“Bangun Do,
bangun...”
Sayup-sayup
diantara lelapnya tidur aku mendengar suara. Pelan-pelan kesadaranku pulih. Aku
merasakan tubuhku terguncang-guncang. Kurasakan panasnya matahari menyentuh
kakiku. Pasti korden kamarku sudah terbuka.
“Bangun
nggak? Aku siram air nih!” Mengganggu banget sih ni orang, begitu pikirku.
Masih ngantuk tahu, umpatku dalam hati.
Suara itu
tetap berteriak-teriak, sampai kesadaranku benar-benar pulih. Ya ampun, aku
mengenal suara itu. Suara seorang wanita. Kenapa dia bisa ada di kamarku? Pasti
ibuku yang memberi dia ijin masuk. Ibuku memang sangat menyukai dirinya. Ibarat
sosok anak gadis yang tidak pernah dia miliki, mengingat anak-anaknya semua lelaki.
“Iya, iya
bentar lagi,” ucapku enggan. Kutarik lagi selimut menutupi tubuhku.
Tidak
lama selimut itu kembali tergeser. Pergi menjauh dari tubuhku. Akhirnya aku
menyerah. Dengan penuh keengganan aku bangkit. Dengan berat hati aku buka
mataku. Ternyata dugaanku tidak salah. Dia memang Marisha. Teman, sahabat,
pacar? Duh nggak ngerti deh sama hubungan kami. Nyaman jalan berdua, kami tidak
pernah memperjelas status hubungan kami. Nanti juga kalian akan mengerti.
Semoga, karena aku sendiri tidak mengerti.
Dia
sedang berkacak pinggang di depanku, dengan kening berkerut. Itu berarti dia
sedang kesal. Dua tahun, lebih satu minggu, kami sudah bersama. Aku sudah terlalu
hapal dengan ekspresi itu.
“Kenapa
Sha, kamu ganggu aku pagi-pagi gini?”
“Aahh
pagi? Nggak salah? Ini udah jam sebelas tahu!”
“Ini hari minggu tahu, jam
sebelas itu masih pagi...”
“Nggak
peduli, pokoknya mandi sekarang. Kamu pasti lupa janji kita kan?”
“Janji
yang mana ya?” Giliran dahiku yang berkerut.
“Tuh kan!
Aku kan mau ngenalin kamu sama temenku...”
Aku
langsung teringat. Dua hari lalu Marisha memang menelponku. Katanya mau
mengenalkan aku dengan salah satu teman wanitanya. Teman satu komunitas kalau
tidak salah. Waktu itu aku iyakan saja. Kini aku menyesal melakukan itu.
Mendadak
handuk terbang ke wajahku. Dilengkapi dengan teriakan, “Cepetan mandi!”
Ya ampun
Tuhan... Ini anak bukan pacar tapi kok ngatur-ngatur. Dan anehnya aku masih saja
menuruti kemauan dia. Inikah yang namanya cinta? Ah entahlah... Yang jelas aku
musti mandi. Kalau tidak, volume suara Marisha akan makin meninggi. Aku masih
sayang gendang telingaku.
Keluar
dari kamar mandi, Marisha sudah tidak ada lagi di kamarku. Mungkin dia sudah
turun, pikirku. Sehabis berpakaian, aku turun ke ruang tamu. Disana aku melihat
ibuku sedang ngobrol dengan Marisha. Sesekali terdengar tawa di sela obrolan.
Mereka memang sangat akrab.
“Kamu itu
cocok loh sama Marisha, kenapa nggak dipacarin aja gitu?” Begitu ibuku berujar di
suatu waktu.
“Dia itu
pacar orang Bu, masa aku pacarin sih...”
Ibuku
kaget. “Lah, artinya selama ini kamu jalan sama pacar orang?”
Aku
mengangguk. “Udah tunangan malah.”
Dan sehabis
itu, ibuku tidak pernah lagi berharap Marisha menjadi menantunya. Soal hubungan
kami, ibuku tidak ikut campur. Katanya itu urusan anak muda jaman sekarang.
Yang penting anak orang jangan diapa-apain, itu saja pesan ibuku. Kalaupun aku
mengajak Marisha ke rumah, dengan senang hati ibuku menyambutnya. Kadang malah
mereka kelihatan asyik berdua. Entah ngobrolin apa. Gosip artis mungkin.
“Nah itu
anaknya turun,” ujar ibuku ketika melihatku di tangga.
Marisha
langsung berdiri, dan mengucapkan permisi ke ibuku.
“Kasih
aku sarapan dulu kenapa?” Jelas dong aku protes, saat Marisha mengajak untuk
langsung berangkat. Buru-buru amat sih.
“Ntar aja
kita makan, udah telat nih...”
Dan
lagi-lagi aku dipihak yang kalah. Ibuku bahkan tidak membelaku. Dia malah
menyalahkan aku. Siapa suruh bangunnya siang, begitu kata ibuku. Dengan enggan
aku mengikuti Marisha keluar rumah. Dengan kondisi perut keroncongan, dia pun
masih memaksa aku menyetir. Tega nian sih dirimu Sha, Sha...
Marisha
mengajak aku ke sebuah cafe. Disana yang kami hendak temui rupanya belum datang.
Kesempatan itu aku gunakan untuk memesan makanan. Entah itu statusnya sarapan,
atau makan siang. Marisha sendiri hanya memesan minuman. Masih saja dia konsinten
dengan pola dietnya. Aku sih peduli amat. Namanya lapar ya makan, titik.
Sambil
makan, Marisha menceritakan tentang temannya itu. Bla, bla, bla... entah apalah lagi itu yang dia katakan. Orang lagi
makan kok diajak ngobrol, ya nggak konsenlah. Semua ini dimulai akibat rasa
bersalah dirinya padaku. Dia merasa bersalah harus meninggalkan aku. Dia harus balik
ke kotanya, untuk menikah dengan sang tunangan. Bahkan dia sudah resign dari pekerjaan. Kalau aku pergi,
terus yang ngurusin kamu siapa? Begitu katanya. Pacarku aja nggak gitu-gitu
amat dulu sewaktu putus. Kalian heran kan? Sama, aku juga. Tadi diawal kan
sudah aku bilang, kalau hubungan kami berdua memang rumit.
Aku
sendiri sih tidak masalah dengan hal itu. Bagiku kebersamaan itu, entah
persahabatan atau pacaran, tidak bisa dipaksakan. Kalau memang tidak bisa
bersama, ya mau gimana lagi. Malah enam bulan lalu, Marisha sudah meminta aku
untuk mencari pacar. Agar dia bisa pergi tanpa rasa khawatir. Sebuah pemikiran
yang aneh. Yah namanya juga wanita, kadang bisa lebih rumit dari rumus Fisika
kan?
Kesal aku
tidak kunjung dapat pacar, Marisha jadi gusar. Mulailah aksi jodoh-menjodohkan
ini dimulai. Wanita yang akan kami temui hari ini, entah sudah wanita yang
keberapa. Aku sendiri sudah malas menghitungnya. Semua berakhir sia-sia. Namun
Marisha tidak kunjung putus asa.
“Nah, itu
dia datang...” Marisha berdiri dengan antusias.
Dia
berjalan mendekati wanita yang baru saja datang. Mereka bersalaman, cium pipi
kanan dan pipi kiri. Diajaknya wanita itu ke meja kami. Aku ikut berdiri. Kusambut
juluran tangan wanita itu. Kutambahi dengan sedikit senyuman. Cantik juga,
pikirku. Dinda, demikian namanya.
Bla, bla, bla... kami bertiga
mulai bercakap-cakap. Secara garis besar Dinda cukup baik. Ramah dan supel.
Namun namanya garis jodoh siapa yang tahu kan? Kadang bisa berakhir baik, kadang
bisa berakhir mengenaskan. Apalagi garis jodohku yang sedemikian suram. Tidak
terasa dua jam kami sudah berbincang.
“Bagaimana
dengan si Dinda?” Tanya Marisha penuh selidik.
Bingung
aku menjawabnya. Aku tahu kalau aku salah jawab, Marisha bisa mencocorku dengan
omelan. Aku sedang lagi tidak mood
diomeli. Sebaiknya cari aman saja. Ditambah aku sedang menyetir.
“Lumayan,”
sahutku singkat.
“Ada klik?”
“Nggak
bisa janji sih.”
“Bulan
depan aku balik lagi kesini. Pokoknya aku musti dapat kabar baik.”
“Oke,” sahutku lebih singkat lagi.
*****
Tebak apa
yang terjadi kemudian. Belum ada satu bulan, Marisha sudah muncul lagi di
kamarku. Menggoyang-goyang tubuhku. Membangunkan paksa aku dari tidur. Lengkap
dengan ancaman mengguyur aku dengan air. Sebuah dejavu yang teramat sangat menyebalkan.
“Sha,
kamu harus berhenti melakukan hal ini.”
“Melakukan
apa?”
“Ngebangunin
aku dengan cara seperti ini...” Protesku.
“Oke. Tapi sekarang cepetan mandi!”
Handuk lagi-lagi
melayang kembali ke wajahku. Dan dengan langkah berat aku menuju kamar mandi. Kamu
pernah punya sahabat macam Marisha ini? Tidak? Beruntunglah dirimu.
Tidak
berlama-lama, kami kembali duduk di sebuah cafe. Tempat yang sama, dimana
terakhir kami bertemu.
“Terus,
terus, terus... bagaimana?”
Aku
berhenti menyeruput juice dari gelas,
dan mendongakkan kepala. “Bagaimana apanya?”
“Kamu
sama Dinda? Perkembangannya lancar?”
“No,” jawabku singkat. Kugelengkan kepala
guna mempertegas jawaban.
“AH?
GAGAL LAGI?”
Dengan
berat hati aku mengangguk.
“Cewek
kayak apa sih yang kamu cari Do?”
Yang kayak
kamu Sha, kayak kamu. Pikiranku hendak menjawab, namun mulutku tidak kunjung bersuara.
Aku lebih memilih untuk mengangkat bahu sebagai pilihan jawaban. Aku memang
kerap sulit mengekspresikan diri lewat suara. ‘Penyakitku’ sejak dari dulu.
Lebih sering semua itu terungkapkan lewat tulisan.
“Dua
bulan lagi aku nikah loh Do, waktuku nggak banyak lagi.” Marisha mulai
ngomel-ngomel nggak jelas. Kalau sudah gini lebih baik aku diam saja. “Bla, bla, bla... ya udah, besok aku cariin
temen lagi buat dikenalin ke kamu.”
Aku
menjulurkan tanganku, dan memegang tangan Marisha di atas meja. “Sha, udah deh.
Udah waktunya untuk berhenti. Kamu harus berhenti ngenalin aku ke temen-temen
kamu.”
“Tapi aku
ngelakuin ini semua karena aku sayang sama kamu.”
“Aku juga
ngelakuin ini semua karena aku sayang sama kamu. Tapi ini semua harus dihentikan
Sha, kamu harus fokus ngejalanin hidup kamu sendiri...”
“Terus
bagaimana dengan kamu?”
“Aku juga
harus fokus ngejalanin hidup aku. Ada nggak ada pacar, aku bahagia dengan hidupku
sekarang Sha, percaya deh.”
Marisha
terdiam. Dia nampak bingung harus berkata apa lagi.
“Kita
masih tetep bisa saling kontak kok, asal jangan nelpon aku soal jodoh-jodohan
lagi. Aku capek.” Aku tertawa. Pun demikian dengan Marisha.
Kami
kemudian berpisah. Dengan komitmen untuk tetap bersahabat. Dia menawarkan diri
untuk mengantar, tapi aku memilih untuk naik bus saja.
Kulepas
sekali lagi cintaku itu untuk pergi. Ketahuilah Sha, sejujurnya aku masih berat
untuk melepasmu. Ide kamu untuk menjodohkan aku, hanya aku gunakan agar kita
bisa tetap bertemu. Tetap bisa terus melihat wajahmu. Berbincang denganmu,
melihat senyummu. Namun aku tahu, suatu saat semua ini harus diakhiri. Aku
harus belajar untuk merelakanmu. Demikian pun dengan dirimu. Merelakan tidak
akan pernah bisa aku lakukan, apabila kita terus bertemu.
Mulai hari
ini dan seterusnya, biarlah waktu yang menghapus kenanganku atas sosok
cantikmu. Aku merelakanmu.
Denpasar, 27 Juni 2017
#NulisRandom2017 #NulisBuku
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar