Minggu, 27 November 2016

Dalam Benak Seorang Calon Ayah


Bailey    : So, Max?
Charlie  : It’s better this way. Marvin and Debra have the money. Max is settled.
Bailey    : I saw the way he looked at you. Charlie, that’s the way I looked at my dad.
Charlie  : Come on!
Bailey    : Even now. I’d give anything to have that back.
Charlie : Your dad… your dad was special. He was… he was in your corner from day one. Me? Come on, I blew it! I blew it. When Max was born I just freaked out, I just…
Bailey    : Something is better than nothing.
Charlie  : I just wouldn’t know where to start.

Max and Charlie

Deretan dialog diatas berasal dari film ‘Real Steel’. Entah sudah berapa kali saya menonton film tersebut, namun rasa yang muncul tetap saja sama. Film ini menarik di mata saya bukan hanya karena special efect-nya yang keren, namun juga karena jalan ceritanya yang menyentuh. Sebuah perpaduan gendre action dan drama yang menarik. Film ini memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak saya, “Apakah nanti saya akan bisa jadi sosok ayah yang baik untuk anak saya?”
Diceritakan kalau Charlie Kenton (Hugh Jackman) adalah seorang mantan petinju. Selepas pensiun dari ring tinju, Charlie mengandalkan hidupnya dari tarung robot. Sebuah profesi yang tidak menjanjikan, mengingat semata kekalahan yang diterimanya. Beruntung ada sosok cantik bernama Bailey yang selalu hadir disisinya, yang selalu memberinya semangat. Sosok Charlie ini seperti menjadi cerminan diri saya, minus hadirnya si sosok cantik tentunya. Diumur yang sudah tidak lagi muda, seharusnya saya sudah memiliki pekerjaan tetap yang bisa menjamin kehidupan. Namun, kenyataannya saya terus saja berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lain. Sungguh sebuah kehidupan yang tidak bisa diandalkan, terutama di mata wanita pastinya.
Ditengah kehidupannya, tiba-tiba Charlie harus menerima kenyataan kalau dia memiliki seorang anak. Anak ini bernama Max. Jalan cerita pun terus berlanjut, bagaimana Max akhirnya terlibat dalam kehidupan Charlie yang “kacau” tersebut. Silakan tonton saja sendiri film ‘Real Steel’ untuk cerita lengkapnya. Naik turunnya hubungan antara Charlie dan Max inilah yang membuat saya berpikir. Berpikir tentang kodrat saya sebagai laki-laki. Kodrat untuk nantinya menjadi seorang ayah.
Saya sendiri lahir dalam keluarga dengan kepala keluarga yang keras. Iya ayah saya adalah seorang yang sangat keras, kalau tidak boleh disebut otoriter. Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan, dimana saya tidak memiliki “hak” untuk berpendapat. Apa yang dikatakan oleh ayah saya, itulah yang harus saya lakukan. Syukurnya sifat tersebut pelan-pelan terkikis seiring bertambahnya usia saya, walau tidak hilang sama sekali. Dari situ saya kerap memperhatikan bagaimana karakter dari ayah-ayah teman yang kebetulan saya kenal. Ternyata karakter mereka beragam. Ada yang sangat demokratis, sangat bebas, dan ada juga yang keras seperti ayah saya. Waktu itu saya berangan betapa enaknya bila memiliki ayah yang sedikit agak “bebas”. Pernah saya membaca buku psikologi, kalau seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang keras, akan cenderung menjadi seorang ayah yang bebas. Kalau mau jujur sih, saya ingin menjadi seorang ayah yang bisa keduanya. Keras sekaligus bebas. Saya ingin membebaskan pergaulan anak saya, namun disisi lain untuk hal-hal prinsip saya akan menjadi “keras”. Tentu saja hal itu harus disesuaikan dengan sifat dan karakter dari anak saya tentunya. Intinya saya hanya ingin memberi bekal untuk anak-anak saya dalam menjalani hidup. Sisanya, biarlah hidup yang menjadi “guru” bagi mereka.
Kenapa saya menekankan diri menjadi ayah, bukan menjadi suami? Tentu saya ingin menjadi suami yang baik untuk istri saya nanti. Namun, menjadikan saya seorang suami adalah sebuah pilihan. Istri saya memilih saya sebagai suaminya, diantara beberapa pilihan laki-laki yang mungkin dia miliki. Kalau pun nantinya dia merasa dia telah membuat pilihan yang salah, maka saya tidak akan memaksanya untuk tetap tinggal. Semoga saja sih hal itu tidak sampai terjadi. Saya pun berharap hanya memberi cinta saya untuk satu orang wanita saja seumur hidup. Hal ini tentu berbeda konteksnya dengan anak. Seorang anak tidak bisa memilih orang tua mereka. Itu adalah jalan hidup yang harus mereka jalani. Suka tidak suka, mau tidak mau, garis darah tidak mungkin bisa terputus.
Maka anakku, jika nantinya kamu membaca tulisan ini, semoga saja cita-cita ayahmu ini bisa tercapai. Semoga saja ayah sudah bisa menjadi seorang ayah yang baik dimatamu. Dan wahai anakku, sebagai penutup ijinkan ayah menitipkan sebuah pesan, “Bahagiakan-lah ibumu. Tidak perlu memikirkan kebahagiaan ayahmu ini. Karena kalau kamu dan ibumu bahagia, maka ayah pun akan ikut bahagia.”
.
Bali, 26 November 2016
.

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus