Senin, 26 Juni 2017

Problematika Bidadari Angkasa


Saya baru saja selesai membaca sebuah buku. Sebuah novel tepatnya. Buku yang sebenarnya sudah lama saya miliki, namun baru sempat dibaca. Sebuah kebiasaan jelek saya sejak lama. Suka beli tapi lupa dibaca. Akhirnya jadi penghuni rak buku tanpa tersentuh. Bahkan diantaranya ada yang masih ‘perawan’, dengan pembungkus plastik masih terpasang. Judul buku ini Diary Pramugari: Seks, Cinta & Kehidupan. Diantara anda mungkin sudah ada yang membacanya. Secara garis besar, judul buku ini sudah cukup menggambarkan isi buku. Ceritanya memang menggambarkan problematika ‘bidadari angkasa’.

Kenapa saya tertarik dengan buku ini? Sebelum menjawab itu, mari kita lihat novel ini secara fisik. Novel ini terbit pertama kali bulan November 2011. Kemudian dicetak ulang beberapa kali, sampai akhirnya mendapat stempel ‘Best Seller’. Ditulis oleh Agung Webe, seorang penulis asal Yogyakarta. Sampul depan dominan berwarna hitam, dengan gambar betis dan sepatu hak tinggi, khas pramugari. Di sampul belakang didominasi warna merah. Total memiliki 352 halaman, yang terbagi atas 36 bab. Secara harfiah, novel ini nyaman dibaca, karena memiliki font yang besar dan spasi yang cukup lebar. Nggak bikin sakit matalah, intinya.
Kini balik ke pertanyaan, “Kenapa saya tertarik dengan buku ini?” Mungkin kita harus mundur sedikit ke belakang. Saat itu saya bertugas hampir semingguan di bandara. Menjalankan tugas kantor. Jemput dan antar delegasi berbagai negara. ‘Nongkrong’ di bandara bikin saya melihat hal-hal menarik yang terjadi. Dari kesedihan sebuah perpisahan, sampai kebahagian sebuah pertemuan. Dari orang yang bepergian sendirian, berpasangan, sampai bersama keluarga mereka. Bandara itu ibarat gerbang sebuah negara. Berbagai karakter manusia, dari berbagai budaya, bersisipan di tempat tersebut.
Nah, ditengah keramaian yang ada, selalu ada pemandangan enak buat dilihat. Para pramugari yang datang dan pergi. Wajar dong sebagai cowok, pasti tertarik sama yang namanya kecantikan. Saking seringnya melihat mereka mondar-mandir, saya memberi mereka nickname: ‘Bidadari Angkasa’. Bukan hal yang aneh kan? Mereka sama-sama cantik, dan turunnya juga dari langit. Disini saya berpikir, bagaimana sih sebenarnya kehidupan para bidadari angkasa ini? Disanalah lalu saya melihat buku Diary Pramugari ini, terpajang di toko buku.
Di toko buku, saya baca resensi singkat penulis di sampul belakang. Sebuah hal wajib sebelum saya membeli sebuah buku. Disana tertulis: “Kehidupan seorang Pramugari tetap akan menjadi daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Benarkah kehidupan glamour dari pramugari menjadikan dia juga bebas seks? Bebas bercinta dengan siapa saja? Atau tetap ada sisi-sisi spiritual yang tinggi dari seorang pramugari? Apakah menjadi seorang pramugari itu mudah? Dan apa yang dibanggakan? Seorang pramugari bernama Jingga bertutur kepada Agung Webe mengenai kehidupannya. Dari sisi agama, cinta, sampai seputar seks yang ada. Agung Webe kemudian mengemas cerita Jingga yang memang merupakan ‘kisah nyata’ menjadi ramuan novel yang dapat mengaduk-aduk emosi Anda. Novel ini bercerita jujur tentang kehidupan Pramugari yang tidak ditutup-tutupi. Dijamin Anda akan mengetahui luar dalam dari kehidupan seorang Pramugari!
Sebuah resensi singkat yang cukup menggoda. Ditambah embel-embel ‘merupakan kisah nyata’. Tanpa berpikir panjang, saya bawa buku ini ke kasir.
Novel Diary Pramugari memang berkisah tentang sosok Jingga, seorang pramugari. Kisah ini dimulai dari kota Solo, kota kelahiran sang tokoh utama. Bab awal menceritakan bagaimana antusiasnya Jingga bisa berangkat ke Jakarta, untuk mengikuti pelatihan pramugari. Namun, di lain sisi dia juga dilema meninggalkan ibu dan kedua adik laki-lakinya. Apalagi sang ibu sedang dalam keadaan sakit. Ayah Jingga sendiri tidak tinggal bersama mereka, karena telah menikah lagi. Sosok yang ayah yang pergi untuk wanita lain, membekas sangat dalam di hati Jingga. Hal ini yang membuat Jingga sangat benci dengan sosok laki-laki. Bagi dia, laki-laki tidak lebih dari sosok yang hanya mementingkan kepuasan kelamin mereka, ketimbang tanggung jawab terhadap keluarga.
Di bandara Adi Sucipto, Jingga bertemu dengan Anya, calon pramugari asal Yogyakarta. Selain mereka berdua, ada juga sosok Puri, calon pramugari asal Jakarta. Dikisahkan ketiga wanita cantik ini lalu menjadi sahabat dekat. Selama di masa pelatihan, maupun setelahnya. Uniknya, ketiga sahabat ini memiliki cara pandang dan karakter yang berbeda, terutama terkait kehidupan, agama dan seks.
Jingga adalah wanita konservatif, yang memandang agama sebagai tuntunan hidup. Dia adalah seorang muslim yang taat. Tidak pernah sekalipun dia melupakan sholat. Dalam memandang kehidupan, Jingga melihatnya sebagai sebuah perjalanan spiritual. Apa yang terjadi segalanya sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tumbuh dalam keluarga yang sederhana, membuat Jingga memandang hidup sangat serius. Soal seks, tentu anda bisa menebaknya sendiri. Bagi Jingga seks adalah sesuatu yang sangat sakral. Tidak boleh dilakukan sembarangan. Dia hanya akan melakukan itu bersama sang suami, yang akan dinikahinya secara sah kelak.
Anya adalah sosok wanita yang lebih modern. Dia memandang agama hanya sebuah alat. Lebih penting untuk percaya Tuhan, ketimbang memeluk salah satu agama. Bagi Anya, agama hanya mengkotak-kotakan kehidupan manusia. Kadang kala agama hanya dijadikan alat kepentingan semata. Maka dari itu dia memilih untuk tidak beragama, namun tetap percaya ajaran Tuhan. Pun demikian dengan kehidupan. Anya adalah sosok anak tunggal. Selama orang tuanya tidak ada, Andre, sang kekasih yang menemani dirinya. Bagi Anya, kehidupan bukanlah sebuah garis yang pasti. Kitalah yang menentukan jalan kita sendiri. Soal seks, Anya lebih moderat. Manusia butuh seks, namun tidak boleh dilakukan serampangan. Anya hanya melakukan itu bersama satu laki-laki, yaitu Andre.
Puri adalah wanita yang sangat liberal. Bagi dia agama tidak penting. Agama justru mengekang kita untuk menikmati kehidupan. Mumpung kita hidup ya nikmatilah kehidupan ini. Bersenang-senanglah selama kita bisa. Hal itu tidak sulit dilakukan Puri. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dan lahir dari keluarga mampu, Puri bisa melakukan apa saja dengan sokongan ekonomi. Kehidupan malam sudah menjadi bagian dari dirinya. Soal seks, ya begitulah. Bagi Puri, dia adalah sosok seorang Dewi Cinta. Bagi dia, membuat laki-laki takluk menjadi sebuah kepuasaan. Termasuk takluk di ranjang, pastinya. Entah berapa laki-laki yang pernah bersama dirinya. Terakhir dia bersama Igo, sang kekasih, yang memiliki pola hidup tidak jauh berbeda.
Tiga wanita, dengan tiga karakter yang berbeda. Cukup menarik untuk diikuti ceritanya.
Singkat cerita, mereka bertiga resmi menjadi pramugari. Disanalah petualangan angkasa mereka dimulai. Disini diceritakan suka dukanya menjadi pramugari. Suka, karena bisa mengunjungi tempat-tempat baru, baik dalam maupun luar negeri. Duka, ketika menghadapi penumpang jutek, sok tahu, sampai pejabat yang sok kuasa. Bagaimana ketika Jingga tidak sengaja menumpahkan minuman di pakaian penumpang. Bagaimana dia dicaci-maki penumpang, padahal itu bukan murni kesalahan dia. Turbulensi membuat pesawat sedikit terguncang. Bagaimana dia dikata-katai sebagai ‘pelayan’ tidak becus, dan membandingkan Jingga dengan pembantunya di rumah. Ingin marah, tapi tugasnya adalah membuat penumpang nyaman. Belum lagi harus menghadapi penumpang yang tidak mau mematikan ponsel. Dia malah balik diumpat kasar. Dan banyak lagi masalah-masalah lain, yang menimbulkan dilema, antara kewajiban dan emosi sebagai manusia biasa. Disini juga diceritakan bagaimana perbedaan karakter penumpang dalam dan luar negeri.
Hati saya cukup terketuk membacanya. Bagaimana tugas seorang pramugari itu tidak mudah. Mereka harus ada siap di bandara tiga jam sebelum jam lepas landas. Mereka harus memastikan kabin pesawat benar-benar aman dan nyaman. Keselamatan penumpang adalah yang utama.
Lain kali ketika saya naik pesawat, saya harus lebih menghormati lagi awak kabin. Paling tidak tersenyumlah pada mereka. Sedikit ucapan terima kasih ketika membantu kita, itu juga sebuah penghargaan buat mereka. Perhatikan mereka ketika memberi instruksi alat keselamatan, juga merupakan bentuk penghargaan. Ketika turun dari pesawat, beri senyuman dan ucapkan terima kasih pada mereka. Terlihat sederhana, namun sangat berarti buat mereka. Kita kan tidak tahu kondisi mereka saat itu. Bisa saja mereka sangat lelah, bisa saja keluarga mereka sedang sakit, atau sedang ada masalah dengan awak kabin lainnya. Mereka berusaha tetap tersenyum dan terus menjalankan tugas dengan baik. Hargailah mereka. Itu adalah sebuah catatan penting untuk diri saya, setelah membaca novel ini.
Sisanya, anda bisa membaca novel ini sendiri. Kehidupan Jingga, Anya dan Puri cukup menarik untuk diikuti. Terutama Jingga sebagai tokoh utama. Kehidupan dan cara pandang Jingga tentang kehidupan dan profesinya sebagai pramugari. Twist ceritanya pun cukup dikemas dengan baik. Bagaimana pengalaman traumatik dia di masa kecil, turut membentuk kebenciannya terhadap laki-laki. Bagaimana dia harus kehilangan satu per satu sahabat baiknya. Bagaimana akhirnya dia menemukan cinta. Bagaimana akhirnya dia menemukan kenyataan tentang jati dirinya. Dan bagaimana secara spritiual dia menemukan makna kehidupan. Sangat menarik.
Sebagai sebuah bacaan, novel Diary Pramugari ini cukup menghibur. Hanya saja, satu yang saya nilai cukup mengganggu. Penekanan prinsip-prinsip hidup Jingga, yang terus di ulang-ulang di beberapa bab. Seolah-olah penulis ingin pembaca memahami betul prinsip-prinsip ini, sebagai gambaran diri seorang Jingga. Bagus sih tujuannya, tapi justru ini menjadi blunder dan membuat jenuh. Membuat aliran cerita yang bagus menjadi sedikit tersendat. Diluar itu, novel ini sangat baik dalam penulisannya.
Oya, satu lagi. Saya sangat tertarik dengan gambaran penulis tentang Bali. Pendapat Jingga sih sebenarnya tentang Bali. Ada di Bab ke-20 yang berjudul ‘Denpasar’. Sebagai pramugari baru, Jingga sangat menikmati Bali. Kalau pramugari lama mah pasti sudah bosen banget. Pada sebuah kesempatan Anya mengajak Jingga berkunjung ke sebuah cafe di kawasan Kuta. Ketika Jingga melihat suasana yang ada, dia berujar, “Kami menikmati suasana malam Kuta sambil minum kopi dengan camilan kalamari. Beberapa bule yang kulihat sedang asyik bercanda sambil tertawa. Cewek-cewek jepang yang ada duduk bersama guide yang merangkap pacar sementaranya. Ada yang tidak menghiraukan sekitar dengan berciuman bibir sangat mesranya. Ada kesan sangat bebas di sini. Kesan dunianya bule terasa banget. Bali…… Di mana Balimu? Di mana Baliku?”
Jingga lanjut berujar, “Walaupun aku belum pernah ke Bali sebelumnya, tetapi bayanganku tentang Bali tidak seperti ini. Ini bukan Bali, menurutku ini adalah Amerika! Aku masih melihat sekeliling. Mungkinkah kita kehilangan kebudayaan asli kita dan menggadaikannya hanya untuk sebuah keping emas? Apa yang membuat Bali bisa seperti ini? Mengapa banyak di antara kita, bangsa sendiri tega merusak dan lambat laun menghilangkan budaya asli Nusantara? Setiap jalan, setiap lorong, setiap keramaian pasti akan ada bar di sini. Aku menjumpai begitu banyak bar. Bule-bule dan orang asing lainnya beserta para pemandu banyak yang nongkrong dengan minuman alkoholnya yang sangat bebas. Bukan! Ini bukan Indonesia! Ini bukan Bali!”
Dueeer! Hati saya tersentuh membaca kedua pandangan di atas. Terlepas apakah benar Jingga yang mengatakan hal ini, atau penulis menyisipkan opini pribadinya ke dalam tulisan. Mengingat saya masih percaya kalau novel ini diangkat dari kisah nyata. Tokoh Jingga beneran ada di dunia ini, bukan tokoh fiksi. Entah Jingga itu nama asli, atau samaran. Namun, saya sangat setuju dengan panjangan Jingga tersebut. Saya juga melihat hal itu saat berkunjung ke Kuta. Saya seperti tidak berada di Bali. Kuta bukanlah Bali, di mata saya pribadi. Mbak Jingga, kalau kita bertemu dan ngobrol, sepertinya kita akan cocok hahahaha…
Dan sebagai penutup saya ucapkan selamat membaca, apabila disaatnya nanti novel ini sudah ada di tangan anda.

Denpasar, 26 Juni 2017

#NulisRandom2017 #NulisBuku
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar