Jumat, 06 Januari 2017

Berbincang Dengan Tuhan


Malam hari sebelum tidur, bila ada kesempatan, saya selalu berbincang dengan Tuhan. Mungkin anda akan mengira saya gila, terserah saja saya tidak peduli. Konteks berbincang disini adalah benar-benar berbincang. Bercakap-cakap. Saya tidak memohon apa-apa, saya tidak minta diberi apa-apa. Bagi saya, hidup ini adalah anugerah terbesar Tuhan untuk saya. Saya tidak merasa perlu meminta apa-apa lagi kepada Beliau.



Berbincang dengan Tuhan itu sungguh menyenangkan. Saya bisa bebas memperbincangan tema apa saja. Bebas sebebas-bebasnya. Dari masalah pekerjaan, keluarga, pergaulan, bahkan sampai masalah cinta. Kadang kami tersenyum bersama, tertawa bersama, bahkan menangis bersama. Bagi saya Tuhan itu adalah pendengar yang baik, sangat teramat baik. Tuhan ibarat sahabat karib yang selalu siap menerima uneg-uneg kita. Ternyata saya tidak perlu mantra atau ayat suci untuk berbicara dengan Tuhan. Cukup berbicara dengan bahasa yang saya kuasai saja, Beliau sudah bisa mengerti. Ternyata Tuhan itu tidak seseram dan seformal yang saya kira.
Saya tahu sekarang sedang trend dibahas perihal penistaan agama. Apakah berbincang dengan Tuhan seperti yang saya lakukan menistakan agama? Saya sendiri tidak tahu. Memang dalam kitab suci berbagai agama, tidak dikenal istilah ‘berbincang dengan Tuhan’. Jujur saya tidak peduli apakah perbuatan saya, berbincang dengan Tuhan, itu salah atau tidak. Saya menyukainya dan saya melaksanakannya. Malah menurut saya (maaf kalau lancang) agama justru mengekang kebebasan kita ‘bergaul’ dengan Tuhan. Terlalu banyak ke-formalitas-an dan kekakuan dalam ajaran agama. Isi dari agama itu tidak lebih dari harus beginilah, tidak boleh begitulah. Ini saya tidak menunjuk satu agama saja, karena semua agama saya rasa demikian. Belum lagi rangkaian serimonial yang kadang saya rasa berlebihan. Padahal menurut saya agama itu hanyalah sebuah “alat” menuju Tuhan. Kalau boleh saya analogikan, agama itu seperti alat transportasi dan Tuhan adalah lokasi yang ingin dicapai. Mengingat agama hanyalah alat trasportasi, jadi boleh dong kita memilih sesuka kita, senyaman kita. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, boleh dong kita tidak memakai alat transportasi itu, dan memilih berjalan kaki?
Sebuah pertanyaan sederhana. Kenapa kita tidak boleh ‘bergaul’ dengan Tuhan dengan cara kita masing-masing? Tidak perlu saling menyalahkan, tidak perlu saling membenarkan. Your way is your way, and my way is my way. Betapa indahnya dunia saat itu bisa terwujud.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mempengaruhi. Ini hanyalah sekedar corat-coret iseng saya. Sebuah kegalauan saat menonton televisi. Saat melihat orang-orang sampai turun ke jalan, hanya karena satu orang (yang katanya salah) menyebut sepenggal ayat suci. Bahkan sang pengadil meja hijau sampai harus turun tangan. Saya pernah membincangkan hal ini dengan Tuhan. Dan kami tertawa bersama. Masihkah kita harus mendebatkan ayat suci yang usianya hampir jutaan tahun? Di jaman dimana muncul guyonan, seandainya saja Tuhan punya sosial media. Iya, saat nanti Tuhan punya sosial media, apakah agama masih diperlukan? Kan cukup tinggal mention.
Mungkin adanya baiknya saya akhiri saja tulisan saya ini. Tentu saya tidak ingin bernasib sama seperti sang Calon Petahana Ibukota. Saya juga tidak mau diklaim akan masuk neraka, hanya karena beberapa paragraf semata. Berbicara mengenai neraka, mungkin ada baiknya saya tutup tulisan ini dengan sepenggal lirik sebuah lagu. Lagu dari almarhum Chrisye. Sebagai bahan renungan bersama.

Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya? Atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga?
.
Renon, 5 Januari 2017
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar