Minggu, 27 Oktober 2013

Mencetak Yang Bisa, Bukan Yang Tahu

Alkisah, ada dua profesor yang sedang berdebat panjang lebar tentang ilmu mereka. Satu sama lain berusaha menggungguli dan menjadi pemenang dalam debat tersebut. Salah satu profesor mengatakan, “Saya sudah tahu banyak hal dalam hidup ini, sudah membaca sekian banyak teori dan buku. Jadi, saya tahu semuanya”. Profesor yang satu lagi tidak mau kalah dan mengatakan hal yang sama.
Salah satu profesor tersebut tinggal di seberang sungai. Seperti biasa, ketika hendak pulang, profesor itu selalu meminta bantuan si tukang perahu. Ketika hendak naik perahu, profesor tersebut dengan sombong, “Coba tanya apa saja, pasti akan saya jawab karena saya tahu semianya…!”.
Namanya juga tukang perahu bodoh yang tidak berpendidikan dan tidak punya pengetahuan, dia asal saja bertanya, “Profesor tahu tentang ilmu berenang?”. “Wow, tahu dong!”, jawab sang profesor dengan sombong dan menerangkan banyak hal tentang ilmu berenang. Tampaknya, semua teori berenang yang dia kuasai sudah disampaikan kepada si tukang perahu.
Nah, ketika sang profesor sedang menjelaskan semua, tiba-tiba angin dan badai datang yang mengakibatkan perahu yang ditumpangi mereka terbalik ke sungai. Ternyata, si profesor itu kelelep dan megap-megap di sungai serta minta tolong kepada si tukang perahu yang dianggap bodoh tersebut. Akhirnya, si tukang perahu menolong sang profesor yang tidak bisa berenang padahal sebelumnya menerangkan ilmu berenang secara detail.
*******
Ilustrasi cerita tersebut menggambarkan dengan jelas betapa perbedaan antara TAHU dan BISA sangat jelas. Nah, pendidikan Indonesia, disadari atau tidak, telah mengajarkan kepada kita ilmu tahu, bukan ilmu bisa. Akibatnya, ketika lulus, mereka gagap dan tidak siap menghadapi dunia kerja yang lebih banyak membutuhkan ilmu bisa. Kenyataan itu semakin nyata terlihat ketika kita melihat krisis global saat ini.
Coba kita bayangkan, tiap tahun ada sekitar 400 ribu sarjana yang lulus dari perguruan tinggi. Di antara jumlah itu, yang terserap ke lapangan kerja maksimal hanya 10-20 persennya. Sisanya sudah dipastikan menganggur. Belum lagi potensi PHK karena banyaknya perusahaan tutup lantaran sepinya pasar dan daya beli. Itu berarti para lulusan perguruan tinggi harus bersaing dengan mereka yang sudah berpengalaman kerja jika ingin mencari pekerjaan. Jelas, persaingan makin berat.
Lalu, apa solusi masalah tersebut? Ada dua yang bisa dilakukan. Pertama, perguruan tinggi mulai saat ini juga harus memperbanyak mengajarkan ilmu bisa daripada memproduksi ilmu tahu. Hal itu sangat penting dilakukan agar lulusan semakin mudah diterima ketika memasuki dunia kerja. Saya mengalami hal serupa ketika merekrut karyawan di perusahaan saya. Kebanyakan mahasiswa yang saya tes ternyata tidak bisa. Mereka sekedar tahu seperti cerita profesor tersebut. Kerja sama dan keterkaitan strategis (strategic linkage) antara perguruan tinggi dan dunia usaha (perusahaan) harus terus digalakkan agar keinginan itu bisa terwujud. Ingat, sejatinya perguruan tinggi dan perusahaan harus saling melengkapi jika ingin angka pengangguran berkurang.
Kedua, sejak awal, setiap lulusan perguruan tinggi harus disadarkan akan tujuan mereka kuliah. Terutama untuk melahirkan generasi wirausaha. Mahasiswa adalah agen perubahan (agent of change) yang jika mampu menjadi wirausaha multiplier effect-nya akan sangat luar biasa. Kita bisa membaca cerita Firmansyah, alumnus UGM yang sekarang menjadi miliarder lewat pilihan wirausaha. Ada lagi pemilik Bakmi Tebet, Wahyu Saidi, yang merupakan alumnus ITB yang sekarang cabangnya sudah menasional.
Dua solusi tersebut setidaknya akan makin menyadarkan masyarakat bahwa jangan sampai kita melahirkan generasi penganggur yang hanya belajar tahu tapi tidak pernah belajar bisa. Selain itu, dua alternatif solusi tersebut diharapkan bisa mencegah makin banyaknya penganggur di Indonesia. Kita patut prihatin akan situasi itu. Sebab, rentetan penganggur akan berdampak terhadap makin mengingkatnya angka kemiskinan juga akan makin menambah angka kriminalitas. Karena itu, kita harus secepatnya memutus mata rantai tersebut.
*******
Bagi saya, pilihan hidup menjadi entrepreneur adalah pilihan tepat di tengah suasana makin maraknya penganggur dam kemiskinan di Indonesia. Kita harus meyakini pilihan tersebut. Agar semua terasa makin mudah. Ingat petuah bijak “what you get is what you believe”. Artinya jika Anda yakin, Anda akan mendapatkan apa pun yang Anda inginkan.
Sebagai akhir tulisan ini, saya sangat terinspirasi pesan Bob Sadino dalam salah satu kesempatan di Jakarta beberapa waktu lalu. “Cukup satu langkah awal, ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri, saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang, saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api, saya mundur. Melangkah lagi. Maju dan berjalan terus mengatasi masalah”. Bagaimana menurut Anda?

Oleh : Abdul Muid badrun
Entrepreneur serta dosen bisnis dan kewirausahaan di Surakarta.
Dimuat di Jawa Pos, edisi Minggu 16 Januari 2011.
Halaman 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar