Alkisah, ada dua profesor yang sedang berdebat panjang
lebar tentang ilmu mereka. Satu sama lain berusaha menggungguli dan menjadi
pemenang dalam debat tersebut. Salah satu profesor mengatakan, “Saya sudah tahu
banyak hal dalam hidup ini, sudah membaca sekian banyak teori dan buku. Jadi,
saya tahu semuanya”. Profesor yang satu lagi tidak mau kalah dan mengatakan hal
yang sama.
Salah satu profesor tersebut tinggal di seberang
sungai. Seperti biasa, ketika hendak pulang, profesor itu selalu meminta
bantuan si tukang perahu. Ketika hendak naik perahu, profesor tersebut dengan
sombong, “Coba tanya apa saja, pasti akan saya jawab karena saya tahu
semianya…!”.
Namanya juga tukang perahu bodoh yang tidak berpendidikan
dan tidak punya pengetahuan, dia asal saja bertanya, “Profesor tahu tentang
ilmu berenang?”. “Wow, tahu dong!”, jawab sang profesor dengan sombong dan
menerangkan banyak hal tentang ilmu berenang. Tampaknya, semua teori berenang
yang dia kuasai sudah disampaikan kepada si tukang perahu.
Nah, ketika sang profesor sedang menjelaskan semua,
tiba-tiba angin dan badai datang yang mengakibatkan perahu yang ditumpangi
mereka terbalik ke sungai. Ternyata, si profesor itu kelelep dan megap-megap di
sungai serta minta tolong kepada si tukang perahu yang dianggap bodoh tersebut.
Akhirnya, si tukang perahu menolong sang profesor yang tidak bisa berenang
padahal sebelumnya menerangkan ilmu berenang secara detail.
*******
Ilustrasi cerita tersebut menggambarkan dengan jelas
betapa perbedaan antara TAHU dan BISA sangat jelas. Nah, pendidikan Indonesia,
disadari atau tidak, telah mengajarkan kepada kita ilmu tahu, bukan ilmu bisa.
Akibatnya, ketika lulus, mereka gagap dan tidak siap menghadapi dunia kerja
yang lebih banyak membutuhkan ilmu bisa. Kenyataan itu semakin nyata terlihat
ketika kita melihat krisis global saat ini.
Coba kita bayangkan, tiap tahun ada sekitar 400 ribu
sarjana yang lulus dari perguruan tinggi. Di antara jumlah itu, yang terserap
ke lapangan kerja maksimal hanya 10-20 persennya. Sisanya sudah dipastikan
menganggur. Belum lagi potensi PHK karena banyaknya perusahaan tutup lantaran
sepinya pasar dan daya beli. Itu berarti para lulusan perguruan tinggi harus
bersaing dengan mereka yang sudah berpengalaman kerja jika ingin mencari
pekerjaan. Jelas, persaingan makin berat.
Lalu, apa solusi masalah tersebut? Ada dua yang bisa
dilakukan. Pertama, perguruan tinggi mulai saat ini juga harus memperbanyak
mengajarkan ilmu bisa daripada memproduksi ilmu tahu. Hal itu sangat penting
dilakukan agar lulusan semakin mudah diterima ketika memasuki dunia kerja. Saya
mengalami hal serupa ketika merekrut karyawan di perusahaan saya. Kebanyakan
mahasiswa yang saya tes ternyata tidak bisa. Mereka sekedar tahu seperti cerita
profesor tersebut. Kerja sama dan keterkaitan strategis (strategic linkage) antara perguruan tinggi dan dunia usaha
(perusahaan) harus terus digalakkan agar keinginan itu bisa terwujud. Ingat,
sejatinya perguruan tinggi dan perusahaan harus saling melengkapi jika ingin
angka pengangguran berkurang.
Kedua, sejak awal, setiap lulusan perguruan tinggi
harus disadarkan akan tujuan mereka kuliah. Terutama untuk melahirkan generasi
wirausaha. Mahasiswa adalah agen perubahan (agent
of change) yang jika mampu menjadi wirausaha multiplier effect-nya akan sangat luar biasa. Kita bisa membaca
cerita Firmansyah, alumnus UGM yang sekarang menjadi miliarder lewat pilihan
wirausaha. Ada lagi pemilik Bakmi Tebet, Wahyu Saidi, yang merupakan alumnus
ITB yang sekarang cabangnya sudah menasional.
Dua solusi tersebut setidaknya akan makin menyadarkan
masyarakat bahwa jangan sampai kita melahirkan generasi penganggur yang hanya
belajar tahu tapi tidak pernah belajar bisa. Selain itu, dua alternatif solusi
tersebut diharapkan bisa mencegah makin banyaknya penganggur di Indonesia. Kita
patut prihatin akan situasi itu. Sebab, rentetan penganggur akan berdampak
terhadap makin mengingkatnya angka kemiskinan juga akan makin menambah angka
kriminalitas. Karena itu, kita harus secepatnya memutus mata rantai tersebut.
*******
Bagi saya, pilihan hidup menjadi entrepreneur adalah
pilihan tepat di tengah suasana makin maraknya penganggur dam kemiskinan di
Indonesia. Kita harus meyakini pilihan tersebut. Agar semua terasa makin mudah.
Ingat petuah bijak “what you get is what
you believe”. Artinya jika Anda yakin, Anda akan mendapatkan apa pun yang
Anda inginkan.
Sebagai akhir tulisan ini, saya sangat terinspirasi
pesan Bob Sadino dalam salah satu kesempatan di Jakarta beberapa waktu lalu.
“Cukup satu langkah awal, ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu
duri, saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang, saya lompati. Melangkah
lagi. Bertemu api, saya mundur. Melangkah lagi. Maju dan berjalan terus
mengatasi masalah”. Bagaimana menurut Anda?
Oleh : Abdul
Muid badrun
Entrepreneur
serta dosen bisnis dan kewirausahaan di Surakarta.
Dimuat di
Jawa Pos, edisi Minggu 16 Januari 2011.
Halaman 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar