Saya baru
saja selesai membaca sebuah buku. Sebuah novel tepatnya. Buku yang sebenarnya
sudah lama saya miliki, namun baru sempat dibaca. Sebuah kebiasaan jelek saya
sejak lama. Suka beli tapi lupa dibaca. Akhirnya jadi penghuni rak buku tanpa
tersentuh. Bahkan diantaranya ada yang masih ‘perawan’, dengan pembungkus
plastik masih terpasang. Judul buku ini Diary Pramugari: Seks, Cinta &
Kehidupan. Diantara anda mungkin sudah ada yang membacanya. Secara garis besar,
judul buku ini sudah cukup menggambarkan isi buku. Ceritanya memang
menggambarkan problematika ‘bidadari angkasa’.
Kenapa
saya tertarik dengan buku ini? Sebelum menjawab itu, mari kita lihat novel ini
secara fisik. Novel ini terbit pertama kali bulan November 2011. Kemudian
dicetak ulang beberapa kali, sampai akhirnya mendapat stempel ‘Best Seller’. Ditulis oleh Agung Webe,
seorang penulis asal Yogyakarta. Sampul depan dominan berwarna hitam, dengan
gambar betis dan sepatu hak tinggi, khas pramugari. Di sampul belakang
didominasi warna merah. Total memiliki 352 halaman, yang terbagi atas 36 bab.
Secara harfiah, novel ini nyaman
dibaca, karena memiliki font yang
besar dan spasi yang cukup lebar. Nggak bikin sakit matalah, intinya.
Kini balik
ke pertanyaan, “Kenapa saya tertarik dengan buku ini?” Mungkin kita harus
mundur sedikit ke belakang. Saat itu saya bertugas hampir semingguan di bandara.
Menjalankan tugas kantor. Jemput dan antar delegasi berbagai negara. ‘Nongkrong’
di bandara bikin saya melihat hal-hal menarik yang terjadi. Dari kesedihan
sebuah perpisahan, sampai kebahagian sebuah pertemuan. Dari orang yang
bepergian sendirian, berpasangan, sampai bersama keluarga mereka. Bandara itu
ibarat gerbang sebuah negara. Berbagai karakter manusia, dari berbagai budaya, bersisipan
di tempat tersebut.
Nah, ditengah keramaian yang
ada, selalu ada pemandangan enak buat dilihat. Para pramugari yang datang dan
pergi. Wajar dong sebagai cowok, pasti tertarik sama yang namanya kecantikan. Saking
seringnya melihat mereka mondar-mandir, saya memberi mereka nickname: ‘Bidadari Angkasa’. Bukan hal
yang aneh kan? Mereka sama-sama cantik, dan turunnya juga dari langit. Disini
saya berpikir, bagaimana sih sebenarnya kehidupan para bidadari angkasa ini? Disanalah
lalu saya melihat buku Diary Pramugari ini, terpajang di toko buku.
Di toko
buku, saya baca resensi singkat penulis di sampul belakang. Sebuah hal wajib
sebelum saya membeli sebuah buku. Disana tertulis: “Kehidupan seorang Pramugari tetap akan menjadi daya tarik tersendiri
untuk diperbincangkan. Benarkah kehidupan glamour dari pramugari menjadikan dia
juga bebas seks? Bebas bercinta dengan siapa saja? Atau tetap ada sisi-sisi
spiritual yang tinggi dari seorang pramugari? Apakah menjadi seorang pramugari
itu mudah? Dan apa yang dibanggakan? Seorang pramugari bernama Jingga bertutur
kepada Agung Webe mengenai kehidupannya. Dari sisi agama, cinta, sampai seputar
seks yang ada. Agung Webe kemudian mengemas cerita Jingga yang memang merupakan
‘kisah nyata’ menjadi ramuan novel yang dapat mengaduk-aduk emosi Anda. Novel
ini bercerita jujur tentang kehidupan Pramugari yang tidak ditutup-tutupi.
Dijamin Anda akan mengetahui luar dalam dari kehidupan seorang Pramugari!”
Sebuah
resensi singkat yang cukup menggoda. Ditambah embel-embel ‘merupakan kisah
nyata’. Tanpa berpikir panjang, saya bawa buku ini ke kasir.
Novel
Diary Pramugari memang berkisah tentang sosok Jingga, seorang pramugari. Kisah
ini dimulai dari kota Solo, kota kelahiran sang tokoh utama. Bab awal
menceritakan bagaimana antusiasnya Jingga bisa berangkat ke Jakarta, untuk
mengikuti pelatihan pramugari. Namun, di lain sisi dia juga dilema meninggalkan
ibu dan kedua adik laki-lakinya. Apalagi sang ibu sedang dalam keadaan sakit. Ayah
Jingga sendiri tidak tinggal bersama mereka, karena telah menikah lagi. Sosok
yang ayah yang pergi untuk wanita lain, membekas sangat dalam di hati Jingga. Hal
ini yang membuat Jingga sangat benci dengan sosok laki-laki. Bagi dia,
laki-laki tidak lebih dari sosok yang hanya mementingkan kepuasan kelamin mereka,
ketimbang tanggung jawab terhadap keluarga.
Di
bandara Adi Sucipto, Jingga bertemu dengan Anya, calon pramugari asal
Yogyakarta. Selain mereka berdua, ada juga sosok Puri, calon pramugari asal
Jakarta. Dikisahkan ketiga wanita cantik ini lalu menjadi sahabat dekat. Selama
di masa pelatihan, maupun setelahnya. Uniknya, ketiga sahabat ini memiliki cara
pandang dan karakter yang berbeda, terutama terkait kehidupan, agama dan seks.
Jingga
adalah wanita konservatif, yang memandang agama sebagai tuntunan hidup. Dia
adalah seorang muslim yang taat. Tidak pernah sekalipun dia melupakan sholat. Dalam
memandang kehidupan, Jingga melihatnya sebagai sebuah perjalanan spiritual. Apa
yang terjadi segalanya sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tumbuh dalam
keluarga yang sederhana, membuat Jingga memandang hidup sangat serius. Soal
seks, tentu anda bisa menebaknya sendiri. Bagi Jingga seks adalah sesuatu yang sangat
sakral. Tidak boleh dilakukan sembarangan. Dia hanya akan melakukan itu bersama
sang suami, yang akan dinikahinya secara sah kelak.
Anya
adalah sosok wanita yang lebih modern. Dia memandang agama hanya sebuah alat.
Lebih penting untuk percaya Tuhan, ketimbang memeluk salah satu agama. Bagi
Anya, agama hanya mengkotak-kotakan kehidupan manusia. Kadang kala agama hanya
dijadikan alat kepentingan semata. Maka dari itu dia memilih untuk tidak
beragama, namun tetap percaya ajaran Tuhan. Pun demikian dengan kehidupan. Anya
adalah sosok anak tunggal. Selama orang tuanya tidak ada, Andre, sang kekasih
yang menemani dirinya. Bagi Anya, kehidupan bukanlah sebuah garis yang pasti.
Kitalah yang menentukan jalan kita sendiri. Soal seks, Anya lebih moderat.
Manusia butuh seks, namun tidak boleh dilakukan serampangan. Anya hanya
melakukan itu bersama satu laki-laki, yaitu Andre.
Puri
adalah wanita yang sangat liberal. Bagi dia agama tidak penting. Agama justru
mengekang kita untuk menikmati kehidupan. Mumpung kita hidup ya nikmatilah
kehidupan ini. Bersenang-senanglah selama kita bisa. Hal itu tidak sulit
dilakukan Puri. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dan lahir dari
keluarga mampu, Puri bisa melakukan apa saja dengan sokongan ekonomi. Kehidupan
malam sudah menjadi bagian dari dirinya. Soal seks, ya begitulah. Bagi Puri,
dia adalah sosok seorang Dewi Cinta. Bagi dia, membuat laki-laki takluk menjadi
sebuah kepuasaan. Termasuk takluk di ranjang, pastinya. Entah berapa laki-laki
yang pernah bersama dirinya. Terakhir dia bersama Igo, sang kekasih, yang
memiliki pola hidup tidak jauh berbeda.
Tiga
wanita, dengan tiga karakter yang berbeda. Cukup menarik untuk diikuti
ceritanya.
Singkat
cerita, mereka bertiga resmi menjadi pramugari. Disanalah petualangan angkasa mereka
dimulai. Disini diceritakan suka dukanya menjadi pramugari. Suka, karena bisa
mengunjungi tempat-tempat baru, baik dalam maupun luar negeri. Duka, ketika menghadapi
penumpang jutek, sok tahu, sampai pejabat yang sok kuasa. Bagaimana ketika
Jingga tidak sengaja menumpahkan minuman di pakaian penumpang. Bagaimana dia
dicaci-maki penumpang, padahal itu bukan murni kesalahan dia. Turbulensi membuat
pesawat sedikit terguncang. Bagaimana dia dikata-katai sebagai ‘pelayan’ tidak
becus, dan membandingkan Jingga dengan pembantunya di rumah. Ingin marah, tapi
tugasnya adalah membuat penumpang nyaman. Belum lagi harus menghadapi penumpang
yang tidak mau mematikan ponsel. Dia malah balik diumpat kasar. Dan banyak lagi
masalah-masalah lain, yang menimbulkan dilema, antara kewajiban dan emosi
sebagai manusia biasa. Disini juga diceritakan bagaimana perbedaan karakter penumpang
dalam dan luar negeri.
Hati saya
cukup terketuk membacanya. Bagaimana tugas seorang pramugari itu tidak mudah. Mereka
harus ada siap di bandara tiga jam sebelum jam lepas landas. Mereka harus
memastikan kabin pesawat benar-benar aman dan nyaman. Keselamatan penumpang
adalah yang utama.
Lain kali
ketika saya naik pesawat, saya harus lebih menghormati lagi awak kabin. Paling
tidak tersenyumlah pada mereka. Sedikit ucapan terima kasih ketika membantu
kita, itu juga sebuah penghargaan buat mereka. Perhatikan mereka ketika memberi
instruksi alat keselamatan, juga merupakan bentuk penghargaan. Ketika turun
dari pesawat, beri senyuman dan ucapkan terima kasih pada mereka. Terlihat
sederhana, namun sangat berarti buat mereka. Kita kan tidak tahu kondisi mereka
saat itu. Bisa saja mereka sangat lelah, bisa saja keluarga mereka sedang
sakit, atau sedang ada masalah dengan awak kabin lainnya. Mereka berusaha tetap
tersenyum dan terus menjalankan tugas dengan baik. Hargailah mereka. Itu adalah
sebuah catatan penting untuk diri saya, setelah membaca novel ini.
Sisanya,
anda bisa membaca novel ini sendiri. Kehidupan Jingga, Anya dan Puri cukup
menarik untuk diikuti. Terutama Jingga sebagai tokoh utama. Kehidupan dan cara
pandang Jingga tentang kehidupan dan profesinya sebagai pramugari. Twist ceritanya pun cukup dikemas dengan
baik. Bagaimana pengalaman traumatik dia di masa kecil, turut membentuk
kebenciannya terhadap laki-laki. Bagaimana dia harus kehilangan satu per satu
sahabat baiknya. Bagaimana akhirnya dia menemukan cinta. Bagaimana akhirnya dia
menemukan kenyataan tentang jati dirinya. Dan bagaimana secara spritiual dia
menemukan makna kehidupan. Sangat menarik.
Sebagai
sebuah bacaan, novel Diary Pramugari ini cukup menghibur. Hanya saja, satu yang
saya nilai cukup mengganggu. Penekanan prinsip-prinsip hidup Jingga, yang terus
di ulang-ulang di beberapa bab. Seolah-olah penulis ingin pembaca memahami betul
prinsip-prinsip ini, sebagai gambaran diri seorang Jingga. Bagus sih tujuannya,
tapi justru ini menjadi blunder dan
membuat jenuh. Membuat aliran cerita yang bagus menjadi sedikit tersendat. Diluar
itu, novel ini sangat baik dalam penulisannya.
Oya, satu lagi. Saya
sangat tertarik dengan gambaran penulis tentang Bali. Pendapat Jingga sih
sebenarnya tentang Bali. Ada di Bab ke-20 yang berjudul ‘Denpasar’. Sebagai
pramugari baru, Jingga sangat menikmati Bali. Kalau pramugari lama mah pasti sudah bosen banget. Pada
sebuah kesempatan Anya mengajak Jingga berkunjung ke sebuah cafe di kawasan
Kuta. Ketika Jingga melihat suasana yang ada, dia berujar, “Kami menikmati
suasana malam Kuta sambil minum kopi dengan camilan kalamari. Beberapa bule
yang kulihat sedang asyik bercanda sambil tertawa. Cewek-cewek jepang yang ada
duduk bersama guide yang merangkap pacar sementaranya. Ada yang tidak
menghiraukan sekitar dengan berciuman bibir sangat mesranya. Ada kesan sangat
bebas di sini. Kesan dunianya bule terasa banget. Bali…… Di mana Balimu? Di
mana Baliku?”
Jingga
lanjut berujar, “Walaupun aku belum pernah ke Bali sebelumnya, tetapi
bayanganku tentang Bali tidak seperti ini. Ini bukan Bali, menurutku ini adalah
Amerika! Aku masih melihat sekeliling. Mungkinkah kita kehilangan kebudayaan
asli kita dan menggadaikannya hanya untuk sebuah keping emas? Apa yang membuat
Bali bisa seperti ini? Mengapa banyak di antara kita, bangsa sendiri tega
merusak dan lambat laun menghilangkan budaya asli Nusantara? Setiap jalan,
setiap lorong, setiap keramaian pasti akan ada bar di sini. Aku menjumpai begitu banyak bar. Bule-bule dan orang asing lainnya beserta para pemandu banyak
yang nongkrong dengan minuman alkoholnya yang sangat bebas. Bukan! Ini bukan
Indonesia! Ini bukan Bali!”
Dueeer! Hati saya tersentuh
membaca kedua pandangan di atas. Terlepas apakah benar Jingga yang mengatakan hal
ini, atau penulis menyisipkan opini pribadinya ke dalam tulisan. Mengingat saya
masih percaya kalau novel ini diangkat dari kisah nyata. Tokoh Jingga beneran
ada di dunia ini, bukan tokoh fiksi. Entah Jingga itu nama asli, atau samaran.
Namun, saya sangat setuju dengan panjangan Jingga tersebut. Saya juga melihat
hal itu saat berkunjung ke Kuta. Saya seperti tidak berada di Bali. Kuta
bukanlah Bali, di mata saya pribadi. Mbak Jingga, kalau kita bertemu dan
ngobrol, sepertinya kita akan cocok hahahaha…
Dan sebagai
penutup saya ucapkan selamat membaca, apabila disaatnya nanti novel ini sudah ada
di tangan anda.
Denpasar, 26 Juni 2017
#NulisRandom2017 #NulisBuku
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar