Sabtu, 19 Desember 2015

Manchester United: Tulisan Iseng Tengah Malam


“Sial..!” umpat Joni.
Ingin rasanya dia lempar sesuatu. Sayang tidak ada apa pun yang bisa dilempar.
“Kalah lagi, kalah lagi…” Toni menambahkan.
Pertandingan Minggu dini hari itu telah berakhir. Ditayangkan langsung dari Inggris. Dilayar televisi terpampang skor akhir pertandingan. Disana tertulis: Bournemouth 2-1 Manchester United.
“Sial, nanti di kantor pasti jadi bahan bully-an lagi nih. Sial.” Joni masih saja mengumpat.
Kamis dini hari lalu, umpatan yang sama juga terucap. Saat itu Manchester United tumbang di kandang Wolfsburg. Bahkan dengan skor yang lebih mengenaskan. Skor 2-3 menjadi hasil akhir saat itu. Umpatan terucap karena dengan kekalahan itu, Manchester United pun resmi bertengger diposisi ketiga grup. Itu berarti gagal masuk fase knock out, 16 besar Liga Champion. Tragedi, sungguh sebuah tragedi.
Fans yang berhati besar, akan berkata “Nggak apa-apa, toh masih lolos Liga Eropa”. Ini jelas kata-kata menghibur diri. Agar hati yang sakit, tidak bertambah sakit. Tidak demikian untuk Joni dan Toni. Bagi mereka, Manchester United adalah tim besar dunia. Bukan ekosistem mereka berada di Liga Eropa. Itu kan untuk kasta kelas dua. Fans fanatik garis keras, tegas berkata.
Tapi yang terjadi sudah terjadi. Nasi sudah basi, tidak mungkin kembali jadi padi.
Belum sembuh sakit sebelumnya, diberikan lagi sakit berikutnya. Sakit kali ini diberikan oleh klub bernama ‘Bournemouth’. Ini sih bukan lagi “Sakitnya tuh disini”, tapi sudah “Sakitnya tuh di hati, jantung, limpa, bahkan nyebar sampai usus dua belas jari”. Sakit pokoknya bro, sakit. Bayangkan saja, Bournemouth adalah klub di peringkat 15 klasemen. Untuk level Liga Inggris, tim berperingkat 15 kebawah tergolong tim papan bawah (mohon maaf untuk fans Chelsea-red). Itu berarti Manchester United tidak hanya kalah, tapi kalah dari tim papan bawah. Kurang memalukan apa lagi coba?
“Ini sih gara-gara formasinya Van Gaal nih.”
Joni mulai mencari ‘kambing hitam’. Walau sebenarnya Louis Van Gaal bukanlah kambing. Dan yang pasti dia juga tidak hitam.
“Kalo aku sih gara-gara Fellaini. Dia tidak cocok ditaruh sebagai gelandang bertahan. Malahan dia sebenarnya tidak cocok ditaruh dimana-mana.”
Toni pun ikut-ikutan mencari si ‘kambing hitam’. Padahal jelas-jelas selama 90 menit, tidak ada satu pun kambing yang terlibat dalam pertandingan. Apalagi yang berwarna hitam.
Timeline twitter pun ramai. Para fans menghibur diri, pada haters bersuka hati. Ada fans yang menyalahkan badai cedera sebagai ‘kambing hitam’. Ada pula yang menjadikan para pemain muda sebagai ‘kambing hitam’. Harus ada yang disalahkan. Kalau perlu, rumput yang bergoyang pun akan ikut disalahkan. Biasalah, penyakit barisan sakit hati ya gini nih.
Hanya satu yang pasti. Manchester United era sekarang, berbeda dengan Manchester United era Sir Alex Ferguson. Tidak ada lagi aliran bola cepat. Tidak ada lagi pertahanan kuat. Tidak ada lagi umpan akurat dari sayap. Dan tidak ada lagi duet penyerang mantap. Permainan Manchester United tidak lagi menghibur, kalau tidak boleh dibilang membosankan.
Sebenarnya, semua ‘kambing hitam’ tadi bisa saja dibenarkan. Kabar terakhir dari tim medis, ada 10 pemain inti yang cedera. Bayangkan, 10 pemain inti Bro! Kalau ditambah satu kiper lagi, bisa jadi satu tim lengkap tuh. Mereka adalah: Matteo Darmian, Luke Shaw, Chris Smalling, Morgan Schneiderlin, Marcos Rojo, Ander Herrera, Phil Jones, Antonio Valencia, Wayne Rooney, dan Bastian Schweinsteiger. Pusing pala Van Gaal! *tepok jidat.
Karena pemain inti yang bertumbangan, maka pemain muda pun jadi pilihan. Mereka adalah Nick Powell, Guillermo Varela, Cameron Borthwick-Jackson, Paddy McNair, Jesse Lingard, Axel Tuanzebe, Marcus Rashford, Tyler Blackett, Andreas Pereira, dam Sean Goss. Memberi kesempatan untuk pemain muda memang baik. Hanya saja, untuk bertarung pada liga paling kompetitif di dunia, memainkan pemain minim pengalaman sangatlah beresiko. Dan itulah yang terjadi di dua pertandingan terakhir Manchester United. Cederanya Smalling, Schneiderlin dan Schweinsteiger, membuat lini pertahanan jadi kropos. Rekor hanya kebobolan 6 gol, dari 6 laga terakhir langsung sirna. Pertahanan Manchester United pun menderita 5 gol, hanya dalam durasi 180 menit. Bahkan kalau tidak De Gea tampil luar biasa, pasti lini belakang akan kian menderita. Keseimbangan permainan yang selama ini ada, seakan sirna.
Lini depan juga tidak kalah bermasalah. Meminjam istilah kedokteran, lini depan Manchester United mengalami kemandulan. Ada tidak ada Rooney, hasilnya tetap sama. Dari 6 laga terakhir, praktis hanya 3 gol tercipta. Gol adalah inti dari permainan sepak bola. Tanpa gol sepak bola bukanlah sepak bola, hanya sekumpulan orang yang berlari mengoper bola. Jadi akhir-akhir ini, Manchester United bisa dibilang makan bakso tapi nggak pake bakso. Atau bisa dibilang makan sayur asem tanpa sayur, alias sisa asemnya doang.
Fans garis keras, garis lurus, maupun garis putus-putus pun bereaksi. Mereka bosan melihat statistik tinggi penguasaan bola. Mereka bosan melihat pemain sibuk mengoper bola. Mereka bosan melihat pertandingan yang beralur pelan. Mereka butuh hasil, mereka butuh gol. Bersama mereka berteriak “Attack! Attack! Attack!”. Bahkan terakhir kali mereka berteriak “BOOO..!!” saat kalah dari Wolfsburg. Salahkah mereka? Tidak, mereka tidak salah. Mereka datang ke stadion dengan membayar. Mereka membayar tiket dengan uang, bukannya daun pisang. Mereka berhak menuntut hiburan. Mereka berhak menuntut kemenangan.
“Kampret! Tahu gini males dah aku nonton lagi. Mana nontonnya bayar. Udah keluar duit, dapetnya cuma sakit hati doang!” Joni masih belum puas mengumpat, ternyata.

Iya sejak dua tahun lalu, sepak bola bukan lagi tontonan gratis. Kapitalisme sudah merambah dunia sepak bola. Hak siar sudah menjadi properti yang mahal. Kita butuh membayar, untuk sekedar mendapat gambar. Salahkan lalu fans Manchester United layar kaca, ikut berteriak “Attack! Attack! Attack!”. Walaupun sesungguhnya teriakan itu salah. Menanggapi itu Van Gaal berkilah. “Manchester United sudah menyerang, hanya gol saja yang belum kunjung datang” demikian katanya. Dan dia benar. Seharusnya fans Manchester United diseluruh dunia ganti berteriak “Goal! Goal! Goal!”.
Dua pertandingan terakhir, sepertinya Van Gaal dan tim mendengar. Mereka mulai bermain menyerang. Hasil kosong-kosong sudah tidak ada lagi. Manchester United mulai mencetak gol. Namun, apakah masalah selesai? Tidak. Permainan menyerang membawa konsekuensi. Fokus menyerang, pertahanan pun terlupakan. Manchester United bisa mencetak gol, pun demikian tim lawan. Apalah makna gol ke gawang lawan, apabila bisa dibalas lebih banyak. Artinya sama saja kalah. Lagi-lagi, keseimbangan permainan menjadi masalah untuk Manchester United.
“Paling tidak United sudah ingat cara mencetak gol lah,” Toni menghibur diri lagi.
Joni merengut. “Iya. Kalo musuh juga bisa nyetak se-gol lebih sih sama aja boong. Dulu inget cara bertahan, tapi lupa cara nyerang. Sekarang inget cara menyerang, eh lupa cara bertahan.”
Mereka berdua pun dilanda kegalauan.
Kegalauan tidak hanya datang dari fans. Mantan pemain Manchester United pun ikut menggalau, bahkan meradang. Paul Scholes yang berteriak paling lantang. Dia bilang Van Gaal merubah pemain Manchester United menjadi robot. Kaku, penuh ragu dan tidak padu. Wajarkah Scholes berteriak seperti itu? Wajar sekali. Dialah orang yang paling tahu tentang Manchester United. Bahkan dia pernah batal gantung sepatu, demi mengantar Manchester United menyabet gelar ke-duapuluh. Dia adalah legenda hidup Manchester United. Ryan Giggs mungkin akan berteriak yang sama, seandainya dia tidak berada didalam sistem. Terlihat dari raut wajahnya, setiap minggunya.
Yah apapun teriakan dari fans, kebijakan tetap ada pada manajemen klub. Dan manajemen klub menjamin posisi Van Gaal (masih) aman. Namun bila tidak juga kembali ke jalur kemenangan, mungkin saja nasib Van Gaal akan berujung pemecatan. Berdasar pengalaman, manajemen Manchester United sangat peduli dengan suara fans. Berkaca pada apa yang dialami seorang David Moyes. Dengar punya dengar, fans Manchester United sudah menyiapkan banner bertulis #VanGaalOut. Entah kapan banner itu akan terbentang.
Kini tugas berat menanti seorang Van Gaal. Dia memang sempat berkilah, skuad Manchester United sekarang ini belumlah sesuai keinginannya. Dia masih butuh tambahan amunisi baru. Dia butuh pemain cepat yang bisa bergerak dari sayap. Dia butuh pemain belakang pelapis yang mumpuni. Dia juga butuh penyerang bermental ‘pembunuh’. Dan jendela transfer musim dingin pun akan segera dibuka. Mungkinkah pemain baru akan datang nantinya? Kita lihat saja beberapa hari kedepan. Yang jelas, Van Gaal harus memaksimalkan skuad yang ada sekarang, karena sebentar lagi Boxing Day akan menjelang.
“Jadi kamu masih percaya sama Van Gaal?” Joni bertanya.
Toni menimpali. “Aku percaya Van Gaal pelatih hebat, tapi aku mulai tidak percaya apakah dia cocok untuk Manchester United.”
“Kabar terbaru, Chelsea memecat Jose Mourinho loh. Twitter gempar nih.”
“Nah, berikutnya Van Gaal?”
Joni dan Toni saling berpandangan. Mereka pun mengangkat bahu bersamaan. “Entahlah…”
Toni menimpali lagi. “Yang jelas, sekarang ini kita masih akan butuh stok pil shock jantung, pil sakit hati, dan pil anti-depresi. Yang banyak pastinya.”
Lalu keduanya pun tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar