Selasa, 22 Januari 2019

Pura Dengan Pancaran Keindahan Yang Mempesona


Bali sangat identik dengan Pura. Bahkan, Bali mendapat julukan sebagai Pulau Seribu Pura. Di antara Pura-Pura tersebut, ada 6 (enam) Pura yang sangat penting dalam sejarah Bali. Keenam Pura yang lebih dikenal dengan nama Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad ini, antara lain: Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan Pura Pusering Jagat. Entah apa dasar keenam Pura ini dikelompokkan menjadi satu. Lalu apa bedanya dengan Dang Kahyangan? Maaf, belum saya temukan informasinya secara online. Nanti kalau saya temukan jawabannya, akan saya bahas lebih lanjut.
Kebetulan lima dari enam pura ini pernah saya datangi. Tinggal Pura Pusering Jagat saja yang belum. Tulisan ini saya tujukan untuk dua pura, yang telah mendapat tempat spesial di hati saya. Tentu saja, tanpa mengecilkan arti Pura-Pura Sad Kahyangan lain yang juga luar biasa. Kedua pura tersebut adalah Pura Barukaru dan Pura Lempuyang.
Kenapa saya suka dengan Pura Batukaru dan Pura Lempuyang? Karena, alam di sekitarnya yang masih sangat alami dan asri. Kedua Pura ini terletak di dua gunung, yaitu kaki Gunung Batukaru dan puncak Gunung Lempuyang. Keduanya dikelilingi oleh hutan yang hijau dengan hawa yang sangat sejuk. Selain itu, silakan percaya atau tidak, kalau kedua pura ini seolah-olah ‘memanggil’ saya. Iya, tidak tahu kenapa ada perasaan kalau keduanya “memanggil” saya, karena memang ketika itu saya belum pernah datang untuk bersembahyang (nangkil) ke sana.

Pura Batukaru.
Pura Batukaru
Kita mulai dulu dari Pura Luhur Batukaru atau Pura Batukau. Entah yang mana penyebutan yang benar. Pada tulisan ini saya sebut saja Pura Barukaru, karena lebih familier di telinga. Kunjungan saya pertama ke Pura ini adalah pada Umanis Galungan, awal tahun 2018 (puncak Pujawali/ Piodalan Pura ini – Wraspati Umanis Galungan). Katanya ibu saya sih dulu, saat masih kecil, saya pernah diajak ke Pura ini. Cuma ya itu, saya tidak ingat momen tersebut. Seakan memori itu menguap dari otak saya. Jadi anggap saja saat itu, adalah kunjungan pertama saya.
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pura Batukaru terletak di kaki Gunung Batukaru. Masuk ke dalam wilayah Desa Wongaya Gede, Penebel, Kabupaten Tabanan. Berjarak sekitar 22 kilometer dari pusat Kota Tabanan.
Sebenarnya, sudah dari dulu saya ingin datang ke Pura Batukaru. Cuma selalu ada saja halangan yang menghadang. Akhirnya saya berpasrah diri. Kalau memang nantinya saya berjodoh dengan Pura ini, maka akan datang kesempatan tersebut. Saya sangat percaya dengan yang namanya jodoh. Kalau sudah berjodoh pasti akan terjadi, hanya waktunya saja yang kerap jadi misteri.
Baru tiba di parkiran Pura Batukaru, saya sudah langsung jatuh cinta dengan Pura ini. Suasana di Pura ini sangat menyenangkan dan menenangkan. Lingkungannya dikelilingi hutan dari Gunung Batukaru. Begitu sejuk dan asri. Udara terasa begitu segar, ketika saya menghirup nafas dalam-dalam. Jarak antara lapangan parkir kendaraan dengan Pura, musti ditempuh dengan berjalan kaki. Meski sayangnya, sepeda motor masih boleh masuk sampai areal pura. Andai dilarang pasti akan jauh lebih baik. Kesucian Pura pasti akan bisa lebih terjaga. Saya sendiri memilih untuk berjalan kaki. Sepanjang perjalanan menuju komplek Pura, sejauh mana pun mata memandang, semuanya hijau. Begitu memanjakan mata.
Tiba di areal Pura, aura yang saya rasakan sangat kuat. Pura tersebut terlihat begitu megah. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi saya merasa seperti ‘pulang’. Terserah anda percaya atau tidak. Itulah rasa yang muncul, saat pertama kali melihat Pura Batukaru.
Di tambah pula dengan kolam dan pancoran air (beji), di sisi sebelah utara (kalau ini tidak salah). Keberadaan keduanya kian menambah sejuk suasana. Sejumlah pancoran air ini digunakan untuk melakukan penyucian diri secara sekala, seperti berkumur, cuci muka, dan cuci kaki. Dilakukan sebelum melakukan penyucian secara niskala, berupa persembahyangan.
Ada beberapa pantangan (larangan) ketika hendak sembahyangan di Pura Batukaru. Salah satu pantangan yang terbilang unik adalah tidak boleh mengajak anak kecil yang belum tanggal gigi pertama, serta wanita yang anaknya belum tumbuh gigi pertama. Hal-hal ini terkait kepercayaan yang sudah terjaga hampir ratusan tahun lamanya. Selain itu, ada pantangan lain ketika hendak memasuki areal Pura, antara lain: bagi mereka yang tidak berpakaian adat tradisional, bagi yang sedang berduka (kematian), wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang haid. Selalu saja ada cerita-cerita mistis yang terjadi, apabila kesemua pantangan ini sampai dilanggar.
Muncul kemudian keinginan untuk mencari tahu sejarah Pura Batukaru. Pura ini adalah tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Mahadewa. Dewa yang bertanggung jawab terhadap menumbuhkan aneka tumbuh-tumbuhan dan penggunaan air. Pantas saja yang cocok dengan aura Pura ini. Saya sangat menyukai tanaman dan air. Mungkin saya ada garis keturunan Dewa Mahadewa? Hahahaha... Dalam Dewata Nawasanga, atau Dewa penguasa sembilan arah mata angin, Dewa Mahadewa menguasai arah Barat. Bersenjata Nagapasa, warna kuning, dan ber-stana-kan Naga. Keren yah Dewa yang satu ini.
Untuk lebih lengkapnya mengenai denah dan sejarah Pura Batukaru, bisa anda cari saja di data baik literatur maupun online. Saya tidak berani menulisnya di sini, takut salah tulis. Saya hanya menulis apa yang saya rasakan selama datang ke Pura Batukaru. Saya sendiri bukan orang yang taat beragama, dalam hal ini agama Hindu. Saya bukanlah orang yang tepat untuk menjelaskan semua hal tersebut.
Begitulah kesan pertama saya ketika datang ke Pura Batukaru. Sebuah Pura yang punya aura dan pesona alamnya yang alami. Satu saja kekurangan dari Pura ini, yaitu diberinya ijin kendaraan bermotor di bawa sampai sebegitu dekatnya dari areal pura. Tidak ada salahnya kan untuk sedikit berjalan kaki dari areal parkir. Bisa melatih diri secara fisik dan rohani. Selain, ikut berpartisipasi secara langsung terhadap keindahan alam di sekitar Pura Batukaru.
Namun, yang begitulah manusia jaman sekarang. Kadang semuanya ingin dilakukan secara cepat dan instan. Begitu pun dengan bersembahyang. Kita tidak bisa melawan jaman bukan?

Pura Lempuyang Luhur.
Pura Lempuyang
Sama seperti Pura Batukaru, di sini juga tidak akan menjelaskan secara mendetail tentang sejarah dan denah dari Pura Lempuyang Luhur. Saya takut salah tulis, dan saya merasa bukanlah orang yang cocok menjelaskan hal-hal tersebut. Tulisan ini hanya akan menuliskan pengalaman saya berkunjung (baca: nangkil) ke Pura yang ada terletak di puncak Bukit Bisbis, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ini. Kunjungan pertama saya.
Saya datang ke Pura Lempuyang Luhur, bertepatan dengan hari Purnama, yang juga bertepatan dengan terjadinya blood moon di bulan Januari 2019. Entah kenapa saya ingin sekali datang di hari itu. Padahal terpaksa saya harus datang sendirian, karena tidak ada yang bisa diajak. Sama halnya seperti di Pura Batukaru, ada “sesuatu” yang memanggil saya untuk datang. Silakan anda tertawa membaca kalimat terakhir tadi, tapi itulah yang saya rasakan. Ternyata, hari itu adalah puncak dari upacara Panca Wali Krama, yang baru dapat terselenggara lagi setelah ratusan tahun lamanya. Panca Wali Krama sendiri adalah salah satu bagian dari upacara Bhuta Yadnya, yang datangnya setiap 10 (sepuluh) tahun sekali. Entah kenapa upacara baru bisa terselenggara lagi. Sempat sih dijelaskan, tetapi hanya terdengar samar-samar di telinga saya. Jadi lebih baik tidak saya tulis, karena lagi-lagi takut salah tulis.
Waktu tiba di lokasi, tepatnya di Pura Penataran Agung Lempuyang, saya kaget bukan kepalang karena ramai sekali. Mungkin ada hampir seperdelapan penduduk Bali berada di sana. Termasuk semua pejabat tinggi di Bali. Kalau sudah seperti ini maka sudah dapat ditebak. Saya dan warga masyarakat biasa, tanpa status VVIP, pastilah akan dinomor-duakan. Jadi mending “menyingkir” sementara saja dulu, sampai semua proses serimonial itu selesai dilaksanakan.
Kepada salah satu Pecalang (istilah bagi petugas keamanan yang berasal dari Desa Adat di Bali), saya bertanya tentang informasi mengenai Pura ini, mengingat ini pertama kalinya saya datang. Dan datangnya juga sendirian. Soalnya, saya dengar kalau menuju ke Pura Lempuyang Luhur itu musti naik melewati ribuan anak tangga. Sedangkan di Pura ini, memang terlihat ada tangga, tapi jumlahnya palingan sekitar ratusan saja. Diterangkan kemudian kalau Pura dimana saya berada adalah Pura Penataran Agung, sedang Pura Lempuyang Luhur ada di puncak tertinggi Gunung Lempuyang (atau dikenal pula sebagai Bukit Bisbis). Nah itu dia yang saya cari, sekalian berniat untuk sedikit berpetualang. Langsung deh tanya-tanya bagaimana cara saya ke sana.
Dari pecalang tersebut, saya ditunjukkan jalan naik ke Pura Lempuyang Luhur lewat jalur Pura Telaga Mas. Katanya sih, ada beberapa jalur untuk memuju ke puncak, tapi jalur itu yang paling sering dilewati. Letaknya hanya beberapa kilometer dari Pura Penataran Agung. Ambil motor, langsung saja menuju lokasi yang disebutkan tadi. Saya lihat sih ada juga jasa ojek motor. Tidak tahu juga apakah selalu ada, apa hanya ada selama berlangsungnya upacara saja.
Sampai di Pura Telaga Mas, getaran aura alam Pura Lempuyang Luhur sudah sangat terasa. Aura yang sama tidak saya rasakan ketika ada di Pura Penataran Agung. Entah, mungkin karena sudah bercampur dengan aura-aura pemedek, yang jumlahnya sampai  ribuan. Sejauh mata memandang sudah nampak bentangan hijau yang memanjakan mata. Selesai sembahyang di Pura Telaga Mas, saya langsung mulai menaiki anak tangga pertama. Ketika mulai naik, tidak ada satu orang lain pun yang bersama saya. Benar-benar seorang diri, tapi itu tidak menyurutkan niat saya. Kalau sudah dibekali niat naik, Beliau yang berstana di Pura Lempuyang Luhur pasti melindungi saya. Selain itu, saat itu juga hari masih siang.
Pura Lempuyang
Oya, sekalian ditulis sedikit informasi umum mengenai Pura Lempuyang Luhur, yang saya cari melalui google. Pura ini merupakan sthana dari Dewa Iswara (Hyang Gni Jaya). Dalam konsep Padma Bhuana, berada di Timur (Purwa), yang dilambangkan dengan warna putih. Arti dari kata Lempuyang sendiri tidak bisa ditentukan secara pasti. Kemungkinan sih katanya berasal dari kata ‘lampu’ (sinar) dan ‘hyang’ (Tuhan), sehingga dapat diatikan sebagai Sinar Tuhan. Gosip punya gosip, pernah terlihat cahaya sangat terang dari luar angkasa, dimana diyakini kalau asalnya dari Gunung Lempuyang ini. Sisanya, saya kurang begitu tahu juga. Yang jelas, anak tangga menuju Pura Lempuyang ini jumlahnya sekitar 1.700 sampai 1.800. Tinggi, tinggi sekali...
Sama seperti di Pura Batukaru, ada pula beberapa pantangan saat memasuki areal Pura. Sebagian besar pantangan sama, kecuali dua hal yang secara khusus diatur untuk Pura Lempuyang Luhur. Dua hal tersebut adalah tidak boleh membawa perhiasan emas yang berlebihan, serta tidak boleh makan daging babi sebelum masuk ke areal Pura.
Baru seperempat jalan, nafas saya sudah tersengal-sengal. Lutut mulai terasa “goyang”. Sumpah, kalau anda tidak benar-benar memusatkan niat untuk sembahyang, pasti saat itu akan memilih untuk balik saja. Bersembahyang ke Pura Lempuyang Luhur, benar-benar adalah sebuah cobaan lahir dan bathin. Dan inilah yang membuat saya jatuh cinta pada Pura ini. Tanpa niat mengurangi keagungan dari Pura Sad Khayangan lainnya, Pura Lempuyang Luhur resmi ada di posisi teratas dari keenam pura tersebut. Ini versi pribadi saya lho ya. Benar-benar Pura ini memenuhi segala syarat untuk menjadi Pura favorit. Alam yang murni dan asri, udara yang sejuk, sangat jauh dari hiruk-pikuk keramaian hidup manusia, menguji ketahanan fisik, juga benar-benar menguji niat tulus untuk datang memuja Sang Pencipta. Semua syarat tersebut dipenuhi oleh Pura Lempuyang Luhur.
Di tengah nafas yang tersengal dan keringat yang deras bercucuran, saya terbayang ucapan Biksu Tong Sam Chong, di film Kera Sakit. “Tetap sabar, selangkah demi selangkah” hehehe... Itu saja yang membuat saya terus untuk menggerakkan kaki. Mengingat tidak ada orang lain di sisi saya untuk memberikan semangat. Bersyukur sesekali saya bertemu orang-orang lain yang kebetulan sudah turun, bisa saya ajak berbicara. Atau, pedagang di bedeng-bedeng bambu, yang sekali-dua kali saya temui selama perjalanan. Sisa perjalanan naik, ya sudah saya lalui dalam kesendirian. Melalui tangga demi tangga, yang basah terkena campuran hujan dan kabut. Dalam hati saya sempat tersenyum. Syukur saja selama ini kuat menjomblo, kalau tidak mungkin saya tidak akan bertahan dalam kesendirian seperti itu. Tuhan memiliki agendanya sendiri ternyata, hehehehe...
Sekitar ada setengah perjalanan, akhirnya saya bertemu rombongan yang juga naik. Mereka bisa terkejar, karena ada satu-dua anggota rombongan yang sudah terlihat sangat kelelahan. Jadi musti duduk dulu beberapa saat, baru lanjut lagi berjalan. Energi saya juga sudah sangat terkuras. Lutut sudah mau lepas rasanya. Terasa sekali kalau faktor umur berpengaruh di momen-momen seperti itu. Tapi saya tidak menyerah. Tetap melangkah pelan-pelan. Mengikuti langkah mereka.
Ternyata ada persimpangan jalan yang saya temui. Kalau ke arah kanan, akan melalui Pura Lempuyang Madya dan beberapa pura lain yang saya lupa namanya. Sedangkan kalau lurus akan ketemu Pura Pasar Agung. Kesemua jalur yang ada bermuara di Pura Lempuyang Luhur. Pada kesempatan itu, saya lurus melalui Pura Pasar Agung, karena rombongan yang tadi saya temui melewati jalur itu. Kesempatan yang lain, mungkin saya akan melalui jalur ke arah kanan tadi. Saya juga sudah berjanji akan datang lagi, bilamana diberi kesehatan, serta ada kesempatan dan waktu yang pas.
Akhirnya saya tiba di Pura Pasar Agung. Ternyata waktu cek jam di ponsel, saya sudah berjalan kurang lebih satu jam. Benar-benar tidak terasa. Selesai sembahyang, rombongan yang bersama saya tadi memilih untuk beristirahat dulu. Saya memilih untuk melanjutkan perjalanan, takutnya nanti turun nanti kemalaman, kan saya sendirian. Berjalanlah saya menaiki tangga selanjutnya, dalam kesendirian lagi. Sementara kabut tipis mulai turun. Menghalangi sedikit jarak pandang, walau tidak mengganggu. Selama perjalanan, sekali-dua kali saya bertemu lagi dengan beberapa orang. Ternyata memang sedikit yang memilih untuk mendaki ke puncak, apabila dibandingkan ribuan orang yang tadi saya temui di Pura Penataran Agung. Memang sih tadi saya sempat tanya, kalau sembahyang di bawah dan di atas statusnya sama. Dikarenakan kan tidak semua orang memiliki fisik yang kuat untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur, di puncak gunung.
Menjelang puncak, pemandangan kian indah saat menoleh ke bawah. Seandainya tidak ditutup kabut pasti akan makin indah. Udara yang saya hirup pun semakin segar. Sementara di sekeliling masih dihiasi hamparan hutan yang menghijau. Monyet-monyet liar juga mulai bermunculan. Ada yang bergelantungan, ada pula yang nongkrong di pinggir atau tengah tangga. Jumlahnya mungkin ada puluhan. Dengan sopan saya ucapkan permisi kepada mereka. Takutnya mereka galak. Eh ternyata, meskipun liar mereka cukup baik untuk minggir saat saya melintas.
Selangkah demi selangkah, tiba juga akhirnya saya di Pura Lempuyang Luhur. Hore, perjalanan saya tidak sia-sia. Ternyata areal Pura tidak begitu luas, meski dilengkapi pula dengan wantilan. Samalah dengan Pura Pasar Agung dan Pura Telaga Mas yang saya temui di awal. Cuma aura di Pura ini memang kuat sekali. Berbeda dengan Pura-Pura tadi. Entah karena itu bercampur pula dengan kelegaan, setelah menempuh perjalanan hampir dua jam tadi. Memang tidak perlu ruang yang terlalu luas di Pura tersebut, karena orang-orang sudah secara otomatis “diseleksi” secara alami selama perjalanan menuju ke puncak. Hanya mereka yang teruji yang akan sampai di sana.
Di Pura Lempuyang Luhur, ada tanaman bambu yang lebat, yang cukup menarik perhatian saya. Ternyata rimbunan bambu itu adalah tempat mengambil tirta (air suci). Begitu yang tertera di tulisan yang ada di depan. Memang sangat disucikan, karena ada resiko bila anda merusaknya.
Setelah bersembahyang, beristirahat sebentar di wantilan, saya pun lanjut turun. Anda kira saat turun akan lebih mudah? Oh tidak, lutut dan kaki saya tetap harus bekerja keras. Sungguh sebuah perjalanan unik yang sangat berkesan. Sungguh Pura Lempuyang Luhur ini memiliki tempatnya tersendiri di hati saya.
Tiba di bawah, saya sembahyang lagi di Pura Penataran Agung yang sudah sepi. Ketika menaiki Pura teratas, barulah saya menyadari gerbang ikonik miliki Pura ini, yang begitu viral di sosial media. Memang sangat indah kalau berdiri di tempat itu. Cuman saya tidak sempat mengambil foto, mengingat sedang berlangsung upacara besar. Takut mengganggu secara niskala. Mungkin di lain kesempatan saja.

Itulah kisah perjalanan rohani saya ke dua Pura, yang merupakan bagian dari Sad Khayangan. Dua Pura yang begitu berkesan di hati saya, karena keindahan alamnya. Sebuah keindahan yang sudah teramat langka, di tengah desakan peningkatan populasi manusia. Hanya ada satu catatan. Seandainya saja ada pelarangan untuk menaiki kendaraan bermotor menuju areal Pura Batukaru, pasti aura Pura tersebut akan sama terjaganya sebagaimana Pura Lempuyang Luhur. Kalau untuk Pura-Pura Sad Khayangan yang lain, ya sudahlah... Lokasi mereka sudah tidak bisa lagi untuk tidak tersentuh dengan hiruk-pikuk kehidupan manusia. Meski itu tentu tidak mengurangi aura magis mereka juga.
Kini tinggal Pura Pusering Jagat, yang merupakan tempat berstana Dewa Siwa. Pura terakhir dari Pura Sad Khayangan, yang belum saya datangi. Mungkin belum berjodoh. Semoga apabila nanti saatnya tiba, saya akan tetap diberi kesehatan dan keselamatan. Astungkara.

Tabanan-Karangasem, 22 Januari 2019.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar