Minggu
lalu kegiatan ‘ngebolang’ (baca:
jalan-jalan, sekalian cuci mata), saya jadwalkan menuju kabupaten Bangli.
Satu-satunya kabupaten di Bali, yang tidak memiliki pantai. Dengar-dengar di
sana ada sebuah air terjun keren. Namanya air terjun Kuning. Nama Kuning,
berasal dari nama desa dimana lokasi air terjun itu berada. Kenapa air terjun
lagi? Kan sudah bilang saya suka mainan air. Nggak ada pantai, air terjun (lagi)
pun jadi.
Sedikit
anekdot sebelum memulai. Kecintaan saya pada air ini pernah menjadi guyonan
teman. Katanya, “Kamu ini Aries, kambing gunung kok suka main air?” Saya jawab,
“Aku ini Pisces yang terjebak di tubuh Aries.” Balik dia berujar, “Oh pantesan nggak agresif.” Loh, pernyataan macam apa itu? Maksudnya
apa? Oke garing, skip...
Perjalanan
pun dimulai. Saya memilih lewat Batubulan, ketimbang Bypass Ida Bagus Mantra.
Tidak ada sebab khusus sih, cuma lagi pengen aja. Tiba di Desa Blahbatuh, saya
melihat sebuah plang bertuliskan:
“Blangsiang Waterfall”. Sebagai pencinta air yang jatuh dari ketinggian, tentu
saya penasaran. Apalagi di plang itu
bertuliskan hanya 500 meter, masuk dari Pasar Yadnya, Blahbatuh. Boleh juga nih
kalau mampir sebentar, pikir saya. Maka saya ikuti panah penunjuk jalan, dan
petualangan saya pun dimulai.
Tanda
panah itu membawa saya ke sebuah tanah lapang, di sebelah kuburan. Tanah lapang
itu ternyata digunakan sebagai tempat parkir. Satu orang laki-laki paruh baya,
berpakaian adat Bali, langsung menyapa saya.. “Mau ke air terjun?” Begitu tanya
dia. Saya iyakan. Kesempatan itu saya pakai bertanya tentang air terjun
Blangsiang. Tidak banyak informasi yang saya dapatkan. Yang jelas akses ke air
terjun itu belum lama dibuka. Tergolong anak baru di dunia per-airterjun-an. Dan
ada sebuah toko oleh-oleh besar di Bali yang menjadi sponsor. Memang terlihat
sih di plang-nya.
Setelah membayar tiket masuk
sebesar 10.000 rupiah, sudah termasuk parkir, saya melangkah menuju gerbang
masuk. Saya sudah ditunggu oleh deretan anak tangga. Mana lumayan banyak lagi. Uuhh, ada hubungan apa sih antara air
terjun dan anak tangga. Sepertinya mereka benar-benar berjodoh. Dimana ada air
terjun, disana ada deretan anak tangga.
“Yang sabar
ya lututku,” begitu ucap saya, sebelum mulai melangkah turun. Dia memang sudah
terlalu bekerja keras. Mengingat semua pantai dan air terjun yang pernah saya
kunjungi, rata-rata bertangga ria. Semoga lutut saya belum lelah untuk
mengabdi.
Deretan tangga
yang ada sudah tertata rapi. Di semen dengan baik dan permanen. Benar-benar
sudah dipersiapkan untuk sebuah objek wisata. Malah di satu sudut saya melihat
baliho kecil bertuliskan. Welcome to
Blangsinga Waterfall. Not bad,
sudah ber-English ria Bro!
Baru
beberapa puluh anak tangga, mata saya sudah menangkap kumpulan orang-orang.
Telinga saya juga sudah mendengar deru air. Sisa tangga ternyata tidak banyak.
Tidak perlu waktu lama buat saya sampai di anak tangga terakhir. Ternyata saya
sampai di tepi sebuah sungai. Aliran air sungai itulah yang kemudian terjatuh,
dan menjadi air terjun. Ternyata kini saya berada di atas air terjun. Keren
nih, seru saya dalam hati. Pemandangan alamnya nggak kalah keren. Di atas sini
ada terlihat beberapa orang, di bawah sana jauh lebih banyak lagi.
Seperti
biasa, kunjungan ke objek wisata Bali pasti didominasi turis asing. Dan kali
ini rata-rata mereka berbikini. Mata siapa yang tidak terhibur coba hahaha...
Selesai
beberapa jeprat-jepret, saya melongok
turun. Lah, tangga lagi, tangga
lagi... Kali ini bukan tangga semen, namun tangga baja. Sampai di tangga
terakhir, saya tiba di sebuah tebing, tepat di samping air terjun. Sebuah flash back berkelebat di benak saya. Kok
perasaan tebing ini pernah saya lihat ya, demikian saya membatin. Saya
kesampingkan perasaan itu, dan mengambil lagi beberapa foto.
Dari
tebing tersebut, ada jalan setapak untuk turun ke dasar air terjun. Saya ikuti
jalan tanah itu. Kilasah flash back
semakin kuat. Terutama saat sampai di bawah. Saya lihat air terjun itu dengan
seksama. “Loh ini kan Tegenungan?”
Seru saya, dengan dahi berkerut. Saya pernah datang ke tempat ini. Dan saya cukup
yakin dengan apa yang saya lihat. Itu adalah air terjun Tegenungan. Guna
meyakinkan diri, saya naik deretan tangga lain. Di atas sana ada deretan penjual-penjual
souvenir bernuasa Bali. Pada salah
satu pedagang saya bertanya, menggunakan bahasa Bali.
“Apa nama
air terjun di bawah ya Pak?”
“Air
terjun Tegenungan.”
Nah loh, kan dugaan
saya benar adanya. Saya memiliki ingatan yang cukup kuat, terutama soal tempat.
Terutama tempat yang indah dan berkesan. Tegenungan salah satunya.
“Tapi kok
orang di atas sana bilang kalau air terjun ini namanya Blangsinga ya?” Tetap
dalam bahasa Bali, sambil menunjuk ke deretan tangga baja, dimana saya datang
tadi.
Bapak itu
tersenyum. “Memang air terjun ini ada di dua desa. Kalau datangnya dari Sukawati,
namanya Tegenungan. Kalau datang dari Blahbatuh namanya Blangsinga.” Jawaban
yang sama juga saya dapatkan dari penjaga lainnya. Sekedar cek dan ricek
informasi.
Perbedaan
keduanya hanya dari pembayaran. Kalau anda datang dari Sukawati, anda akan kena
parkir dan tiket masuk. Total 15.000 rupiah kalau tidak salah. Nah, apabila
anda ingin naik lagi ke tangga baja, anda harus membayar lagi 10.000 rupiah,
karena beda wilayah desa. Namun, kalau anda datang dari Blahbatuh, anda cukup
membayar sekali, 10.000 rupiah saja. Lebih irit 15.000 rupiah kan? Ngerti kan
hitung-hitungannya? Matematika sederhana banget kok.
Saya
tertawa dalam hati. Kok bisa ya satu air terjun punya dua nama. Pengalaman
canggung ini ibarat kenalan sama cewek, yang anggap saja bernama Wati. Terus
pada suatu kesempatan kita ketemu lagi, eh ternyata namanya Puspa. Cek dan
ricek Puspa dan Wati itu satu orang. Kebayang anehnya kayak apa kan? Hehehe.
Sudah terlanjur ada di sana, ya saya nikmati saja keindahan dari air terjun
Tegenungan, eh Blangsinga ini. Tuh kan,
jadi bingung musti panggil ini air terjun dengan nama apa.
Soal
keindahan air terjun Tegenungan, eh Blangsinga ini, tidak usah dipungkiri lagi
lah. Malah mungkin sudah banyak dari anda yang pernah ke sana. Bisa dibilang
air terjun ini sudah terlalu mainstream.
Dekat dari Denpasar, terus akses jalan sudah sangat baik. Kalau istilah saya,
sudah tidak ada tantangannya lagi. Mau tahu tentang air terjun ini, tanya mbah Google deh. Sudah banyak banget beredar review dan foto-foto dari objek wisata
ini.
*****
Puas
menikmati pemandangan di Tegenungan, eh Blangsinga, perjalanan saya lanjutkan. Lewat
dari kabupaten Gianyar, saya masuk ke kabupaten Bangli. Jalan ke desa Kuning
ternyata tidak jauh, tepat berada di sebelah lapangan Bangli. Sebelum masuk
pusat kota. Jalan menuju desa ini sangat berciri jalan pedesaan. Sudah
beraspal, namun ukurannya kecil, hanya cukup dua mobil berpapasan
pepet-pepetan. Di sisi kanan dan kiri, hamparan padi menghijau sangat
memanjakan mata. Udara yang saya hirup pun terasa sangat segar.
Sebelum
masuk ke daerah desa Kuning, saya tiba terlebih dahulu di desa Tamansari. Tepatnya
di dusun Jelekungkang. Disana saya melihat plang
besi bertuliskan Air Terjun Tukad Melangit, 400 meter. Sama seperti saat di
Blahbatuh, saya dilema juga. Deket nih, kalau mampir masih sempet, begitu pikir
saya. Maka saya susuri jalan setapak tanah, dengan ukuran jauh lebih sempit.
Hanya bisa dilewati satu mobil saja kira-kira. Tanahnya juga basah, sepertinya
habis diguyur hujan.
Ternyata
jalan tersebut buntu. Saya sampai di sebuah tanah lapang, mirip tegalan (baca: kebun). Disana ada sebuah
rumah, dan gubuk kayu sederhana. Saya disambut oleh seorang gadis remaja, dan
seorang ibu paruh baya. “Mau ke air terjun?” Begitu tanya mereka. Loh serasa dejavu ya? Saya mengangguk, dan mulai bertanya-tanya sedikit
tentang air terjun Tukad Melangit tersebut. Dari keduanya, saya tahu kalau air
terjun ini jauh lebih muda lagi. Belum ada satu bulan di buka jalannya. Kata
mereka dulunya, jalan ke bawah masih berupa tebing yang lebat.
Ditengah
percakapan, saya disapa oleh seorang laki-laki paruh baya. Sebut saja namanya
Pak Putu. Dia mengira saya wartawan, karena beberapa kali memang tempat itu
kedatangan awak media. Dia mewanti-wanti kalau mau ditulis, namanya jangan diekspos.
Saya iyakan saja. Mulai kami ngobrol. Terkuak kalau dirinya, dan teman-teman yang
juga membuka jalan ke air terjun Kuning. Namun, karena ada konflik segitiga
antara kelompoknya, pimpinan adat desa Kuning, dan salah satu pemilik perusahaan
air minum disana, mereka tidak lagi mengurus air terjun Kuning. Dari Pak Putu,
saya dapat informasi kalau akses jalan ke air terjun Kuning kini tertutup belukar.
Apa lagi habis hujan seperti ini, jalannya pasti licin. Memang saya sempat bilang
akan ke air terjun itu juga.
Pak Putu
mempromosikan, air terjun Tukad Melangit ini jauh lebih bagus. Walau masih
proses pembersihan, agar lebih layak sebagai objek wisata. Tertarik juga nih
saya untuk turun. Sehabis menaruh uang 5.000 rupiah, ke kotak dana punia (baca: sumbangan sukarela), perjalanan
saya dimulai. Saya susuri jalan setapak tanah kecil. Itu merupakan satu-satunya
akses masuk. Cukup licin karena basah. Kata Pak Putu, nantinya jalan ini akan
di beton, kalau dananya sudah ada. Berjalan 100 meteran, saya menemukan deretan
tangga menurun. Ya ampun, tangga lagi? Lutut oh lutut, kasihan banget dirimu. Mana
tangganya, masih berupa tanah. Terpaksa saya lepas alas kaki, agar tidak slip. Dan mulai melangkah turun.
Perjalanan
turun sangatlah sebuah perjuangan. Beneran, sumpah. Pegangan tangga hanya
berupa bambu, dan di sebelah kanan saya jurang sudah menunggu. Slip dikit, jatuh nih. Saya melangkah
pelan-pelan sekali. Saya masih sayang dengan nyawa saya. Mana masih jomblo lagi kan? Ntar kalau mati siapa
yang nangisin coba? Apes banget kan?
Ditengah
perjalanan, saya bertemu beberapa penduduk asli. Mereka akan naik, sepertinya
habis mandi. Terlihat dari rambut dan tubuh mereka yang masih basah. “Alon-alon manten, belig sajan nike neked
beten.” Begitu kata salah seorang dari mereka, dalam bahasa Bali. Artinya
kurang lebih meminta saya hati-hati, karena licin sampai ke bawah. Saya turuti
dong, sekali lagi saya masih sayang sama nyawa. Mereka sendiri nampak lincah
melangkah. Terlihat sudah terbiasa dengan medan licin seperti itu.
Dengan
penuh perjuangan, akhirnya saya tiba di tangga terakhir. Di bawah sini rupanya
banyak sekali orang. Rata-rata pemuda dan laki-laki paruh baya, membawa
alat-alat pertukangan. Ada juga anak gadis dan ibu-ibu yang baru selesai mandi.
Ternyata apa yang dibilang Pak Putu benar adanya. Air terjun ini masih dalam
proses mempercantik diri. Terlihat sebuah gazebo
setengah jadi, tepat di depan air terjun. Jembatan kayu dan pancuran yang
seperti belum lama dibuat. Melihat kedatangan saya, mereka berhenti bekerja
sejenak. Mereka menyambut saya dengan ramah. Cerita yang sama dari Pak Putu, saya
dengar pula dari mereka.
Air
terjun Tukad Melangit ternyata ada dua. Satu di tempat saya berdiri, dan satu
lagi di bawah. Untuk menuju ke air terjun kedua, saya harus menuruni tebing
lagi. Kali ini tidak berupa tangga, namun geretan batu-batu alam. Ditemani
salah seorang dari mereka, sebut saja Pak Ngurah, saya melangkah turun. Perjalanan
turun ibarat mendaki tebing terjal. Tidak tinggi sih, tapi kalau jatuh sebuah sungai
dengan aliran air yang cukup deras sudah menunggu. Kalau jatuh nggak langsung mati,
paling hanyut dulu terbawa derasnya arus. Benar-benar memacu adrenalin, objek
wisata yang satu ini. Masih benar-benar alami. Kata Pak Ngurah, nantinya akan
dibuatkan tangga ke bawah sini agar lebih mudah diakses. Selama di tempat ini, saya
tidak banyak mengambil foto. Gila aja ngambil foto, sudah cukup sibuk saya untuk
berusaha tidak jatuh.
Secara
garis besar, bagi anda pencinta wisata alam yang menantang, air terjun Tukad
Melangit ini saya rekomendasikan. Hanya satu yang saya sarankan. Jangan datang
saat hujan, karena akses jalannya jadi benar-benar licin. Pakaian yang saya
pakai tidak selamat dari lumpur. Terutama saat naik kembali ke atas. Mungkin ke
depannya, kalau benar renovasi sudah selesai, akses jalan ke air terjun ini
akan jauh lebih mudah. Beberapa bulan lagi, mungkin saya akan datang kembali.
*****
Sebelum
saya balik ke Denpasar, saya sempatkan dulu mampir ke desa Kuning. Penasaran
juga dengan air terjun Kuning. Lokasinya ternyata tidak jauh dari desa
Tamansari. Kurang dari 10 kilometer, kalau tidak salah. Saya akhirnya tiba di
akses jalan masuk menuju air terjun Kuning. Ternyata lokasinya ada di
persawahan. Jalannya curam banget, mana sempit lagi. Dari tiga petani yang saya
temui, mereka bilang penjaganya sudah pulang.
Karena
hari sudah cukup sore, dan kaki juga sudah lelah, saya batalkan niat untuk
turun. Masih teringang-ngiang cerita Pak Putu tentang air terjun Kuning.
Mungkin turun sendirian, bukanlah ide yang baik. Apalagi salah satu petani
bilang kalau tidak lama ini ada yang terjatuh dari tebing, saat turun menuju
air terjun Kuning. Tidak sampai meninggal sih, cuman dia baru ditemukan
pengunjung lainnya setelah beberapa jam lamanya.
Bergidik
tubuh saya mendengarnya. Mungkin lain kali saja saya mampir lagi, kalau saya
sudah punya teman berpetualang. Sampai jumpa kapan-kapan, air terjun Kuning...
Denpasar, 28 Juni 2017
#NulisRandom2017 #NulisBuku
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar