Jumat, 04 Januari 2019

The Woman In Cabin 10


Satu lagi novel yang selesai saya baca. Judulnya sesuai dengan judul tulisan ini. The Woman In Cabin 10. Sebuah novel misteri, action, detektif, atau triller, entah yang mana yang sesuai untuk menggolongkan gendre dari novel ini. Novel ini saya pilih, ya karena memang lagi jenuh dengan tema cinta-cintaan. Butuh sesuatu yang seru dan mengajak untuk sedikit berpikir. Membuat ikut menebak-nebak alurnya akan dibawa kemana. Novel ini sepertinya sesuai dengan kriteria yang saya inginkan. Ambil, lalu bawa ke kasir.
The Woman In Cabin 10
Nuansa mencekam sudah terlihat dari sampul Novel The Woman In Cabin 10 ini. Hitam legam, ditambah kapal pesiar yang berlayar di atas lautan berwarna merah, semerah darah. Cukup jelas menggambarkan setting dan gambaran kasar terhadap alur cerita. Memiliki 469 halaman, itu pun belum termasuk halaman tambahan, membuat novel ini cukup tebal. Novel yang saya beli adalah cetakan kedua (Mei 2018). Sebuah novel terjemahan karya Ruth Ware, dimana penterjemahnya adalah Reni Indardini, dan penyunting adalah Yuli Pritania. Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika), dan disitribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU).
Apa lagi ya? Langsung ke alur aja deh ya.
Mungkin tidak ada manusia yang lebih “sial” dari, Lo (Laura) Blacklock, sang tokoh utama. Dari awal cerita saja, kamar flatnya sudah disatroni pencuri. Hal ini selain melukai beberapa bagian dari tubuhnya, juga melukai psikisnya. Lo menjadi trauma. Ditambah memang sedari masih muda, dirinya sudah menderika penyakit mudah cemas. Makin kacaulah kejiwaan Lo. Sialnya, kejadian ini terjadi hanya beberapa hari sebelum dirinya naik ke Aurora, sebuah kapal pesiar mewah milih seorang penguasaha kaya, Lord Richard Bullmer. Dia ditunjuk untuk meliput kapal ini, di momen pelayaran perdananya. Padahal Lo sudah sangat menanti-nanti tugas ini. Tugas ini bisa dijadikan batu loncatan untuk kariernya. Penggambaran ini didapat dari Bab 1 sampai Bab 5. Menghabiskan sampai lima bab, menurut saya sangatlah banyak sebagai pembuka kehidupan sang tokoh utama. Kesannya malah bertele-tele. Di sini juga diungkapkan masalah hubungan Lo dengan sang kekasih, Judas Lewis. Padahal nantinya, tidak begitu esensial berpengaruh terhadap jalannya cerita.
Masuk Bab 6, petualangan Lo di atas kapal Aurora pun dimulai. Digambarkan Aurora sebagai kapal pesiar “mungil”, tetapi memiliki fasilitas melebihi hotel bintang lima. Peserta pelayaran perdana tidaklah terlalu banyak. Kebanyakan mereka pengusaha dan pemilik modal, yang adalah kenalan dekat sang pemilik kapal. Ditambah beberapa wartawan, termasuk Lo dan Ben Howard, mantan kekasih Lo. Crew kapal pun diceritakan tidak begitu banyak. Di bab ini pula, misteri di mulai. Berkat usaha meminjam markara, Lo dipertemukan dengan seorang gadis di kabin nomor 10. Seorang gadis muda yang cantik. Pertemuan yang berakhir misterius, karena pad Bab 10, Lo menemukan fakta bahwa kabin nomor 10 seharusnya kosong. Dan memang kosong. Apakah dia mengkhayal? Apakah gadis itu hanya imajinasinya semata? Apakah pengaruh dari alkohol dan obat anti depresi yang diminumnya?
Insting wartawan dan detektif Lo muncul. Mencoba mencari tahu tentang jati diri gadis misterius di kabin nomor 10. Dikarenakan, di malam sebelumnya, Lo sangat yakin ada orang dalam kabin tersebut. Malahan dia juga yakin mendengar suara teriakan dari dalam. Dia tidak bermimpi, atau berkhayal. Usaha ini menjadi sulit, karena tidak ada satu orang pun yang mempercayai Lo. Tidak penumpang. Tidak para crew. Tidak Kapten kapal. Bahkan, tidak pula Johann Nilsson, si kepala keamanan kapal. Aksi detektif dari Lo inilah yang kemudian menjadi inti cerita. Bagaimana dia diam-diam berusaha mengumpulkan informasi. Sedikit demi sedikit. Ibarat kepingan puzzel yang terangkai pelan-pelan. Pelan-pelan “cerita” dibalik para penumpang pun terkuak, dimana tercapai sebuah kesimpulan. Kalau mungkin saja, tanpa dia sadari, Lo telah menjadi saksi dari terjadinya sebuah pembunuhan. Pembunuhan di atas kapal pesiar mewah.
Cara bertutur Ruth Ware cukup menarik. Bagaimana cara dirinya menyusun alur cerita, membuat rasa penasaran ketika membaca terpancing. Namun, ya seperti saya katakan di awal. Novel ini memulai alurnya terlalu pelan, sehingga sebagai pembaca saya sempat dibuat bosan. Jujur, saya sempat hendak berhenti membaca novel ini, dan membiarkannya teronggok di atas meja, hampir selama tiga minggu. Ternyata benar, dalam menulis novel, kesan yang ditimbulkan dari dua-tiga bab pertama haruslah “nendang”. Kalau tidak, anda akan kehilangan pembaca anda.
Saya baru “tersedot” ke dalam “semesta” novel The Woman In Cabin 10, di akhir Bab 10. Ketika membaca paragraf terakhir dari bab ini, yang bunyinya seperti ini:
“Bukan,” kata Nilsson selembut semula, selembut seorang pria besar yang tidak perlu membuktikan apa-apa. “Itulah yang ingin saya jelaskan, Miss Blacklock. Kabin itu memang kosong. Tidak ada tamu di kabin sebelah, kabin itu tidak berpenumpang sedari awal.”
Terseretlah saya kemudian ke dalam aliran arus novel ini. Bersama dengan twist-twist-nya.
Mencoba ikut mencari tahu, siapakah sih gadis di kabin 10? Siapakah yang terbunuh? Benarkah telah terjadi pembunuhan? Kalau iya, siapa pembunuhnya? Dan tentu saja, apakah motif dibalik perbuatan tersebut?
Di lembar ‘Tentang Penulis’, disebutkan kalau buku ini, termasuk ke dalam tiga buku karya Ruth Ware yang akan difimkan. Pasti akan saya tungguin filmnya di rilis. Semoga saja, alurnya nanti  tidak “seruet” film Murder on the Orient Express.
Kalau anda juga muak dengan tema cinta-cintaan - seperti halnya saya - novel ini bisa menjadi bahan bacaan alternatif. Saya suka dengan alur ceritanya. Begitu juga tokoh utamanya. Seorang gadis yang kuat dan tegar, tetapi sekaligus juga rapuh secara mental. Berjuang untuk tetap hidup, kala teror menyerang di atas ‘hotel terapung’. Saat sangat terbatasnya tempat untuk berlari, di antara kelilingan lautan luas. Sebuah petualangan yang melelahkan, sekaligus memacu adrenalin.
Terakhir selamat membaca, apabila kebetulan novel ini ada di tangan anda!

My room, 4 Januari 2019.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar