“Sial..!” umpat
Joni.
Ingin rasanya
dia lempar sesuatu. Sayang tidak ada apa pun yang bisa dilempar.
“Kalah lagi,
kalah lagi…” Toni menambahkan.
Pertandingan
Minggu dini hari itu telah berakhir. Ditayangkan langsung dari Inggris. Dilayar
televisi terpampang skor akhir pertandingan. Disana tertulis: Bournemouth 2-1 Manchester United.
“Sial, nanti di
kantor pasti jadi bahan bully-an lagi
nih. Sial.” Joni masih saja mengumpat.
Kamis dini hari
lalu, umpatan yang sama juga terucap. Saat itu Manchester United tumbang di
kandang Wolfsburg. Bahkan dengan skor yang lebih mengenaskan. Skor 2-3 menjadi
hasil akhir saat itu. Umpatan terucap karena dengan kekalahan itu, Manchester
United pun resmi bertengger diposisi ketiga grup. Itu berarti gagal masuk fase knock out, 16 besar Liga Champion. Tragedi,
sungguh sebuah tragedi.
Fans yang berhati
besar, akan berkata “Nggak apa-apa, toh masih lolos Liga Eropa”. Ini jelas
kata-kata menghibur diri. Agar hati yang sakit, tidak bertambah sakit. Tidak
demikian untuk Joni dan Toni. Bagi mereka, Manchester United adalah tim besar
dunia. Bukan ekosistem mereka berada di Liga Eropa. Itu kan untuk kasta kelas
dua. Fans fanatik garis keras, tegas berkata.
Tapi yang
terjadi sudah terjadi. Nasi sudah basi, tidak mungkin kembali jadi padi.
Belum sembuh sakit
sebelumnya, diberikan lagi sakit berikutnya. Sakit kali ini diberikan oleh klub
bernama ‘Bournemouth’. Ini sih bukan lagi “Sakitnya tuh disini”, tapi sudah “Sakitnya
tuh di hati, jantung, limpa, bahkan nyebar sampai usus dua belas jari”. Sakit
pokoknya bro, sakit. Bayangkan saja, Bournemouth adalah klub di peringkat 15
klasemen. Untuk level Liga Inggris, tim berperingkat 15 kebawah tergolong tim papan
bawah (mohon maaf untuk fans Chelsea-red). Itu berarti Manchester United
tidak hanya kalah, tapi kalah dari tim papan bawah. Kurang memalukan apa lagi
coba?
“Ini sih
gara-gara formasinya Van Gaal nih.”
Joni mulai
mencari ‘kambing hitam’. Walau sebenarnya Louis Van Gaal bukanlah kambing. Dan yang
pasti dia juga tidak hitam.
“Kalo aku sih
gara-gara Fellaini. Dia tidak cocok ditaruh sebagai gelandang bertahan. Malahan
dia sebenarnya tidak cocok ditaruh dimana-mana.”
Toni pun
ikut-ikutan mencari si ‘kambing hitam’. Padahal jelas-jelas selama 90 menit,
tidak ada satu pun kambing yang terlibat dalam pertandingan. Apalagi yang berwarna
hitam.
Timeline twitter
pun ramai. Para fans menghibur diri, pada haters bersuka hati. Ada fans yang menyalahkan
badai cedera sebagai ‘kambing hitam’. Ada pula yang menjadikan para pemain muda
sebagai ‘kambing hitam’. Harus ada yang disalahkan. Kalau perlu, rumput yang
bergoyang pun akan ikut disalahkan. Biasalah, penyakit barisan sakit hati ya
gini nih.
Hanya satu yang
pasti. Manchester United era sekarang, berbeda dengan Manchester United era Sir
Alex Ferguson. Tidak ada lagi aliran bola cepat. Tidak ada lagi pertahanan
kuat. Tidak ada lagi umpan akurat dari sayap. Dan tidak ada lagi duet penyerang
mantap. Permainan Manchester United tidak lagi menghibur, kalau tidak boleh
dibilang membosankan.
Sebenarnya,
semua ‘kambing hitam’ tadi bisa saja dibenarkan. Kabar terakhir dari tim medis,
ada 10 pemain inti yang cedera. Bayangkan, 10 pemain inti Bro! Kalau ditambah satu
kiper lagi, bisa jadi satu tim lengkap tuh. Mereka adalah: Matteo Darmian, Luke
Shaw, Chris Smalling, Morgan Schneiderlin, Marcos Rojo, Ander Herrera, Phil
Jones, Antonio Valencia, Wayne Rooney, dan Bastian Schweinsteiger. Pusing pala
Van Gaal! *tepok jidat.
Karena pemain
inti yang bertumbangan, maka pemain muda pun jadi pilihan. Mereka adalah Nick
Powell, Guillermo Varela, Cameron Borthwick-Jackson, Paddy McNair, Jesse
Lingard, Axel Tuanzebe, Marcus Rashford, Tyler Blackett, Andreas Pereira, dam
Sean Goss. Memberi kesempatan untuk pemain muda memang baik. Hanya saja, untuk
bertarung pada liga paling kompetitif di dunia, memainkan pemain minim
pengalaman sangatlah beresiko. Dan itulah yang terjadi di dua pertandingan
terakhir Manchester United. Cederanya Smalling, Schneiderlin dan Schweinsteiger,
membuat lini pertahanan jadi kropos. Rekor hanya kebobolan 6 gol, dari 6 laga
terakhir langsung sirna. Pertahanan Manchester United pun menderita 5 gol,
hanya dalam durasi 180 menit. Bahkan kalau tidak De Gea tampil luar biasa, pasti
lini belakang akan kian menderita. Keseimbangan permainan yang selama ini ada,
seakan sirna.
Lini depan juga tidak
kalah bermasalah. Meminjam istilah kedokteran, lini depan Manchester United
mengalami kemandulan. Ada tidak ada Rooney, hasilnya tetap sama. Dari 6 laga
terakhir, praktis hanya 3 gol tercipta. Gol adalah inti dari permainan sepak
bola. Tanpa gol sepak bola bukanlah sepak bola, hanya sekumpulan orang yang berlari
mengoper bola. Jadi akhir-akhir ini, Manchester United bisa dibilang makan
bakso tapi nggak pake bakso. Atau
bisa dibilang makan sayur asem tanpa sayur, alias sisa asemnya doang.
Fans garis
keras, garis lurus, maupun garis putus-putus pun bereaksi. Mereka bosan melihat
statistik tinggi penguasaan bola. Mereka bosan melihat pemain sibuk mengoper
bola. Mereka bosan melihat pertandingan yang beralur pelan. Mereka butuh hasil,
mereka butuh gol. Bersama mereka berteriak “Attack! Attack! Attack!”. Bahkan
terakhir kali mereka berteriak “BOOO..!!” saat kalah dari Wolfsburg. Salahkah
mereka? Tidak, mereka tidak salah. Mereka datang ke stadion dengan membayar.
Mereka membayar tiket dengan uang, bukannya daun pisang. Mereka berhak menuntut
hiburan. Mereka berhak menuntut kemenangan.
“Kampret! Tahu
gini males dah aku nonton lagi. Mana nontonnya bayar. Udah keluar duit,
dapetnya cuma sakit hati doang!” Joni masih belum puas mengumpat, ternyata.
Iya sejak dua
tahun lalu, sepak bola bukan lagi tontonan gratis. Kapitalisme sudah merambah dunia
sepak bola. Hak siar sudah menjadi properti yang mahal. Kita butuh membayar,
untuk sekedar mendapat gambar. Salahkan lalu fans Manchester United layar kaca,
ikut berteriak “Attack! Attack! Attack!”. Walaupun sesungguhnya teriakan itu salah. Menanggapi itu
Van Gaal berkilah. “Manchester United sudah menyerang, hanya gol saja yang
belum kunjung datang” demikian katanya. Dan dia benar. Seharusnya fans
Manchester United diseluruh dunia ganti berteriak “Goal! Goal! Goal!”.
Dua pertandingan
terakhir, sepertinya Van Gaal dan tim mendengar. Mereka mulai bermain
menyerang. Hasil kosong-kosong sudah tidak ada lagi. Manchester United mulai
mencetak gol. Namun, apakah masalah selesai? Tidak. Permainan menyerang membawa
konsekuensi. Fokus menyerang, pertahanan pun terlupakan. Manchester United bisa
mencetak gol, pun demikian tim lawan. Apalah makna gol ke gawang lawan, apabila
bisa dibalas lebih banyak. Artinya sama saja kalah. Lagi-lagi, keseimbangan
permainan menjadi masalah untuk Manchester United.
“Paling tidak
United sudah ingat cara mencetak gol lah,” Toni menghibur diri lagi.
Joni merengut. “Iya.
Kalo musuh juga bisa nyetak se-gol lebih sih sama aja boong. Dulu inget cara
bertahan, tapi lupa cara nyerang. Sekarang inget cara menyerang, eh lupa cara bertahan.”
Mereka berdua pun
dilanda kegalauan.
Kegalauan tidak
hanya datang dari fans. Mantan pemain Manchester United pun ikut menggalau,
bahkan meradang. Paul Scholes yang berteriak paling lantang. Dia bilang Van
Gaal merubah pemain Manchester United menjadi robot. Kaku, penuh ragu dan tidak
padu. Wajarkah Scholes berteriak seperti itu? Wajar sekali. Dialah orang yang
paling tahu tentang Manchester United. Bahkan dia pernah batal gantung sepatu,
demi mengantar Manchester United menyabet gelar ke-duapuluh. Dia adalah legenda
hidup Manchester United. Ryan Giggs mungkin akan berteriak yang sama, seandainya
dia tidak berada didalam sistem. Terlihat dari raut wajahnya, setiap minggunya.
Yah apapun
teriakan dari fans, kebijakan tetap ada pada manajemen klub. Dan manajemen klub
menjamin posisi Van Gaal (masih) aman. Namun bila tidak juga kembali ke jalur
kemenangan, mungkin saja nasib Van Gaal akan berujung pemecatan. Berdasar
pengalaman, manajemen Manchester United sangat peduli dengan suara fans. Berkaca
pada apa yang dialami seorang David Moyes. Dengar punya dengar, fans Manchester
United sudah menyiapkan banner bertulis #VanGaalOut. Entah kapan banner itu
akan terbentang.
Kini tugas berat
menanti seorang Van Gaal. Dia memang sempat berkilah, skuad Manchester United
sekarang ini belumlah sesuai keinginannya. Dia masih butuh tambahan amunisi
baru. Dia butuh pemain cepat yang bisa bergerak dari sayap. Dia butuh pemain
belakang pelapis yang mumpuni. Dia juga butuh penyerang bermental ‘pembunuh’. Dan
jendela transfer musim dingin pun akan segera dibuka. Mungkinkah pemain baru akan
datang nantinya? Kita lihat saja beberapa hari kedepan. Yang jelas, Van Gaal
harus memaksimalkan skuad yang ada sekarang, karena sebentar lagi Boxing Day akan menjelang.
“Jadi kamu masih
percaya sama Van Gaal?” Joni bertanya.
Toni menimpali. “Aku
percaya Van Gaal pelatih hebat, tapi aku mulai tidak percaya apakah dia cocok
untuk Manchester United.”
“Kabar terbaru, Chelsea
memecat Jose Mourinho loh. Twitter gempar nih.”
“Nah, berikutnya
Van Gaal?”
Joni dan Toni
saling berpandangan. Mereka pun mengangkat bahu bersamaan. “Entahlah…”
Toni menimpali
lagi. “Yang jelas, sekarang ini kita masih akan butuh stok pil shock jantung, pil sakit hati, dan pil anti-depresi.
Yang banyak pastinya.”
Lalu keduanya pun tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar