Rabu, 02 November 2016

Inferno: Neraka Yang Berakhir Surga


The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis


Inferno Novel
Penggalan kalimat tersebut dipilih Dan Brown sebagai pembuka dari novelnya, Inferno. Tulisan ini bisa dibilang sebuah review super duper telat, mengingat novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak tahun 2013. Saya tertarik membaca Inferno karena menjelang akhir tahun 2016, buku ini akhirnya difilmkan dengan judul yang sama. Saya selalu menyukai film-film yang diadopsi dari karya-karya Dan Brown, seperti The Davinci Code dan Angels & Demons. Jujur untuk dua judul tadi saya lebih dulu menonton filmnya baru kemudian membaca novelnya. Nah khusus untuk Inferno ini, saya lakukan hal yang sebaliknya. Sekedar ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan saya menyesal telah melakukannya.
Seperti kebanyakan novel yang diadopsi ke layar lebar, masalah durasi memang menjadi momok yang sangat menakutkan. Sebuah buku setebal 639 halaman (versi bahasa Indonesianya), harus dituturkan dalam gambar bergerak selama 121 menit. Akibatnya harus ada beberapa plot yang dikorbankan. Konsekuensi dari membaca novel Inferno sebelum menonton filmnya, adalah saya jadi tahu plot-plot mana yang dibuang. Hal ini jelas memunculkan kekecewaan tersendiri. Dalam imajinasi saya adegan kejar-kejaran di kota Firenze, Italia dan juga Istambul, Turki berlangsung begitu hebat, namun tidak demikian dengan adegan di filmnya. Demikian pun dengan uraian detail lokasi-lokasi bersejarah di kedua negara tersebut dalam novel, seakan tidak tergambar jelas di filmnya. Detail yang menjadi kekuatan dari novel ini seakan menguap saat difilmkan. Namun, sekali lagi untuk novel apapun yang difilmkan, durasi waktu pastilah menjadi musuh terbesar.
Terlepas dari semua kekurangan tadi, paling tidak menurut saya sebagai orang awam, film ini cukup menarik untuk ditonton. Benang merah alur di dalam novel tidak sepenuhnya hilang. Keseruan masih cukup tergambar dengan baik, walau ada beberapa plot-plot misteri seru yang dihilangkan, sekali lagi atas nama durasi waktu. Mungkin ada baiknya anda menonton saja filmnya langsung, dan membandingkannya dengan membaca novelnya. Saya tidak ingin tulisan ini menjadi spoiler bagi anda. Tentu itu akan mengurangi keseruan dalam anda berimajinasi dengan karya Dan Brown yang satu ini. Terakhir saya ucapkan selamat membaca, dan selamat menonton.

Sekilas Tentang Dante
Mungkin bagi yang sudah membaca atau menonton Inferno, anda akan tahu kalau novel ini berpusat pada karya Dante Alighieri. Jujur setelah membaca dan menonton Inferno, saya jadi sedikit penasaran dengan sosok Dante. Maka saya pun melakukan sedikit riset kecil-kecilan tentang tokoh yang satu ini. Dante, lahir dengan nama Durante Degli Alighieri pada tanggal 1 Juni 1265. Meninggal pada tanggal 13/14 September 1321. Dante dianggap sebagai raja penyair dari kota Firenze, bangsa Italia. Ada pula yang menyebut Dante sebagai bapak kesusastraan Italia Abad Pertengahan. Karya sastra yang membuatnya tersohor adalah puisi berbentuk epos berjudul Divina Commedia (La Commedia) yang dikarang pada 1292. Divina Commedia bertutur tentang perjalanan imajiner Dante ke Surga dan Neraka dengan bimbingan Virgilius, seorang penyair Romawi yang merupakan sahabat karib Dante. Alkisah, setelah menyaksikan keadaan di Neraka dan Tempat Penyucian, akhirnya mereka tiba di surga. Di situlah Virgilius menyerahkan Dante kepada Beatrice, dan kedua insan itu sampai di Takhta Tuhan diiringi bidadari. Konsep neraka dan surga yang digambarkan dalam epos ini sedemikian detail dan nyata. Bahkan saking nyatanya gambaran Dante, sampai sekarang sebagian besar manusia di dunia mempercayai keberadaan neraka dan surga sebagaimana tergambar pada karya Divina Commedia.
Yang menarik perhatian saya dari karya Divina Commedia bukanlah konsep neraka dan surganya Dante, namun apa yang mengilhami ditulisnya karya ini. Ilham dalam karya Davina Commedia didapati Dante dari peristiwa jatuh cinta kepada Beatrice Portinaire yang dalam kenyataannya, sepanjang hidup hanya dua kali dilihatnya. Menarik sekaligus unik bukan? Cinta kepada sosok yang hanya dua kali kita lihat. Cinta itu memang terkadang tidak masuk akal.
Menurut buku Boccacio's Life of Dante (buku riwayat hidup Dante), Dante bertemu dengan Beatrice pertama kali pada usia sama-sama 9 tahun, dan sempat saling sapa kembali pada pertengahan Mei 1283. Setelah Beatrice meninggal (tahun 1290 - konon saat berusia 24 tahun setelah menikah dengan seorang bankir kaya), barulah Dante menikah dengan wanita lain. Ketika Beatrice meninggal, Dante menulis sebuah lagu yang menjadi awalan Divina Commedia berjudul La Vita Nouva (hidup baru). Sekali lagi harus saya akui kalau kisah cinta Dante ini, sebuah kisah cinta yang unik.
Cerita cinta Dante ini membuat saya berpikir, kalau inspirasi sebuah karya seni bisa datang dari mana saja. Sosok wanita dan cinta memang jelas adalah sumber inspirasi paling umum. Jatuh cinta, putus cinta, patah hati, menjadi tema-tema klasik sebuah karya seni. Apapun bentuk dari karya seni tersebut, bisa berupa tulisan, puisi, lukisan, patung, dan lain sebagainya. Ambil contoh saja yang paling dekat di Bali. Ada seorang amestro pelukis bernama Antonio Blanco. Karya-karya lukisan Blanco sebagian besar lahir dari rasa cintanya kepada seorang gadis Bali, yang sekaligus adalah istrinya, bernama Ni Ronji. Begitu pula dengan saya. Ada beberapa tulisan saya yang terispirasi oleh sosok wanita yang pernah hadir dalam kehidupan saya. Entah itu hadir dalam waktu singkat, ataupun sedikit agak lama. Tulisan yang mana? Silakan anda menilainya sendiri nanti. Kalau terinspirasi dari cinta mungkin belum, atau mungkin sudah. Entahlah. Seperti salah satunya tulisan singkat dibawah ini:

Terpesona aku pada wanita untuk sekian kalinya
Entah kali yang keberapa
Membuat rasa berperang lagi melawan logika
Logika lagi-lagi mengalahkan rasa
Maka biarlah kupandang dia ibaratnya bunga
Membiarkan dia tetap indah di sana adalah terbaik untuk semua
Seperti bunga-bunga pendahulunya
Namun tetap tidak bisa kubohongi rasa
Aku terpesona dengan dia
Dia Amara
Kuta – 28 Oktober 2016

Kini saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Dante. Hanya bisa mencintai dengan mata. Rasanya sungguh luar biasa. Mencinta sekaligus merela. Sungguh saya bisa merasakan apa yang anda rasakan, Dante. Sungguh.
Lalu kenapa saya membenturkan logika setiap kali dihadapkan pada persoalan rasa? Kembali ke novel Inferno itu sendiri, tepatnya pada sosok Dr. Sienna Brooks. Belajar dari sosok ini saya pun berprinsip “Be careful with beauty, because beauty can manipulate you.”

Manusia Adalah Virus Dunia?
Inferno Movie
Kita kembali lagi ke novel dan film Inferno. Manusia adalah virus dunia, mungkin itulah inti dari Inferno. Paling tidak itu yang saya tangkap secara subjektif. Hal ini membuat saya berpikir, kalau ungkapan itu ada benarnya. Sudah banyak sekali karya yang mengangkat hal ini sebagai tema. Terus terang saya sedikit setuju dengan pemikiran ilmuan, sekaligus milyarder, Bertrand Zobrist. Manusia adalah virus dunia. Pertumbuhan manusia dari tahun ke tahun memang harus mulai diperhatikan. Hal ini mulai mengganggu ekosistem dunia. Ekosistem dunia pelan tapi pasti tidak akan mampu lagi menopang jumlah populasi manusia. Belum lagi tingkah polah manusia yang ibarat “virus”. Menggerogoti sedikit demi sedikit sel-sel kehidupan dunia. Hanya saja, saya tidak setuju dengan cara yang ditempuh Zobrist. Revolusi dengan memusnahkan populasi dunia menggunakan virus berbahaya.
The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis” - kembali ke kutipan awal novel Inferno. Memang kita tidak bisa hanya berdiam diri saja saat dunia mulai mengalami krisis. Hanya saja, masih banyak cara yang dapat dilakukan selain menciptakan virus pemusnah masal. Namun bagaimana pun menurut saya kembali kepada alam itu sendiri. Biarlah alam memilih caranya sendiri. Nature will find their own ways. Saat dirasa populasi manusia mulai mengganggu, alam akan memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya. Sebagaimana alam memutuskan untuk memusnahkan populasi Dinosaurus. Mereka memiliki “sistem mutasi genom” sendiri saat manusia perlahan berkembang menjadi “virus”. Kita manusia tidak perlu ikut campur dalam proses tersebut. Mungkin saat itulah yang nanti disebut sebagai kiamat. Proses ini pasti akan penuh dengan isak tangis, tragedi dari kehilangan orang yang kita sayang. Semua itu tentu untuk kebaikan. Proses seleksi alam itu awalnya mungkin akan terasa seperti “Inferno”, dimana akhirnya akan menjadi “Paradiso”. Neraka yang berakhir Surga.
Itulah beberapa hal yang dapat saya bisa tangkap dari membaca dan menonton Inferno, karya Dan Brown. Terlepas dari corat-coret saya diatas, Inferno adalah sebuah karya yang menarik untuk dinikmati. Kini tergantung penilaian masing-masing, karena bagus atau tidaknya kembali pada faktor selera.

Kuta, 28 Oktober 2016
Dikutip dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar