***
“Tokoh
Amara ini beneran ada nggak?”
“Seriously? Diantara berjuta pertanyaan
yang bisa kamu pilih, itukah pertanyaan pertama yang muncul di kepalamu?”
Sahabatku
itu tertawa. Terkekeh sih tepatnya.
“Aku
hanya mengikuti naluriku sebagai laki-laki. Kalau benar si Amara ini ada di
dunia nyata, aku benar-benar tertarik untuk bertemu dengannya.”
Aku hanya
menggelengkan kepala. Kuambil botol bir di meja dan menegak isinya. “Mari kita
anggap saja dia tidak ada. Sebuah tokoh fantasi yang aku ciptakan sendiri.”
Sahabatku
tertawa. Kali ini terbahak, sampai terbatuk. “Tidak percaya aku dengan kata-katamu
itu. Gambaranmu tentang dirinya terlalu nyata, sungguh terlalu nyata teman...”
“Nyata
atau tidaknya dia sepertinya bukan menjadi sebuah masalah, mengingat plotnya berakhir
tidak dengan bahagia.”
“Bagaimana
sebuah tulisan itu berakhir sepenuhnya ada di tangan penulisnya. Itu adalah
sebuah pilihan, dan kamu memilih untuk mengakhirinya dengan air mata. Kenapa?”
“Mungkin
karena aku hanya mencoba untuk jujur dalam menulis.”
“Ternyata
dugaanku tidak salah. Dia nyata, benar-benar nyata…” Tertawa lagi-lah sahabatku
itu. Penuh kemenangan. “Masih tetap idealis dengan kejujuran nih ceritanya?
Dunia ini sudah penuh dengan kebohongan teman...”
“Begitulah.
Paling tidak aku mencoba jujur dengan diriku sendiri.”
“Benarkah?
Lalu kenapa aku tidak menangkap adanya kejujuran itu dalam kata-katamu tadi?”
“Maksudmu?”
“Maksudku
adalah cinta wahai kawan, cinta...”
“Maksudmu
aku mencintai dia? Begitu?”
Sahabatku
mengerutkan keningnya. “Perlukah aku menjawab pertanyaan bodohmu itu?”
“Kamu
tahu kalau aku tidak pernah percaya dengan yang nama cinta. Cinta itu
hanyalah...”
“Sebatas reaksi
dari unsur-unsur kimiawi dalam tubuh dan otak. Ya, ya, aku sudah terlalu sering
mendengar itu keluar dari mulutmu.”
“Betul, cinta
itu seperti halnya morfin dan zat-zat adiktif lainnya. Dia akan menstimulus
otak dan tubuhmu untuk merasakan sensasi kenikmatan semu, namun saat semua
efeknya hilang barulah kamu tersadar kalau semua itu hanyalah sebatas impian alam
bawah sadar kita. Bukanlah sebuah hal yang nyata.”
“Wow, wow. Serious, you must stop reading all
of those scientific books. Or maybe you should stop reading at all. Those books
damage your brain man!” seru sahabatku.
Aku
tersenyum simpul.
“But that’s true. Selain itu, terlalu
banyak hal-hal buruk terjadi di dunia ini sebagai akibat dari cinta. Perang di
epos Ramayana berawal dari Rahwana yang memaksakan cintanya kepada Dewi Shinta.
Perang Troya juga berawal dari cinta, saat Paris melarikan Helena dari
suaminya. Persis seperti Ramayana kan? Bahkan Perang Salib pun dimulai dari
sebuah cinta. Cinta manusia yang katanya untuk Tuhan-nya. Sungguh sebuah konsep
cinta yang benar-benar salah kalau menurut penilaianku. Sometime shit happen in the name of love...”
“Tunggu
dulu. Bukankah dalam epos Ramayana, diceritakan kalau Shinta akhirnya bertemu
lagi dengan suaminya, Rama? Seharusnya kisah cinta itu berakhir bahagia kan?”
“Kamu
mungkin belum membacanya sampai selesai. Diakhir kisah, Sang Rama menyangsikan
kesucian Dewi Shinta sehingga sang istri kemudian memilih untuk menyudahi
hidupnya dengan melompat ke dalam api. Kisah cinta mereka berakhir dengan
tragedi sobat...”
“Oke,
oke, tapi banyak juga epos dan karya satra lain yang berakhir dengan bahagia.”
“Oh yah?
Coba sebutkan salah satunya.”
Sahabatku
itu terdiam. Kerutan tercetak jelas di dahinya. Kubiarkan untuk beberapa saat.
“Tidak
ketemu? Itu karena kisah klasik dunia semacam Romeo dan Juliet, Guinevere dan
Lancelot, Sampek dan Engtay, Laila dan Majnun, berakhir dengan tragedi. Bahkan
sampai kisah klasik lokal semacam Jayaprana dan Layonsari pun berakhir dengan
tragedi. Semuanya berakhir dengan air mata, semuanya...”
“Oh God, sepertinya kamu terlalu melihat
cinta itu dari sisi negatif saja. Bagaimana dengan sisi positif dari cinta?
Bagaimana dengan berjuta pasangan yang hidup berbahagia di luar sana? Mereka
menikah, memiliki anak, hidup berkecukupan dan lainnya?”
“Bagaimana
juga dengan berjuta pasangan lainnya yang hidup tidak berbahagia di luar sana?
Kamu tahu berapa angka perceraian yang terdaftar di pengadilan? Kamu tahu angka
anak-anak yang diterlantarkan orang tuanya? Jumlah yang menakutkan untuk sebuah
realita kehidupan.”
“Man, you start sound like Amara in your
story, and that’s creepy...”
Tidak
bisa lagi aku menahan tawaku. Kubiarkan diriku terbahak sepuasnya, sebelum berhembus
nafas panjang.
“Maybe I must admit, sometime I miss all of
those ‘small’ conversation with her.”
“Nah,
akhirnya sebuah kejujuran keluar juga dari mulutmu.”
Aku
tersenyum. Sahabatku mungkin benar adanya.
“So, what’s next?”
“Hhmm same like that has been written in the end of my story. Let her go.”
“Because?”
“Because she’s still young, and she has a
great future ahead of her.”
“Well, it’s your chooice man, and I will support
you for that.”
Sahabatku mengangkat botol
birnya. Kulakukan hal yang sama.
“For Amara?”
“Yeah, for Amara...”
Cheers.
***
Renon, 17 Desember 2016
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar