Selasa, 27 Juni 2017

Mencari Cinta Untuk Cinta


“Bangun Do, bangun...”
Sayup-sayup diantara lelapnya tidur aku mendengar suara. Pelan-pelan kesadaranku pulih. Aku merasakan tubuhku terguncang-guncang. Kurasakan panasnya matahari menyentuh kakiku. Pasti korden kamarku sudah terbuka.
“Bangun nggak? Aku siram air nih!” Mengganggu banget sih ni orang, begitu pikirku. Masih ngantuk tahu, umpatku dalam hati.
Suara itu tetap berteriak-teriak, sampai kesadaranku benar-benar pulih. Ya ampun, aku mengenal suara itu. Suara seorang wanita. Kenapa dia bisa ada di kamarku? Pasti ibuku yang memberi dia ijin masuk. Ibuku memang sangat menyukai dirinya. Ibarat sosok anak gadis yang tidak pernah dia miliki, mengingat anak-anaknya semua lelaki.
“Iya, iya bentar lagi,” ucapku enggan. Kutarik lagi selimut menutupi tubuhku.
Tidak lama selimut itu kembali tergeser. Pergi menjauh dari tubuhku. Akhirnya aku menyerah. Dengan penuh keengganan aku bangkit. Dengan berat hati aku buka mataku. Ternyata dugaanku tidak salah. Dia memang Marisha. Teman, sahabat, pacar? Duh nggak ngerti deh sama hubungan kami. Nyaman jalan berdua, kami tidak pernah memperjelas status hubungan kami. Nanti juga kalian akan mengerti. Semoga, karena aku sendiri tidak mengerti.
Dia sedang berkacak pinggang di depanku, dengan kening berkerut. Itu berarti dia sedang kesal. Dua tahun, lebih satu minggu, kami sudah bersama. Aku sudah terlalu hapal dengan ekspresi itu.
“Kenapa Sha, kamu ganggu aku pagi-pagi gini?”
“Aahh pagi? Nggak salah? Ini udah jam sebelas tahu!”
“Ini hari minggu tahu, jam sebelas itu masih pagi...”
“Nggak peduli, pokoknya mandi sekarang. Kamu pasti lupa janji kita kan?”
“Janji yang mana ya?” Giliran dahiku yang berkerut.
“Tuh kan! Aku kan mau ngenalin kamu sama temenku...”
Aku langsung teringat. Dua hari lalu Marisha memang menelponku. Katanya mau mengenalkan aku dengan salah satu teman wanitanya. Teman satu komunitas kalau tidak salah. Waktu itu aku iyakan saja. Kini aku menyesal melakukan itu.
Mendadak handuk terbang ke wajahku. Dilengkapi dengan teriakan, “Cepetan mandi!”
Ya ampun Tuhan... Ini anak bukan pacar tapi kok ngatur-ngatur. Dan anehnya aku masih saja menuruti kemauan dia. Inikah yang namanya cinta? Ah entahlah... Yang jelas aku musti mandi. Kalau tidak, volume suara Marisha akan makin meninggi. Aku masih sayang gendang telingaku.
Keluar dari kamar mandi, Marisha sudah tidak ada lagi di kamarku. Mungkin dia sudah turun, pikirku. Sehabis berpakaian, aku turun ke ruang tamu. Disana aku melihat ibuku sedang ngobrol dengan Marisha. Sesekali terdengar tawa di sela obrolan. Mereka memang sangat akrab.
“Kamu itu cocok loh sama Marisha, kenapa nggak dipacarin aja gitu?” Begitu ibuku berujar di suatu waktu.
“Dia itu pacar orang Bu, masa aku pacarin sih...”
Ibuku kaget. “Lah, artinya selama ini kamu jalan sama pacar orang?”
Aku mengangguk. “Udah tunangan malah.”
Dan sehabis itu, ibuku tidak pernah lagi berharap Marisha menjadi menantunya. Soal hubungan kami, ibuku tidak ikut campur. Katanya itu urusan anak muda jaman sekarang. Yang penting anak orang jangan diapa-apain, itu saja pesan ibuku. Kalaupun aku mengajak Marisha ke rumah, dengan senang hati ibuku menyambutnya. Kadang malah mereka kelihatan asyik berdua. Entah ngobrolin apa. Gosip artis mungkin.
“Nah itu anaknya turun,” ujar ibuku ketika melihatku di tangga.
Marisha langsung berdiri, dan mengucapkan permisi ke ibuku.
“Kasih aku sarapan dulu kenapa?” Jelas dong aku protes, saat Marisha mengajak untuk langsung berangkat. Buru-buru amat sih.
“Ntar aja kita makan, udah telat nih...”
Dan lagi-lagi aku dipihak yang kalah. Ibuku bahkan tidak membelaku. Dia malah menyalahkan aku. Siapa suruh bangunnya siang, begitu kata ibuku. Dengan enggan aku mengikuti Marisha keluar rumah. Dengan kondisi perut keroncongan, dia pun masih memaksa aku menyetir. Tega nian sih dirimu Sha, Sha...
Marisha mengajak aku ke sebuah cafe. Disana yang kami hendak temui rupanya belum datang. Kesempatan itu aku gunakan untuk memesan makanan. Entah itu statusnya sarapan, atau makan siang. Marisha sendiri hanya memesan minuman. Masih saja dia konsinten dengan pola dietnya. Aku sih peduli amat. Namanya lapar ya makan, titik.
Sambil makan, Marisha menceritakan tentang temannya itu. Bla, bla, bla... entah apalah lagi itu yang dia katakan. Orang lagi makan kok diajak ngobrol, ya nggak konsenlah. Semua ini dimulai akibat rasa bersalah dirinya padaku. Dia merasa bersalah harus meninggalkan aku. Dia harus balik ke kotanya, untuk menikah dengan sang tunangan. Bahkan dia sudah resign dari pekerjaan. Kalau aku pergi, terus yang ngurusin kamu siapa? Begitu katanya. Pacarku aja nggak gitu-gitu amat dulu sewaktu putus. Kalian heran kan? Sama, aku juga. Tadi diawal kan sudah aku bilang, kalau hubungan kami berdua memang rumit.
Aku sendiri sih tidak masalah dengan hal itu. Bagiku kebersamaan itu, entah persahabatan atau pacaran, tidak bisa dipaksakan. Kalau memang tidak bisa bersama, ya mau gimana lagi. Malah enam bulan lalu, Marisha sudah meminta aku untuk mencari pacar. Agar dia bisa pergi tanpa rasa khawatir. Sebuah pemikiran yang aneh. Yah namanya juga wanita, kadang bisa lebih rumit dari rumus Fisika kan?
Kesal aku tidak kunjung dapat pacar, Marisha jadi gusar. Mulailah aksi jodoh-menjodohkan ini dimulai. Wanita yang akan kami temui hari ini, entah sudah wanita yang keberapa. Aku sendiri sudah malas menghitungnya. Semua berakhir sia-sia. Namun Marisha tidak kunjung putus asa.
“Nah, itu dia datang...” Marisha berdiri dengan antusias.
Dia berjalan mendekati wanita yang baru saja datang. Mereka bersalaman, cium pipi kanan dan pipi kiri. Diajaknya wanita itu ke meja kami. Aku ikut berdiri. Kusambut juluran tangan wanita itu. Kutambahi dengan sedikit senyuman. Cantik juga, pikirku. Dinda, demikian namanya.
Bla, bla, bla... kami bertiga mulai bercakap-cakap. Secara garis besar Dinda cukup baik. Ramah dan supel. Namun namanya garis jodoh siapa yang tahu kan? Kadang bisa berakhir baik, kadang bisa berakhir mengenaskan. Apalagi garis jodohku yang sedemikian suram. Tidak terasa dua jam kami sudah berbincang.
“Bagaimana dengan si Dinda?” Tanya Marisha penuh selidik.
Bingung aku menjawabnya. Aku tahu kalau aku salah jawab, Marisha bisa mencocorku dengan omelan. Aku sedang lagi tidak mood diomeli. Sebaiknya cari aman saja. Ditambah aku sedang menyetir.
“Lumayan,” sahutku singkat.
“Ada klik?”
“Nggak bisa janji sih.”
“Bulan depan aku balik lagi kesini. Pokoknya aku musti dapat kabar baik.”
Oke,” sahutku lebih singkat lagi.
*****
Tebak apa yang terjadi kemudian. Belum ada satu bulan, Marisha sudah muncul lagi di kamarku. Menggoyang-goyang tubuhku. Membangunkan paksa aku dari tidur. Lengkap dengan ancaman mengguyur aku dengan air. Sebuah dejavu yang teramat sangat menyebalkan.
“Sha, kamu harus berhenti melakukan hal ini.”
“Melakukan apa?”
“Ngebangunin aku dengan cara seperti ini...” Protesku.
Oke. Tapi sekarang cepetan mandi!”
Handuk lagi-lagi melayang kembali ke wajahku. Dan dengan langkah berat aku menuju kamar mandi. Kamu pernah punya sahabat macam Marisha ini? Tidak? Beruntunglah dirimu.
Tidak berlama-lama, kami kembali duduk di sebuah cafe. Tempat yang sama, dimana terakhir kami bertemu.
“Terus, terus, terus... bagaimana?”
Aku berhenti menyeruput juice dari gelas, dan mendongakkan kepala. “Bagaimana apanya?”
“Kamu sama Dinda? Perkembangannya lancar?”
No,” jawabku singkat. Kugelengkan kepala guna mempertegas jawaban.
“AH? GAGAL LAGI?”
Dengan berat hati aku mengangguk.
“Cewek kayak apa sih yang kamu cari Do?”
Yang kayak kamu Sha, kayak kamu. Pikiranku hendak menjawab, namun mulutku tidak kunjung bersuara. Aku lebih memilih untuk mengangkat bahu sebagai pilihan jawaban. Aku memang kerap sulit mengekspresikan diri lewat suara. ‘Penyakitku’ sejak dari dulu. Lebih sering semua itu terungkapkan lewat tulisan.
“Dua bulan lagi aku nikah loh Do, waktuku nggak banyak lagi.” Marisha mulai ngomel-ngomel nggak jelas. Kalau sudah gini lebih baik aku diam saja. “Bla, bla, bla... ya udah, besok aku cariin temen lagi buat dikenalin ke kamu.”
Aku menjulurkan tanganku, dan memegang tangan Marisha di atas meja. “Sha, udah deh. Udah waktunya untuk berhenti. Kamu harus berhenti ngenalin aku ke temen-temen kamu.”
“Tapi aku ngelakuin ini semua karena aku sayang sama kamu.”
“Aku juga ngelakuin ini semua karena aku sayang sama kamu. Tapi ini semua harus dihentikan Sha, kamu harus fokus ngejalanin hidup kamu sendiri...”
“Terus bagaimana dengan kamu?”
“Aku juga harus fokus ngejalanin hidup aku. Ada nggak ada pacar, aku bahagia dengan hidupku sekarang Sha, percaya deh.”
Marisha terdiam. Dia nampak bingung harus berkata apa lagi.
“Kita masih tetep bisa saling kontak kok, asal jangan nelpon aku soal jodoh-jodohan lagi. Aku capek.” Aku tertawa. Pun demikian dengan Marisha.
Kami kemudian berpisah. Dengan komitmen untuk tetap bersahabat. Dia menawarkan diri untuk mengantar, tapi aku memilih untuk naik bus saja.
Kulepas sekali lagi cintaku itu untuk pergi. Ketahuilah Sha, sejujurnya aku masih berat untuk melepasmu. Ide kamu untuk menjodohkan aku, hanya aku gunakan agar kita bisa tetap bertemu. Tetap bisa terus melihat wajahmu. Berbincang denganmu, melihat senyummu. Namun aku tahu, suatu saat semua ini harus diakhiri. Aku harus belajar untuk merelakanmu. Demikian pun dengan dirimu. Merelakan tidak akan pernah bisa aku lakukan, apabila kita terus bertemu.
Mulai hari ini dan seterusnya, biarlah waktu yang menghapus kenanganku atas sosok cantikmu. Aku merelakanmu.

Denpasar, 27 Juni 2017

#NulisRandom2017 #NulisBuku
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar