Senin, 05 Juni 2017

Pesona Jatiluwih Yang Tersembunyi


Jatiluwih, adalah nama salah satu desa di Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Berbicara mengenai Desa Jatiluwih, kita pasti akan langsung terbayang hamparan sawah yang berundak (terasering). Begitu pula saat kita mencari informasi tentang Jatiluwih di internet. Daerah Jatiluwih memang terkenal dengan hamparan sawahnya yang masih asri. Sistem pertanian tradisional Bali, Subak, masih terjaga dengan baik di daerah ini. Keindahan alam persawahan ini menarik minat turis asing untuk berkunjung. Terutama wisata ‘trekking rice fields’-nya.
Pun demikian saat saya datang ke sana. Mata saya dimanjakan dengan hamparan padi yang menguning, siap panen. Sungguh luar biasa. Mungkin anda pernah dengar daerah Tegalalang di Kabupaten Gianyar? Disana juga ada wisata persawahan yang indah. Namun menurut pendapat saya pribadi, daerah Jatiluwih dua kali lebih indah.
Datang ke Jatiwulih, saya justru jadi minoritas di sana. Hanya terlihat segelintir orang domestik yang ada. Itu pun sebagian besar adalah pramuwisata lokal yang datang mengantar turis. Agak aneh juga sih rasanya. Namun, tidak terasa aneh-aneh banget sih. Hal yang sama juga kerap saya rasakan, saat datang ke objek-objek wisata alam di Bali. Malah pernah di satu momen, saya jadi satu-satunya orang lokal yang datang.
Saya sebentar saja menikmati pemandangan di sana. Memang tujuan saya datang ke Jatiluwih untuk melihat wisata alam lain. Saya datang untuk melihat air terjun Yeh Hoo. Sebuah pesona lain di Jatiluwih yang tersembunyi. Mumpung tanggal 5 Juni adalah hari lingkungan hidup sedunia. Momen ini sepertinya tepat untuk membahas tentang air terjun. Yah, hitung-hitung promosi wisata Bali. Sebagai orang Bali, saya punya kewajiban juga dong untuk ikut membantu Dinas Pariwisata lokal.
Lokasi jalan masuk air terjun Yeh Hoo, tepat ada di sebelah kanan pos jaga Desa Jatiluwih. Itu loh pos dimana kita harus membayar tiket masuk, kalau memakai mobil dan sejenisnya. Kalau sepeda motor sepertinya sih tidak bayar. Pos ini berada di depan sebuah jembatan. Nah, sebelum jembatan ini ada jalan aspal ke kanan. Jalannya cukup lebar, cukup untuk dua mobil melintas. Di depan jalan ada baliho petunjuk lokasi air terjun sih. Hanya saja, kalau kita tidak teliti baliho ini pasti tidak terlihat.
Dari jalan tersebut, kita lurus sekitar ± 250 meter. Di sisi kanan akan ada penunjuk berupa anak panah, serta papan bertulis ‘parkir air terjun’. Parkirnya cukup luas. Cukup untuk diisi beberapa mobil dan sepeda motor. Hanya saja parkiran ini masih berupa tanah lapang, belum di aspal ataupun di paping. Di areal parkir ini ada sebuah warung sederhana, berbahan anyaman bambu. Disana kita diwajibkan membayar dana punia, atau bantuan dana swasadaya perbaikan jalan. Untuk dewasa dikenakan 5.000 rupiah, dan anak-anak 3.000 rupiah.
Menuju ke air terjun Yeh Hoo, kita harus melewati jalan setapak sepanjang ± 100 meter. Diujung jalan tanah itu, kita akan menemukan deretan anak tangga menurun. Tidak usah khawatir, karena tangga ini sudah di semen, sehingga tidaklah licin. Deretan anak tangga yang ada cukup banyak, sekitar ratusan. Anak tangga disusun zig-zag, sehingga tidak bikin lutut pegal, walau tetep bikin ngos-ngosan sih.
Saat menuruni tangga saya berpapasan dengan beberapa orang. Ternyata mereka adalah warga desa lokal. Mereka terlihat sedang memotong triplek dan kayu. Ketika saya tanya mereka bilang sedang bikin pembangkit listrik, bertenaga air. Tenaga dari ‘anak’ air terjun Yeh Hoo, yang nanti akan dipakai memutar turbin. Terlihat memang dibawah sana ada kucuran air yang cukup deras. Saya pikir itu air terjunnya, ternyata itu baru ‘anak’-nya saja. Hasil listriknya nanti akan dipakai penerangan di areal sawah, kata mereka. Sebuah proyek swadaya desa, kalau memakai istilah mereka. Bagus juga nih, pikir saya. Proyek dari dana sendiri dan dibangun dengan tidak merusak alam. Malahan bersahabat dengan alam. Bentuk mutualisme antara alam dan manusia. Patut di contoh nih buat desa-desa yang lain.
Selesai ngobrol, saya melanjutkan langkah untuk turun. Sampai di ujung anak tangga terakhir, saya disambut sebuah sungai. Suara aliran airnya memang sudah terdengar sedari tadi. Airnya sungguh bening. Tergoda saya untuk mencelupkan kaki, kebetulan arus airnya juga tidak terlalu deras. Bbbrrr, dinginnya minta ampun. Mengingatkan saya pada dinginnya air di daerah Batur, Kintamani, Bali.
Menuju ke air terjun Yeh Hoo, ternyata saya perlu menelusuri jalan setapak lagi. Jalannya juga sudah ber-paping kok. Jalan setapak ini menelusuri pinggiran sungai. Sekitar ± 50 meter, saya menjumpai sebuah Pura kecil. Entah Pura apa itu, tidak ada papan petunjuk yang menerangkan. Pintu gerbang kayunya pun terkunci. Saya hanya mengucapkan permisi dalam hati, kemudian lanjut melangkah.
Sekitar ± 50 meter lagi jalan setapak tanah, air terjun Yeh Hoo sudah terlihat dari kejauhan. Deru suara air jatuh pun sudah sampai di telinga. Sesampainya di lokasi, ternyata sudah ada beberapa remaja berendam di sungai, di dekat air terjun. Rupanya air terjun Yeh Hoo tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya ± 3-4 meter saja. Debit airnya sih cukup deras. Langsung saja saya jeprat-jepret mengambil foto. Walau bukan yang terindah yang pernah saya lihat, namun air terjun Yeh Hoo memiliki pesonanya tersendiri. Suasana disekitar air terjun sangat alami dan menyegarkan. Udara yang saya hirup pun terasa sangat segar. Ciri khas udara pedesaan. Saya sempat sentuh airnya dan rasanya dingin juga. Lebih dingin malahan. Airnya yang jernih, langsung jatuh dan mengalir melalui sungai yang tadi saya lewati.
Diluar keindahan yang ada, di salah satu sudut saya melihat tumpukan sampah. Bekas plastik makanan ringan dan mie instan. Cukup disayangkan bisa ada di sana. Kepedulian kita terhadap lingkungan masih perlu ditingkatkan lagi. Tidak membuang sampah sembarangan, masih belum jadi kebiasaan masyarakat Indonesia.
Setelah puas menikmati pemandangan yang ada, saya kembali pulang ke Denpasar. Saya akan coba terus membahas wisata alam lain yang ada di Bali. Kalau saya sih memang selalu tertarik dengan wisata alam. Karena nongkrong di alam terbuka, bikin kita sadar kalau Tuhan itu adalah seniman sejati. Menikmati hasil ciptaan Beliau, benar-benar memanjakan panca indera. Paling tidak itu yang saya rasakan. Bergaul dengan alam itu menyenangkan. Bagaimana dengan anda?

Denpasar, 5 Juni 2017
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar