Jatiluwih,
adalah nama salah satu desa di Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Berbicara
mengenai Desa Jatiluwih, kita pasti akan langsung terbayang hamparan sawah yang
berundak (terasering). Begitu pula
saat kita mencari informasi tentang Jatiluwih di internet. Daerah Jatiluwih
memang terkenal dengan hamparan sawahnya yang masih asri. Sistem pertanian
tradisional Bali, Subak, masih terjaga dengan baik di daerah ini. Keindahan
alam persawahan ini menarik minat turis asing untuk berkunjung. Terutama wisata
‘trekking rice fields’-nya.
Pun
demikian saat saya datang ke sana. Mata saya dimanjakan dengan hamparan padi
yang menguning, siap panen. Sungguh luar biasa. Mungkin anda pernah dengar
daerah Tegalalang di Kabupaten Gianyar? Disana juga ada wisata persawahan yang
indah. Namun menurut pendapat saya pribadi, daerah Jatiluwih dua kali lebih
indah.
Datang ke
Jatiwulih, saya justru jadi minoritas di sana. Hanya terlihat segelintir orang
domestik yang ada. Itu pun sebagian besar adalah pramuwisata lokal yang datang
mengantar turis. Agak aneh juga sih rasanya. Namun, tidak terasa aneh-aneh banget sih. Hal yang sama juga kerap
saya rasakan, saat datang ke objek-objek wisata alam di Bali. Malah pernah di
satu momen, saya jadi satu-satunya orang lokal yang datang.
Saya
sebentar saja menikmati pemandangan di sana. Memang tujuan saya datang ke
Jatiluwih untuk melihat wisata alam lain. Saya datang untuk melihat air terjun
Yeh Hoo. Sebuah pesona lain di Jatiluwih yang tersembunyi. Mumpung tanggal 5
Juni adalah hari lingkungan hidup sedunia. Momen ini sepertinya tepat untuk
membahas tentang air terjun. Yah,
hitung-hitung promosi wisata Bali. Sebagai orang Bali, saya punya kewajiban juga
dong untuk ikut membantu Dinas Pariwisata lokal.
Lokasi jalan
masuk air terjun Yeh Hoo, tepat ada di sebelah kanan pos jaga Desa Jatiluwih.
Itu loh pos dimana kita harus membayar tiket masuk, kalau memakai mobil dan
sejenisnya. Kalau sepeda motor sepertinya sih tidak bayar. Pos ini berada di
depan sebuah jembatan. Nah, sebelum jembatan ini ada jalan aspal ke kanan. Jalannya
cukup lebar, cukup untuk dua mobil melintas. Di depan jalan ada baliho petunjuk lokasi air terjun sih.
Hanya saja, kalau kita tidak teliti baliho
ini pasti tidak terlihat.
Dari
jalan tersebut, kita lurus sekitar ± 250 meter. Di sisi kanan akan ada penunjuk
berupa anak panah, serta papan bertulis ‘parkir air terjun’. Parkirnya cukup
luas. Cukup untuk diisi beberapa mobil dan sepeda motor. Hanya saja parkiran
ini masih berupa tanah lapang, belum di aspal ataupun di paping. Di areal parkir ini ada sebuah warung sederhana, berbahan anyaman
bambu. Disana kita diwajibkan membayar dana
punia, atau bantuan dana swasadaya
perbaikan jalan. Untuk dewasa dikenakan 5.000 rupiah, dan anak-anak 3.000
rupiah.
Menuju ke air terjun Yeh Hoo,
kita harus melewati jalan setapak sepanjang ± 100 meter. Diujung jalan tanah
itu, kita akan menemukan deretan anak tangga menurun. Tidak usah khawatir,
karena tangga ini sudah di semen, sehingga tidaklah licin. Deretan anak tangga yang
ada cukup banyak, sekitar ratusan. Anak tangga disusun zig-zag, sehingga tidak bikin lutut pegal, walau tetep bikin ngos-ngosan sih.
Saat
menuruni tangga saya berpapasan dengan beberapa orang. Ternyata mereka adalah
warga desa lokal. Mereka terlihat sedang memotong triplek dan kayu. Ketika saya tanya mereka bilang sedang bikin
pembangkit listrik, bertenaga air. Tenaga dari ‘anak’ air terjun Yeh Hoo, yang
nanti akan dipakai memutar turbin. Terlihat memang dibawah sana ada kucuran air
yang cukup deras. Saya pikir itu air terjunnya, ternyata itu baru ‘anak’-nya
saja. Hasil listriknya nanti akan dipakai penerangan di areal sawah, kata
mereka. Sebuah proyek swadaya desa,
kalau memakai istilah mereka. Bagus juga nih, pikir saya. Proyek dari dana
sendiri dan dibangun dengan tidak merusak alam. Malahan bersahabat dengan alam.
Bentuk mutualisme antara alam dan
manusia. Patut di contoh nih buat desa-desa yang lain.
Selesai ngobrol, saya melanjutkan langkah untuk
turun. Sampai di ujung anak tangga terakhir, saya disambut sebuah sungai. Suara
aliran airnya memang sudah terdengar sedari tadi. Airnya sungguh bening.
Tergoda saya untuk mencelupkan kaki, kebetulan arus airnya juga tidak terlalu
deras. Bbbrrr, dinginnya minta ampun.
Mengingatkan saya pada dinginnya air di daerah Batur, Kintamani, Bali.
Menuju ke
air terjun Yeh Hoo, ternyata saya perlu menelusuri jalan setapak lagi. Jalannya
juga sudah ber-paping kok. Jalan
setapak ini menelusuri pinggiran sungai. Sekitar ± 50 meter, saya menjumpai
sebuah Pura kecil. Entah Pura apa itu, tidak ada papan petunjuk yang
menerangkan. Pintu gerbang kayunya pun terkunci. Saya hanya mengucapkan permisi
dalam hati, kemudian lanjut melangkah.
Sekitar ±
50 meter lagi jalan setapak tanah, air terjun Yeh Hoo sudah terlihat dari
kejauhan. Deru suara air jatuh pun sudah sampai di telinga. Sesampainya di
lokasi, ternyata sudah ada beberapa remaja berendam di sungai, di dekat air
terjun. Rupanya air terjun Yeh Hoo tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya ± 3-4
meter saja. Debit airnya sih cukup deras. Langsung saja saya jeprat-jepret mengambil foto. Walau
bukan yang terindah yang pernah saya lihat, namun air terjun Yeh Hoo memiliki
pesonanya tersendiri. Suasana disekitar air terjun sangat alami dan menyegarkan.
Udara yang saya hirup pun terasa sangat segar. Ciri khas udara pedesaan. Saya
sempat sentuh airnya dan rasanya dingin juga. Lebih dingin malahan. Airnya yang
jernih, langsung jatuh dan mengalir melalui sungai yang tadi saya lewati.
Diluar
keindahan yang ada, di salah satu sudut saya melihat tumpukan sampah. Bekas plastik
makanan ringan dan mie instan. Cukup
disayangkan bisa ada di sana. Kepedulian kita terhadap lingkungan masih perlu
ditingkatkan lagi. Tidak membuang sampah sembarangan, masih belum jadi kebiasaan
masyarakat Indonesia.
Setelah
puas menikmati pemandangan yang ada, saya kembali pulang ke Denpasar. Saya akan
coba terus membahas wisata alam lain yang ada di Bali. Kalau saya sih memang
selalu tertarik dengan wisata alam. Karena nongkrong
di alam terbuka, bikin kita sadar kalau Tuhan itu adalah seniman sejati. Menikmati
hasil ciptaan Beliau, benar-benar memanjakan panca indera. Paling tidak itu
yang saya rasakan. Bergaul dengan alam itu menyenangkan. Bagaimana dengan anda?
Denpasar, 5 Juni 2017
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar