Malam
hari sebelum tidur, bila ada kesempatan, saya selalu berbincang dengan Tuhan.
Mungkin anda akan mengira saya gila, terserah saja saya tidak peduli. Konteks
berbincang disini adalah benar-benar berbincang. Bercakap-cakap. Saya tidak
memohon apa-apa, saya tidak minta diberi apa-apa. Bagi saya, hidup ini adalah
anugerah terbesar Tuhan untuk saya. Saya tidak merasa perlu meminta apa-apa lagi
kepada Beliau.
Berbincang
dengan Tuhan itu sungguh menyenangkan. Saya bisa bebas memperbincangan tema apa
saja. Bebas sebebas-bebasnya. Dari masalah pekerjaan, keluarga, pergaulan, bahkan
sampai masalah cinta. Kadang kami tersenyum bersama, tertawa bersama, bahkan
menangis bersama. Bagi saya Tuhan itu adalah pendengar yang baik, sangat teramat
baik. Tuhan ibarat sahabat karib yang selalu siap menerima uneg-uneg kita. Ternyata
saya tidak perlu mantra atau ayat suci untuk berbicara dengan Tuhan. Cukup
berbicara dengan bahasa yang saya kuasai saja, Beliau sudah bisa mengerti. Ternyata
Tuhan itu tidak seseram dan seformal yang saya kira.
Saya tahu
sekarang sedang trend dibahas perihal
penistaan agama. Apakah berbincang dengan Tuhan seperti yang saya lakukan
menistakan agama? Saya sendiri tidak tahu. Memang dalam kitab suci berbagai
agama, tidak dikenal istilah ‘berbincang dengan Tuhan’. Jujur saya tidak peduli
apakah perbuatan saya, berbincang dengan Tuhan, itu salah atau tidak. Saya
menyukainya dan saya melaksanakannya. Malah menurut saya (maaf kalau lancang)
agama justru mengekang kebebasan kita ‘bergaul’ dengan Tuhan. Terlalu banyak ke-formalitas-an
dan kekakuan dalam ajaran agama. Isi dari agama itu tidak lebih dari harus
beginilah, tidak boleh begitulah. Ini saya tidak menunjuk satu agama saja,
karena semua agama saya rasa demikian. Belum lagi rangkaian serimonial yang
kadang saya rasa berlebihan. Padahal menurut saya agama itu hanyalah sebuah “alat”
menuju Tuhan. Kalau boleh saya analogikan, agama itu seperti alat transportasi
dan Tuhan adalah lokasi yang ingin dicapai. Mengingat agama hanyalah alat
trasportasi, jadi boleh dong kita memilih sesuka kita, senyaman kita. Bahkan
yang lebih ekstrem lagi, boleh dong kita tidak memakai alat transportasi itu, dan
memilih berjalan kaki?
Sebuah
pertanyaan sederhana. Kenapa kita tidak boleh ‘bergaul’ dengan Tuhan dengan
cara kita masing-masing? Tidak perlu saling menyalahkan, tidak perlu saling
membenarkan. Your way is your way, and my
way is my way. Betapa indahnya dunia saat itu bisa terwujud.
Tulisan
ini sama sekali tidak bermaksud mempengaruhi. Ini hanyalah sekedar corat-coret
iseng saya. Sebuah kegalauan saat menonton televisi. Saat melihat orang-orang sampai
turun ke jalan, hanya karena satu orang (yang katanya salah) menyebut sepenggal
ayat suci. Bahkan sang pengadil meja hijau sampai harus turun tangan. Saya
pernah membincangkan hal ini dengan Tuhan. Dan kami tertawa bersama. Masihkah
kita harus mendebatkan ayat suci yang usianya hampir jutaan tahun? Di jaman
dimana muncul guyonan, seandainya saja Tuhan punya sosial media. Iya, saat nanti
Tuhan punya sosial media, apakah agama masih diperlukan? Kan cukup tinggal mention.
Mungkin
adanya baiknya saya akhiri saja tulisan saya ini. Tentu saya tidak ingin
bernasib sama seperti sang Calon Petahana Ibukota. Saya juga tidak mau diklaim
akan masuk neraka, hanya karena beberapa paragraf semata. Berbicara mengenai
neraka, mungkin ada baiknya saya tutup tulisan ini dengan sepenggal lirik
sebuah lagu. Lagu dari almarhum Chrisye. Sebagai bahan renungan bersama.
“Apakah
kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya? Atau mungkin kita hanya takut
pada neraka dan inginkan surga?”
.
Renon, 5 Januari 2017
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar