“The darkest places in hell are
reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis”
Inferno Novel |
Penggalan
kalimat tersebut dipilih Dan Brown sebagai pembuka dari novelnya, Inferno. Tulisan
ini bisa dibilang sebuah review super
duper telat, mengingat novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sejak tahun 2013. Saya tertarik membaca Inferno karena menjelang akhir tahun
2016, buku ini akhirnya difilmkan dengan judul yang sama. Saya selalu menyukai
film-film yang diadopsi dari karya-karya Dan Brown, seperti The Davinci Code
dan Angels & Demons. Jujur untuk dua judul tadi saya lebih dulu menonton
filmnya baru kemudian membaca novelnya. Nah khusus untuk Inferno ini, saya
lakukan hal yang sebaliknya. Sekedar ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan
saya menyesal telah melakukannya.
Seperti
kebanyakan novel yang diadopsi ke layar lebar, masalah durasi memang menjadi
momok yang sangat menakutkan. Sebuah buku setebal 639 halaman (versi bahasa
Indonesianya), harus dituturkan dalam gambar bergerak selama 121 menit. Akibatnya
harus ada beberapa plot yang dikorbankan. Konsekuensi dari membaca novel
Inferno sebelum menonton filmnya, adalah saya jadi tahu plot-plot mana yang
dibuang. Hal ini jelas memunculkan kekecewaan tersendiri. Dalam imajinasi saya
adegan kejar-kejaran di kota Firenze, Italia dan juga Istambul, Turki
berlangsung begitu hebat, namun tidak demikian dengan adegan di filmnya.
Demikian pun dengan uraian detail lokasi-lokasi bersejarah di kedua negara tersebut
dalam novel, seakan tidak tergambar jelas di filmnya. Detail yang menjadi
kekuatan dari novel ini seakan menguap saat difilmkan. Namun, sekali lagi untuk
novel apapun yang difilmkan, durasi waktu pastilah menjadi musuh terbesar.
Terlepas dari
semua kekurangan tadi, paling tidak menurut saya sebagai orang awam, film ini
cukup menarik untuk ditonton. Benang merah alur di dalam novel tidak sepenuhnya
hilang. Keseruan masih cukup tergambar dengan baik, walau ada beberapa plot-plot
misteri seru yang dihilangkan, sekali lagi atas nama durasi waktu. Mungkin ada
baiknya anda menonton saja filmnya langsung, dan membandingkannya dengan
membaca novelnya. Saya tidak ingin tulisan ini menjadi spoiler bagi anda. Tentu itu akan mengurangi keseruan dalam anda
berimajinasi dengan karya Dan Brown yang satu ini. Terakhir saya ucapkan
selamat membaca, dan selamat menonton.
Sekilas Tentang Dante
Mungkin bagi
yang sudah membaca atau menonton Inferno, anda akan tahu kalau novel ini berpusat
pada karya Dante Alighieri. Jujur setelah membaca dan menonton Inferno, saya
jadi sedikit penasaran dengan sosok Dante. Maka saya pun melakukan sedikit
riset kecil-kecilan tentang tokoh yang satu ini. Dante, lahir dengan nama Durante Degli Alighieri pada tanggal 1 Juni 1265.
Meninggal pada
tanggal 13/14 September 1321. Dante dianggap sebagai raja penyair dari kota Firenze, bangsa
Italia. Ada pula yang menyebut Dante sebagai bapak kesusastraan Italia Abad
Pertengahan. Karya sastra yang membuatnya tersohor adalah puisi berbentuk epos
berjudul Divina Commedia (La Commedia) yang dikarang pada 1292. Divina Commedia bertutur tentang perjalanan imajiner Dante ke Surga dan Neraka dengan
bimbingan Virgilius, seorang penyair Romawi yang merupakan sahabat karib Dante.
Alkisah, setelah menyaksikan keadaan di Neraka dan Tempat Penyucian, akhirnya
mereka tiba di surga. Di situlah Virgilius menyerahkan Dante kepada Beatrice, dan
kedua insan itu sampai di Takhta Tuhan diiringi bidadari. Konsep neraka dan surga yang digambarkan dalam epos ini
sedemikian detail dan nyata. Bahkan saking nyatanya gambaran Dante, sampai
sekarang sebagian besar manusia di dunia mempercayai keberadaan neraka dan
surga sebagaimana tergambar pada karya Divina
Commedia.
Yang menarik
perhatian saya dari karya Divina Commedia bukanlah konsep neraka dan surganya Dante, namun apa yang
mengilhami ditulisnya karya ini. Ilham
dalam karya Davina Commedia didapati Dante dari peristiwa jatuh cinta kepada Beatrice
Portinaire yang dalam kenyataannya, sepanjang hidup hanya dua kali dilihatnya. Menarik sekaligus unik bukan? Cinta kepada sosok yang hanya dua kali kita
lihat. Cinta itu memang terkadang tidak masuk akal.
Menurut buku Boccacio's
Life of Dante (buku riwayat hidup Dante), Dante bertemu dengan Beatrice pertama kali pada usia sama-sama 9 tahun,
dan sempat saling sapa kembali pada
pertengahan Mei 1283. Setelah Beatrice meninggal (tahun 1290 - konon saat berusia 24 tahun setelah menikah dengan
seorang bankir kaya), barulah Dante menikah dengan wanita lain. Ketika Beatrice
meninggal, Dante menulis sebuah lagu yang menjadi awalan Divina Commedia berjudul
La Vita Nouva (hidup baru). Sekali lagi harus saya akui kalau kisah cinta Dante ini, sebuah kisah
cinta yang unik.
Cerita cinta
Dante ini membuat saya berpikir, kalau inspirasi sebuah karya seni bisa datang
dari mana saja. Sosok wanita dan cinta memang jelas adalah sumber inspirasi
paling umum. Jatuh cinta, putus cinta, patah hati, menjadi tema-tema klasik
sebuah karya seni. Apapun bentuk dari karya seni tersebut, bisa berupa tulisan,
puisi, lukisan, patung, dan lain sebagainya. Ambil contoh saja yang paling
dekat di Bali. Ada seorang amestro pelukis bernama Antonio Blanco. Karya-karya
lukisan Blanco sebagian besar lahir dari rasa cintanya kepada seorang gadis
Bali, yang sekaligus adalah istrinya, bernama Ni Ronji. Begitu pula dengan
saya. Ada beberapa tulisan saya yang terispirasi oleh sosok wanita yang pernah hadir
dalam kehidupan saya. Entah itu hadir dalam waktu singkat, ataupun sedikit agak
lama. Tulisan yang mana? Silakan anda menilainya sendiri nanti. Kalau
terinspirasi dari cinta mungkin belum, atau mungkin sudah. Entahlah. Seperti
salah satunya tulisan singkat dibawah ini:
Terpesona aku pada wanita untuk sekian
kalinya
Entah kali yang keberapa
Membuat rasa berperang lagi melawan
logika
Logika lagi-lagi mengalahkan rasa
Maka biarlah kupandang dia ibaratnya
bunga
Membiarkan dia tetap indah di sana adalah
terbaik untuk semua
Seperti bunga-bunga pendahulunya
Namun tetap tidak bisa kubohongi
rasa
Aku terpesona dengan dia
Dia Amara
Kuta – 28 Oktober 2016
Kini saya bisa merasakan
apa yang dirasakan oleh Dante. Hanya bisa mencintai dengan mata. Rasanya
sungguh luar biasa. Mencinta sekaligus merela. Sungguh saya bisa merasakan apa
yang anda rasakan, Dante. Sungguh.
Lalu kenapa saya
membenturkan logika setiap kali dihadapkan pada persoalan rasa? Kembali ke
novel Inferno itu sendiri, tepatnya pada sosok Dr. Sienna Brooks. Belajar dari
sosok ini saya pun berprinsip “Be careful
with beauty, because beauty can manipulate you.”
Manusia Adalah Virus Dunia?
Inferno Movie |
Kita kembali
lagi ke novel dan film Inferno. Manusia adalah virus dunia, mungkin itulah inti
dari Inferno. Paling tidak itu yang saya tangkap secara subjektif. Hal ini
membuat saya berpikir, kalau ungkapan itu ada benarnya. Sudah banyak sekali
karya yang mengangkat hal ini sebagai tema. Terus terang saya sedikit setuju
dengan pemikiran ilmuan, sekaligus milyarder, Bertrand Zobrist. Manusia adalah
virus dunia. Pertumbuhan manusia dari tahun ke tahun memang harus mulai
diperhatikan. Hal ini mulai mengganggu ekosistem dunia. Ekosistem dunia pelan
tapi pasti tidak akan mampu lagi menopang jumlah populasi manusia. Belum lagi
tingkah polah manusia yang ibarat “virus”. Menggerogoti sedikit demi sedikit
sel-sel kehidupan dunia. Hanya saja, saya tidak setuju dengan cara yang
ditempuh Zobrist. Revolusi dengan memusnahkan populasi dunia menggunakan virus
berbahaya.
“The darkest places in hell are reserved for
those who maintain their neutrality in times of moral crisis” - kembali ke
kutipan awal novel Inferno. Memang kita tidak bisa hanya berdiam diri saja saat
dunia mulai mengalami krisis. Hanya saja, masih banyak cara yang dapat
dilakukan selain menciptakan virus pemusnah masal. Namun bagaimana pun menurut
saya kembali kepada alam itu sendiri. Biarlah alam memilih caranya sendiri. Nature will find their own ways. Saat
dirasa populasi manusia mulai mengganggu, alam akan memutuskan apa yang terbaik
untuk dirinya. Sebagaimana alam memutuskan untuk memusnahkan populasi
Dinosaurus. Mereka memiliki “sistem mutasi genom” sendiri saat manusia perlahan
berkembang menjadi “virus”. Kita manusia tidak perlu ikut campur dalam proses
tersebut. Mungkin saat itulah yang nanti disebut sebagai kiamat. Proses ini pasti
akan penuh dengan isak tangis, tragedi dari kehilangan orang yang kita sayang. Semua
itu tentu untuk kebaikan. Proses seleksi alam itu awalnya mungkin akan terasa
seperti “Inferno”, dimana akhirnya akan menjadi “Paradiso”. Neraka yang
berakhir Surga.
Itulah beberapa
hal yang dapat saya bisa tangkap dari membaca dan menonton Inferno, karya Dan
Brown. Terlepas dari corat-coret saya diatas, Inferno adalah sebuah karya yang
menarik untuk dinikmati. Kini tergantung penilaian masing-masing, karena bagus
atau tidaknya kembali pada faktor selera.
Kuta, 28 Oktober 2016
Dikutip dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar