Bailey : So, Max?
Charlie : It’s better
this way. Marvin and Debra have the money. Max is settled.
Bailey : I saw the
way he looked at you. Charlie, that’s the way I looked at my dad.
Charlie : Come on!
Bailey : Even now.
I’d give anything to have that back.
Charlie : Your dad…
your dad was special. He was… he was in your corner from day one. Me? Come on,
I blew it! I blew it. When Max was born I just freaked out, I just…
Bailey : Something
is better than nothing.
Charlie : I just wouldn’t
know where to start.
Max and Charlie |
Deretan dialog diatas berasal dari film ‘Real Steel’. Entah sudah berapa
kali saya menonton film tersebut, namun rasa yang muncul tetap saja sama. Film
ini menarik di mata saya bukan hanya karena special
efect-nya yang keren, namun juga karena jalan ceritanya yang menyentuh.
Sebuah perpaduan gendre action dan
drama yang menarik. Film ini memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak saya, “Apakah
nanti saya akan bisa jadi sosok ayah yang baik untuk anak saya?”
Diceritakan kalau Charlie Kenton (Hugh Jackman) adalah seorang mantan
petinju. Selepas pensiun dari ring tinju, Charlie mengandalkan hidupnya dari
tarung robot. Sebuah profesi yang tidak menjanjikan, mengingat semata kekalahan
yang diterimanya. Beruntung ada sosok cantik bernama Bailey yang selalu hadir disisinya, yang selalu memberinya semangat. Sosok Charlie ini seperti menjadi cerminan diri saya, minus hadirnya si sosok cantik tentunya. Diumur
yang sudah tidak lagi muda, seharusnya saya sudah memiliki pekerjaan tetap yang
bisa menjamin kehidupan. Namun, kenyataannya saya terus saja berpindah dari satu
tempat kerja ke tempat kerja lain. Sungguh sebuah kehidupan yang tidak bisa
diandalkan, terutama di mata wanita pastinya.
Ditengah kehidupannya, tiba-tiba Charlie harus menerima kenyataan kalau
dia memiliki seorang anak. Anak ini bernama Max. Jalan cerita pun terus
berlanjut, bagaimana Max akhirnya terlibat dalam kehidupan Charlie yang “kacau”
tersebut. Silakan tonton saja sendiri film ‘Real Steel’ untuk cerita
lengkapnya. Naik turunnya hubungan antara Charlie dan Max inilah yang membuat
saya berpikir. Berpikir tentang kodrat saya sebagai laki-laki. Kodrat untuk
nantinya menjadi seorang ayah.
Saya sendiri lahir dalam keluarga dengan kepala keluarga yang keras. Iya
ayah saya adalah seorang yang sangat keras, kalau tidak boleh disebut otoriter.
Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan, dimana saya tidak memiliki “hak” untuk
berpendapat. Apa yang dikatakan oleh ayah saya, itulah yang harus saya lakukan.
Syukurnya sifat tersebut pelan-pelan terkikis seiring bertambahnya usia saya,
walau tidak hilang sama sekali. Dari situ saya kerap memperhatikan bagaimana karakter
dari ayah-ayah teman yang kebetulan saya kenal. Ternyata karakter mereka
beragam. Ada yang sangat demokratis, sangat bebas, dan ada juga yang keras
seperti ayah saya. Waktu itu saya berangan betapa enaknya bila memiliki ayah
yang sedikit agak “bebas”. Pernah saya membaca buku psikologi, kalau seorang
anak yang tumbuh dalam lingkungan yang keras, akan cenderung menjadi seorang
ayah yang bebas. Kalau mau jujur sih, saya ingin menjadi seorang ayah yang bisa
keduanya. Keras sekaligus bebas. Saya ingin membebaskan pergaulan anak saya,
namun disisi lain untuk hal-hal prinsip saya akan menjadi “keras”. Tentu saja hal
itu harus disesuaikan dengan sifat dan karakter dari anak saya tentunya.
Intinya saya hanya ingin memberi bekal untuk anak-anak saya dalam menjalani
hidup. Sisanya, biarlah hidup yang menjadi “guru” bagi mereka.
Kenapa saya menekankan diri menjadi ayah, bukan menjadi suami? Tentu saya
ingin menjadi suami yang baik untuk istri saya nanti. Namun, menjadikan saya
seorang suami adalah sebuah pilihan. Istri saya memilih saya sebagai suaminya,
diantara beberapa pilihan laki-laki yang mungkin dia miliki. Kalau pun nantinya
dia merasa dia telah membuat pilihan yang salah, maka saya tidak akan memaksanya
untuk tetap tinggal. Semoga saja sih hal itu tidak sampai terjadi. Saya pun
berharap hanya memberi cinta saya untuk satu orang wanita saja seumur hidup. Hal
ini tentu berbeda konteksnya dengan anak. Seorang anak tidak bisa memilih orang
tua mereka. Itu adalah jalan hidup yang harus mereka jalani. Suka tidak suka,
mau tidak mau, garis darah tidak mungkin bisa terputus.
Maka anakku, jika nantinya kamu membaca tulisan ini, semoga saja cita-cita
ayahmu ini bisa tercapai. Semoga saja ayah sudah bisa menjadi seorang ayah yang
baik dimatamu. Dan wahai anakku, sebagai penutup ijinkan ayah menitipkan sebuah
pesan, “Bahagiakan-lah ibumu. Tidak perlu memikirkan kebahagiaan ayahmu ini. Karena
kalau kamu dan ibumu bahagia, maka ayah pun akan ikut bahagia.”
.
Bali, 26 November 2016
.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)