Rabu, 28 Juni 2017

Ngebolang: Satu Hari, Dua Destinasi


Minggu lalu kegiatan ‘ngebolang’ (baca: jalan-jalan, sekalian cuci mata), saya jadwalkan menuju kabupaten Bangli. Satu-satunya kabupaten di Bali, yang tidak memiliki pantai. Dengar-dengar di sana ada sebuah air terjun keren. Namanya air terjun Kuning. Nama Kuning, berasal dari nama desa dimana lokasi air terjun itu berada. Kenapa air terjun lagi? Kan sudah bilang saya suka mainan air. Nggak ada pantai, air terjun (lagi) pun jadi.
Sedikit anekdot sebelum memulai. Kecintaan saya pada air ini pernah menjadi guyonan teman. Katanya, “Kamu ini Aries, kambing gunung kok suka main air?” Saya jawab, “Aku ini Pisces yang terjebak di tubuh Aries.” Balik dia berujar, “Oh pantesan nggak agresif.” Loh, pernyataan macam apa itu? Maksudnya apa? Oke garing, skip...
Perjalanan pun dimulai. Saya memilih lewat Batubulan, ketimbang Bypass Ida Bagus Mantra. Tidak ada sebab khusus sih, cuma lagi pengen aja. Tiba di Desa Blahbatuh, saya melihat sebuah plang bertuliskan: “Blangsiang Waterfall”. Sebagai pencinta air yang jatuh dari ketinggian, tentu saya penasaran. Apalagi di plang itu bertuliskan hanya 500 meter, masuk dari Pasar Yadnya, Blahbatuh. Boleh juga nih kalau mampir sebentar, pikir saya. Maka saya ikuti panah penunjuk jalan, dan petualangan saya pun dimulai.
Tanda panah itu membawa saya ke sebuah tanah lapang, di sebelah kuburan. Tanah lapang itu ternyata digunakan sebagai tempat parkir. Satu orang laki-laki paruh baya, berpakaian adat Bali, langsung menyapa saya.. “Mau ke air terjun?” Begitu tanya dia. Saya iyakan. Kesempatan itu saya pakai bertanya tentang air terjun Blangsiang. Tidak banyak informasi yang saya dapatkan. Yang jelas akses ke air terjun itu belum lama dibuka. Tergolong anak baru di dunia per-airterjun-an. Dan ada sebuah toko oleh-oleh besar di Bali yang menjadi sponsor. Memang terlihat sih di plang-nya.
Setelah membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah, sudah termasuk parkir, saya melangkah menuju gerbang masuk. Saya sudah ditunggu oleh deretan anak tangga. Mana lumayan banyak lagi. Uuhh, ada hubungan apa sih antara air terjun dan anak tangga. Sepertinya mereka benar-benar berjodoh. Dimana ada air terjun, disana ada deretan anak tangga.
“Yang sabar ya lututku,” begitu ucap saya, sebelum mulai melangkah turun. Dia memang sudah terlalu bekerja keras. Mengingat semua pantai dan air terjun yang pernah saya kunjungi, rata-rata bertangga ria. Semoga lutut saya belum lelah untuk mengabdi.
Deretan tangga yang ada sudah tertata rapi. Di semen dengan baik dan permanen. Benar-benar sudah dipersiapkan untuk sebuah objek wisata. Malah di satu sudut saya melihat baliho kecil bertuliskan. Welcome to Blangsinga Waterfall. Not bad, sudah ber-English ria Bro!
Baru beberapa puluh anak tangga, mata saya sudah menangkap kumpulan orang-orang. Telinga saya juga sudah mendengar deru air. Sisa tangga ternyata tidak banyak. Tidak perlu waktu lama buat saya sampai di anak tangga terakhir. Ternyata saya sampai di tepi sebuah sungai. Aliran air sungai itulah yang kemudian terjatuh, dan menjadi air terjun. Ternyata kini saya berada di atas air terjun. Keren nih, seru saya dalam hati. Pemandangan alamnya nggak kalah keren. Di atas sini ada terlihat beberapa orang, di bawah sana jauh lebih banyak lagi.
Seperti biasa, kunjungan ke objek wisata Bali pasti didominasi turis asing. Dan kali ini rata-rata mereka berbikini. Mata siapa yang tidak terhibur coba hahaha...
Selesai beberapa jeprat-jepret, saya melongok turun. Lah, tangga lagi, tangga lagi... Kali ini bukan tangga semen, namun tangga baja. Sampai di tangga terakhir, saya tiba di sebuah tebing, tepat di samping air terjun. Sebuah flash back berkelebat di benak saya. Kok perasaan tebing ini pernah saya lihat ya, demikian saya membatin. Saya kesampingkan perasaan itu, dan mengambil lagi beberapa foto.
Dari tebing tersebut, ada jalan setapak untuk turun ke dasar air terjun. Saya ikuti jalan tanah itu. Kilasah flash back semakin kuat. Terutama saat sampai di bawah. Saya lihat air terjun itu dengan seksama. “Loh ini kan Tegenungan?” Seru saya, dengan dahi berkerut. Saya pernah datang ke tempat ini. Dan saya cukup yakin dengan apa yang saya lihat. Itu adalah air terjun Tegenungan. Guna meyakinkan diri, saya naik deretan tangga lain. Di atas sana ada deretan penjual-penjual souvenir bernuasa Bali. Pada salah satu pedagang saya bertanya, menggunakan bahasa Bali.
“Apa nama air terjun di bawah ya Pak?”
“Air terjun Tegenungan.”
Nah loh, kan dugaan saya benar adanya. Saya memiliki ingatan yang cukup kuat, terutama soal tempat. Terutama tempat yang indah dan berkesan. Tegenungan salah satunya.
“Tapi kok orang di atas sana bilang kalau air terjun ini namanya Blangsinga ya?” Tetap dalam bahasa Bali, sambil menunjuk ke deretan tangga baja, dimana saya datang tadi.
Bapak itu tersenyum. “Memang air terjun ini ada di dua desa. Kalau datangnya dari Sukawati, namanya Tegenungan. Kalau datang dari Blahbatuh namanya Blangsinga.” Jawaban yang sama juga saya dapatkan dari penjaga lainnya. Sekedar cek dan ricek informasi.
Perbedaan keduanya hanya dari pembayaran. Kalau anda datang dari Sukawati, anda akan kena parkir dan tiket masuk. Total 15.000 rupiah kalau tidak salah. Nah, apabila anda ingin naik lagi ke tangga baja, anda harus membayar lagi 10.000 rupiah, karena beda wilayah desa. Namun, kalau anda datang dari Blahbatuh, anda cukup membayar sekali, 10.000 rupiah saja. Lebih irit 15.000 rupiah kan? Ngerti kan hitung-hitungannya? Matematika sederhana banget kok.
Saya tertawa dalam hati. Kok bisa ya satu air terjun punya dua nama. Pengalaman canggung ini ibarat kenalan sama cewek, yang anggap saja bernama Wati. Terus pada suatu kesempatan kita ketemu lagi, eh ternyata namanya Puspa. Cek dan ricek Puspa dan Wati itu satu orang. Kebayang anehnya kayak apa kan? Hehehe. Sudah terlanjur ada di sana, ya saya nikmati saja keindahan dari air terjun Tegenungan, eh Blangsinga ini. Tuh kan, jadi bingung musti panggil ini air terjun dengan nama apa.
Soal keindahan air terjun Tegenungan, eh Blangsinga ini, tidak usah dipungkiri lagi lah. Malah mungkin sudah banyak dari anda yang pernah ke sana. Bisa dibilang air terjun ini sudah terlalu mainstream. Dekat dari Denpasar, terus akses jalan sudah sangat baik. Kalau istilah saya, sudah tidak ada tantangannya lagi. Mau tahu tentang air terjun ini, tanya mbah Google deh. Sudah banyak banget beredar review dan foto-foto dari objek wisata ini.
*****
Puas menikmati pemandangan di Tegenungan, eh Blangsinga, perjalanan saya lanjutkan. Lewat dari kabupaten Gianyar, saya masuk ke kabupaten Bangli. Jalan ke desa Kuning ternyata tidak jauh, tepat berada di sebelah lapangan Bangli. Sebelum masuk pusat kota. Jalan menuju desa ini sangat berciri jalan pedesaan. Sudah beraspal, namun ukurannya kecil, hanya cukup dua mobil berpapasan pepet-pepetan. Di sisi kanan dan kiri, hamparan padi menghijau sangat memanjakan mata. Udara yang saya hirup pun terasa sangat segar.
Sebelum masuk ke daerah desa Kuning, saya tiba terlebih dahulu di desa Tamansari. Tepatnya di dusun Jelekungkang. Disana saya melihat plang besi bertuliskan Air Terjun Tukad Melangit, 400 meter. Sama seperti saat di Blahbatuh, saya dilema juga. Deket nih, kalau mampir masih sempet, begitu pikir saya. Maka saya susuri jalan setapak tanah, dengan ukuran jauh lebih sempit. Hanya bisa dilewati satu mobil saja kira-kira. Tanahnya juga basah, sepertinya habis diguyur hujan.
Ternyata jalan tersebut buntu. Saya sampai di sebuah tanah lapang, mirip tegalan (baca: kebun). Disana ada sebuah rumah, dan gubuk kayu sederhana. Saya disambut oleh seorang gadis remaja, dan seorang ibu paruh baya. “Mau ke air terjun?” Begitu tanya mereka. Loh serasa dejavu ya? Saya mengangguk, dan mulai bertanya-tanya sedikit tentang air terjun Tukad Melangit tersebut. Dari keduanya, saya tahu kalau air terjun ini jauh lebih muda lagi. Belum ada satu bulan di buka jalannya. Kata mereka dulunya, jalan ke bawah masih berupa tebing yang lebat.
Ditengah percakapan, saya disapa oleh seorang laki-laki paruh baya. Sebut saja namanya Pak Putu. Dia mengira saya wartawan, karena beberapa kali memang tempat itu kedatangan awak media. Dia mewanti-wanti kalau mau ditulis, namanya jangan diekspos. Saya iyakan saja. Mulai kami ngobrol. Terkuak kalau dirinya, dan teman-teman yang juga membuka jalan ke air terjun Kuning. Namun, karena ada konflik segitiga antara kelompoknya, pimpinan adat desa Kuning, dan salah satu pemilik perusahaan air minum disana, mereka tidak lagi mengurus air terjun Kuning. Dari Pak Putu, saya dapat informasi kalau akses jalan ke air terjun Kuning kini tertutup belukar. Apa lagi habis hujan seperti ini, jalannya pasti licin. Memang saya sempat bilang akan ke air terjun itu juga.
Pak Putu mempromosikan, air terjun Tukad Melangit ini jauh lebih bagus. Walau masih proses pembersihan, agar lebih layak sebagai objek wisata. Tertarik juga nih saya untuk turun. Sehabis menaruh uang 5.000 rupiah, ke kotak dana punia (baca: sumbangan sukarela), perjalanan saya dimulai. Saya susuri jalan setapak tanah kecil. Itu merupakan satu-satunya akses masuk. Cukup licin karena basah. Kata Pak Putu, nantinya jalan ini akan di beton, kalau dananya sudah ada. Berjalan 100 meteran, saya menemukan deretan tangga menurun. Ya ampun, tangga lagi? Lutut oh lutut, kasihan banget dirimu. Mana tangganya, masih berupa tanah. Terpaksa saya lepas alas kaki, agar tidak slip. Dan mulai melangkah turun.
Perjalanan turun sangatlah sebuah perjuangan. Beneran, sumpah. Pegangan tangga hanya berupa bambu, dan di sebelah kanan saya jurang sudah menunggu. Slip dikit, jatuh nih. Saya melangkah pelan-pelan sekali. Saya masih sayang dengan nyawa saya. Mana masih jomblo lagi kan? Ntar kalau mati siapa yang nangisin coba? Apes banget kan?
Ditengah perjalanan, saya bertemu beberapa penduduk asli. Mereka akan naik, sepertinya habis mandi. Terlihat dari rambut dan tubuh mereka yang masih basah. “Alon-alon manten, belig sajan nike neked beten.” Begitu kata salah seorang dari mereka, dalam bahasa Bali. Artinya kurang lebih meminta saya hati-hati, karena licin sampai ke bawah. Saya turuti dong, sekali lagi saya masih sayang sama nyawa. Mereka sendiri nampak lincah melangkah. Terlihat sudah terbiasa dengan medan licin seperti itu.
Dengan penuh perjuangan, akhirnya saya tiba di tangga terakhir. Di bawah sini rupanya banyak sekali orang. Rata-rata pemuda dan laki-laki paruh baya, membawa alat-alat pertukangan. Ada juga anak gadis dan ibu-ibu yang baru selesai mandi. Ternyata apa yang dibilang Pak Putu benar adanya. Air terjun ini masih dalam proses mempercantik diri. Terlihat sebuah gazebo setengah jadi, tepat di depan air terjun. Jembatan kayu dan pancuran yang seperti belum lama dibuat. Melihat kedatangan saya, mereka berhenti bekerja sejenak. Mereka menyambut saya dengan ramah. Cerita yang sama dari Pak Putu, saya dengar pula dari mereka.
Air terjun Tukad Melangit ternyata ada dua. Satu di tempat saya berdiri, dan satu lagi di bawah. Untuk menuju ke air terjun kedua, saya harus menuruni tebing lagi. Kali ini tidak berupa tangga, namun geretan batu-batu alam. Ditemani salah seorang dari mereka, sebut saja Pak Ngurah, saya melangkah turun. Perjalanan turun ibarat mendaki tebing terjal. Tidak tinggi sih, tapi kalau jatuh sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras sudah menunggu. Kalau jatuh nggak langsung mati, paling hanyut dulu terbawa derasnya arus. Benar-benar memacu adrenalin, objek wisata yang satu ini. Masih benar-benar alami. Kata Pak Ngurah, nantinya akan dibuatkan tangga ke bawah sini agar lebih mudah diakses. Selama di tempat ini, saya tidak banyak mengambil foto. Gila aja ngambil foto, sudah cukup sibuk saya untuk berusaha tidak jatuh.
Secara garis besar, bagi anda pencinta wisata alam yang menantang, air terjun Tukad Melangit ini saya rekomendasikan. Hanya satu yang saya sarankan. Jangan datang saat hujan, karena akses jalannya jadi benar-benar licin. Pakaian yang saya pakai tidak selamat dari lumpur. Terutama saat naik kembali ke atas. Mungkin ke depannya, kalau benar renovasi sudah selesai, akses jalan ke air terjun ini akan jauh lebih mudah. Beberapa bulan lagi, mungkin saya akan datang kembali.
*****
Sebelum saya balik ke Denpasar, saya sempatkan dulu mampir ke desa Kuning. Penasaran juga dengan air terjun Kuning. Lokasinya ternyata tidak jauh dari desa Tamansari. Kurang dari 10 kilometer, kalau tidak salah. Saya akhirnya tiba di akses jalan masuk menuju air terjun Kuning. Ternyata lokasinya ada di persawahan. Jalannya curam banget, mana sempit lagi. Dari tiga petani yang saya temui, mereka bilang penjaganya sudah pulang.
Karena hari sudah cukup sore, dan kaki juga sudah lelah, saya batalkan niat untuk turun. Masih teringang-ngiang cerita Pak Putu tentang air terjun Kuning. Mungkin turun sendirian, bukanlah ide yang baik. Apalagi salah satu petani bilang kalau tidak lama ini ada yang terjatuh dari tebing, saat turun menuju air terjun Kuning. Tidak sampai meninggal sih, cuman dia baru ditemukan pengunjung lainnya setelah beberapa jam lamanya.
Bergidik tubuh saya mendengarnya. Mungkin lain kali saja saya mampir lagi, kalau saya sudah punya teman berpetualang. Sampai jumpa kapan-kapan, air terjun Kuning...

Denpasar, 28 Juni 2017

#NulisRandom2017 #NulisBuku
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar