Satu lagi
novel yang selesai saya baca. Judulnya sesuai dengan judul tulisan ini. The Woman In Cabin 10. Sebuah novel
misteri, action, detektif, atau triller,
entah yang mana yang sesuai untuk menggolongkan gendre dari novel ini. Novel
ini saya pilih, ya karena memang lagi jenuh dengan tema cinta-cintaan. Butuh
sesuatu yang seru dan mengajak untuk sedikit berpikir. Membuat ikut
menebak-nebak alurnya akan dibawa kemana. Novel ini sepertinya sesuai dengan
kriteria yang saya inginkan. Ambil, lalu bawa ke kasir.
The Woman In Cabin 10 |
Nuansa
mencekam sudah terlihat dari sampul Novel The
Woman In Cabin 10 ini. Hitam legam, ditambah kapal pesiar yang berlayar di
atas lautan berwarna merah, semerah darah. Cukup jelas menggambarkan setting dan gambaran kasar terhadap alur
cerita. Memiliki 469 halaman, itu pun belum termasuk halaman tambahan, membuat
novel ini cukup tebal. Novel yang saya beli adalah cetakan kedua (Mei 2018). Sebuah
novel terjemahan karya Ruth Ware, dimana penterjemahnya adalah Reni Indardini,
dan penyunting adalah Yuli Pritania. Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT.
Mizan Publika), dan disitribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU).
Apa lagi
ya? Langsung ke alur aja deh ya.
Mungkin
tidak ada manusia yang lebih “sial” dari, Lo (Laura) Blacklock, sang tokoh
utama. Dari awal cerita saja, kamar flatnya sudah disatroni pencuri. Hal ini
selain melukai beberapa bagian dari tubuhnya, juga melukai psikisnya. Lo
menjadi trauma. Ditambah memang sedari masih muda, dirinya sudah menderika
penyakit mudah cemas. Makin kacaulah kejiwaan Lo. Sialnya, kejadian ini terjadi
hanya beberapa hari sebelum dirinya naik ke Aurora,
sebuah kapal pesiar mewah milih seorang penguasaha kaya, Lord Richard Bullmer. Dia
ditunjuk untuk meliput kapal ini, di momen pelayaran perdananya. Padahal Lo
sudah sangat menanti-nanti tugas ini. Tugas ini bisa dijadikan batu loncatan
untuk kariernya. Penggambaran ini didapat dari Bab 1 sampai Bab 5. Menghabiskan
sampai lima bab, menurut saya sangatlah banyak sebagai pembuka kehidupan sang
tokoh utama. Kesannya malah bertele-tele. Di sini juga diungkapkan masalah
hubungan Lo dengan sang kekasih, Judas Lewis. Padahal nantinya, tidak begitu
esensial berpengaruh terhadap jalannya cerita.
Masuk Bab
6, petualangan Lo di atas kapal Aurora
pun dimulai. Digambarkan Aurora sebagai
kapal pesiar “mungil”, tetapi memiliki fasilitas melebihi hotel bintang lima.
Peserta pelayaran perdana tidaklah terlalu banyak. Kebanyakan mereka pengusaha
dan pemilik modal, yang adalah kenalan dekat sang pemilik kapal. Ditambah beberapa
wartawan, termasuk Lo dan Ben Howard, mantan kekasih Lo. Crew kapal pun
diceritakan tidak begitu banyak. Di bab ini pula, misteri di mulai. Berkat usaha
meminjam markara, Lo dipertemukan
dengan seorang gadis di kabin nomor 10. Seorang gadis muda yang cantik. Pertemuan
yang berakhir misterius, karena pad Bab 10, Lo menemukan fakta bahwa kabin
nomor 10 seharusnya kosong. Dan memang kosong. Apakah dia mengkhayal? Apakah gadis
itu hanya imajinasinya semata? Apakah pengaruh dari alkohol dan obat anti
depresi yang diminumnya?
Insting
wartawan dan detektif Lo muncul. Mencoba mencari tahu tentang jati diri gadis
misterius di kabin nomor 10. Dikarenakan, di malam sebelumnya, Lo sangat yakin
ada orang dalam kabin tersebut. Malahan dia juga yakin mendengar suara teriakan
dari dalam. Dia tidak bermimpi, atau berkhayal. Usaha ini menjadi sulit, karena
tidak ada satu orang pun yang mempercayai Lo. Tidak penumpang. Tidak para crew.
Tidak Kapten kapal. Bahkan, tidak pula Johann Nilsson, si kepala keamanan
kapal. Aksi detektif dari Lo inilah yang kemudian menjadi inti cerita. Bagaimana
dia diam-diam berusaha mengumpulkan informasi. Sedikit demi sedikit. Ibarat kepingan
puzzel yang terangkai pelan-pelan. Pelan-pelan
“cerita” dibalik para penumpang pun terkuak, dimana tercapai sebuah kesimpulan.
Kalau mungkin saja, tanpa dia sadari, Lo telah menjadi saksi dari terjadinya sebuah
pembunuhan. Pembunuhan di atas kapal pesiar mewah.
Cara
bertutur Ruth Ware cukup menarik. Bagaimana cara dirinya menyusun alur cerita,
membuat rasa penasaran ketika membaca terpancing. Namun, ya seperti saya
katakan di awal. Novel ini memulai alurnya terlalu pelan, sehingga sebagai
pembaca saya sempat dibuat bosan. Jujur, saya sempat hendak berhenti membaca novel
ini, dan membiarkannya teronggok di atas meja, hampir selama tiga minggu. Ternyata
benar, dalam menulis novel, kesan yang ditimbulkan dari dua-tiga bab pertama
haruslah “nendang”. Kalau tidak, anda akan kehilangan pembaca anda.
Saya baru
“tersedot” ke dalam “semesta” novel The
Woman In Cabin 10, di akhir Bab 10. Ketika membaca paragraf terakhir dari
bab ini, yang bunyinya seperti ini:
“Bukan,” kata
Nilsson selembut semula, selembut seorang pria besar yang tidak perlu
membuktikan apa-apa. “Itulah yang ingin saya jelaskan, Miss Blacklock. Kabin itu
memang kosong. Tidak ada tamu di
kabin sebelah, kabin itu tidak berpenumpang sedari awal.”
Terseretlah
saya kemudian ke dalam aliran arus novel ini. Bersama dengan twist-twist-nya.
Mencoba
ikut mencari tahu, siapakah sih gadis di kabin 10? Siapakah yang terbunuh? Benarkah
telah terjadi pembunuhan? Kalau iya, siapa pembunuhnya? Dan tentu saja, apakah motif
dibalik perbuatan tersebut?
Di lembar
‘Tentang Penulis’, disebutkan kalau buku ini, termasuk ke dalam tiga buku karya
Ruth Ware yang akan difimkan. Pasti akan saya tungguin filmnya di rilis. Semoga
saja, alurnya nanti tidak “seruet” film Murder on the Orient Express.
Kalau
anda juga muak dengan tema cinta-cintaan - seperti halnya saya - novel ini bisa
menjadi bahan bacaan alternatif. Saya suka dengan alur ceritanya. Begitu juga
tokoh utamanya. Seorang gadis yang kuat dan tegar, tetapi sekaligus juga rapuh secara
mental. Berjuang untuk tetap hidup, kala teror menyerang di atas ‘hotel
terapung’. Saat sangat terbatasnya tempat untuk berlari, di antara kelilingan lautan
luas. Sebuah petualangan yang melelahkan, sekaligus memacu adrenalin.
Terakhir
selamat membaca, apabila kebetulan novel ini ada di tangan anda!
My room, 4 Januari 2019.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar