang saya suka dari dirinya.
Soal
kisah cinta, Jingga masih berhubungan dengan sosok Alvin. Hanya saja, hubungan
antara keduanya diceritakan jauh lebih rumit. Sebuah hubungan cinta, yang
terperangkap dalam sebuah realita persahabatan dan perbedaan agama. Ini membuat
hubungan mereka serba sulit. Dibilang sahabat, tapi selalu kangen saat tidak
bertemu. Dibilang cinta, tapi selalu saja ada jarak di antara mereka. Belum
lagi hadirnya sosok Alvin yang lain dalam hidup Jingga. Iya, di novel ini
Jingga terjebak antara dua laki-laki, yang kebetulan sama-sama bernama Alvin.
Sebuah kebetulan yang sungguh memusingkan.
Soal
kisah persahabatan, kini Jingga punya dua sahabat karib baru. Mereka ini adalah
Indah dan Stella. Kisahnya mirip dengan persahabatan Jingga dengan Puri dan
Anya. Dilengkapi dengan canda, tawa, tangis, dan air mata. Dan yang pasti
dihiasi pula dengan bumbu-bumbu seks, yang sama rumit dan njelimet-nya.
Jingga,
Jingga, kamu itu polos, tapi kok bisa aja sih ketemu teman penganut free sex. Kalau di novel pertama ada
Puri, sedangkan di novel kedua ada Stella. Sosok Stella ini adalah pramugari
yang ‘bermasalah’ dengan hidupnya. Besar dalam keluarga yang kaya, akhirnya di
bangku SMA, sang ayah bangkrut, karena berselingkuh dengan sekretarisnya.
Hiduplah kemudian Stella hanya bersama sang ibu. Mencoba bertahan hidup, Stella
melamar sebagai pramugari. Kebenciannya pada sosok laki-laki, membuat Stella
tidak percaya pada cinta. Membuat dia kerap berselingkuh dengan laki-laki
beristri, dan menghancurkan hidup laki-laki tersebut. Sampai akhirnya, sang ibu
jatuh sakit. Perlu dana yang sangat besar untuk pengobatan, menyebabkan Stella
terjerumus pada dunia hitam prostitusi.
Dunia yang mempertemukan dia dengan sosok El. Sosok laki-laki yang membuat
Stella berada di titik terendah dalam hidupnya, hingga dirinya bertemu dengan Jingga.
Ada juga
sosok Indah. Pramugari cantik yang diselingkuhi oleh pacar pilotnya, yang
pacaran lagi dengan pramugari junior, semata demi seks. Di tengah kegalauan
cinta, Indah bertemu dengan Anom, sahabat lama Jingga saat mereka berlibur ke
Solo. Mereka berdua akhirnya pacaran. Baru pacaran sebentar, mereka memutuskan
untuk menikah siri. Semata supaya bisa ‘berzina’,
secara ‘halal’. Membuat Jingga kaget waktu mendengar berita itu. Menjelang
akhir cerita, terungkaplah sosok asli dari Anom ini, yang juga merupakan salah
satu twist dalam novel ini.
Di tengah
segala intrik cinta dan seks yang membumbui novel ini, ada juga nilai-nilai
kehidupan mendalam yang menarik perhatian saya. Nilai-nilai kehidupan, ketika
Jingga mencari ‘jawaban’ di tengah segala masalah yang menghantam dirinya dan
sahabat-sahabatnya. Di tengah pencarian untuk sebuah ‘jawaban’ dari Tuhan.
Di antara
semua bab-bab yang ada di novel ini, bab yang menceritakan perjalanan Jingga selama
ada di Australia, begitu berkesan di diri saya. Ada sekitar sembilan bab, yang
sarat akan makna. Perjalanan Jingga mencari jawaban akan makna dari kehidupan.
Jingga yang sudah lelah diterpa segala cobaan kehidupan, sama seperti yang saya
rasakan saat ini. Lelah menjadi dan menjalani hidup di tengah-tengah ‘dunia’ manusia.
Serba beginilah, serba begitulah, harus beginilah, harus begitulah. Kalau tidak
begini, nanti begitu. Kalau tidak begitu, nanti begini. Padahal kehidupan itu sesungguhnya
sederhana, cuma manusia saja yang membuatnya menjadi kompleks. Cobaan demi cobaan itu membuat Jingga mengajukan ‘protes’
kepada Tuhan. Dia yang semula taat, kini tidak pernah lagi sembahyang. Dia ingin
agar Tuhan tahu kalau dirinya sudah lelah. Begitu pula dengan diri saya. Saya
pun sedang melakukan bentuk ‘protes’ yang sama, pada Tuhan.
Hanya saja,
Jingga lebih beruntung dari diri saya. Dia telah menemukan jawaban dari pertanyaan
hidupnya, di Australia. Saat dirinya bertemu dengan Romo Sasongko. Terdengar ironis
memang, ketika Jingga yang menekuni Islam, tapi jawaban hidup justru dia
temukan dari seseorang yang beragama Kristen. Dari cerita ini saya sadar, kalau
ajaran semua agama itu sebenarnya adalah universal.
Kini kembali kepada manusia yang membuatnya menjadi terkotak-kotak. Bahkan demi
‘membela’ Tuhan, manusia bertikai dengan manusia lainnya. Padahal Tuhan sendiri
tidak pernah minta dibela. Belum lagi mereka yang memakai agama hanya sebagai ‘topeng’.
Merasa paling beragama, tapi tingkah polah mereka jauh dari yang diajarkan oleh
agamanya.
Semoga
saya akan seberuntung Jingga juga, dapat menemukan jawaban dari pertanyaan
hidup dalam diri. Entah kapan, dan di mana nanti saya akan menemukannya.
Di bawah
ini akan saya kutip beberapa dialog bernuansa spiritual, yang menurut saya
bagus:
“Betul mba Jingga. Seperti ketika
ada orang Katolik bilang kepada saya bahwa dia akan melakukan perjalanan
menemukan Tuhan Yesus. Ya boleh-boleh saja. Tapi mau sampai ujung manapun juga
kalau yang diinginkan adalah fisiknya, ya tidak akan bertemu. Namun kalau saja
dia mau membuka mata hatinya, maka dalam setiap etape perjalanan dia sudah
disapa oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus sudah menemuinya sejak dia ingin berjalan
menemui Tuhan Yesus. Ini kalau memakai bahasa Katolik lho mbak Jingga. Kalau memakai
bahasa agama mbak Jingga ya sama saja. Orang Islam yang melakukan perjalanan
ingin bertemu Allah, maka Allah sudah menemuinya sejak pertama ia berniat
berjalan. Dan Allah akan selalu menyapanya dalam setiap etape perjalanan
tersebut. Apabila orang tersebut hanya fokus kepada hasil akhir yaitu bertemu
Allah, maka dia kehilangan makna perjalanan sama sekali.” – hal 383.
“Mbak Jingga, bertemu dengan Tuhan
pun demikian. Bahwa pertemuan dengan Tuhan bukan menyelesaikan segala macam
masalah. Selama manusia membawa masalah untuk bertemu dengan Tuhan dan ingin
masalahnya selesai, dia tidak akan bertemu dengan Tuhan. Justru setelah semua
masalahnya selesai, maka ia akan dapat bertemu dengan Tuhan. Karena pertemuan
dengan Tuhan hanya berisi perayaan-perayaan.” – hal 392.
“Dear Diary, kamu tahu nggak kalau
malam ini aku sholat lagi? Dan rasanya enak banget. Walaupun ada pemahaman yang
beda antara sholatku dulu dan sekarang. Kalau dulu aku merasa berdosa apabila
tidak sholat, sehingga aku mengejar supaya bisa sholat karena kewajibanku. Nah,
sekarang apa yang aku lakukan dalam sholat bukan untuk menggugurkan kewajiban
karena takut dosa, namun karena aku ingin merayakan pertemuanku dengan Allah.”
– hal 401.
“Kita tidak berbeda agama mbak
Jingga, kita hanya memakai agama yang berbeda. Dan agama yang kita pakai
masing-masing ini bukan mana yang paling benar dan mana yang salah. Kita hanya
memakai agama yang kita rasa cocok dengan kita. Jadi ini hanya masalah
kecocokan saja, bukan benar dan salah.” – hal 406.
Selain
dialog bernuansa spiritual, ada pula dialog tentang cinta yang menurut saya
bagus. Saat Jingga ‘bertemu’ kembali dengan sang ibu, di halaman 291-292.
“Apakah cinta itu bukan
kebersamaan bu?”
“Bukan.”
“Lalu apa?”
“Cinta itu kesendirian.”
“Jingga tidak paham bu.”
“Bila dua orang mengatakan saling
mencintai dan memaksakan hidup bersama, itu bukan cinta. Itu ego. Namun apabila
kebersamaan itu sebuah kemungkinan yang dapat dilakukan bersama-sama, ya
silakan. Asal masing-masing paham bahwa dalam kebersamaan itu tetap merupakan
kesendirian. Yang satu tidak dapat memaksa yang lain. Masing-masing tetap jalan
sendiri, menjadi dirinya sendiri dan tidak saling menginginkan untuk menjadi
seperti apa yang dipikirkannya.”
“Bagaimana dengan perbedaan agama
bu?”
“Cinta tidak dibatasi oleh apapun
juga. Kalau yang satu ingin pasangannya menjadi seperti agamanya dan yang
satunya juga, lalu saling mempengaruhi, maka hal itu bukan cinta. Cinta adalah
berjalan bersama, berkembang bersama dan belajar bersama.”
“Tidak banyak orang yang paham
seperti itu bu.”
“Iya Jingga, karena menurutnya,
cinta adalah kebersamaan, bukan kesendirian.”
“Jingga juga belum paham mengapa
ibu mengatakan bahwa cinta adalah kesendirian.”
“Walaupun kamu bersama orang lain,
pasanganmu, namun masing-masing tetap merupakan pribadi yang sendiri. Hanya saja
kalian berjalan bersama, berkembang bersama, belajar bersama. Sesama pasangan
saling mendampingi, bukan mempengaruhi. Setiap individu berkembang untuk
menjadi dirinya sendiri.”
“Apakah salah memaksanakan untuk
bersama bu?”
“Salah dan benar tidak ada Jingga.
Yang menjadi tolok ukur adalah nyaman atau tidak, terpaksa atau tidak. beberapa
orang tidak menyadari bahwa mereka nyaman dengan keterpaksaan. Ada pasangan
yang ingin mengubah pasangannya dengan alasan agar menjadi lebih baik, atau
bahkan dengan alasan lebih sholehah. Lalu ia membentuk pasangannya seperti apa
yang dipikirkan. Dengan melakukan hal itu, dia mencintai bayangannya sendiri,
mencintai apa yang dipikirkannya dan mencoba menjadikan pasangannya seperti apa
yang dibayangkan tersebut.”
“Banyak yang seperti itu bu.”
“Untuk itulah Jingga, kau harus
menemukan sendiri dalam kesendirianmu. Jangan mencari cinta di luar dirimu,
karena nanti kau akan kecewa bahwa tidak ada satupun orang di luar dirimu yang
dapat memberimu cinta.”
Selain
sebuah novel biografi (karena diklaim
‘based on true story’), novel ‘Diary Pramugari
2’ bisa dibilang sebagai novel yang sarat akan makna kehidupan, spiritual, dan
cinta yang dalam. Menikmati perjalanan hidup seorang pramugari, bernama Jingga,
yang begitu sarat akan intrik dan konflik. Selain itu, kita juga disajikan hal-hal
lain, yang kalau kita resapi sangat bermakna dalam menjalani kehidupan sebagai
manusia. Sedikit terasa berbeda dengan novel pertama, yang terkesan lebih
ringan dan memiliki alur yang sederhana. Novel ini dapat dijadikan sebagai
bahan bacaaan di kala santai, sekaligus pula sebagai bahan perenungan diri.
Sebelum anda
memutuskan untuk mulai membaca novel ‘Diary Pramugari 2: “Pilot, Pramugari
& Penumpang”, akan ada baiknya anda membaca dulu novel ‘Diary Pramugari: “Seks,
Cinta & Kehidupan”. Entahlah, apakah novel ini nanti akan ada lanjutannya
atau tidak. Mengingat alur di novel kedua ini masih menggantung di bagian ending. Belum selesai bercerita apakah
akhirnya Jingga menemukan cinta sejatinya, di antara dua Alvin. Atau apakah ada
laki-laki lain yang akan memikat hati sang pramugari. Yah apapun itu nanti, Jingga sangatlah berhak untuk berbahagia.
Terakhir,
selamat membaca kisah kedua dari mbak Jingga, apabila kebetulan novel ini
nantinya ada di tangan anda.
My Room, 1 Februari 2019
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar