Minggu, 18 Desember 2016

Obrolan Ringan Di Suatu Petang




***
“Tokoh Amara ini beneran ada nggak?”
Seriously? Diantara berjuta pertanyaan yang bisa kamu pilih, itukah pertanyaan pertama yang muncul di kepalamu?”
Sahabatku itu tertawa. Terkekeh sih tepatnya.
“Aku hanya mengikuti naluriku sebagai laki-laki. Kalau benar si Amara ini ada di dunia nyata, aku benar-benar tertarik untuk bertemu dengannya.”
Aku hanya menggelengkan kepala. Kuambil botol bir di meja dan menegak isinya. “Mari kita anggap saja dia tidak ada. Sebuah tokoh fantasi yang aku ciptakan sendiri.”
Sahabatku tertawa. Kali ini terbahak, sampai terbatuk. “Tidak percaya aku dengan kata-katamu itu. Gambaranmu tentang dirinya terlalu nyata, sungguh terlalu nyata teman...”
“Nyata atau tidaknya dia sepertinya bukan menjadi sebuah masalah, mengingat plotnya berakhir tidak dengan bahagia.”
“Bagaimana sebuah tulisan itu berakhir sepenuhnya ada di tangan penulisnya. Itu adalah sebuah pilihan, dan kamu memilih untuk mengakhirinya dengan air mata. Kenapa?”
“Mungkin karena aku hanya mencoba untuk jujur dalam menulis.”
“Ternyata dugaanku tidak salah. Dia nyata, benar-benar nyata…” Tertawa lagi-lah sahabatku itu. Penuh kemenangan. “Masih tetap idealis dengan kejujuran nih ceritanya? Dunia ini sudah penuh dengan kebohongan teman...”
“Begitulah. Paling tidak aku mencoba jujur dengan diriku sendiri.”
“Benarkah? Lalu kenapa aku tidak menangkap adanya kejujuran itu dalam kata-katamu tadi?”
“Maksudmu?”
“Maksudku adalah cinta wahai kawan, cinta...”
“Maksudmu aku mencintai dia? Begitu?”
Sahabatku mengerutkan keningnya. “Perlukah aku menjawab pertanyaan bodohmu itu?”
“Kamu tahu kalau aku tidak pernah percaya dengan yang nama cinta. Cinta itu hanyalah...”
“Sebatas reaksi dari unsur-unsur kimiawi dalam tubuh dan otak. Ya, ya, aku sudah terlalu sering mendengar itu keluar dari mulutmu.”
“Betul, cinta itu seperti halnya morfin dan zat-zat adiktif lainnya. Dia akan menstimulus otak dan tubuhmu untuk merasakan sensasi kenikmatan semu, namun saat semua efeknya hilang barulah kamu tersadar kalau semua itu hanyalah sebatas impian alam bawah sadar kita. Bukanlah sebuah hal yang nyata.”
Wow, wow. Serious, you must stop reading all of those scientific books. Or maybe you should stop reading at all. Those books damage your brain man!” seru sahabatku.
Aku tersenyum simpul.
But that’s true. Selain itu, terlalu banyak hal-hal buruk terjadi di dunia ini sebagai akibat dari cinta. Perang di epos Ramayana berawal dari Rahwana yang memaksakan cintanya kepada Dewi Shinta. Perang Troya juga berawal dari cinta, saat Paris melarikan Helena dari suaminya. Persis seperti Ramayana kan? Bahkan Perang Salib pun dimulai dari sebuah cinta. Cinta manusia yang katanya untuk Tuhan-nya. Sungguh sebuah konsep cinta yang benar-benar salah kalau menurut penilaianku. Sometime shit happen in the name of love...”
“Tunggu dulu. Bukankah dalam epos Ramayana, diceritakan kalau Shinta akhirnya bertemu lagi dengan suaminya, Rama? Seharusnya kisah cinta itu berakhir bahagia kan?”
“Kamu mungkin belum membacanya sampai selesai. Diakhir kisah, Sang Rama menyangsikan kesucian Dewi Shinta sehingga sang istri kemudian memilih untuk menyudahi hidupnya dengan melompat ke dalam api. Kisah cinta mereka berakhir dengan tragedi sobat...”
“Oke, oke, tapi banyak juga epos dan karya satra lain yang berakhir dengan  bahagia.”
“Oh yah? Coba sebutkan salah satunya.”
Sahabatku itu terdiam. Kerutan tercetak jelas di dahinya. Kubiarkan untuk beberapa saat.
“Tidak ketemu? Itu karena kisah klasik dunia semacam Romeo dan Juliet, Guinevere dan Lancelot, Sampek dan Engtay, Laila dan Majnun, berakhir dengan tragedi. Bahkan sampai kisah klasik lokal semacam Jayaprana dan Layonsari pun berakhir dengan tragedi. Semuanya berakhir dengan air mata, semuanya...”
Oh God, sepertinya kamu terlalu melihat cinta itu dari sisi negatif saja. Bagaimana dengan sisi positif dari cinta? Bagaimana dengan berjuta pasangan yang hidup berbahagia di luar sana? Mereka menikah, memiliki anak, hidup berkecukupan dan lainnya?”
“Bagaimana juga dengan berjuta pasangan lainnya yang hidup tidak berbahagia di luar sana? Kamu tahu berapa angka perceraian yang terdaftar di pengadilan? Kamu tahu angka anak-anak yang diterlantarkan orang tuanya? Jumlah yang menakutkan untuk sebuah realita kehidupan.”
Man, you start sound like Amara in your story, and that’s creepy...”
Tidak bisa lagi aku menahan tawaku. Kubiarkan diriku terbahak sepuasnya, sebelum berhembus nafas panjang.
Maybe I must admit, sometime I miss all of those ‘small’ conversation with her.
“Nah, akhirnya sebuah kejujuran keluar juga dari mulutmu.”
Aku tersenyum. Sahabatku mungkin benar adanya.
So, what’s next?
Hhmm same like that has been written in the end of my story. Let her go.
Because?
Because she’s still young, and she has a great future ahead of her.
Well, it’s your chooice man, and I will support you for that.
Sahabatku mengangkat botol birnya. Kulakukan hal yang sama.
For Amara?”
Yeah, for Amara...
Cheers.
***
Renon, 17 Desember 2016
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar