Bali
sangat identik dengan Pura. Bahkan, Bali mendapat julukan sebagai Pulau Seribu
Pura. Di antara Pura-Pura tersebut, ada 6 (enam) Pura yang sangat penting dalam
sejarah Bali. Keenam Pura yang lebih dikenal dengan nama Sad Kahyangan atau Sad
Kahyangan Jagad ini, antara lain: Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa
Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan Pura Pusering Jagat. Entah apa dasar
keenam Pura ini dikelompokkan menjadi satu. Lalu apa bedanya dengan Dang
Kahyangan? Maaf, belum saya temukan informasinya secara online. Nanti kalau saya temukan jawabannya, akan saya bahas lebih
lanjut.
Kebetulan
lima dari enam pura ini pernah saya datangi. Tinggal Pura Pusering Jagat saja
yang belum. Tulisan ini saya tujukan untuk dua pura, yang telah mendapat tempat
spesial di hati saya. Tentu saja, tanpa mengecilkan arti Pura-Pura Sad
Kahyangan lain yang juga luar biasa. Kedua pura tersebut adalah Pura Barukaru
dan Pura Lempuyang.
Kenapa
saya suka dengan Pura Batukaru dan Pura Lempuyang? Karena, alam di sekitarnya
yang masih sangat alami dan asri. Kedua Pura ini terletak di dua gunung, yaitu kaki
Gunung Batukaru dan puncak Gunung Lempuyang. Keduanya dikelilingi oleh hutan
yang hijau dengan hawa yang sangat sejuk. Selain itu, silakan percaya atau
tidak, kalau kedua pura ini seolah-olah ‘memanggil’ saya. Iya, tidak tahu kenapa
ada perasaan kalau keduanya “memanggil” saya, karena memang ketika itu saya
belum pernah datang untuk bersembahyang (nangkil)
ke sana.
Pura Batukaru.
Pura Batukaru |
Kita
mulai dulu dari Pura Luhur Batukaru atau Pura Batukau. Entah yang mana
penyebutan yang benar. Pada tulisan ini saya sebut saja Pura Barukaru, karena
lebih familier di telinga. Kunjungan
saya pertama ke Pura ini adalah pada Umanis Galungan, awal tahun 2018 (puncak
Pujawali/ Piodalan Pura ini – Wraspati Umanis Galungan). Katanya ibu saya sih
dulu, saat masih kecil, saya pernah diajak ke Pura ini. Cuma ya itu, saya tidak
ingat momen tersebut. Seakan memori itu menguap dari otak saya. Jadi anggap saja
saat itu, adalah kunjungan pertama saya.
Sebagaimana
telah disebutkan tadi, Pura Batukaru terletak di kaki Gunung Batukaru. Masuk ke
dalam wilayah Desa Wongaya Gede, Penebel, Kabupaten Tabanan. Berjarak sekitar 22
kilometer dari pusat Kota Tabanan.
Sebenarnya,
sudah dari dulu saya ingin datang ke Pura Batukaru. Cuma selalu ada saja
halangan yang menghadang. Akhirnya saya berpasrah diri. Kalau memang nantinya
saya berjodoh dengan Pura ini, maka akan datang kesempatan tersebut. Saya
sangat percaya dengan yang namanya jodoh. Kalau sudah berjodoh pasti akan
terjadi, hanya waktunya saja yang kerap jadi misteri.
Baru tiba
di parkiran Pura Batukaru, saya sudah langsung jatuh cinta dengan Pura ini. Suasana
di Pura ini sangat menyenangkan dan menenangkan. Lingkungannya dikelilingi
hutan dari Gunung Batukaru. Begitu sejuk dan asri. Udara terasa begitu segar,
ketika saya menghirup nafas dalam-dalam. Jarak antara lapangan parkir kendaraan
dengan Pura, musti ditempuh dengan berjalan kaki. Meski sayangnya, sepeda motor
masih boleh masuk sampai areal pura. Andai dilarang pasti akan jauh lebih baik.
Kesucian Pura pasti akan bisa lebih terjaga. Saya sendiri memilih untuk
berjalan kaki. Sepanjang perjalanan menuju komplek Pura, sejauh mana pun mata
memandang, semuanya hijau. Begitu memanjakan mata.
Tiba di
areal Pura, aura yang saya rasakan sangat kuat. Pura tersebut terlihat begitu
megah. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi saya merasa seperti ‘pulang’.
Terserah anda percaya atau tidak. Itulah rasa yang muncul, saat pertama kali
melihat Pura Batukaru.
Di tambah
pula dengan kolam dan pancoran air (beji),
di sisi sebelah utara (kalau ini tidak salah). Keberadaan keduanya kian
menambah sejuk suasana. Sejumlah pancoran air ini digunakan untuk melakukan
penyucian diri secara sekala, seperti berkumur, cuci muka, dan cuci kaki.
Dilakukan sebelum melakukan penyucian secara niskala, berupa persembahyangan.
Ada
beberapa pantangan (larangan) ketika hendak sembahyangan di Pura Batukaru. Salah
satu pantangan yang terbilang unik adalah tidak boleh mengajak anak kecil yang
belum tanggal gigi pertama, serta wanita yang anaknya belum tumbuh gigi pertama.
Hal-hal ini terkait kepercayaan yang sudah terjaga hampir ratusan tahun
lamanya. Selain itu, ada pantangan lain ketika hendak memasuki areal Pura,
antara lain: bagi mereka yang tidak berpakaian adat tradisional, bagi yang
sedang berduka (kematian), wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang
haid. Selalu saja ada cerita-cerita mistis yang terjadi, apabila kesemua
pantangan ini sampai dilanggar.
Muncul
kemudian keinginan untuk mencari tahu sejarah Pura Batukaru. Pura ini adalah
tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Mahadewa. Dewa yang bertanggung jawab terhadap menumbuhkan aneka tumbuh-tumbuhan
dan penggunaan air. Pantas saja yang cocok dengan aura Pura ini. Saya sangat
menyukai tanaman dan air. Mungkin saya ada garis keturunan Dewa Mahadewa? Hahahaha... Dalam Dewata Nawasanga, atau
Dewa penguasa sembilan arah mata angin, Dewa Mahadewa menguasai arah Barat. Bersenjata
Nagapasa, warna kuning, dan ber-stana-kan
Naga. Keren yah Dewa yang satu ini.
Untuk
lebih lengkapnya mengenai denah dan sejarah Pura Batukaru, bisa anda cari saja
di data baik literatur maupun online.
Saya tidak berani menulisnya di sini, takut salah tulis. Saya hanya menulis apa
yang saya rasakan selama datang ke Pura Batukaru. Saya sendiri bukan orang yang
taat beragama, dalam hal ini agama Hindu. Saya bukanlah orang yang tepat untuk menjelaskan
semua hal tersebut.
Begitulah
kesan pertama saya ketika datang ke Pura Batukaru. Sebuah Pura yang punya aura
dan pesona alamnya yang alami. Satu saja kekurangan dari Pura ini, yaitu diberinya
ijin kendaraan bermotor di bawa sampai sebegitu dekatnya dari areal pura. Tidak
ada salahnya kan untuk sedikit berjalan kaki dari areal parkir. Bisa melatih
diri secara fisik dan rohani. Selain, ikut berpartisipasi secara langsung
terhadap keindahan alam di sekitar Pura Batukaru.
Namun,
yang begitulah manusia jaman sekarang. Kadang semuanya ingin dilakukan secara
cepat dan instan. Begitu pun dengan
bersembahyang. Kita tidak bisa melawan jaman bukan?
Pura Lempuyang Luhur.
Pura Lempuyang |
Sama
seperti Pura Batukaru, di sini juga tidak akan menjelaskan secara mendetail
tentang sejarah dan denah dari Pura Lempuyang Luhur. Saya takut salah tulis,
dan saya merasa bukanlah orang yang cocok menjelaskan hal-hal tersebut. Tulisan
ini hanya akan menuliskan pengalaman saya berkunjung (baca: nangkil) ke Pura yang ada terletak di
puncak Bukit Bisbis, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ini. Kunjungan
pertama saya.
Saya
datang ke Pura Lempuyang Luhur, bertepatan dengan hari Purnama, yang juga
bertepatan dengan terjadinya blood moon
di bulan Januari 2019. Entah kenapa saya ingin sekali datang di hari itu.
Padahal terpaksa saya harus datang sendirian, karena tidak ada yang bisa
diajak. Sama halnya seperti di Pura Batukaru, ada “sesuatu” yang memanggil saya
untuk datang. Silakan anda tertawa membaca kalimat terakhir tadi, tapi itulah
yang saya rasakan. Ternyata, hari itu adalah puncak dari upacara Panca Wali
Krama, yang baru dapat terselenggara lagi setelah ratusan tahun lamanya. Panca
Wali Krama sendiri adalah salah satu bagian dari upacara Bhuta Yadnya, yang
datangnya setiap 10 (sepuluh) tahun sekali. Entah kenapa upacara baru bisa
terselenggara lagi. Sempat sih dijelaskan, tetapi hanya terdengar samar-samar di telinga saya. Jadi lebih
baik tidak saya tulis, karena lagi-lagi takut salah tulis.
Waktu
tiba di lokasi, tepatnya di Pura Penataran Agung Lempuyang, saya kaget bukan
kepalang karena ramai sekali. Mungkin ada hampir seperdelapan penduduk Bali berada
di sana. Termasuk semua pejabat tinggi di Bali. Kalau sudah seperti ini maka
sudah dapat ditebak. Saya dan warga masyarakat biasa, tanpa status VVIP, pastilah
akan dinomor-duakan. Jadi mending “menyingkir” sementara saja dulu, sampai
semua proses serimonial itu selesai
dilaksanakan.
Kepada
salah satu Pecalang (istilah bagi
petugas keamanan yang berasal dari Desa Adat di Bali), saya bertanya tentang
informasi mengenai Pura ini, mengingat ini pertama kalinya saya datang. Dan
datangnya juga sendirian. Soalnya, saya dengar kalau menuju ke Pura Lempuyang
Luhur itu musti naik melewati ribuan anak tangga. Sedangkan di Pura ini, memang
terlihat ada tangga, tapi jumlahnya palingan sekitar ratusan saja. Diterangkan kemudian
kalau Pura dimana saya berada adalah Pura Penataran Agung, sedang Pura
Lempuyang Luhur ada di puncak tertinggi Gunung Lempuyang (atau dikenal pula
sebagai Bukit Bisbis). Nah itu dia yang saya cari, sekalian berniat untuk
sedikit berpetualang. Langsung deh tanya-tanya bagaimana cara saya ke sana.
Dari
pecalang tersebut, saya ditunjukkan jalan naik ke Pura Lempuyang Luhur lewat
jalur Pura Telaga Mas. Katanya sih, ada beberapa jalur untuk memuju ke puncak,
tapi jalur itu yang paling sering dilewati. Letaknya hanya beberapa kilometer
dari Pura Penataran Agung. Ambil motor, langsung saja menuju lokasi yang
disebutkan tadi. Saya lihat sih ada juga jasa ojek motor. Tidak tahu juga
apakah selalu ada, apa hanya ada selama berlangsungnya upacara saja.
Sampai di
Pura Telaga Mas, getaran aura alam Pura Lempuyang Luhur sudah sangat terasa.
Aura yang sama tidak saya rasakan ketika ada di Pura Penataran Agung. Entah, mungkin
karena sudah bercampur dengan aura-aura pemedek,
yang jumlahnya sampai ribuan. Sejauh
mata memandang sudah nampak bentangan hijau yang memanjakan mata. Selesai sembahyang
di Pura Telaga Mas, saya langsung mulai menaiki anak tangga pertama. Ketika
mulai naik, tidak ada satu orang lain pun yang bersama saya. Benar-benar
seorang diri, tapi itu tidak menyurutkan niat saya. Kalau sudah dibekali niat
naik, Beliau yang berstana di Pura
Lempuyang Luhur pasti melindungi saya. Selain itu, saat itu juga hari masih
siang.
Pura Lempuyang |
Oya,
sekalian ditulis sedikit informasi umum mengenai Pura Lempuyang Luhur, yang
saya cari melalui google. Pura ini
merupakan sthana dari Dewa Iswara
(Hyang Gni Jaya). Dalam konsep Padma Bhuana, berada di Timur (Purwa), yang dilambangkan dengan warna
putih. Arti dari kata Lempuyang sendiri tidak bisa ditentukan secara pasti.
Kemungkinan sih katanya berasal dari kata ‘lampu’
(sinar) dan ‘hyang’ (Tuhan), sehingga
dapat diatikan sebagai Sinar Tuhan. Gosip punya gosip, pernah terlihat cahaya
sangat terang dari luar angkasa, dimana diyakini kalau asalnya dari Gunung
Lempuyang ini. Sisanya, saya kurang begitu tahu juga. Yang jelas, anak tangga
menuju Pura Lempuyang ini jumlahnya sekitar 1.700 sampai 1.800. Tinggi, tinggi
sekali...
Sama seperti
di Pura Batukaru, ada pula beberapa pantangan saat memasuki areal Pura. Sebagian
besar pantangan sama, kecuali dua hal yang secara khusus diatur untuk Pura
Lempuyang Luhur. Dua hal tersebut adalah tidak boleh membawa perhiasan emas
yang berlebihan, serta tidak boleh makan daging babi sebelum masuk ke areal
Pura.
Baru
seperempat jalan, nafas saya sudah tersengal-sengal. Lutut mulai terasa
“goyang”. Sumpah, kalau anda tidak benar-benar memusatkan niat untuk sembahyang,
pasti saat itu akan memilih untuk balik saja. Bersembahyang ke Pura Lempuyang
Luhur, benar-benar adalah sebuah cobaan lahir dan bathin. Dan inilah yang membuat
saya jatuh cinta pada Pura ini. Tanpa niat mengurangi keagungan dari Pura Sad
Khayangan lainnya, Pura Lempuyang Luhur resmi ada di posisi teratas dari keenam
pura tersebut. Ini versi pribadi saya lho
ya. Benar-benar Pura ini memenuhi segala syarat untuk menjadi Pura favorit. Alam yang murni dan asri, udara
yang sejuk, sangat jauh dari hiruk-pikuk keramaian hidup manusia, menguji ketahanan
fisik, juga benar-benar menguji niat tulus untuk datang memuja Sang Pencipta.
Semua syarat tersebut dipenuhi oleh Pura Lempuyang Luhur.
Di tengah
nafas yang tersengal dan keringat yang deras bercucuran, saya terbayang ucapan
Biksu Tong Sam Chong, di film Kera
Sakit. “Tetap sabar, selangkah demi selangkah” hehehe... Itu saja yang membuat saya terus untuk menggerakkan kaki.
Mengingat tidak ada orang lain di sisi saya untuk memberikan semangat. Bersyukur
sesekali saya bertemu orang-orang lain yang kebetulan sudah turun, bisa saya
ajak berbicara. Atau, pedagang di bedeng-bedeng bambu, yang sekali-dua kali saya temui selama
perjalanan. Sisa perjalanan naik, ya sudah saya lalui dalam kesendirian.
Melalui tangga demi tangga, yang basah terkena campuran hujan dan kabut. Dalam
hati saya sempat tersenyum. Syukur saja selama ini kuat menjomblo, kalau tidak mungkin saya tidak akan bertahan dalam
kesendirian seperti itu. Tuhan memiliki agendanya sendiri ternyata, hehehehe...
Sekitar ada
setengah perjalanan, akhirnya saya bertemu rombongan yang juga naik. Mereka
bisa terkejar, karena ada satu-dua anggota rombongan yang sudah terlihat sangat
kelelahan. Jadi musti duduk dulu beberapa saat, baru lanjut lagi berjalan. Energi
saya juga sudah sangat terkuras. Lutut sudah mau lepas rasanya. Terasa sekali
kalau faktor umur berpengaruh di momen-momen seperti itu. Tapi saya tidak
menyerah. Tetap melangkah pelan-pelan. Mengikuti langkah mereka.
Ternyata
ada persimpangan jalan yang saya temui. Kalau ke arah kanan, akan melalui Pura Lempuyang
Madya dan beberapa pura lain yang saya lupa namanya. Sedangkan kalau lurus akan
ketemu Pura Pasar Agung. Kesemua jalur yang ada bermuara di Pura Lempuyang
Luhur. Pada kesempatan itu, saya lurus melalui Pura Pasar Agung, karena
rombongan yang tadi saya temui melewati jalur itu. Kesempatan yang lain,
mungkin saya akan melalui jalur ke arah kanan tadi. Saya juga sudah berjanji
akan datang lagi, bilamana diberi kesehatan, serta ada kesempatan dan waktu
yang pas.
Akhirnya
saya tiba di Pura Pasar Agung. Ternyata waktu cek jam di ponsel, saya sudah
berjalan kurang lebih satu jam. Benar-benar tidak terasa. Selesai sembahyang,
rombongan yang bersama saya tadi memilih untuk beristirahat dulu. Saya memilih
untuk melanjutkan perjalanan, takutnya nanti turun nanti kemalaman, kan saya
sendirian. Berjalanlah saya menaiki tangga selanjutnya, dalam kesendirian lagi.
Sementara kabut tipis mulai turun. Menghalangi sedikit jarak pandang, walau
tidak mengganggu. Selama perjalanan, sekali-dua kali saya bertemu lagi dengan
beberapa orang. Ternyata memang sedikit yang memilih untuk mendaki ke puncak,
apabila dibandingkan ribuan orang yang tadi saya temui di Pura Penataran Agung.
Memang sih tadi saya sempat tanya, kalau sembahyang di bawah dan di atas
statusnya sama. Dikarenakan kan tidak semua orang memiliki fisik yang kuat untuk
mencapai Pura Lempuyang Luhur, di puncak gunung.
Menjelang
puncak, pemandangan kian indah saat menoleh ke bawah. Seandainya tidak ditutup
kabut pasti akan makin indah. Udara yang saya hirup pun semakin segar.
Sementara di sekeliling masih dihiasi hamparan hutan yang menghijau.
Monyet-monyet liar juga mulai bermunculan. Ada yang bergelantungan, ada pula
yang nongkrong di pinggir atau tengah tangga. Jumlahnya mungkin ada puluhan. Dengan
sopan saya ucapkan permisi kepada mereka. Takutnya mereka galak. Eh ternyata, meskipun liar mereka cukup
baik untuk minggir saat saya melintas.
Selangkah
demi selangkah, tiba juga akhirnya saya di Pura Lempuyang Luhur. Hore, perjalanan saya tidak sia-sia.
Ternyata areal Pura tidak begitu luas, meski dilengkapi pula dengan wantilan.
Samalah dengan Pura Pasar Agung dan Pura Telaga Mas yang saya temui di awal.
Cuma aura di Pura ini memang kuat sekali. Berbeda dengan Pura-Pura tadi. Entah
karena itu bercampur pula dengan kelegaan, setelah menempuh perjalanan hampir
dua jam tadi. Memang tidak perlu ruang yang terlalu luas di Pura tersebut,
karena orang-orang sudah secara otomatis “diseleksi” secara alami selama
perjalanan menuju ke puncak. Hanya mereka yang teruji yang akan sampai di sana.
Di Pura
Lempuyang Luhur, ada tanaman bambu yang lebat, yang cukup menarik perhatian
saya. Ternyata rimbunan bambu itu adalah tempat mengambil tirta (air suci). Begitu yang tertera di tulisan yang ada di depan.
Memang sangat disucikan, karena ada resiko bila anda merusaknya.
Setelah
bersembahyang, beristirahat sebentar di wantilan, saya pun lanjut turun. Anda
kira saat turun akan lebih mudah? Oh tidak, lutut dan kaki saya tetap harus
bekerja keras. Sungguh sebuah perjalanan unik yang sangat berkesan. Sungguh
Pura Lempuyang Luhur ini memiliki tempatnya tersendiri di hati saya.
Tiba di
bawah, saya sembahyang lagi di Pura Penataran Agung yang sudah sepi. Ketika
menaiki Pura teratas, barulah saya menyadari gerbang ikonik miliki Pura ini,
yang begitu viral di sosial media. Memang sangat indah kalau berdiri di tempat
itu. Cuman saya tidak sempat mengambil foto, mengingat sedang berlangsung
upacara besar. Takut mengganggu secara niskala.
Mungkin di lain kesempatan saja.
Itulah
kisah perjalanan rohani saya ke dua Pura, yang merupakan bagian dari Sad
Khayangan. Dua Pura yang begitu berkesan di hati saya, karena keindahan
alamnya. Sebuah keindahan yang sudah teramat langka, di tengah desakan
peningkatan populasi manusia. Hanya ada satu catatan. Seandainya saja ada
pelarangan untuk menaiki kendaraan bermotor menuju areal Pura Batukaru, pasti
aura Pura tersebut akan sama terjaganya sebagaimana Pura Lempuyang Luhur. Kalau
untuk Pura-Pura Sad Khayangan yang lain, ya sudahlah... Lokasi mereka sudah tidak
bisa lagi untuk tidak tersentuh dengan hiruk-pikuk kehidupan manusia. Meski itu
tentu tidak mengurangi aura magis mereka
juga.
Kini
tinggal Pura Pusering Jagat, yang merupakan tempat berstana Dewa Siwa. Pura
terakhir dari Pura Sad Khayangan, yang belum saya datangi. Mungkin belum
berjodoh. Semoga apabila nanti saatnya tiba, saya akan tetap diberi kesehatan
dan keselamatan. Astungkara.
Tabanan-Karangasem, 22 Januari
2019.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar