Denpasar mendapatkan
kesempatan untuk menjadi tuan rumah German Cinema Festival 2016. Acara ini
merupakan hasil kerja sama antara Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut
dengan Bentara Budaya Bali, serta didukung oleh Sehati Production. Dari tanggal
20-22 Oktober 2016, di XII Mall Bali Galeria, Denpasar kebagian 9 (sembilan)
jatah film. Dari kesembilan film itu, disela-sela jadwal kerja, saya cukup
beruntung untuk dapat menyaksikan langsung 2 (dua) film. Kedua film itu
berjudul “Victoria” dan “Ein Atem” – One Breath.
Pada kesempatan
ini, saya akan mencoba mengulas kedua film tersebut dari kaca mata orang awam. Saya
akan mencoba agar tulisan ini tidak menjadi spoiler
untuk mereka yang belum menonton. Baik kita mulai saja dari film pertama, VICTORIA.
“Ini bukan ide biasa: Membuat satu film utuh
dalam satu kali pengambilan gambar, tanpa trik teknis, tanpa pengaman maupun
tipuan, dan dengan resiko penuh. Itulah yang dilakukan Sebastian Schipper dan
timnya dengan sangat berhasil. Salah satu film Jerman paling menggairahkan
dalam beberapa tahun terakhir! Victoria mengajak kita berkeliaran pada malam
hari di Berlin, dan memperlihatkan apa saja yang dapat direalisasikan melalui
film.” Kutipan singkat inilah yang membuat saya tertarik untuk menonton
film Victoria. Apakah mungkin sebuah film berdurasi 136 menit dapat diambil
hanya dalam sekali pengambilan gambar?
Berangkat dari
rasa penasaran, saya menonton film ini dengan sangat serius. Hasilnya diakhir
film saya dibuat terkagum. Kalau benar film ini diambil hanya dalam satu kali
pengambilan gambar, maka film ini adalah sebuah masterpiece. Luar biasa! Dari sisi alur cerita sih film ini bisa
dibilang biasa saja. Namun untuk kemampuan akting para tokohnya, dan sudut
pengambilan gambar musti diacungi lima jempol (satu lagi pinjem temen sebelah).
Kita seolah-olah diajak menonton sebuah penentasan opera atau drama dalam kemasan
film. Untuk sebuah adegan satu kali ambil, gejolak akting para tokohnya seperti
mengalir apa adanya. Kita dibuat ikut larut dalam tawa, tangis, ketegangan,
kekhawatiran, dan naik turunnya emosi para tokoh. Kita seperti benar-benar diajak
terlihat dalam petualangan para tokoh.
Demikian pun untuk
sudut pengambilan gambar. Entah berapa kamera yang digunakan selama proses
pengambilan gambar, namun benar-benar dapat mewakili setiap sudut yang patut mendapat
sorotan. Saya terbayang bagaimana kameraman ikut berlarian, berlompatan, dan
jatuh bangun selama proses pengambilan gambar. Menonton film Victoria ini
seperti menonton sebuah reality show,
yang benar-benar riil. Apalagi sebelum film dimulai, annoncer menegaskan kalau proses pembuatan film ini hanya
menghabiskan waktu 136 menit (dari pukul 4 pagi sampai pukul setengah 6 pagi),
persis sama dengan durasi pemutaran film. Gimana tidak dibuat berdecak kagum
coba…
Baiklah, saya
beri sedikit garis besar jalan cerita dari film Victoria ini. Dikisahkan suatu
waktu, menjelang dini hari di Kota Berlin. Seorang wanita asal Madrid bernama
Victoria, berkenalan dengan empat pria di sebuah klub malam. Keempat pria itu
adalah Sonne, Boxer, Blinker dan Fub. Selama perkenalan mereka berlima
berjalan-jalan santai di sekeliling kota Berlin. Disini dapat tergambar dengan
jelas bagaimana suasana Berlin dini hari. Perkenalan singkat itu memunculkan
ketertarikan antara Victoria dan Sonne. Ketertarikan ini berubah menjadi
petualangan yang tidak terduga, yang langsung merubah kehidupan Victoria. Dari
awalnya hanya seorang penjaga café, Victoria tiba-tiba saja terlibat dalam aksi
kejahatan melawan hukum. Aksi kejar-kejaran dan kucing-kucingan pun terjadi
dengan aparat penegak hukum. Disinilah kekaguman saya muncul. Dengan segala aksi
lari-larian ini, rasanya sungguh tidak mungkin kalau dilakukan dalam satu kali
pengambilan gambar. Namun film ini mengajarkan kita kalau segala sesuatu
mungkin saja dilakukan, bahkan mungkin ketika orang-orang mengatakan kalau hal
itu tidak mungkin. Sisa alur ceritanya? Silakan ditonton saja sendiri, dilain
waktu dan lain kesempatan.
Film kedua
adalah EIN ATEM, atau dalam bahasa inggris ONE BREATH. Menurut saya pribadi, film
ini memiliki alur yang tidak sederhana. Bahkan diakhir film saya dibuat
bergidik dengan ending-nya. Tragedi,
mungkin itu kata yang tergurat di benak saya kala itu. Lalu kenapa saya memilih
film ini? Semata-mata sebagai pengisi jadwal malam minggu saya supaya nggak sepi-sepi amat. Ngenes yah…
Ein Atem memakai
dua alur yang bergerak maju berbarengan, menuju ke sebuah titik klimaks.
Dikisahkan dua orang wanita dengan permasalahan hidup mereka masing-masing. ELENA,
berusia 27 tahun, adalah seorang wanita yang berasal dari Yunani. Krisis di
negaranya membuat Elena harus kehilangan pekerjaan. Demi terus memutar roda
perekonomiannya, Elena pun memilih untuk berpisah dengan kekasihnya, dan
mengadu nasib ke Jerman. TESSA, berusia 37 tahun, adalah seorang ibu rumah
tangga dengan karier yang bagus. Membagi kewajiban antara rumah dan kantor
ternyata tidaklah mudah. Tessa kerap kali didera stress yang hebat, ditambah
harus mengurus putri semata wayangnya Lotte, yang baru berusia 18 bulan. Dalam
sosok Lotte-lah, alur kedua tokoh wanita ini akhirnya bertemu. Tessa atas
dukungan suaminya memilih untuk mencari seorang babysitter untuk sang buah hati. Kebetulan Elena yang sedang
membutuhkan pekerjaan membaca iklan lowongan tersebut. Dua alur yang semula
terpisah pun bertemu pada titik ini. Klimaks mulai meningkat ketika Elena
mengetahui kalau dirinya hamil. Tentu sangat sulit mengurus anak orang lain,
sementara Elena harus mengurus anak sendiri dalam rahimnya. Klimaks terus
menanjak ketika suatu hari, Lotte diculik ketika Elena membawanya
berjalan-jalan. Aksi kejar dan cari pun dimulai, antara Tessa dan Elena. Bagaimana
kelanjutannya? Sekali lagi silakan anda menontonnya sendiri, dilain waktu dan
lain kesempatan.
Demikian ulasan
sederhana saya untuk film Victoria dan Ein Atem. Semoga berkenan, dan sampai
jumpa di ajang festival film di Bali lainnya. Semoga kala itu bisa lebih banyak
film lagi yang dapat saya ulas.
Denpasar, 27 Oktober 2016
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar